Fiction
Terpilin Cinta di Negeri Merah [2]

15 Oct 2016

Bagian 2
Kisah sebelumnya:

Mira, wanita muda asal Jakarta yang bekerja di LSM di Madagaskar, menyelamatkan dua bayi kembar penduduk pedalaman yang sesuai adat harus dibunuh. Mira berniat mengasuh sendiri bayi-bayi kembar itu, meski tentu saja tidak akan mudah baginya yang tinggal di negeri asing.
 
Hari telah petang ketika setengah hati ia memaksa dirinya menelepon Varrel di Jakarta. Terbata menjelaskan yang baru saja ia lakukan. Sesuai firasatnya, Varrel marah besar! Ia tak menyangka Mira akan melakukan sesuatu tanpa melibatkannya sama sekali, tanpa bertanya atau meminta izinnya. Varrel tersinggung.

“Aku memahami tentang impianmu di tanah asing itu. Bekerja sesuai minat dan keinginanmu. Tapi, kau membuat hubungan kita  makin sulit. Apa kau berencana membawa mereka pulang?”
Kemarahan yang wajar, namun Mira tak lagi memedulikan itu. Varrel adalah cintanya, tapi hidupnya selalu ingin ia setir sendiri. Sulit menemukan cara untuk berjalan secara bersisian.

Varrel memiliki pekerjaan yang mapan di Jakarta. Laki-laki perlente itu memiliki ambisi tinggi akan hidup yang tertata rapi tanpa konflik berarti. Mira tak ingin tinggal di kota besar yang  makin hari  makin terasa ego individual memenuhi watak orang-orangnya. Ia ingin mengikuti jiwanya bertualang ke banyak tempat. Namun, ia tahu bahwa ia dan Varrel saling mencintai dengan cinta yang serius.

“Sikap spontanmu itu selalu menyusahkan kita. Tak bisakah kau berpikir dua kali sebelum bertindak? Setidaknya pertimbangkan posisiku bagimu.”
Varrel berbicara hampir satu jam, Mira menjawab sedikit, berusaha memelankan intonasi suara, membiarkan Varrel meluapkan kekecewaan dan emosinya. Namun, ia tahu ia tak bisa dipaksa untuk menyerah.

“Jika kau di sini, mungkin kau akan mengerti tentang apa yang aku lakukan.”
“Kau yang pergi Mira, kau yang meninggalkanku. Aku tak apa asal kau kembali pulang seperti dirimu yang utuh, bukan dengan jiwamu yang berubah menjadi asing dan isi kepalamu yang  makin sesak dengan beban dunia. Kau tak harus menanggung beban hidup orang lain. ”

Varrel benar. Selama ini lelaki itu telah memberi kebebasan yang besar bagi Mira untuk memilih kehidupannya. Merelakan pertemuan mereka yang hanya dua kali dalam setahun, itu pun jika Varrel berkesempatan untuk mengunjunginya di sini atau ia bisa mengambil jatah cutinya untuk pulang. Jakarta-Antananarivo bukanlah dua kota yang berdekatan.  Mereka terpisah benua dua tahun sudah. Kali ini apakah Varrel akan menyerah? Mungkin sejak awal ia memang tak perlu repot-repot bertahan.

“Kau bisa menolong mereka tanpa mengadopsi. Di sana ada yayasan sosial? Panti asuhan? Tak perlu mengikatkan dirimu  makin dalam pada tanah itu.”
“Aku menginginkan ini Varrel, aku menginginkan mereka. Aku tak akan melepaskan mereka.”
“Kau bisa miliki anakmu sendiri nanti. Begitu kau pulang, aku akan melamarmu kepada Mama dan kita akan punya anak kita sendiri sebanyak yang kau mau. Masa pengabdianmu telah berakhir, ‘kan?”
“Ini berbeda. Mereka sangat menyedihkan.”
“Kau tak akan pulang tahun ini?”

