Fiction
Wangi Daun Semanggi

5 Jul 2016



HUJAN TURUN tak terlalu deras. Tetapi cukup membuat tiap orang tenggelam dalam lamunan. Tak bertumpu. Pikiranku berkelana, mencari rumah untuk pulang. Kenangan berkelindan seiring tampias air membuat kubangan yang melimpah: di halaman rumah, jalanan, serta petak-petak kecil pekarangan tetangga. Aku termenung di tepi jendela, mengamati  tiap bagian hujan yang mengubah segalanya menjadi kelabu. Pun tanpa aku sadari, rintik hujan yang gaduh menggiring ingatanku pada sebuah rumah kecil di Surabaya, pada seorang wanita yang begitu aku rindukan.
   Sedang apa wanita? Pasti waktu membuatnya jauh lebih tua? Pekikku. Aku lupa: kapan terakhir aku bertemu Ibu? Barangkali sekitar dua tahun lalu, ketika hari Lebaran. Itu pun tidak terlalu lama. Aku harus memotong pertemuan penuh rindu itu karena panggilan kerja dari kantor. Tiba-tiba hatiku ngilu. Rindu yang terpendam lama dapat membuat orang lena dan tersiksa, desisku murung. Dan, seperti tahu bahwa aku sedang membutuhkan teman berbicara, istriku datang. Perutnya yang besar --mengandung dua bulan-- menyentuh punggungku.            
   Tanyanya menelisik, “Apa yang sedang kau pikirkan, Sayang?”
   Balasku singkat, “Tiba-tiba aku rindu Ibu di kampung.”
   “Ah, aku juga, Sayang,” sahut istriku menambahi.
   Aku mengerling, menatap wajahnya. Ia melepaskan sebersit senyum yang begitu manis, yang membuatku selalu jatuh cinta kepadanya. Aku usap perutnya yang membesar selama dua bulan terakhir; mengecupnya dengan lembut, membisikkan beberapa patah kata sebagai doa-doa kepada si jabang bayi. Lembut pula tangan istriku mengerai rambutku. Dan kembali tersenyum.
   “Aku rindu menyantap pecel daun semanggi buatan Ibu,” ucap istriku menatap ke luar. “Terasa sangat nikmat walau hanya sederhana, Sayang.”
   Memang, apabila mengingat Ibu, kami secara spontan juga akan mengingat masakan-masakan buatannya. Ibu merupakan sosok wanita yang terampil mengolah bahan-bahan sederhana menjadi makanan. Hal-hal biasa menjadi luar biasa. Ia dapat menciptakan sebuah kasih sayang lewat tangan lincahnya mengolah makanan. Meja makan akan terasa hangat ketika Ibu sudah menghidangkan makanan-makanan buatannya. Penuh kebersamaan. Aku dan kakak pun pasti berebut saat mengambil lauk yang jumlahnya terbatas di meja. Sedangkan Ayah, ia hanya tersenyum-senyum,  arkian mengingatkan kami untuk saling berbagi.
   Sepasang tangan Ibu memang ajaib. Ia seperti pesulap yang dapat membuat  tiap orang terpesona. Tersihir oleh makanan buatannya. Pun ketika kesepuluh jari Ibu membuat pecel daun semanggi, sebuah masakan yang menjadi andalan keluarga agar dapat kembali utuh dan hangat. Semua kesibukan yang bersifat pribadi  menjadi lumer waktu makanan itu terhidang. Begitu juga dengan Ayah yang sehari-hari sibuk di perpustakaan untuk membaca serta menulis, selalu mendapat ilham baru untuk tulisannya setelah memakan pecel daun semanggi buatan Ibu.
   “Aku selalu mendapatkan ide-ide baru setelah menyantap masakanmu. Khususnya pecel daun semanggi itu,” tandas Ayah memuji. “Betapa menenangkan.”
   Ibu tersipu mendengar rayuan Ayah. Sedangkan aku dan kakak sibuk merebutkan pecel buatan Ibu. Begitulah. Walau hanya makanan sederhana, hidangan tersebut dapat menjadi perekat keluarga. Bahan-bahan pecel itu pun dapat dengan mudah dicari. Ibu tidak perlu membelinya. Ia cukup memetik di kebun belakang. Sayur-mayur, ketela rambat, kacang tanah, dan daun semanggi. Semua sudah ada. Bahkan, kerupuk puli khas Madiun teman makan yang wajib ada ketika menyantap pecel semanggi, Ibu membuatnya sendiri pula.
 
