Sex & Relationship
Perubahan Itu butuh Proses

8 Oct 2013


Menurut psikolog Listyo Yuwanto, perceraian terjadi karena ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dalam sebuah pernikahan. Namun, ketika perceraian dipilih sebagai cara terakhir, maka masalah yang ada itu seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang sudah berlalu. ”Perlu disadari, kalau kita memikirkan untuk bercerai, kita harus memikirkan ke depannya bahwa kita juga akan berinteraksi dengan mantan suami,” kata Listyo.

Terutama untuk pasangan yang telah memiliki anak, Listyo menekankan untuk membicarakan mengenai relasi baru yang mungkin terjadi. ”Usai perceraian, hubungan haruslah tetap harmonis. Tapi, bukan harmonis dalam bentuk suami-istri, melainkan harmonis dalam sebuah hubungan yang baru. Hubungan yang akan dimulai ke depan antara Anda dan mantan suami yang sama-sama punya peran sebagai orang tua,” katanya.  

Diakui Listyo, perceraian menimbulkan kondisi fisik maupun psikologis yang tidak nyaman. Masalah-masalah yang terjadi menyebabkan munculnya energi negatif, terutama ketika menyangkut mantan pasangan. ”Nah, di sinilah butuh kebesaran hati untuk melupakan hal yang negatif, dan kembali mengingat sisi positif dari mantan suami kita. Tujuannya, tentu saja bukan untuk menjalin hubungan kembali, tapi untuk membuat relasi baru yang lebih harmonis,” jelasnya.

Kondisi emosi yang positif akan memberikan dampak yang baik pula untuk perkembangan anak. ”Perceraian tentu akan memberikan dampak negatif bagi anak jika orang tua tidak benar-benar siap mengomunikasikannya dengan baik. Dan akan bertambah buruk jika orang tua yang telah berpisah itu tetap berkonflik,” katanya. Karena itu, Listyo menyarankan agar pasangan yang bercerai mengembangkan etos damai.

Ketika masing-masing bisa move on dan memiliki pasangan baru, berarti ada hal-hal baru yang perlu dikomunikasikan kepada masing-masing pihak. Bahkan untuk hal kecil, seperti antar-jemput anak hingga uang untuk biaya hidup anak. ”Tiap orang harus paham dengan fungsi barunya kini. Misalnya, ayah memberikan uang saku untuk anaknya,” katanya.

Dengan adanya aturan yang sudah jelas, menurut Listyo, akan memudahkan keduanya saat menjalin hubungan baru dengan orang lain. ”Semua hal yang telah menjadi kesepakatan dengan mantan suami, perlu dikomunikasikan. Jangan sampai suami baru tidak diberi tahu. Bisa saja, lho, suami yang baru justru curiga ketika tahu istrinya menerima uang dari mantan suaminya. Padahal, uang itu untuk keperluan anaknya,” kata Listyo, menjelaskan.

Memang, perubahan dalam hubungan itu butuh proses agar ke depannya tetap berjalan baik. ”Di antara suami-istri yang sudah bercerai, harus sepakat bahwa relasi yang baru ini bentuknya simetris. Partner yang kedudukannya setara. Suami bukan lagi sebagai kepala keluarga. Hubungan Anda berdua sifatnya kini setara, sehingga masalah yang ada bisa diputuskan bersama,” katanya.

Ketika seorang wanita memulai kembali menjalin hubungan dengan pasangan baru, maka akan dibutuhkan transisi. Tak hanya pada diri wanita tersebut, tapi juga dengan anak-anaknya. ”Jika ada penolakan dari anak, harus dicari tahu dulu alasannya. Mungkin anak belum siap berpisah dari ayahnya. Jangan dipaksakan. Cari waktu yang tepat untuk Anda dan pasangan baru berbicara. Jelaskan bahwa kini fungsi ayah di peran-peran tertentu saja. Pastikan anak siap menerima orang baru, jangan sampai ia terganggu oleh kehadirannya,” katanya. ”Penting pula untuk tidak membanding-bandingkan antara mantan suami dengan pasangan baru Anda kini,” tambahnya. (Faunda Liswijayanti)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?