Mira kesulitan menjawab. Varrel tahu, Mira tak akan melepas sesuatu yang sudah begitu ia inginkan. Ia selalu begitu. Tapi kali ini, Varrel tak bisa memaksa dirinya untuk mengikuti kemauan Mira. Dua tahun sudah cukup.
“Kalau begitu, kau akan melepaskan kehidupan kita?”
Tidak! Jangan lakukan itu. Aku membutuhkanmu seperti aku membutuhkan kedua kakiku untuk berdiri. Mira meneriakkan itu dalam hatinya, tak bisa ia keluarkan, dinding egonya terlalu tebal hingga mulutnya begitu rapat tertutup. Kata-kata itu hanya bergema di hatinya, jelas tak bisa didengar Varrel hingga laki-laki itu memutuskan telepon.
“Terserah kau saja!”
  Mira tahu, setelah pertengkaran ini masing-masing dari mereka akan enggan menghubungi terlebih dahulu. Kebisuan di antara mereka akan menyiksanya.
 
**
Madagaskar adalah tanah asing yang sebenarnya terasa dekat bagi Mira. Telinganya telah mendengar nama pulau ini berpuluh tahun lalu disebutkan melalui cerita-cerita kakek Kusuma. Kala itu ia adalah kanak-kanak berusia sembilan tahun. Ia adalah anak perempuan yang tak mau lagi disebut gadis kecil. Ia mulai bosan dengan dongeng-dongeng indah yang diceritakan mama, yang telah didengarnya sejak bayi.

Sebelumnya   --ketika ia masih gadis kecil-- Mama adalah pendongeng terhebat. Dalam gaun tidur berendanya, Mira akan menarik tangan Mama masuk ke kamar. la akan naik ke tempat tidur dan bersemangat mendengarkan cerita-cerita yang bisa menemani malamnya dan mengusir semua mimpi buruk.
Cerita Mama adalah cerita yang indah. Tangan Mama akan mengusap rambut ikal hitam Mira sambil bercerita tentang putri dengan mahkota dan gaun-gaun indah. Ada juga kisah para peri dan kurcaci baik hati yang sering menghibur dan menolong manusia. Di  tiap akhir cerita Mama akan menyelipkan pesan ‘Jadilah anak manis yang baik, serupa para puteri itu!’.

Namun, ketika Mira beranjak tumbuh, usianya bertambah, ia ingin cerita yang lebih seru. Cerita Mama tak lagi bisa memuaskan jiwanya yang ingin petualangan.

Saat itu musim hujan baru saja tiba mengunjungi Jakarta dengan rinai-rinainya yang turun menyiram tanah dan jalanan aspal. Kakek Kusuma muncul dengan uban memenuhi kepalanya dan kerut yang kentara. Wajahnya kusam berwarna gelap karena terbakar matahari, pakaiannya lusuh, tubuhnya tampak lelah dan matanya diselubungi lapisan samar putih katarak. Mama berteriak dan menangis, lalu tertawa.
“Kau pulang Papa! Akhirnya kau pulang. Ini benar kamu?

Mira baru kali itu melihat Mama melakukan aksi teatrikal: tertawa dan menangis bersamaan sambil memeluk laki-laki tua yang ia panggil ‘Papa’. Wajah laki-laki itu tak tampak asing. Mira mengenalinya dari foto-foto yang dulu sering kali dibuka Mama bersama Nenek.

Kakek Kusuma meninggalkan Mama ketika Mama masihlah gadis muda, belum menikah dan belum memiliki Mira. Kakek menjadi peneliti biodiversity flora dan fauna pada sebuah lembaga internasional yang sering bepergian ke pelosok rimba beberapa negara. Medan terakhir yang menjadi tugasnya adalah belantara Madagaskar yang memiliki banyak spesies flora dan fauna langka yang khas.

Keahlian Kakek sebagai profesor primata sangat dibutuhkan di sana untuk ikut meneliti pola hidup dan reproduksi lemurs, binatang primata yang adalah hewan endemik milik negara kepulauan itu. Hewan langka itu nyaris punah. Lembaga Biodiversity Internasional itu memiliki pusat penelitian dan konservasi di Madagaskar.

