Fiction
Takdir Janistri [3]

10 Jan 2017

Bagian 3 (Tamat)
Kisah sebelumnya:
Janistri selalu merasa iri dan cemburu kepada saudara kembarnya, Janistra, yang cantik, menarik, dan memiliki pacar yang hendak melamarnya. Hal yang terakhir ini yang belakangan kian memantik iri hati Janistri. Satu hal kelebihan Janistri adalah dia pintar dan memiliki karier yang bagus. Janistri tega memutus hubungan dengan ibu dan adiknya ketika tahu adiknya nekat menikah.
 
“Maaf, Mbak, kalau boleh saya tahu, kenapa Mbak Janistri tak mau menemui keluarga Mbak?”
Siang ini sengaja kubawa Iwan makan siang bersamaku. Kinerjanya bagus dan kurasa sudah waktunya diapresiasi. Memang bukan ganjaran yang seawet barang, tapi setidaknya makan siang ini akan membuatnya mengerti, jika ia bekerja keras dan memiliki kemauan untuk belajar mengikuti ritme kerja di kantor ini dan ritme kerjaku, maka ia akan mendapatkan penghargaan.
Tentu saja, makan siang ini juga akan membuatnya tampak lebih terhormat di antara kawan-kawannya sesama junior. Aku hanya pernah makan siang bersama para eksekutif kantor dan klien, bukan dengan junior macam Iwan. Pun lebih sering aku menikmati makan siangku sendiri. Jadi Iwan pantas berbangga.
Aku mendesah pelan. Bukan terusik oleh pertanyaan anak kemarin sore. Wajar Iwan bertanya begitu. Malah jadi tak wajar kalau ia sama sekali tak menanyakan alasanku. Lagi pula kan dia yang selalu kutugasi menghadapi Ibu dan Janistra saban kali mereka datang meratap-ratap minta bertemu denganku. Jadi, Iwan berhak tahu, walau tak perlu detail.
“Kamu masih muda, Iwan. Kamu masih harus banyak belajar. Di dunia ini, ada banyak hal yang harus kamu ketahui, tapi ada juga beberapa hal yang sebaiknya tidak perlu kamu tahu,” ujarku, sambil mengelap bibir.
Masakan Prancis ini enak sekali. Aku tak tahu ini terbuat dari apa saja dan bahkan aku sama sekali tak ingat nama menu ini. Jika keadaan masih sama, sore atau malam nanti aku pasti akan kemari lagi dan membungkuskan untuk Ibu dan kembaranku di rumah. Tapi, keadaan sudah tak sama.
Nnggg, maaf, Mbak, maaf. Saya tidak bermaksud lancang. Kalau Mbak Janistri tidak berkenan, lupakan saja pertanyaan saya. Maafkan saya, Mbak.”
Iwan seketika kikuk dan blingsatan. Ia pasti cemas.
“Bukan, bukan begitu, Iwan. Ini bukan tentang sindiranku bahwa alangkah baiknya kamu tak usah bertanya-tanya. Ini justru jawaban untuk pertanyaan yang tadi kamu lontarkan. Kalau kamu belum lupa.”
Iwan memandangiku penuh tanda tanya sambil mengunyah pelan-pelan. Polos sekali. Ganti dasinya dengan dasi kupu-kupu dan kalungkan botol minuman bergambar Pokemon ke lehernya. Itu akan membuatnya tampak seperti anak TK.
“Aku merasa jauh lebih baik jika sekarang aku tak perlu tahu-menahu urusan keluargaku, begitu juga mereka tak perlu tahu tentangku. Hmm, pasti sulit kamu pahami karena posisi kita tak sama, Iwan. Barangkali dalam beberapa hal kamu ingin bertukar posisi denganku. Karier mungkin. Tapi, dalam banyak hal lainnya pasti tidak.”
Iwan mengangguk-angguk sambil terus mengunyah, meski kian perlahan. Yang dikunyahnya pasti mulai meluncur ke kerongkongan. Dan aku yakin, sampai saat itu ia hanya setengah mengerti ucapanku atau malah tidak sama sekali.
“Saya selalu ingin tahu kabar keluarga saya, Mbak,” ujarnya pelan. Matanya memandang nanar piring-piring saji.
Oh, manis sekali. Anak ini pasti seketika teringat keluarganya di kampung antah-berantah sana. Pembicaraan tentang keluarga pasti membuatnya disergap kerinduan. Iwan, Iwan, anak manis yang sedang belajar merantau, bergulat dengan keras dan cepatnya denyut kehidupan metropolitan.
