”Dari yang saya wawancara, kebanyakan mereka hanya belajar agar bisa lulus, belum memiliki mentalitas untuk segera berbuat sesuatu tanpa harus menunggu sampai lulus. Padahal, kita tahu, seorang Mark Zuckerberg tidak langsung berhasil, ia merintis sejak masih kuliah. Itu yang berusaha saya tanamkan di CodingIndonesia,” ujarnya.
Calvin menemukan, lulusan perguruan tinggi Jakarta kebanyakan kurang ulet dibandingkan anak-anak dari daerah. Ini salah satu alasannya memilih Yogyakarta untuk mengembangkan riset.
Sedangkan Ainun melihat, selain perlu mengembangkan skill, SDM Indonesia perlu meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan rasa percaya diri. Ini disetujui oleh Anthon. “Bahasa Inggris bukan bahasa sehari-hari dan jarang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan di sini. Selain itu, latar belakang budaya Indonesia yang cenderung santun dan penuh tata krama membuat mereka cenderung lebih introver. Salah satu solusi yang Microsoft Indonesia tawarkan adalah secara kontinu selalu berusaha untuk meluncurkan konten terkait programmer dalam bahasa Indonesia,” jelas Anthon.
Kemampuan lain yang harus dikembangkan dan diasah adalah kreativitas, antara lain dengan memberikan lebih banyak kesempatan, bimbingan, maupun insentif yang dapat menunjang para programmer maupun pelaku bisnis pengembang aplikasi untuk berkreasi.
Dari segi pendidikan, Wahyudi melihat kedekatan antara perguruan tinggi di Indonesia dengan industri masih jauh. Yang dipelajari di kampus sering kali belum bisa memenuhi kebutuhan di dunia kerja. Namun, bukan berarti lembaga pendidikan di sini tidak merespons perkembangan.
Calvin yang lulusan Universitas Bina Nusantara tahun 1990-an, melihat perubahan yang makin baik dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, sudah beberapa tahun terakhir mata kuliah pengembangan games dan aplikasi mobile telah masuk kurikulum, begitu juga tentang kewirausahaan.
Bagi pemerintah, pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan adalah masalah hak cipta dan infrastruktur, dua aspek eksternal yang kerap menjadi kendala. Tingkat pembajakan terhadap perangkat lunak yang masih tinggi di Indonesia menunjukkan bahwa apresiasi terhadap ide dan kreativitas masih kurang.
Infrastruktur seperti jaringan internet, menjadi hambatan bagi programmer untuk mengakses informasi, juga membatasi pasar dan jangkauan dari jejaring bisnis untuk programmer. “Undang-undang tentang Hak Cipta di Indonesia sudah cukup memadai, tapi yang perlu dilakukan adalah edukasi dan penerapannya. Apabila masyarakat luas lebih menghargai hasil dari hak cipta, akan lebih banyak programmer terinspirasi untuk lebih banyak berkarya,” ujar Anthon.
Selain itu, Calvin merasa pemerintah masih kurang menyentuh industri teknologi informasi sebagai bagian dari industri kreatif. Industri kreatif yang digenjot pemerintah masih berkutat seputar kerajinan. Ia menantikan langkah yang akan dilakukan Badan Ekonomi Kreatif ke depannya.
Sebuah langkah lumayan yang ia lihat adalah adanya Indigo Incubator yang digagas Telkom. Program bimbingan dan pendampingan semacam itu akan sangat membantu pertumbuhan start up di Indonesia. ”Di Singapura dan Malaysia, pemerintahnya mengalokasikan dana untuk menyokong UKM di bidang TI. Mungkin pemerintah kita bisa mencontohnya,” tambah Calvin. (f)