MAKANAN-MAKANAN itu seluruhnya seperti terbuat dari kasih sayang. Sehingga,  makin banyak kami memakannya, bertambah ingin kami untuk terus menyantapnya. Pecel daun semanggi Ibu memang sudah menjadi candu. Pecel tersebut tidak boleh absen di dalam keluarga. Ketika kesedihan dan kebimbangan datang pun, pecel semanggi buatan Ibu bisa menjadi obat segala murung. Aku pun seharusnya berterima kasih kepada Ibu dan masakan buatannya. Karena masakan Ibu yang sederhana itulah yang dahulu dapat menyelamatkanku dari kebimbangan ketika melamar Lastari: istriku kini.
   Akan tetapi, semua kehangatan itu kini seperti lenyap, setelah aku merantau pergi. Aku menjadi jarang memiliki waktu bersama Ibu seperti dahulu. Kesibukan telah merentangkan batas antara aku dan Ibu. Sore itu, tiba-tiba aku ingin menyantap pecel daun semanggi. Sama pula dengan istriku. Ia ikut terkena candu pecel daun semanggi buatan Ibu. Bahkan, ia terlihat gelisah saat meraih telapak tanganku. Ada kekecewaan menggenang di air mukanya.
   Desisnya pelan dan pasrah, “Maafkan aku yang tidak bisa membuat masakan seenak ibumu, Sayang.”
   Aku menatapnya beberapa jenak. Terlihat selembar kaca yang rapuh menempel di matanya. “Tiap tangan memilki keajaibannya masing-masing. Kau tidak perlu kecewa untuk hal itu, Sayang.”
   Aku berpikir: tiap rumah memang memiliki makanan andalan yang berbeda-beda. Makanan yang dapat membuat seseorang rindu untuk pulang. Hatiku tertambat padanya karena ia juga pandai memasak. Aku begitu menyukai olahan plecing kangkung buatannya. Akan tetapi, tidak  tiap tangan dapat menciptakan makanan dengan takar kenikmatan yang sama dengan yang lain. Selalu ada keajaiban berbeda yang tidak terduga pada   tiap tangan pengolah masing-masing makanan.
   “Aku ingin menyantap pecel daun semanggi itu, Sayang,” cetus istriku.
   Aku tergeragap mendengar itu. Aku berpikir: Apakah istriku sedang mengidam? Aku mengamati wajahnya. Ia terlihat lesu bersandar di bahuku. Aku kukuh diam. Beku. Aku sama sekali tidak mencoba menjawabnya.
   “Pasti betapa bahagia bayi kita seandainya dapat merasakan pecel daun semanggi buatan Ibu,” tambah istriku. “Apalagi daun semanggi memiliki banyak manfaat. Aku ingat, ketika batuk, Ibu membuatkan pecel daun semanggi. Dan setelah memakannya semua penyakitku sembuh.”
   Selain enak, daun semanggi juga memiliki banyak khasiat. Aku ingat saat Ayah yang dahulu sering terserang seriawan --karena terlalu lelah--  Ibu menyarankan agar banyak memakan daun semanggi. Dan benar. Ayah sembuh. Begitu juga dengan seorang tetangga yang terkena penyakit kuning, Ibu memetikkan beberapa ikat daun semanggi di belakang rumah. Beberapa minggu kemudian orang tersebut mulai membaik. Banyak keajaiban yang dihadirkan Ibu lewat daun semangginya.
 
 
HARI BERLALU. Hujan tetap turun membawa rindu. Akan tetapi, entah mengapa hari ini hujan juga menggugurkan kerisauan. Hatiku sering tidak tenang apabila melihat istriku. Mungkin perasaan gelisah ini dikarenakan istriku sedang mengidam. Ada sebuah tuntutan tak tertulis untuk melunasi keinginan tersebut. Namun, aku tak tahu, apakah aku dapat memenuhi keinginannya?
Aku mencoba memutar otak, mencari solusi untuk keinginan tersebut. Aku sempat memiliki ide untuk membawa Ibu ke sini. Namun, hal itu cepat-cepat aku batalkan. Aku tidak tega melihat Ibu merana duduk di kereta berjam-jam menempuh perjalanan jauh Surabaya-Jakarta. Apalagi kini ia sudah mulai tua, dan keadaannya mulai melemah.
   “Aku besok akan coba mencari pecel daun semanggi di daerah sini, Sayang!”
   Aku mencoba menghibur istriku, meraih telapak tangannya yang sedikit membengkak karena kehamilannya, mengelus rambutnya dan mengecup dengan penuh kasih sayang.
 