“Ya, itu kamu. Aku tidak,” ujarku cepat, membuat Iwan mendongak meninggalkan piring-piring menu. “Tak apa, Iwan. Kamu lima tahun lebih muda dariku jadi jelas kamu belum mencapai apa yang aku rasakan saat ini. Walau saat aku seumurmu, rasanya aku juga tak pernah se-so sweet itu. It’s ok. Kita berbeda. Beda orang, beda karakter. Begitu, ‘kan?”
Iwan mengangguk-angguk lagi. Ah, anak ini senang sekali mengangguk-angguk. Mengangguk-angguk dengan wajah semi bingung.
 
***
Dua tahunku terlewati dengan sunyi sampai sebuah amplop cokelat besar melayang ke meja kerjaku. OB mengatakan seorang kurir paket yang mengantarkannya kemarin malam, sesaat setelah aku melesat pulang. Ya, tentu saja. Amplop cokelat seperti ini tak mungkin berlari sendiri dari tempat asalnya kemari, ‘kan? Ini bukan saatnya bercanda.
Benar, ini bukan saatnya bercanda, sebab alamat pengirim yang tertera di amplop itu jelas alamat yang kukenal, bahkan kuhafal di luar kepala. Tentu saja hafal karena aku sudah menuliskannya di begitu banyak formulir isian sejak aku kecil sampai dua tahun lalu. Bahkan alamat yang tertera di KTP-ku sampai saat ini juga alamat itu. Dan tulisan tangannya jadul sekali. Bersambung, miring-miring ke kanan seperti pohon hampir roboh, dan panjang kaki-kaki serta tinggi badan hurufnya mantap sekali. Aku selalu suka caranya membuat huruf G besar di awal kalimat.
Gabriel Putra Permana, Gracia Putri Permana. Itu nama dua keponakanmu, Ndari. Kembar. ‘Permana’ dari nama belakang ayahnya, ‘Gabriel’ dan ‘Gracia’ dipilih dari buku kumpulan nama, dan ‘Putra’ - ‘Putri’ Ndara ambil selain karena mereka memang laki-laki dan perempuan, juga agar mirip kalian, Janistri - Janistra, Wulandari - Wulandara.
Mereka lucu sekali. Persis seperti kamu dan Ndara dulu. Hanya saja yang ini laki-laki dan perempuan. Mereka lahir lima hari lalu, tapi maaf Ibu baru sempat menulis surat ini sekarang. Sedang Ndara ingin menulis suratnya sendiri untukmu, nanti kalau ia sudah sembuh benar. Gabriel dan Gracia lahir setengah bulan lebih cepat daripada perkiraan dokter dan Ndara mengalami perdarahan hebat jadi harus dirawat beberapa waktu. Tapi tak usah cemas, Ndara  makin membaik. Mungkin ia diperbolehkan pulang dua atau tiga hari lagi.
Ayah mereka belum bisa dihubungi. Tapi pasti Bram juga akan sangat lega jika mengetahui anak-anaknya telah lahir dan Ndara baik-baik saja. Maaf, Ndari, Ibu akhirnya memilih menulis surat. Ibu tak yakin kamu mau mengangkat telepon Ibu. Sedang untuk mengetik SMS, mata Ibu sudah tak jeli. Tapi kalau menulis surat kan Ibu masih bisa dan mungkin kamu akan membuka dan membacanya, walau tak segera. Sekalian biar kamu bisa melihat foto-fotonya lebih jelas.
Ya, jelas. Jelas sekali. Foto-foto ukuran setengah lembar kertas kuarto itu lebih dari sekadar jelas untuk mempertontonkan bayi-bayi telanjang, bayi-bayi berbungkus selimut, bayi-bayi bersarung tangan, seorang perempuan lelah terkapar, dan seorang nenek tersenyum hambar. Seperti permadani Turki yang dijembreng di depan mata.
Empat hari kemudian, surat Janistra sudah mendarat di meja kantorku. Berikut permadani Turki lagi dengan motif yang sedikit berbeda. Bayi-bayi berebut puting, bayi-bayi berhanduk, bayi-bayi menangis. Aku tak tahu apa yang ada di kepala Janistra. Bayi menangis bukannya ditenangkan, ditimang atau apa pun sejenisnya, malah dipotret. Memangnya bayi sudah belajar narsis?
Isi suratnya standar saja. Standar perempuan yang sedang kegirangan baru punya momongan. Pamer. Suami sudah, momongan sudah, pekerjaan walau tak menonjol juga sudah, apa lagi? Lengkap. Sempurna. Hendak membuatku terkesima? Tidak. Aku tak mudah terpesona oleh hal-hal begitu. Standar. Monoton.
