Joachim Loew: Membangun Tim Solid
Jika Argentina memiliki Lionel Messi, Portugal punya Cristiano Ronaldo, Brasil mengandalkan Neymar, maka Jerman memiliki sebelas individu yang begitu kompak dalam tim. Ini tak lepas dari tangan dingin sang pelatih, Joachim Loew, yang terbukti mampu membangun tim solid. Inilah beberapa gaya kepemimpinan Joachim yang bisa Anda tiru:
1. Menjaga Nilai Kebersamaan
Sebagai pelatih, Joachim berkolaborasi harmonis dengan para pemainnya. Ia berhasil menekan ego pemain agar tak merasa menjadi yang paling hebat. Ini jelas berbeda dengan tim Inggris yang terdiri dari banyak pemain bintang, tetapi tak menonjol dari segi kebersamaan tim. Saat ada konflik, Jogi, nama panggilannya, akan segera menyelesaikan sebelum hal itu berkembang dan tercium media.
Kata Psikolog: Atasan harus mampu menyampaikan ambisi, visi, misi, dan tujuan kepada anak buah, agar bisa saling bahu-membahu mencapai target tertentu. Jangan sampai si bos bersikap menggebu-gebu, tapi anak buah malas-malasan. Lakukan ‘encouraging heart’, yakni upaya mengambil hati para bawahan. Ini penting agar saat bekerja, ada chemistry yang nyambung antara atasan dan bawahan.
2. Berinovasi
Tahun 2006, Jogi (panggilan Joachim) sudah berani berinovasi dengan menerapkan taktik permainan menyerang dan formasi dinamis dalam tim. Jogi juga menggunakan ahli sport science untuk membuat aplikasi smart phone berupa gudang data untuk mengecek kinerja pemain di lapangan maupun tim lawan.
Kata Psikolog: Lakukan ‘challenging process’, yakni bentuk tantangan untuk memotivasi bawahan demi meningkatkan kinerja anak buah. Di salah satu resto cepat saji terkenal asal Amerika Serikat misalnya, para manajer resto tak segan menantang karyawannya untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan maksimal selama 2 menit. Menciptakan challenging merupakan bentuk dari inovasi, termasuk keberanian keluar dari comfort zone.
3. Menyatukan Budaya yang Berbeda
Joachim terbukti mampu menyatukan para pemainnya yang datang dari berbagai budaya berbeda. Ada Mesut Ozil yang keturunan Turki, Sami Kheidira yang keturunan Tunisia, serta Miroslav Klose dan Lukas Podolski yang berdarah Polandia. Joachim berhasil menyatukan talenta mereka dengan para pemain asli Jerman.
Kata Psikolog: Tetapkan standar maupun kompetensi yang sama di kantor. Sehingga, Anda pun bisa mendelegasikan pekerjaan kepada tiap karyawan tanpa memandang latar belakang mereka, apakah mereka orang suku Jawa, Sunda, atau Batak. Nilailah anak buah dari kompetensi dan kemampuan mereka, bukan latar belakang mereka.
4. Gap Perbedaan Usia
Joachim berhasil menyatukan pemain muda dan yang sudah senior. Klose yang sudah berusia 35 tahun tetap bisa bermain baik mengimbangi skill pemain muda tim Jerman yang rata-rata masih berusia kurang dari 25 tahun. Kepiawaian Jogi ini menghasilkan performa yang optimal. Pemain senior yang sudah kaya jam terbang berpadu harmonis dengan energi pemain muda yang masih menggebu.
Kata Psikolog: Gap soal usia bisa Anda minimalkan dengan cara menerapkan kompetensi dan mengomunikasikannya secara transparan kepada tiap bawahan. Bagi mereka yang berhasil mencapai standar tersebut, berikan apresiasi. Sekalipun usia bawahan Anda sudah terbilang senior, tetap perhitungkan selama ia masih produktif dan mampu berprestasi.(RIZKA AZIZAH, AYU WIDYA S.)