HARI LIBUR. Minggu yang cukup cerah untuk keluar rumah. Dan genap sudah tiga jam aku mengeliling ibu kota mencari pedagang pecel. Sampai lelah bergayut di tubuh. Tiap tempat yang aku datangi, tidak juga aku menemukan penjual pecel daun semanggi. Pun, akhirnya dengan berat hati aku membeli pecel biasa.
   Dengan cemas, sesampainya di rumah aku mendapati istriku yang sudah menunggu di serambi. Ia terlihat begitu bahagia menyambutku. Bahkan dengan tergesa-gesa, ia menggandengku ke dapur. Aku merasa tidak enak hati mengatakan kepadanya, kalau aku tidak berhasil mendapatkan pecel keinginannya. Aku mencoba mengatakan hal itu, hingga akhirnya semua niatku batal melihat sesuatu di dapur. Aku tersentak, tak menyangka mendapati sebuah punggung yang begitu tak asing. Aku melihat tangan-tangan yang lincah sedang mengolah makanan.
   “Ibu datang pagi tadi, Sayang,” kata istriku berbisik. “Tetapi kelihatannya ia tidak begitu sehat.”
   Pelan-pelan aku mendekat. Aroma tubuh Ibu yang khas tercium. Aku meraih tangannya seraya menciumnya: terasa dingin. Hanya senyumnya yang penuh ketenangan masih hangat merekah. Aku menggenggam erat tangan Ibu, melepas rindu dan gundahku. Aku memeluknya seolah tidak ingin melepaskannya.
   “Kenapa Ibu tidak memberi kabar terlebih dahulu,” desisku manja.
   “Tidak apa-apa. Ibu sengaja datang untuk menengok cucu kecilku,” jawabnya.
   Sekali lagi aku mengamati wajahnya. Ia terlihat sangat berbeda. Guratan-guratan waktu  makin tertinggal di sana. Wajahnya yang biasa penuh tenaga kini terlihat redup. Pucat. Ibu terlihat tidak sehat.
   “Ibu pasti kelelahan di jalan,” tambahku. “Sebaiknya Ibu istirahat. Ibu nanti sakit.”
   “Aku ingin menyelesaikan pecel daun semanggi ini dahulu. Untuk cucuku.” Sebait senyum meloncat ke arahku dan istriku. Ibu kembali melanjutkan pekerjaannya. “Beberapa hari ini Ibu sering merasa risau, kalau cucu Ibu ingin memakan pecel buatan neneknya.”
   Ibu terlihat tidak mau diganggu saat memasak. Ia begitu khusyuk membuat hidangan di dapur. Tenang tangannya bergerak menciptakan makanan bagi kami. Dan aku bersama istri merasa tidak sabar menyantapnya. Dan ketika menunggu masakan buatan Ibu, aku berpikir, apakah Ibu menaruh sihir di  tiap makanan, sehingga  tiap lidah selalu rindu untuk terus menyantap? Ahh, aku tidak tahu. Hari ini aku hanya ingin menyantapnya, menelan  tiap kasih sayang yang diramu Ibu dalam pecel daun semanggi buatannya.
 
SETELAH MENGHABISKAN makan buatan Ibu, aku dan istriku merasa jauh lebih baik. Tiada risau lagi yang mengganggu. Semua gundah lenyap bersama rasa kenyang di perut. Makan masakan buatan Ibu memang dapat mengobati kerinduan kami. Akan tetapi masih ada satu hal yang belum aku mengerti, tentang kedatangan Ibu yang tiba-tiba. Hal ini tidak seperti biasanya. Karena umumnya Ibu selalu memberi kabar ketika akan datang kemari.
Kekhawatiran hatiku makin menjadi ketika melihat wajah Ibu yang lelah dan pucat. Aku merasa iba mengamati air muka Ibu saat tertidur. Ia pasti lelah. Ibu yang cantik mendadak seolah beku menjadi mayat: muram. Pun, karena merasa risau, aku mencoba menghubungi Ayah. Namun, sebelum aku selesai menekan tombol telepon; mendadak teleponku sudah berdering. Ayah meneleponku terlebih dahulu.
   “Arno,” katanya terbata-bata. “Ibu. Ibu. Arno....”
   “Kenapa Ibu?” Aku merasa risau.
   “Dia...,” suaranya terputus-putus, seperti menyimpan isak yang panjang. Aku tertegun. Ayah mungkin sedang khawatir dengan kepergian Ibu yang mendadak ke rumahku. Aku mengerling ke kamar.
   “Mengapa Ibu. Dia sekarang di....”
   Ayah memotong pembicaraanku. “Ibu meninggal. Ibu baru saja meninggal. Tadi pagi ia masuk rumah sakit karena mendadak pingsan. Dokter mengatakan, Ibu terkena serangan jantung.”
   “Maksudnya?” Aku tergeragap. Dan Ayah menangis di ujung telepon.
   Aku meninggalkan telepon tersebut; menyusul Ibu di kamar. Dan Ibu seperti lenyap ditelan bumi. Ibu sudah tidak ada. Bahkan, ketika aku mendekat ke tempat yang Ibu gunakan untuk tidur, terasa sangat dingin. Seakan tak pernah ada seorang pun yang menidurinya. Aku termenung dengan kepala terasa hampir pecah, dan angin tiba-tiba berembus mengantarkan wangi daun semanggi. Wangi tubuh Ibu. 
 
***
Risda Nur Widia


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?