Dari sana, Kakek rutin mengirim surat yang di dalam amplop itu sering ia sisipkan beberapa lembar foto. Sayangnya, surat terakhir yang Mama terima adalah surat resmi dari lembaga yang menyebutkan Kakek hilang dan kemungkinan besar tewas di belantara Madagaskar. Surat itu diantar langsung oleh kepala perwakilan konservasi di Jakarta.

Meski mereka tak menemukan jenazah Kakek, Mama dan Nenek seakan langsung kehilangan harapan. Baru beberapa tahun yang lalu Nenek meninggal dengan kepercayaan bahwa suami tercintanya tewas secara tragis di antara jepitan batu-batu runcing Tsingy de Bemaraha. Tempat itu adalah tempat yang muncul di foto terakhir yang Kakek kirim. Mama masih menyimpan foto itu. Kakek berdiri dengan gagah di jembatan kayu ringkih yang terpasang antara dua puncak gunung batu. Di pinggangnya tampak tali besar panjang yang diikat tersambung ke jembatan sebagai pengaman. Mungkin tali itu putus dan tubuh Kakek meluncur mengerikan ke bawah jurang? Batu-batu curam itu dipercaya Nenek telah merenggut nyawa Kakek. Ia terus menyesali kenapa Kakek harus pergi ke negara yang namanya saja terasa  begitu asing.

Kakek muncul bersama senja yang dinaungi langit kelabu dengan gerimis yang lalu menderas. Serupa mayat hidup, ia memberikan keajaiban yang tak lagi Mama nanti. Wajar batin Mama bergemuruh. Tadinya ia hampir saja menyuruh lelaki tua itu untuk pergi karena menyangkanya sebagai gelandangan yang tersasar.
“Ke mana saja kau?”
“Ceritanya panjang, sangat panjang,” ujar Kakek, berulang kali.
Lalu hari-hari ke depan, Mama akan sangat sibuk di dapur. Berusaha memasakkan masakan yang enak untuk mengembalikan bobot tubuh Kakek yang menyusut sambil mencubit-cubit pipinya sendiri. Khawatir jika semua tak nyata.
“Seperti apa kondisi di sana? Kau ditahan warga primitif?”
“Mereka orang-orang baik. Mereka tak mencederaiku.”

Mama mendengar cerita Kakek, tapi tak terlalu peduli terhadap detailnya. Bahwa Kakek tersesat di pedalaman hutan, terjebak beberapa lama di sana hingga ditemukan suku primitif. Mereka menyembuhkan lukanya dan menerima kehadirannya sebagai bagian dari mereka hingga bertahun-tahun. Mereka tidak menunjukkannya jalan pulang. Itulah yang Mama bagi cerita kepada tiap tetangga, teman-teman, serta kerabat yang datang membesuk Kakek.

 Mira menemukan dirinya tertarik pada cerita Kakek secara detail. Baginya, petualangan-petualangan Kakek termasuk tak biasa. Sejak Kakek Kusuma pulang, Mira hanya ingin mendengarkannya bercerita. Cerita Kakek berbeda dan tak ada di buku cerita mana pun. Tidak di buku-buku yang dibeli Mama, juga tidak di buku yang bisa ia dapatkan di rak pustaka sekolah. 

Kakek Kusuma tak membutuhkan buku, ia punya banyak cerita di kepalanya yang telah ia kumpulkan selama bertahun-tahun dari petualangan sejak ia muda.  Kakek adalah pendongeng yang berbakat. Kedua tangan Kakek,  pun seluruh anggota tubuhnya, mampu memeragakan sesuai kalimat yang keluar dari mulutnya, membuat cerita terasa nyata di hadapan Mira kecil. Bukannya mengantuk dan ingin tertidur, Mira akan membuka matanya lebar dan duduk di atas kasurnya, menjadi sangat penasaran terhadap cerita yang ternyata akan sambung-menyambung  tiap malam.  Kakek diberkahi dengan memori yang kuat, meski usianya sudah sangat sepuh.

“Dalam sebuah perjalanan, aku beserta beberapa teman peneliti berada di pedalaman hutan Madagaskar yang terkenal angker karena belum terjamah manusia. Kami mengejar beberapa spesies lemur langka yang dikabarkan mendiami hutan tersebut. Kami meninggalkan mobil kami di kemah, lalu berjalan kaki menyusuri jalan tanah agar tak mengusik primata-primata itu dengan deru berisik kendaraan.

