Health & Diet
Perawatan Langsung ke Rumah dan Pengembangan Pengobatan Tradisional untuk Masa Depan Indonesia yang Lebih Sehat

22 Mar 2017


Foto: 123RF


Menurut Pasal 28 H Ayat 1, Undang-Undang Dasar 1945, negara menjamin  tiap warganya untuk bisa mendapatkan akses kesehatan yang mencukupi. Lantas, apa yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi janji itu? Atas undangan Kementerian Kesehatan RI, Redaktur Madya femina, Citra Narada Putri, mengunjungi Makassar untuk melihat langsung program kegiatan Home Care dan Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat yang menjadi pelopor pengobatan tradisional di Indonesia. Berikut ini laporannya. 
 
Pelayanan Kesehatan Daerah
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), 42% masyarakat yang menderita gizi buruk berasal dari kalangan warga miskin, terutama mereka yang tinggal di daerah yang jauh dari pusat kota. Kondisi ini juga didukung oleh sulitnya warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar yang memadai dan berkualitas.

Namun, jangankan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, terkadang mereka terkendala dengan biaya berobat yang mahal, ketersediaan obat yang terbatas, minimnya fasilitas kesehatan, sedikitnya tenaga medis hingga penyebaran pusat kesehatan yang terjangkau yang tidak merata hingga ke pelosok. Tak ayal, warga menengah bawah dan miskin pun harus rela mengorbankan hak mereka untuk mendapatkan kesehatan yang layak.

Imaji yang melekat pada pelayanan kesehatan yang didapatkan masyarakat di daerah sering kali bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk memenuhi hak tiap warga untuk hidup sehat dan mendapatkan akses kesehatan yang layak. Pemerintah pun berbenah diri untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah.

Seperti halnya yang tercatat dalam Nawa Cita --sembilan agenda prioritas yang diusung Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai visi misi dalam lima tahun masa jabatannya– bahwa  semangat kelimanya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, yang termasuk di dalamnya adalah hak mendapatkan hidup sehat.

Dalam pelaksanaannya, bersama Kemenkes pemerintah melaksanakan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan (Renstra) 2015-2019 untuk melakukan penguatan pelayanan kesehatan. Maka, Kemenkes pun memprioritaskan pembangunan kesehatan nasional di 19 provinsi hingga tahun 2018, beberapa di antaranya adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Sulawesi Selatan.

Kesembilan belas provinsi tersebut masih sering mengalami kendala masalah kesehatan, seperti angka kematian ibu dan balita yang tinggi, prevalensi gizi kurang pada masyarakat, hingga sulitnya masyarakat mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang layak.

Kemenkes pun mengimbau pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan mereka guna mendukung pembangunan kesehatan di daerah agar lebih maksimal. Salah satunya adalah pembangunan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan peningkatan sarana, prasarana, dan alat puskesmas yang ada, sehingga mampu menjadi puskesmas rawat inap. Menurut data Kemenkes yang dirilis pada awal Januari lalu, dari  9.754 puskesmas yang ada di seluruh Indonesia, tercatat sejumlah 3.396 sudah masuk dalam kategori puskesmas rawat inap dan 6.358 puskesmas non rawat inap.

Menurut drg. Oscar Permadi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes, untuk memaksimalkan pembangunan kesehatan nasional di sejumlah provinsi yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), memang diperlukan pembaruan-pembaruan tertentu. Tujuannya, agar bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
 
Jemput Bola
Sebagai upaya pembangunan kesehatan tentu diperlukan berbagai inovasi. Salah satu inovasi yang sedang dikembangkan pemerintah adalah sistem pendekatan keluarga. Sistem ini menuntut peran aktif para tenaga medis atau instansi kesehatan untuk menjemput bola, mendatangi masyarakat secara langsung dari rumah ke rumah. Hal ini dinilai perlu dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang dekat dengan warga, sekaligus menyosialisasikan upaya promotif dan preventif agar angka kasus sakit pada masyarakat bisa ditekan.
Sistem inilah yang kemudian diterjemahkan Dinas Kesehatan Provinsi Kota Makassar dengan program Home Care. Konsepnya, perawatan terhadap warga sakit yang tak harus dilakukan di puskesmas, tapi bisa dikunjungi langsung ke rumah warga yang bersangkutan. Tiap puskesmas di Makassar memiliki tim medis yang siap melayani 24 jam sehari.

“Mekanismenya, warga yang sakit bisa menghubungi Home Care kapan pun (24 jam), yang akan direspons dengan kunjungan pelayanan ke rumah mereka dengan menggunakan mobil yang oleh warga disebut Dottoro’ta.

