Career
Bagian Personal Branding

3 Dec 2013


Kenapa, ya, urusan baju saja jadi ribet sekali? Bukankah pekerjaan sebagai atasan sudah cukup banyak menyita waktu dan pikiran? Sonny menekankan, urusan pilihan busana kini memang tak bisa lagi dianggap sepele oleh mereka yang sudah mencapai posisi tertentu. ‘Fashion is a statement’ bukan slogan semata di majalah-majalah fashion atau di catwalk, tapi berlaku juga di kehidupan sehari-hari.

“Dengan berpakaian gaya tertentu, Anda memberi tahu orang lain tentang siapa Anda sekarang, yaitu seseorang yang berwibawa, berprestasi, berkedudukan, dan sebagainya,” ujar Sonny Muchlison, pengamat mode dna designer. Mengapa wanita pejabat seperti Hillary Clinton atau Angela Merkel selalu memakai setelan jas, karena itulah yang dianggap paling powerful dan mengundang respek.

Sonny mengamati, tak sedikit perusahaan dan instansi yang menilai calon pegawainya berdasarkan penampilan, terutama untuk posisi atau level yang cukup tinggi. “Dalam beberapa kasus, malah ada yang tidak bisa mendapatkan promosi jabatan tertentu karena penampilannya dianggap tidak sesuai dengan budaya berpakaian yang diharapkan kantornya,” ungkap Sonny, yang beranggapan bahwa pakaian bisa menaikkan dan menurunkan value seseorang di mata rekan-rekan kerjanya.
   
Amalia Maulana, ethnographer dan pakar personal branding sependapat dengan Sonny mengenai hal ini. Ekspektasi orang lain akan makin bertambah seiring dengan makin tinggi posisi seseorang di kantor. Mereka yang jabatannya tinggi akan makin dilihat dan dikritik. Mulai dari bawahan, atasan, klien, keluarga, kelompok arisan, dan kalau kita adalah CEO beken seperti Marissa, juga oleh media dan publik. “Orang-orang ini disebut juga stakeholders, yaitu pihak-pihak yang memiliki peran penting dalam kehidupan profesional dan kehidupan pribadi Anda,” ujar Amalia.
   
Ia menjelaskan lebih lanjut dengan menggunakan Marissa sebagai contoh. Berbeda dengan CEO lain yang memilih untuk berada di belakang layar, Marissa adalah ‘wajah’ dari Yahoo!. Di sini, sesungguhnya ia memegang dua peran, yaitu CEO di tempatnya bekerja dan CEO untuk dirinya sendiri. Dalam menjalankan perannya ini, ia harus mengidentifikasi stakeholders mana saja yang paling penting untuk didengarkan feedback-nya.

“Siapa yang mengkritik? Apakah orang ini punya peran penting dalam kehidupan karier atau kepentingan pribadinya? Kalau memang penting, ke depannya berarti ia harus mempertimbangkan lagi pilihan-pilihannya. Kalau tidak, bisa diabaikan,” tutur Amalia, yang juga pengajar strategic brand management di BINUS Business School.
    Mengapa pilihan busana menjadi begitu penting di sini, karena busana adalah bagian atau elemen dari ‘brand’ seseorang. Ketika ia menjabat posisi tinggi dan menjadi wajah perusahaannya, terjadilah yang namanya co-branding antara perusahaan dan pribadinya sendiri. “Di sini ia harus pandai-pandai membawa dan menyesuaikan diri di hadapan kelompok-kelompok stakeholders yang berbeda itu tadi dalam berbagai kesempatan,” ujarnya.   
   
Dalam pergaulan, kita berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain secara langsung dan tidak langsung. Dalam interaksi langsung, ada hal-hal yang bisa dipegang dan dikendalikan, seperti pilihan busana dan kata-kata, ada juga yang tidak, seperti perilaku, gesture, atau body language. “Karena busana termasuk pilihan pribadi yang bisa kita kendalikan, ketika kita salah pilih, kita bisa dikritik atau disalahkan orang lain,” tutur Amalia.
   
Sebagai bagian dari personal brand, busana memiliki beberapa komponen ‘packaging’ berupa gaya atau model, warna, bahan, desain, dan sebagainya. Menurut Amalia, personal branding bukan soal pencitraan yang biasanya dikonotasikan negatif, yaitu pura-pura menjadi seseorang yang bukan diri kita sendiri. Memikirkan personal brand bukan berarti kita harus berpakaian mengikuti berbagai rumus dan aturan hingga melupakan selera pribadi.

“Kunci dari personal branding yang tepat adalah pandai-pandai memadukan antara budaya bangsa, budaya perusahaan, dan selera pribadi. Jadi, jangan juga memaksakan memakai sesuatu yang tidak sesuai dengan kepribadian kita,” katanya.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?