Awalnya kami masih berada di jalan berbatu di pinggir hutan, namun secara tak sadar kami masuk menerobos ke dalam rimba dan kehilangan arah. Sudah terlalu gelap sampai kami menyadari kami telah terjebak dan tersesat, tak tahu jalan keluar. Sekitar kami pohon-pohon tinggi menutupi langit dari pandangan mata.

Makin kami berjalan, makin terasa ditelan belantara. Suasana di sekitar kami begitu mencekam dan mistis. Kami merasa diawasi oleh penghuni hutan yang tak kasatmata. Dan kami ketakutan. Hingga beberapa jam berlalu kami mencoba menghubungi markas di perkampungan melalui radio, tapi pesan kami tak sampai. Sepertinya alat komunikasi tak berfungsi.

Lalu bayangan-bayangan hitam melesat cepat di atas kami, berayun dari satu pohon ke pohon yang lain. Membuat dahan-dahan bergoyang. Mike temanku melepaskan tembakan angin yang memang kami bawa sebagai pelindung diri ke arah kegelapan karena merasa ketakutan. Teman-teman yang lain mengikutinya. Suara rentetan senjata itu menimbulkan kebisingan, mengoyak kedamaian hutan. Namun, ketika tembakan berhenti suara lengkingan keras malah terdengar tak putus. Kami  makin ketakutan dan gemetar.”

Ada raut tegang di wajah Kakek, membuat Mira menjauhkan selimut dan menegakkan duduknya.
’Itu suara roh!’ entah siapa yang awalnya mengatakan itu. ‘suara roh! Kami mengenal suara lemurs yang diibaratkan sebagai suara roh, tapi jeritan ini berbeda, lebih melengking dan menyerupai tangis yang menyedihkan.”

Kakek Kusuma berhenti, membuat suasana mencekam di hutan itu terasa hadir di kamar Mira. Namun, Mira dengan matanya yang bulat menatap Kakek tak berkedip, di luar reaksi yang dibayangkan Kakek.
“Kau tak takut pada roh?” Kakek bertanya, gadis itu menggeleng.
“Kenapa?”
“Pada semua cerita Mama, yang jahat akan kalah semua, akan berakhir baik-baik saja. Para penyihir, raja jahat, atau komplotan bandit semuanya bisa dikalahkan oleh kebaikan hati dan keberanian. Orang baik akan hidup berbahagia selamanya. Serupa itu.”
“Ah, kau anggap ceritaku ini dongeng? Ini berbeda, Nak. Yang baik dan jahat dalam petualanganku tak jelas siapa. Tak ada putri baik hati atau pangeran pemberani di sini. Dan tak jelas apa yang kami hadapi saat itu.”
“Buktinya kau kembali dengan selamat.”
“Setelah banyak kejadian, banyak kehilangan dan luka.”
“Lanjutkan ceritamu, Kakek. Apa yang menakuti kalian di hutan malam itu?”
Kakek menarik napas cukup panjang sebelum melanjutkan.
“Itu adalah hari yang mengerikan untuk diingat. Suara-suara roh itu, juga kelebatan cepat sosok tak terlihat mampu melumpuhkan logika dan keberanian kami. Jeritan itu memancing jerit takut kami. Kami panik dan mencoba bersembunyi entah dari siapa atau apa. Kami menyebar dan saling terpisah tanpa kami sadari.

