Career
Semiotika Berpakaian, Penting!

9 Dec 2013


Ketika pertama kali bertemu di kereta menuju Montenegro dalam sebuah misi rahasia, James Bond memberikan penilaian terhadap penampilan Vesper Lynd, wanita muda nan cantik yang kemudian menjadi cinta sejatinya. Vesper menjabat sebagai bendahara Inggris, yang saat itu mengenakan celana dan jas  warna hitam dengan rambut yang digelung rapi. Gaya bicaranya tegas dan tanpa basa-basi. Ia jelas bukan tipe bond girl yang mudah diperdaya pria.

“Kamu pasti berpenampilan maskulin karena ingin dihormati dan dianggap kompeten oleh rekan-rekan kerjamu yang kebanyakan pria,” kata James dalam film Casino Royale (2006). Lebih dari sekadar pick-up line, kalimat ini dengan tepat menggambarkan betapa pakaian bisa menjadi gambaran kepribadian dan kelas atau status sosial seseorang.
Berpengalaman memberikan workshop dan konsultasi berbusana kepada wanita-wanita bekerja di berbagai daerah, pengamat mode dan desainer, Sonny Muchlison mengungkapkan bahwa umumnya mereka concern dan ingin  penampilan yang berkelas. Masalahnya, yang disebut berkelas ini interpretasinya berbeda-beda. Ada yang menganggap berkelas itu bling-bling, ada yang menganggap berkelas itu artinya less is more.

Perbedaan interpretasi ini menurut Sonny disebabkan oleh kurangnya panduan tentang busana profesional untuk masyarakat awam. Ia melihat, majalah-majalah fashion ternama atau fashion show internasional lebih menonjolkan gaun-gaun malam mewah. Jarang sekali yang menonjolkan koleksi baju kerja. “Sementara di sini, butik-butik desainer pun begitu eksklusif dan masih banyak yang tidak merasa memiliki kewajiban untuk mengedukasi masyarakat,” katanya.

Akibatnya, masyarakat kita umumnya kurang memiliki pemahaman soal semiotika berpakaian. Pengetahuan inilah, bukan merek mahal atau aksesori bling-bling, yang membuat seseorang sebagai ‘kelas’ tertentu. “Ada standar atau aturan berpakaian yang harus diperhatikan sebelum seseorang memikirkan apakah model baju ini sedang in atau tidak,” tegas Sonny, yang juga pengajar Jurusan Desain Mode & Kriya di Institut Kesenian Jakarta.

Misalnya, kancing kerah yang ditutup artinya formal, dibuka artinya kasual. Motif dan warna terang itu cenderung untuk acara kasual pagi atau siang hari, sedangkan yang gelap untuk yang formal atau malam hari. Atau, perbedaan antara sun dress yang cocok dipakai liburan musim panas dan sack dress untuk meeting. Bahan satin atau payet mengilap hanya cocok untuk acara malam hari.

Belum lagi soal cocok atau tidaknya model baju tertentu dengan bentuk tubuh. Misalnya, kerudung bermotif ramai cenderung ‘menenggelamkan’ wajah yang kecil. Atau, celana di pinggang akan membesarkan pinggul yang besar. Tote bag yang lebarnya melebihi setengah lengan  juga akan ‘menenggelamkan’ seseorang.

Sama halnya soal paduan busana dan make up. Menurut Sonny, masih banyak yang memukul rata semua acara dengan riasan wajah seperti untuk pergi ke acara pernikahan. “Ke kantor dengan riasan shading di hidung tentunya terlihat aneh. Seharusnya riasan ke kantor itu sealami mungkin,” katanya.

Semiotika berbusana ini menjadi penting untuk diketahui dan diterapkan sebagai ‘SOP’ sehari-hari, ketika kita memahami bahwa berbusana adalah bagian dari personal brand. Sebab, seseorang yang menduduki jabatan penting lagi-lagi diharapkan untuk memiliki standar skill dan pengetahuan tertentu tentang berbagai hal, termasuk etika berbusana. Jangan sampai, kita dianggap salah kostum atau saltum selamanya.

Sejalan dengan pendapat Amalia soal memasukkan selera pribadi ke dalam pilihan busana kerja, Sonny menekankan pentingnya mengetahui ‘pesan’ apa yang ingin disampaikan dalam berbusana. Pesan inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam warna, bahan,dan model yang spesifik, disesuaikan dengan tempat atau acara. “Fashion adalah identitas. Untuk mengetahui busana apa yang tepat untuk kita, kita perlu mengetahui dulu seperti apa kepribadian kita yang ingin ditampilkan di dunia kerja. Sederhana, manis, tomboi, seksi, provokatif, powerful, atau apa?” tanya Sonny. (PRIMARITA S. SMITA)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?