Food Trend
Brunch, Sarapan Orang Sibuk

2 Apr 2016


Gaya baru ‘sarapan’ di jam nanggung yang laku di ibu kota. Sebuah aktivitas yang definitif memperlihatkan makan sebagai waktu bersosialisasi!

Menu brunch mendadak muncul di restoran trendi. Acara peluncuran produk, perkenalan chef baru, arisan, berkumpul dengan kerabat, dan segala urusan yang umum terjadi di Jakarta, diadakan pada waktu brunch, atau setidaknya menggunakan judul dengan embel-embel ‘brunch’. Ada apa dengan brunch?

Di suatu Minggu pagi, femina berada di kediaman Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Johanna Brismar Skoog. Bukan untuk keperluan sosialisasi sebuah kebijakan baru Swedia, melainkan untuk sebuah jamuan Smorgasbord Brunch. Duta Besar Johanna menerbangkan chef Lotta Lassesson dari Café Smorgås, Bali, untuk meracik sampler sarapan autentik, dibuka O.P Anderson Aquavit, spirit (minuman beralkohol) terkenal Swedia. Kopi hitam menghangatkan suasana, diperkenalkan Eliott Davernas, pemilik kedai kopi hip, Crematology Coffee Roasters, Jakarta, yang juga berkebangsaan Swedia, memperlihatkan kebiasaan minum kopi sebagai penutup makan ala Swedia, yang dinamakan ‘fika’. Kopi hitam itu menghangatkan acara ngumpul-ngumpul.

Sementara itu, di jam yang sama, keluarga kecil masa kini sedang asyik menikmati makan pagi di Weekend Market, ajang milik Benedict, sebuah gourmet cafe di bawah payung Union Group. Duet Fernando Sindu dan Ivan Wibowo di belakang jasa private dining G48, direkrut grup tersebut untuk membawa brunch lifestyle ke restoran itu. G48 memang dikenal sebagai penggiat awal pop brunch di awal 2013.  
  
Brunch adalah sebuah gaya hidup yang laku di kota-kota besar. Kemacetan yang identik terjadi meninggalkan sarapan tanpa tergesa-gesa sebagai aktivitas mewah. Makan siang hadir menyempil dalam bentuk lunch box, kalah seksi dengan pekerjaan yang menumpuk. Maka pada weekend, manusia urban berpesta ‘merayakan’ sarapan dengan cara yang terbentuk dengan sendirinya: dilakukan setelah bangun pagi yang telat! Inilah ‘brunch’ yang diartikan majalah Smithsonian keluaran 2011 sebagai: That playful blend of ‘breakfast’ and ‘lunch’.

Kata ‘brunch’ diinovasi penulis Inggris Raya, Guy Beringer, yang tertera di artikelnya, “’Brunch’ A Plea”, tahun 1896 di harian Hunter’s Weekly, Inggris Raya.   “It is talk-compelling. It puts you in a good temper, it makes you satisfied with yourself and your fellow beings, it sweeps away the worries and cobwebs of the week,” tulisnya.

Juga mengutip artikel "At Brunch, The More Bizarre The Better" karya William Grimes dalam harian The New York Times di tahun 1998: “Eliminating the need to get up early on Sunday, brunch would make life brighter for Saturday-night carousers.” Sudah jelas, dimaknainya brunch sebagai lebih dari sekadar ritual mengisi perut, tak bergeser hingga kini.

Diintisari dari artikel yang sama, brunch adalah alternatif dari kebiasaan ‘England’s early Sunday dinner’. Di hari Minggu, ketimbang ngumpul di waktu makan malam yang lebih awal yang diisi hidangan daging merah dan pie gurih yang berat itu, brunch menawarkan makan gaya baru: disajikan sekitar siang, diawali kopi atau teh, marmalade, dan sejumlah menu sarapan. Brunch menjadi waktu makan favorit new yorker yang dikelakarkan Grimes sebagai sarapan yang aneh karena sah-sah saja dibuka dengan cocktail. Maklum, ini waktu bersosialisasi! (f)
 

Trifitria Nuragustina


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?