Aku mencoba keluar dari hutan, tapi malah  makin masuk ke dalam kegelapan. Aku merasakan tendangan di bagian perutku, juga pukulan di punggung sebelum terjatuh berdebum ke tanah. Sebelum aku tak sadarkan diri, aku melihat sepasang mata sangat merah yang bersinar. Kau tahu, saat itu hutan gelap, tapi mata merah itu masuk saja ke iris mataku, dan aku tahu aku melihatnya. Makhluk gaib itu, Pygmy.”
“Apa itu pygmy?”
“Makhluk kerdil dalam mitologi Yunani. Makhluk misterius yang dipercaya memiliki kekuatan gaib menyakiti orang-orang yang tak disukainya, juga mengobati siapa yang mereka kehendaki.”
“Dan mereka menyakitimu?”
“Sepertinya tidak. Membuat takut dan tersesat, iya.” Ada nada menggantung di udara, seakan Kakek akan menambahkan kalimat penjelasan, tapi Kakek lalu terdiam. Cerita malam itu terpotong di situ. Kakek tak mau melanjutkan karena Mira sudah harus tidur. Ia harus mematuhi aturan yang dibuat mama untuk cucunya. Tapi ia berjanji akan menceritakan kelanjutannya esok malam. Yang memang ia tepati.
“Sampai di mana ceritaku semalam?”
“Kau melihat pygmy, Kek.”
“Oiya, benar.”
“Kakek pingsan. Lalu apa yang terjadi?”
“Hal pertama yang aku lihat ketika membuka mata adalah seorang laki-laki berkulit kelam sedang menatapku tajam. Tubuhnya ganjil, tak serupa manusia kebanyakan, lebih pendek dengan otot tangan keras. Ia memiliki rambut panjang mengembang sebahu. Wajahnya dengan coretan berwarna putih melintang serupa kumis kucing, juga banyak bulu-bulu yang diikat serupa hiasan menancap di kepalanya. Wajahnya menyeringai menakutkan, dan aku merasa harus waspada pada tombaknya yang tampak tajam dan runcing. Begitu melihat jumlah jarinya yang hanya tiga, aku tahu bahwa legenda tentang Vazimba benar ada.”
“Vazimba? Siapa mereka? Mereka berbeda dengan pygmy?”
“Entahlah, Pygmy makhluk mitologi, tapi Vazimba makhluk nyata. Mereka adalah suku yang dipercayai sebagai penghuni pertama pulau itu. Dulu Madagaskar bersatu dengan daratan Afrika yang luas. Namun, karena bencana dahsyat berupa gempa bumi,  kepingannya terlempar menjadi pulau sendiri yang harus menghadapi Samudra Hindia. Namun, Vazimba, orang-orang kerdil itu, tetap bertahan dalam bencana hebat itu, tentu karena kesaktian yang mereka miliki. Mereka tetap hidup hingga para pendatang mulai berdatangan.
Awalnya sedikit, lalu jumlah pendatang bertambah banyak, memaksa mereka menyingkir ke wilayah yang   makin dalam dari hutan Madagaskar. Mendirikan kerajaan yang berpindah-pindah.”
“Mereka punya kerajaan?”
“Kerajaan dengan raja, ratu, dan para prajuritnya. Namun, hanya kerajaan kecil dengan kehidupan primitif. Mereka bahkan memiliki putri-putri yang cantik berkulit cokelat. Namun, untuk beberapa waktu mereka menolak mengantarkanku kembali ke kemah atau ke desa. Aku tak punya pilihan selain menetap dan berbaur menjadi bagian dari kelompok mereka.”
“Kenapa mereka membawamu ke kerajaan mereka dan temanmu tidak?”
“Aku tak tahu. Teman-temanku, mereka memang berhasil kembali ke markas konservasi tanpaku.” Lagi, nada yang menggantung membuat Mira merasa kakek menyembunyikan banyak hal.
“Mereka tak suka dengan perang dan keributan. Mereka adalah suku yang mengasingkan diri. Menurut mereka, kami membuat kediaman mereka terusik ketika datang ke hutan tersebut. Kami tak seharusnya ke sana, itu adalah kawasan terlarang. Ketika itu aku tak penasaran untuk bertanya banyak hal tentang kehidupan mereka.”
Semuanya adalah mungkin. Kakek Kusuma bahkan tak sadar kalau ia telah mengucapkan kata mungkin lebih dari hitungan jari. Kisah itu bercampur antara kejadian yang ia ingat dan karangannya sendiri. Ia tak menyebutkan beberapa hal yang ingin ia lupakan. Namun, Mira memiliki mata tajam yang memintanya untuk tak menyembunyikan apa pun. Mata yang menuntut kejujuran bukan hanya cerita seru yang berakhir bahagia.
“Mereka tak mungkin menahanmu selama itu. Kau tentu menemukan cara untuk pergi.”
Kakek Kusuma kalah dengan tuntutan itu, hingga ia terlepas menceritakan kisahnya tanpa tabir yang ia sembunyikan lagi. Dan ternyata itu mengangkat seluruh beban jiwanya.
“Kau benar, aku bisa saja menemukan cara untuk kembali ke sini. Namun, aku merasakan kedekatan yang aneh dengan mereka. Rasa yang membuat aku rela meninggalkan penelitianku dan berbaur bersama mereka. Mereka memiliki roh yang murni. Tak ada ambisi, tak ada keserakahan.”
Mira berusaha mencerna ucapan Kakek.
“Kau sengaja tak kembali?”
“Tolong jangan katakan pada mamamu. Aku akan menyampaikannya sendiri ketika aku siap dengan semua respons yang akan ditampakkan mamamu. Aku telah mengecewakan kalian.”
Mira berjanji untuk menyimpan kenyataan itu. Memiliki rahasia Kakek membuatnya merasa ikut terlibat petualangan Kakek. Meski ia masih aneh dengan kelakuan Kakek. Kenapa memilih meninggalkan kehidupan nyamannya demi tinggal bersama suku primitif yang hidup apa adanya di belantara negeri asing?

