Career
Cermin Karakter Jabatan

2 Dec 2013


Dalam undangan acara-acara resmi tak jarang kita menjumpai dress code seperti rapi, formal, atau profesional. Buat pria, gampang. Tinggal pakai celana pantalon, kemeja, jas, atau pakai kemeja batik, beres. Sedangkan buat wanita, cenderung lebih ribet. Biasanya pilihan aman jatuh pada rok dan blazer. Tapi, setelah bercermin, rasanya kuno banget. Mau sedikit gaya pakai dress, seperti apa yang profesional? Salah-salah, malah dikira mau ke pesta.

Itu baru soal acara di luar kantor yang terjadi sekali-sekali. Bagaimana dengan lima hari dalam seminggu kita di kantor? Mereka yang kantornya mengharuskan memakai seragam boleh dibilang beruntung. Karena mereka selamat dari kepusingan yang dialami jutaan wanita bekerja di dunia tiap kali harus memililih busana apa yang ingin dipakai ke kantor hari itu. Saking pusingnya, sampai-sampai kita langsung ‘buta’ dan mendeklarasikan, “Ok, saya enggak punya baju untuk dipakai.” 

Tanpa bermaksud membela diri, kepusingan wanita ini memang bukan tanpa alasan. Kenyataannya, dunia profesional menuntut  tiap orang untuk datang ke kantor  tiap pagi dengan penampilan segar, rapi, dan siap kerja.

Sering kali, aturan berpakaian tidak ditulis secara gamblang di peraturan perusahaan. Tapi, tak sedikit kantor yang memberikan panduan spesifik soal pakaian bagi karyawannya. Jeans dan T-shirt sudah pasti dilarang di kantor-kantor bisnis dan perbankan. Atau biasanya, wanita di bagian customer relations harus memakai rok dan sepatu hak tinggi sekian sentimeter.

Yang menarik, terkadang work attire atau aturan berpakaian kerja ini dirasa mengekang dan kaku. Sehingga, banyak kantor menetapkan yang namanya casual Friday, yaitu membolehkan karyawannya memakai baju ‘bebas’ (tetap rapi dan sesuai ketentuan) di hari Jumat.

Menurut pengamat mode dan desainer Sonny Muchlison, dari berbagai dress code yang berbeda ini bisa ditarik benang merahnya. Sebab, sebelum memikirkan soal gaya atau tren fashion yang sedang berlangsung, ada beberapa faktor yang penting diperhatikan dari busana profesional, apa pun bidangnya.

Yang pertama adalah kepraktisan dan fleksibilitas. “Mengapa ada kantor yang melarang pegawainya memakai celana cutbrai, bukan karena gayanya jadul. Tapi, karena model ini tidak praktis untuk dipakai bergerak ke sana kemari,” ujarnya, memberi contoh.

Selanjutnya, Sonny juga menekankan bahwa pakaian profesional sebaiknya tidak mengintimidasi.  Dengan kata lain, enak dipandang from 9 to 5. Sebab, makin tinggi jabatan seseorang, makin banyak orang yang ia jumpai. Itulah sebabnya, kaum profesional umumnya memilih warna-warna netral, seperti hitam, putih, atau abu-abu.
“Bayangkan jika tiba-tiba di kantor ada yang memakai setelan warna kuning atau merah jreng. Pasti menyilaukan mata,” katanya. Ia menambahkan, pemakaian aksesori dan make up yang berlebihan juga membuat ‘silau’ dan sama sekali tidak praktis untuk dipakai ke kantor sehari-hari.

Urusan berbusana juga bukan sekadar soal pilihan warna atau model pakaian,    rok pensil atau rok balon, atau antara kemeja katun berkancing atau blus chiffon seksi, tapi juga soal attitude dari mereka yang memakainya. Sebab, percuma saja memakai sepatu Loubutin kalau jalannya terdengar diseret. “Seorang atasan harus bisa berjalan dengan gaya berwibawa, bukan malas-malasan,” kata Sonny.

Ini juga yang menjadi penyebab mengapa penampilan Marissa Mayer, CEO Yahoo!, di halaman mode majalah Vogue, menimbulkan kontroversi dengan posenya yang tidak biasa, yang mungkin hanya terjadi sekali dalam seumur hidupnya. “Karena orang sudah terbiasa melihat seorang CEO dengan image yang berwibawa dalam suasana kerja. Bukan bersantai di kursi pantai dengan pose provokatif di halaman majalah mode,” ujar Amalia Maulana, ethnographer dan pakar personal branding.

Kaum profesional, terutama mereka yang sudah menjadi atasan dan menduduki jabatan manajerial ke atas, diharapkan untuk berpakaian yang mencerminkan karakter posisi mereka. “Manajer, direktur, atau CEO umumnya diharapkan untuk menjadi seseorang yang dapat dipercaya, dapat mengambil keputusan, tegas, formal, dan sebagainya. Kualitas-kualitas inilah yang harus diterjemahkan ke dalam busana dan perilaku mereka sehari-hari,” kata Amalia.

PRIMARITA S. SMITA




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?