Food Trend
4 WNA Ini Populerkan Kuliner Indonesia

24 May 2016


Foto: dok. femina

Karya mereka yang mencuat adalah buah kejelian dalam berkreativitas pada ruang-ruang yang jarang terjamah sebelumnya. Sebagai pengarang lima buku masak Indonesia, khususnya Bali, dalam bahasa Inggris sejak 1993, Heinz Von Holzen tak hanya sukses menjadikan bukunya sebatas suvenir turis asing. Kualitas top juga membuat buku-buku tersebut patut jadi koleksi bagi penyuka masak lokal modern yang haus referensi masakan Bali. Salah satunya adalah Bali Unveiled: The Secret of Balinese Cuisine, buku hardcover keluaran tahun 2004 yang sudah dicetak ulang tiga kali. Menggandeng penerbit asing, buku Heinz juga dikenal di luar Indonesia berkat aksesnya yang lebih global.
           
Ia membuka misteri Bali lewat  buku yang membahas resep yang tidak diperhalus   bumbunya agar autentik, dan disertai omong-omong soal budaya makan. Foto-foto makanan dan potret keseharian masyarakat Bali ditangkap lewat bidikan yang indah. Semua foto di buku adalah bidikan Heinz. Untungnya tak asal jepret, karena ia telah mendalami fotografi sejak pertama kali datang dan terkesan pada panorama tanah Bali.
           
Langkah giat Janet de Neefe sebagai pionir pendemo masak Bali di Casa Luna Cooking School, Ubud, Bali, juga membuat banyak turis mengikutsertakan sesi kelas masaknya ke dalam agenda pelesir mereka. Gaya belajar wanita berlatar pendidikan mengajar dan seni ini sangat rumahan, seperti mengulek sambal dan mencincang kecombrang. Suasana kelasnya akrab dan mengalir tanpa beban.
           
Program Wet Market Tour rancangannya menjadi favorit. Di Pasar Ubud, ia memperlihatkan potret pasar basah Indonesia sesungguhnya yang seru: lantai becek dan aneka daging  potong segar tanpa pendingin yang bagi sebagian peserta ekspatriat dianggap sangat bizarre!
           
Sejak dimulai di tahun 1992, Janet boleh berbangga karena kelasnya kerap overbooked di musim-musim kunjungan turis. Turis pun happy karena pilihan mereka tak sebatas berjemur di pantai indah Bali atau ikutan nonton seremoni rakyat setempat. Di Bali, Janet tidak lagi sendiri karena popularitasnya mengilhami beberapa tempat kursus masak sejenis lainnya.
           
Satu nama yang lebih populer di kancah kuliner luar negeri ketimbang di dalam negeri adalah Chris Salans. Jika Anda beruntung mendapatkan Miele Guide, sebuah panduan makan perdana keluaran Miele (perangkat masak Jerman), Anda akan tersenyum melihat bahwa salah satu dari 20 restoran terbaik di Asia Tenggara terletak di Ubud, Bali! Dan, resto ini adalah Mozaic, milik Chris Salans.
           
Ini bukan kali pertama ia memperoleh pengakuan sejenis. Di ajang kuliner bergengsi, World Gourmet Summit Singapore, chef yang mengenyam pendidikan masak Le Cordon Bleu, Paris, ini beruntung pernah ditunjuk mewakili bangsa kita. Disebut beruntung, karena Indonesia jarang terlibat di acara tahunan yang bagaikan tur seabrek celebrity chef kelas dunia ke Asia ini. Restonya juga satu-satunya di Asia Tenggara yang diganjar pujian oleh asosiasi kuliner Prancis, Traditions et Qualité, dalam kategori Les Grandes Tables du Monde (istilah populer lain untuk ini adalah Great Tables of The World). Kategori yang sama juga pernah menempel pada resto-resto eksklusif milik chef sekaliber Alain Ducasse dan Guy Savoy.
           
Lalu, apakah berarti Salans lebih cakap membakar satai daripada kita? Chris mengakui bahwa hidangannya bukanlah masakan autentik Indonesia. Tidak pula ia menyatakan bahwa gaya masaknya adalah fusion Indonesia-Barat. Lho? Salans rupanya menciptakan hidangan yang terhitung baru. Dalam piring kreasinya, ia memperkenalkan cita rasa bahan-bahan khas Indonesia. “Tak ada definisi untuk signature dish saya. Cara kerja saya adalah mengeksplorasi bahan-bahan.

Salah satu contoh adalah saat membayangkan sajian gulai. Saya memasukkan 2 jenis bumbunya ke dalam saus, Dua bumbu lainnya ke dalam daging, dan mengolah sisa bahan lainnya ke dalam bentuk foam. Saat penyajian, yang paham gulai akan melihat visual yang bukan gulai. Namun, ketika dikulum, rasanya secara kilat mengingatkan pada gulai. Ini yang pasti bukan fusion karena fusion diandaikan seperti menaruh saus gulai di atas daging kobe. Saya tidak melakukannya mentah-mentah seperti itu.  Saya sering dikritik karena pandangan saya mengenai fusion. Tapi, ya, sudahlah. Fusion is confusion, anyway,” tutur Chris, berapi-api.
           
Kreasi Salans berupa Wagyu Beef Tenderloin Carpaccio Marinated in Sumatranese Rendang Oil menjelaskan segalanya. Sebagai basic, Salans meracik bumbu rendang yang cukup nendang. Setelah dimasak lama, ia lalu mengeruk bagian minyak yang legit, dan tidak memakai bumbu kasar rendang sama sekali. Ia lalu merendam irisan tipis-tipis daging mentah (istilahnya carpaccio) jenis wagyu di dalam minyak bening tadi, dan menyaringnya setelahnya. Visual sajiannya jelas tidak menunjukkan masakan Indonesia dari belahan pulau mana pun. Namun, saat didekati, aroma rendangnya menyeruak. Saat dilahap, daging-daging sapi tipis ini ‘bercerita’  mengenai cita rasa rendang, namun dalam versi yang ringan dan segar. Mengagumkan!
           
Salans juga khas mengantar bahan makanan mentah ke meja tamu. Bahan yang akan dimasaknya nanti ini diperlihatkan dalam bentuk mentah agar tamu mengenali cita rasa dan bentuk aslinya. Banyak tamu yang tersenyum geli saat mencoba mengenali cita rasa asli nangka muda maupun belimbing wuluh dalam racikan kreatif Salans.
           
Ada satu Chris lagi, dengan misi yang berbeda. Dia adalah Chris Janssens, konseptor di balik Harum Manis, resto Indonesia premium di Jakarta. Di antara segelintir konseptor resto Indonesia berkelas sejenis, cukup unik melihat nama asing ini sebagai salah satu pelakunya. Dengan pengalaman di hotel-hotel berbintang yang mengedepankan hospitality, Chris menelurkan resto pengantar menu Jawa autentik, namun dibarengi standar pelayanan gaya Barat yang ketat.
           
Mengunjungi resto dengan masterplan Chris seperti menjenguk sebuah restoran Indonesia dengan wajah baru. Walau interiornya memegang filosofi Jawa, penampilannya modern.  Furniture-nya elegan dan didesain dengan motif batik kawung. Pikat fine dining ini terbukti ampuh dan menarik 80% tamunya untuk datang kembali. (f)
 

Trifitria Nuragustina


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?