Career
CEO Rumah Tangga

29 Jul 2011

Anda, para wanita karier, pasti pernah ada perasaan iri, ketika mengintip status twitter atau facebook teman yang seorang ibu rumah tangga. Pukul 10 pagi, sedang nonton teve. Pukul 13.00, ada yang statusnya sedang pillow fighting dengan anak balitanya. Sore hari, ngopi-ngopi di kafe, atau hangout dengan grup arisan. Setelah itu, hari ditutup dengan meninabobokan anak di tempat tidur. Ah, indahnya hidup….

Jangan iri dulu. Ada memang ibu rumah tangga yang uangnya sangat banyak dan semua serba ada, seperti di reality show ibu-ibu muda kaya raya di Amerika Serikat, Real Housewife. Ada pula ibu rumah tangga yang mengerjakan segalanya, dari mengepel sampai mengurus anak. Tak sedikit pula, ibu rumah tangga yang mendedikasikan sebagian waktunya untuk aktif di komunitas dan bersosialisasi. Kesamaan mereka hanya satu, sama-sama supersibuk.

Para ibu rumah tangga masa kini tentu berbeda dengan ibu rumah tangga  dua atau tiga generasi sebelumnya. Ketika itu, wanita belum memiliki kesempatan yang setara dengan pria seperti sekarang. Lantas, apakah ketika wanita memilih di rumah, ia mengkhianati semangat emansipasi? Psikolog Ratih Ibrahim mengutarakan, “Prinsip dasar dari emansipasi adalah mendudukkan wanita sebagai manusia dengan lawan gendernya.  Karena konsep patriarkat, wanita jadi subordinat. Seolah-olah, wanita kodratnya adalah di rumah. Ada ketidakadilan pada wanita menyangkut pilihan hidupnya. Begitu seorang wanita menikah, identitasnya ditempelkan ke suami. Begitu punya anak, hidupnya adalah mengurus anak. Urusan pendidikan, pengembangan dan aktualisasi diri lantas dianggap tidak penting.”

Kini, zaman sudah berubah. Akses wanita untuk meraih pendidikan tinggi terbuka lebar. Begitu juga  untuk aktualisasi dan karier, tak ada lagi pembedaan gender. Menjadi ibu rumah tangga adalah pilihan. Lantas, masalahnya, apakah wanita hebat tidak boleh memilih menjadi ibu rumah tangga?

Fenomena banyaknya wanita hebat yang menjadi ibu rumah tangga, tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di dunia. Ada value yang mereka yakini, sebuah tanggung jawab untuk stay di rumah, hidupnya didedikasikan untuk merawat rumah, anak, dan suami. Semua kembali pada pilihan pribadi. Sebab, tidak ada kondisi atau suami mana pun yang bisa memaksakan wanita.

Menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah kemewahan tersendiri. Banyak wanita harus bekerja supaya ada dua sumber penghasilan. Jika memilih di rumah, tentunya hanya ada satu sumber pemasukan keluarga. Konsekuensi lain, ia harus siap kehilangan penghasilan sendiri. Bukan hanya itu, ia juga harus rela melepaskan peluang karier dan aktualisasi diri.

Kompleksitas peran ibu rumah tangga itu tidak berbeda dengan peran CEO. Makin rendah posisi dalam sebuah struktur organisasi, makin mudah dibuat daftar tugasnya. Sebaliknya, makin tinggi posisinya dalam struktur, maka makin abstrak job description-nya. Ukuran kinerjanya jelas, tapi deskripsi tugasnya tidak simpel

Jika ditanya, kenapa memilih jadi ibu rumah tangga, jangan jadikan ‘karier’ ibu rumah tangga sebagai pengorbanan. Karena itu tidak membuat Anda Happy. “Kalau Anda tidak happy, seluruh hidup Anda akan menjadi pusaran negatif. Anda membiarkan hidup Anda jatuh dalam kegetiran. Siapa suruh jadi martir? Kalau Anda beralasan, ada kondisi khusus, karena kena PHK, misalnya, itu kan pilihan Anda. Atau, karena anak ternyata punya kebutuhan khusus yang menuntut orang tua harus di rumah, itu juga Anda yang memilih,” papar Ratih.  

Kadang-kadang, lanjut Ratih, di balik kesuksesan orang-orang  yang ia kenal, ada cerita sedihnya juga. “Dari luar, keluarga mereka terlihat sempurna. Tapi, setelah melihat ke dalam, ada banyak hal yang tidak sempurna. Pada akhirnya, semua impas saja. Semua pilihan hidup ada konsekuensinya. Bukan tidak mungkin, setelah jadi ibu rumah tangga, muncul banyak peluang lain yang tak pernah terbayangkan sebelumnya,” kata Ratih,   yang memutuskan membuka kantor sendiri, setelah tiga tahun menjadi ibu rumah tangga.   
 
“Saya tertarik pada kalimat Rene S.Canoneo, lewat bukunya berjudul Your Job is Not Your Carreer. Tak hanya dalam pekerjaan, Anda menghayati peran ibu rumah tangga itu sebagai apa? Kalau atas pilihan sendiri, yang bersangkutan tentu akan menjalaninya dengan senang-senang saja,” kata Ratih, menambahkan.  

Ketika seseorang yang tadinya sibuk berkarier lantas memutuskan menjadi ibu rumah tangga, ia harus siap dengan masalah-masalah yang akan muncul. “Bayangkan, dari yang sebelumnya dia the woman of the world, lalu masuk ‘kotak’, pada awalnya pasti ada problem,” kata Ratih.

Pertama, mudah merasa jenuh. “Jenis pekerjaannya beda. Di rumah, variasinya sedikit, rutin, dan monoton. Belum lagi, lingkup pergaulan jadi lebih terbatas.” Kedua, berkurangnya rasa percaya diri. Ratih menambahkan, jika sebelumnya seseorang punya posisi, punya penghasilan sendiri, lalu sekarang tidak, wajar saja jika kepercayaan dirinya bisa berkurang. Pada saat masuk ke sebuah lingkungan sosial, ia  tidak lagi menjadi ‘seseorang’, tapi menjadi nyonya A, mama A. Itu juga bisa memengaruhi kepercayaan dirinya.

Jika tidak diatasi, rasa jenuh dan kurangnya rasa percaya diri bisa saja menimbulkan obsesi. “Bisa kepada suami, dengan mencemburui semua wanita di sekeliling suami. Obsesi pada rumah, misalnya seperti karakter Bree Van de Kamp, di serial Desperate Housewives. Bisa juga berefek pada rasa cemas. Misal, ‘Anak-anak sudah besar, mulai pergi, rumah jadi kosong. Terus, saya ngapain?’ Atau obsesi ke anak, jadi marah-marah pada anak. Tergantung tipe orangnya,” jelas Ratih.  

Ratih berpendapat, di balik semua kerepotan itu, sebetulnya kita beruntung tinggal di Indonesia, bisa punya pembantu dan babysitter. Bandingkan dengan di negara yang support system-nya mahal. Terbayang kan kerepotannya. “Makanya, saya menyarankan, jika memang mampu, miliki support system, seperti pembantu dan babysitter, sehingga Anda bisa mengatur mood  Anda tetap bagus.”  (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?