Dan aku paham apa arti surat-surat dan foto-foto bayi ini berdatangan jauh sebelum mereka mengatakan. Maka aku sudah membawa pulang seperangkat alat makan bayi, baju bayi, tiga kemasan terbesar popok, susu ibu menyusui dan susu formula bayi kalau-kalau dua bayi itu menghabiskan persediaan ASI di payudara ibu mereka lebih cepat dari yang seharusnya, kereta dorong yang muat untuk dua bayi, handuk bayi, bedak bayi berbotol-botol, boneka-boneka yang bulunya dijamin tak akan membuat bersin-bersin, dan aneka rupa yang terkait bayi.
Aku sendiri yang mengambilnya dari rak-rak pusat perbelanjaan, walau tanpa memilih. Asal kulempar-lemparkan saja ke kereta belanjaku.
Tadinya mau menyuruh Iwan saja. Tapi tahu apa Iwan tentang bayi? Sama tak tahunya denganku yang lajang, tak punya pasangan, suami, apalagi sepasang bayi kembar. Jadi untuk apa berlama-lama membuang waktu memilih-milih semua yang sama tak dimengertinya? Yang penting tak tampak buruk dan harganya bukan yang termurah. Kualitas memang tak selalu bersembunyi di balik harga mahal, tapi jelas bukan di balik harga yang paling murah.
Dan semua barang itu kini berjibun teronggok di sudut apartemen. Belum ada rencana mengangkutnya ke lain hunian. Atau dikirim via jasa pengiriman saja? Begitu lebih baik. Kalau sempat. Dan aku tak akan menggeser-geser lagi agenda kerja dan waktu istirahatku hanya demi menunggu seorang kurir datang ke apartemenku atau bersusah-payah menurunkannya lagi dengan lift dan membawanya sendiri ke agen pengiriman. Merepotkan.
***
Desember masih diguyur hujan saat akhirnya aku menginjakkan kaki di tengah ruang bergema tangis pecah. Di kedua tanganku bergelantungan bungkusan barang-barang yang sampai sejam yang lalu masih jadi onggokan tersisihkan di sudut apartemen. Hanya kereta bayi yang kubiarkan telanjang, mencoba tegar berdiri di teras depan. Di ruang tamu, meja panjang berlapis kain putih berenda terhampar tanpa jenazah. Jenazahnya baru akan datang paling cepat dua sampai tiga minggu dari sekarang.
Aku mengenal negara itu sebagai negara yang baik-baik saja, walau aku juga belum pernah ke sana. Semua fasilitasnya kudengar mumpuni. Tapi sejam yang lalu, teve layar datar di ruang kantorku ramai mengabarkan salah satu pesawatnya meledak di udara. Lalu sekejap kemudian dering ponselku meraung-raung. Untuk kali pertama setelah lebih dari dua tahun, aku mengangkatnya, mengatakan ‘ya’ pada suara yang lekas menyambar seperti halilintar.
“Kakak, pesawatnya meledak, Kakak … Pesawatnya meledak, Kakak … Pesawatnya meledak ….”
Ya. Pesawatnya meledak. Tapi tetap akan ada yang pulang. Orang-orang yang sama. Dalam bentuk yang berbeda. Keranda. Peti mati. Si Oleh-Oleh Khas Madiun salah satunya. Aku bergeming. Mendengarkan yang di seberang puas meraung-raung. Tapi, ketika raungan tak kunjung ada tanda akan berakhir, aku terlebih dulu mengakhirinya. Memutuskan sambungan. Bergegas melakukan yang seharusnya aku lakukan.
Aku yang paling keras di rumah itu. Orang sekeras aku tak akan mudah meleleh oleh segala jenis kesedihan. Pun aku memang tak sedih-sedih amat. Jadi aku harus ke sana. Maka di sinilah aku kini. Di tengah perempuan-perempuan. Dua di antaranya duduk lumpuh seraya menangis meraung-raung dan saling menyandarkan kepala. Satu lagi juga menangis. Tapi tak lumpuh. Perempuan tua berkebaya yang juga tua, berkelebat ke sana kemari menyiapkan bakal doa malam nanti.
Aku yang paling keras di rumah ini. Maka aku tak ikut lumpuh. Menangis pun tidak. Aku bahkan melangkah sama tegap dengan saat terakhir aku di sini. Membuka pintu sebuah kamar dan menemukan dua makhluk berkejat-kejat saling meraih, saling menyentuh, dengan empengan di selipan bibir masing-masing. Aku bahkan masih kembali lagi ke teras, mengambil kereta bayi yang tertinggal lalu lagi-lagi kembali ke kamar. Memastikan semua kado telah sampai pada pemiliknya, walau terlambat tiga bulan.