Namun, jika kasus sakitnya di luar keahlian tim medis, maka akan dibantu rujukan langsung ke rumah sakit yang sesuai,” ujar dr. Naisyah Tun Azikin, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar. Layanan Home Care Kota Makassar ini  meliputi pelayanan medis untuk pasien gawat darurat, pasien yang membutuhkan perawatan lanjutan guna memaksimalkan penyembuhan, dan untuk pasien yang tidak memiliki kemampuan untuk datang ke puskesmas.

Sejak pertama kali diterapkan tahun 2015, program Home Care sudah tersedia di 46 puskesmas di 14 kecamatan yang ada.  Puskesmas Kassi Kassi yang terletak di Kecamatan Rappocini, Makassar, menjadi ikon puskesmas percontohan oleh Kemenkes bagi daerah-daerah lain untuk menerapkan peningkatan pelayanan kesehatan yang sama, atau bahkan lebih baik.

Ditambahkan oleh dr. Naisyah, program ini cukup berhasil. Pelayanan Home Care yang menggunakan Dottoro’ta, pada tahun 2016 saja ada 4.564 panggilan,    sekitar 86 persen warga berhasil dirawat di rumah, sedangkan sisanya dirujuk ke rumah sakit.

Walau tak selengkap mobil ambulans, mobil Dottoro’ta dilengkapi dengan sejumlah obat, alat medis, tabung oksigen, hingga alat monitor kondisi pasien yang dapat dihubungkan langsung ke dokter ahli. Alat kontrol tersebut juga dilengkapi dengan GPS. Dengan alat kontrol itu pula, kondisi kesehatan pasien yang akan dirujuk ke rumah sakit bisa diketahui oleh dokter untuk siap melakukan kelanjutan penanganan.

Fasilitas smart card yang dimiliki warga Makassar –data kesehatan warga tercatat dalam kartu pintar tersebut–  makin memudahkan tim medis untuk melakukan pemeriksaan secara komprehensif terhadap pasiennya. Kartu pintar tersebut juga terintegrasi dengan teknologi telemedicine, yaitu proses pengobatan yang meliputi diagnosis dan terapi dari jarak jauh menggunakan jaringan telekomunikasi sehingga dapat menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain.

“Misal, si pasien A ada rekam jejak penyakit diabetes yang tercatat di smart card. Ketika pasien A menggunakan layanan Home Care, tenaga medis yang datang bisa membaca melalui telemedicine kondisi kesehatannya. Demikian juga jika pasien A itu dirujuk ke rumah sakit, rekam kesehatan tersebut bisa diketahui oleh dokter di rumah sakit yang dituju. Ini makin mudah bagi tenaga medis atau pasiennya itu sendiri untuk menerima perawatan,” jelas dr. Naisyah.

Kendati sudah ada pengembangan yang signifikan pada pelayanan kesehatan di Makassar, masalah ketersediaan dokter memang masih menjadi kendala. Namun, menurut Ketua Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. dr. Rachmat Latief, SpPD., KPTI, M.Kes, hal tersebut pada akhirnya diatasi dengan cara mengandalkan dokter berstatus tenaga kontrak, untuk mempercepat layanan kesehatan pada masyarakat.

“Diharapkan ke depannya akan  makin banyak ketersediaan dokter dan spesialis untuk puskesmas, agar angka rujukan pasien dari puskesmas ke rumah sakit bisa ditekan hingga di bawah 5 persen,” harapnya.
 
Mengembangkan Pengobatan Tradisional
Peningkatan mutu pelayanan yang layak dan terjangkau untuk masyarakat berbagai lapisan ekonomi, tak hanya memanfaatkan teknologi semata saja, seperti Home Care dan telemedicine. Banyaknya masyarakat yang masih percaya pada metode pengobatan tradisional juga jadi perhatian dan berusaha dimanfaatkan pemerintah. Data Kementerian Kesehatan yang menunjukkan bahwa 57,7 persen masyarakat Indonesia menilai pengobatan tradisional lebih berkhasiat.    

Salah satunya adalah Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) di Kota Makassar yang diresmikan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. Dr. dr Nila Djuwita Moeloek SpM(K), pada tahun 2015, yang menjadi salah satu percontohan agar pemerintah daerah lain juga mengembangkan pusat pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat.

“Di sini perawatan tradisional dikemas dalam kaidah kesehatan. Kami mengupayakan health maintenance mulai dari perawatan tradisional, ramuan, hingga modifikasi makanan,” papar Dr.dr. Anna Khuzaimah, M.Kes, Kepala BKTM Makassar.

