Sex & Relationship
This Is The End

30 Mar 2015

Lazimnya, dalam suatu pernikahan, pasangan suami-istri ingin memperoleh kebutuhan-kebutuhan, mulai dari kebutuhan finansial, sosial, hingga psikologis. “Nah, dalam pernikahan tidak sehat, kebutuhan itu tidak bisa terpenuhi. Bahkan, jika terjadi dalam jangka panjang, pernikahan tersebut bisa merusak secara psikologis,” papar Adriana S. Ginanjar, Psikolog. 

Jika seseorang berada dalam kondisi pernikahan semacam itu, seseorang perlu menyadari bahwa pernikahan itu dapat berdampak buruk terhadap kondisi psikologis anak-anaknya. "Namun pertama-tama, cobalah untuk memperbaikinya terlebih dahulu.  Caranya bisa dengan mengajak pasangan bicara terbuka, membaca buku-buku self-help, mencari bantuan keluarga atau sahabat, lalu berkonsultasi kepada orang yang ahli. Jika kondisinya membaik, pertahankanlah pernikahan itu. Tapi jika tidak, ia harus mempertimbangkan keuntungan serta kerugian dari bertahan atau bercerai,” saran Adriana.

Menurut Adriana, perceraian itu berat secara psikologis, sosial, dan ekonomi. Jadi, jika ternyata lebih baik cerai, sebaiknya Anda pertimbangkan hal-hal berikut ini dulu.

  1. Kemapanan ekonomi. Mampukah kita menanggung biaya hidup anak tanpa suami?
  2. Lingkungan sosial Anda. Persiapkan diri Anda atas konsekuensi yang mungkin muncul, seperti stigma sosial. Siapkan juga faktor psikologis diri Anda, safety net, dan support system yang bisa membantu Anda menjaga anak jika nanti Anda harus bekerja.
  3. Mental dan lingkungan sosial anak. Sampaikan dengan hati-hati mengenai perceraian Anda dengan ayahnya. Jelaskan juga hal ini kepada guru-guru anak Anda, sehingga mereka bisa melindungi anak dari tekanan sosial yang mungkin muncul. 

Pastikan persiapan Anda benar-benar matang, minimal 85%, menurut Adriana. Persiapan ini bukan hanya penting dalam memantapkan hati untuk bercerai, namun juga untuk proses pemulihan Anda setelah bercerai. “Biasanya, mereka yang persiapannya sudah cukup baik akan lebih mudah untuk move on. Ibaratnya, mereka sudah curi start untuk move on,” jelas Adriana.
   
Setelah bercerai, berilah Anda waktu untuk move on. Jangan jadikan memulai hubungan baru dengan pria lain sebagai jalan pintas untuk move on. “Pasalnya, jika sedang dalam proses perceraian atau baru bercerai Anda sudah memulai hubungan baru, akan ada masalah yang dibawa ke hubungan baru. Apalagi, jika Anda cenderung tertarik pada tipe-tipe pria yang mirip. Takutnya, ketertarikan Anda pada pria baru tersebut hanyalah hormonal dan emosional, bukan ketertarikan logis,” ungkapnya.  

Jadi sebaiknya, ada masa melajang dulu, minimal 6 bulan. Di masa itu, fokuslah pada anak Anda dan lakukanlah refleksi ke belakang, kenapa ini terjadi dan apa yang harus diperbaiki dari diri sendiri. “Anak Anda juga perlu istirahat dari drama hubungan orang tuanya. Demikian juga dengan Anda, Anda perlu membangun ikatan ibu dan anak yang lebih baik, serta membangun relasi yang baik dengan mantan suami,” papar Adriana. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?