Malam merayap, hingga suara TV di ruang tengah hilang berganti senyap. Mama mematikan TV itu setelah sinetron kesukaannya berakhir dengan tulisan kecil ‘bersambung’ di layar. Biasanya Mama akan menuju dapur, melakukan beberapa hal di sana, sebelum naik ke kamarnya di samping kamar Mira.
 “Kau tidurlah sekarang agar besok tak terlambat bangun.”

 Kakek mengecup kening Mira, mendoakan kebaikan untuknya, mematikan lampu dan melangkah pergi membiarkan pintu kamar terbuka sedikit agar cahaya dari luar masuk. Mira mendengar suara langkah Kakek menjauh dan bayangannya bergerak menuruni tangga. Sebelum ia jatuh tertidur ia mendengar samar suara laki-laki tua itu berat memanggil nama Mama, mengajaknya mengobrol.

 Sepertinya mereka berdebat panjang malam itu. Karena keesokan paginya Mira mendapati mata sembap, wajah masam, dan ekspresi datar Mama terhadap Kakek yang sulit dipahami Mira ketika itu. Keduanya langsung berjarak dan tampak saling menghindar. Namun, Mira tetap berlaku sama terhadap Kakek. Ia tak merasa punya beban dengan kehidupan masa lalu Kakek. Yang penting Kakek ada di rumah dan terus memenuhi keinginannya untuk bercerita.
Lain kali Kakek bercerita tentang anak-anak berkulit cokelat gelap yang kata Kakek memiliki senyum seindah senyum Mira. Mereka adalah anak-anak perkampungan sekitar tenda penelitian Kakek, juga anak-anak di sekitar Tsingy de Bemaraha yang Kakek temui. Cerita tentang ini lebih nyata dan terasa dekat, namun tak terlalu Mira suka. Anak-anak itu mampu menghadirkan rasa iri di hatinya. Mira bisa membaca kerinduan yang mendadak muncul di hati Kakek. Seakan isi kepala Kakek penuh dengan pikiran untuk kembali ke tanah itu, demi senyum indah yang ia ceritakan terasa magis bagi siapa yang melihat.

“Ah, aku merindukan mereka,  anak-anak itu,” Kakek merentangkan kedua tangannya seolah ingin sekali mengubah keduanya menjadi sepasang sayap yang kepakannya akan kuat membawa tubuh ringkihnya naik ke udara dan menyeberangi Samudra Hindia, mengantarnya kembali ke Pulau Merah di bagian selatan benua hitam itu yang dipenuhi dengan hamparan savanna dan tanah-tanahnya yang berwarna merah. (Bersambung)
 
 Baca juga:
Terpilin Cinta di Negeri Merah [3]
***

Haya Nufus
Pemenang 3 Sayembara Mengarang Cerber 2016


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?