Career
Comfort Zone

2 Jul 2012


Banyak anggapan, begitu seseorang sudah berada di zona nyaman, maka ia akan berhenti berkembang. Padahal, tidak selalu begitu, lho. Sekalipun kita tetap bertahan di perusahaan atau pekerjaan yang sama, kita masih tetap bisa berkembang. Tentu ada caranya agar tetap eksis.

Mengapa Bertahan?

Menurut Lokadita Brahmana, konsultan SDM dari Orly Consulting, seseorang bisa dikatakan telah memasuki comfort zone adalah ketika ia telah merasa nyaman dengan lingkungan kerja. Seperti yang dirasakan Lidia, yaitu kenyamanannya dengan hubungan dengan atasan maupun teman-teman satu departemen. “Biasanya setelah 5 tahun bekerja orang mulai merasa nyaman. Mereka sudah mengenali kultur dan cara kerja perusahaan. Hubungan dengan kolega dan atasan pun sudah solid,” katanya.

Selain itu, soal usia juga menjadi salah satu faktor penting. Menurut Lokadita, kecenderungannya orang masih suka berpindah-pindah kerja itu pada saat mereka berusia 25-35 tahun. “Begitu memasuki usia 30 tahun biasanya orang enggan pindah kerja. Alasannya, mereka malas menyesuaikan diri lagi, sudah berkeluarga, atau mungkin telah meraih apa yang mereka inginkan,” paparnya.

Wikipedia mendefinisikan comfort zone sebagai suatu kondisi di mana seseorang bekerja atau hidup dalam kondisi kecemasan netral, menggunakan seperangkat perilaku terbatas untuk memberikan performa yang stabil dan biasanya tanpa keberanian untuk mengambil risiko. Seseorang yang telah membangun comfort zone dalam hidupnya, cenderung untuk tinggal di wilayah tersebut tanpa berusaha untuk keluar dari comfort zone-nya itu.

Menurut Lokadita, konteks comfort zone tidak selalu berdasar pada lingkungan pekerjaan (dalam hal ini perusahaan), namun juga karena jenis pekerjaannya.

Zona nyaman memang terbentuk karena lingkungan pekerjaan.  Misalnya, karena punya atasan yang enak, rekan kerja yang kompak, atau hubungan tim kerja yang solid. “Sedangkan faktor yang datang dari perusahaan misalnya pekerjaan sesuai minat, gaji yang kompetitif dengan standar pasar, bonus, dan fleksibilitas waktu,” ungkap Lokadita.

Bukan Dosa Besar

Satu hal yang harus disadari, kondisi comfort tiap orang itu berlainan dan tergantung dari kebutuhan masing-masing. Bagi sebagian orang, comfort zone tidak berbahaya karena mereka lebih mementingkan keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadinya.
Pada wanita yang sudah menikah misalnya, biasanya tidak akan terlalu mengejar gaji lagi. Mereka lebih memilih pekerjaan yang cocok untuk seorang ibu. “Mereka juga akan berpikir ulang untuk keluar bila perusahaan tempat mereka bekerja bisa fleksibel, seperti memberi izin jika anak sakit misalnya,” ungkap Lokadita.

Mungkin selama ini kita sering mendengar banyak pakar SDM dan motivator yang mendorong orang untuk segera keluar dari comfort zone. Alasannya, karena umumnya orang-orang yang sukses, biasanya secara reguler keluar dari zona nyamannya untuk memulai ‘petualangan’ baru.

Pendapat ini tidak sepenuhnya disanggah Lokadita. “Setiap orang memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya. Terlalu lama di suatu perusahaan atau mengerjakan tugas yang sama memang bisa membuat orang merasa stuck atau jenuh,” katanya.
Namun demikian, orang yang memilih bertahan di zona nyaman sebetulnya masih dapat terus berkembang. “Asalkan ada kemauan dari dirinya untuk terus belajar dan perusahaan masih memberikan tantangan atau karier baru,” ungkapnya. Lantas, kapan orang harus mulai melangkah keluar dari ‘sarangnya’ yang nyaman? “Ketika ia menemukan fakta bahwa tak ada lagi hal baru yang bisa ia kontribusikan kepada perusahaannya,” tambah Lokadita.
    

Agar Tetap Berkembang

Bila dengan berbagai alasan, seorang karyawan memilih untuk bertahan di zona nyaman, maka ada beberapa hal yang disarankan Lokadita untuk dilakukan. “Berusahalah agar terus proaktif, terus memberi kontribusi dan ide-ide baru, selalu mencapai achievements yang ditargetkan perusahaan dan memperbaiki efektivitas cara kerja,” katanya.

Bila Anda tidak melakukan itu, maka bisa-bisa kedudukan Anda akan tergeser oleh orang-orang baru. Anda harus berusaha untuk terus mengasah diri agar tetap ‘tajam’. “Caranya, ikutilah berbagai seminar, kursus untuk menambah kapabilitas dan selalu mengikuti perkembangan terbaru dalam bidang pekerjaan Anda,” saran Lokadita.

Selain itu, mengambil tugas baru atau proyek yang lebih menantang bisa juga dilakukan untuk mengembalikan gairah bekerja. “Jangan juga merasa malu karena sepanjang karier tetap dalam perusahaan yang sama. Justru Anda bisa mengambil tantangan, misalnya ikut serta dalam proyek baru atau mencoba pindah ke divisi lain,” terang Lokadita.

Lalu bagaimana bila perusahaan tidak menyediakan pelatihan internal bagi karyawan? “Bertanyalah secara personal kepada atasan mengenai kemampuan apa yang perlu Anda kembangkan,” saran Lokadita. Karena, tidak masalah Anda tetap ingin bertahan dalam posisi nyaman ini, asal semangat untuk mengembangkan diri terus dijaga dan kebiasaan proaktif tetap dipakai.

Reynette Fausto




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?