Ada berbagai macam pelayanan kesehatan tradisional yang ditawarkan oleh BKTM Makassar ini. Mulai dari konsultasi gizi, akupunktur, akupresur, spa kesehatan, senam ibu hamil, pijat bayi dan balita, hingga apotek dengan ramuan tradisional atau jamu yang sudah berdasarkan kajian empiris dan khasiat dari laboratorium (evidence based). Para tenaga kesehatannya juga tidak dihadirkan sembarangan, karena mereka terdiri atas dokter, perawat, ahli nutrisi hingga ahli akupunktur, dan akupresur atau pijat yang sudah bersertifikat.

“Jadi masyarakat tidak perlu takut lagi bahwa pengobatan tradisional tidak terbukti menyehatkan, karena pelayanan yang kami tawarkan sudah diuji terlebih dahulu,” tambah dr. Anna, yang menambahkan bahwa tarif pelayanan kesehatan tradisional di BKTM Makassar mulai dari Rp5.000 hingga Rp100.000.

Pemberian obat herbal di BKTM Makassar harus melalui resep dokter, agar pemanfaatan obat tradisional tersebut tepat guna. “Walau orang mengatakan obat herbal itu alami dan aman, tetap saja akan jadi berbahaya jika penggunaannya tidak tepat, baik itu dari segi waktu maupun dosisnya,” ujar dr. Anna, yang mengaku BKTM Makassar bekerja sama dengan Litbang Kesehatan dalam hal penelitian terkait dengan ramuan untuk penyakit-penyakit tertentu. Sehingga, penggunaan obat tradisional oleh masyarakat berdasarkan pengawasan dari tenaga medis di BKTM Makassar.

Tiap hari, pusat pelayanan kesehatan tradisional terlengkap di Indonesia ini bisa melayani hingga 30 orang. Kebanyakan adalah mereka yang mengidap penyakit kronis, seperti kolesterol, obesitas, hipertensi, rematik, hingga mereka yang menderita kanker, tapi memutuskan untuk berobat tanpa bahan kimia.

Sejauh ini kaum wanita adalah pengunjung BKTM Makassar terbanyak. Menurut dr. Anna, ini berkaitan dengan makin meningkatnya kesadaran wanita terhadap pengobatan tradisional yang aman. “Terlebih lagi kelompok ibu-ibu, yang familier dengan rempah-rempahan yang biasa dikonsumsi oleh nenek moyang mereka. Dengan begitu, ketika ada BKTM, mereka paham dengan khasiatnya, dan dipraktikkan dalam keluarga mereka,” jelas dr. Anna.

Tidak hanya memberikan layanan pengobatan tradisional, BKTM Makassar yang pertama kali beroperasi tahun 2013 ini juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang obat-obat tradisional dan bagaimana meracik serta mengolahnya. “Jika ada masyarakat yang ingin menanam tanaman obat-obatan, kami akan ajari caranya. Kami juga berencana membuat buku resep makanan, kue, atau jus yang dibuat dari bahan-bahan tradisional yang sehat, sehingga masyarakat bisa menerapkannya di rumah dengan keluarga mereka,” tambahnya.

Di Indonesia  sebenarnya fasilitas kesehatan yang berfokus pada perawatan dan pengobatan tradisional tak hanya ada di Makassar, tapi juga di Palembang yang disebut sebagai Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat. Kemenkes juga berharap akan  makin banyak balai kesehatan tradisional di daerah-daerah lain.

“Karena memang, Indonesia ini sangat kaya dengan tanaman obat-obatannya. Apalagi nenek moyang kita dulu berobatnya juga dengan metode tradisional. Sayang kalau potensi ini tidak dimanfaatkan dengan baik, karena kita sedang berupaya menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan health tourism dunia,” papar drg. Oscar.

Seiring dengan tujuan Kemenkes untuk mengembangkan health tourism, BKTM Makassar mengaku sudah memiliki target tujuan tersebut untuk 5 sampai 10 tahun ke depan. “Itulah mengapa kami tak hanya menyajikan ramuan untuk obat, tapi juga mengembangkan kuliner dengan bahan-bahan herbal khas Indonesia. Harapannya, kita ingin tempat ini bukan hanya sebagai balai kesehatan tradisional, tapi juga menjadi holistic care center,” harap dr. Anna. Ia optimistis pengobatan tradisional yang dibungkus dengan ilmu dan teknologi akan lebih diterima masyarakat luas.(f)
 
 


Topic

#kesehatan, #indonesiasehat

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?