***
Yang ditunggu akhirnya datang. Walau dalam keadaan tercerai-berai dan tak mungkin dikenali mata awam. Barangkali. Tak ada yang berniat membuka peti mati, memastikan. Tak perlu. Termasuk perempuan sembilan senti lebih tinggi dariku. Yang telah bersemayam dengan tenang biarlah tenang. Tak perlulah kesedihan duniawi mengusik kedamaiannya yang kekal. Bukankah begitu?
Lalu serangkaian upacara pemakaman dilakukan. Aku berdiri di barisan belakang saja, di bawah lindungan pohon kemboja yang telah sarat pengalaman menjadi saksi kematian. Kereta bayiku berfungsi dengan baik. Dua makhluk berjejalan di dalamnya. Sedang dua perempuan bermata sendu kubiarkan saling menguatkan di dekat lubang galian.
***
“Ibu boleh bicara, Ndari?”
“Bolehlah, Bu.”
Perempuan itu mengembuskan napas. Aku mengerti apa yang akan dibicarakannya bahkan sejak aku memutuskan sambungan telepon dari perempuan yang meraung-raung suatu siang yang lalu.
“Bagaimana nasib Gabriel dan Gracia setelah ini, Ndari? Ayah mereka sudah tak ada, sedang masa depan mereka masih panjang. Ndara sudah jadi ibu rumah tangga semenjak hamil.”
“Ndara bisa kembali bekerja, tentu saja. Ia punya ijazah dan pengalaman kerja. Ibu pun masih membuat kue seperti biasa. Tanah peninggalan bapakmu juga masih ada. Cukup dibagi dua, jatahmu dan jatah Ndara. Tapi seberapa cukup itu semua untuk dua bayi yang sekarang saja masih semerah itu? Pun baru sekadar mendaftar kerja Ndara sudah harus bersaing dengan sebegitu banyak sarjana muda, tanpa status pernah bersuami, tanpa dua anak ….”
“Ndari mengerti, Bu. Karena itulah Ndari di sini.”
Ibu mengusap-usap tanganku. Matanya cepat berkaca-kaca.
“Terima kasih, Ndari, terima kasih. Ibu tak bermaksud hendak memberatkanmu. Hanya saja ….”
“Ndari mengerti, Bu. Karena itulah Ndari di sini.”
 
***
Namaku masih Janistri Dwi Wulandari dan aku masih perempuan nyinyir. Aku masih lajang dan takdirku masih tak semudah tunas batang pisang. Tapi aku mencoba menerimanya. Menjadi pendonor rupiah untuk dua keponakanku yang untungnya imut dan menggemaskan. Jika tak, pasti aku berpikir dua kali. Kau lega karena aku terdengar sudah jadi lebih baik? Oh, tidak. Aku cukup royal soal uang sejak dulu kala dan kenyinyiranku masih di atas rata-rata perempuan pada umumnya. Seperti malam ini dan malam-malam sebelumnya.
“Apa yang kubilang bertahun-tahun lalu akhirnya terjadi, ‘kan?”
Janistra menunduk. Seperti dulu, serupa endapan saripati singkong di pinggir ranjangku.
“Jatuh berdebum setelah tak ada lagi ketiak untuk bergelantungan. Aku tak menyangka. Bukannya bekerja lebih keras mengumpulkan uang setelah tahu akan segera punya anak, kamu malah memilih jadi ibu rumah tangga. Tak masalah jadi ibu rumah tangga. Kalau kamu tahu berapa panjang umur suamimu, berapa warisan yang akan kamu dapatkan kalau suamimu pergi lebih awal, dan dengan cara seperti apa kamu dan anak-anakmu akan melanjutkan hidup setelahnya.”
Janistra menunduk kian dalam sedang kenyinyiranku baru separuh jalan.
“Sekarang kamu rasakan sendiri. Kantor mana yang mau mempekerjakanmu? Perempuan tiga puluh tahun lewat, lulusan S-1 pun bukan yang terbaik, pengalaman kerja cuma sekali pun lagi-pagi posisinya bukan yang terbaik, beranak dua pula. Sedang empat kali dalam setahun kampus-kampus melahirkan ratusan ribu sarjana baru. Muda, energik, penuh semangat, siap menghadapi tantangan. Kamu?”
“Nasibmu akan jadi lebih baik jika kamu sedikit lebih berani menghadapi tantangan. Tapi aku tahu kamu bukan tipe begitu. Benar-benar tipe pemain aman. Kalau kamu mau dikirim ke perkebunan sawit di perbatasan Kalimantan, Lampung atau Papua, mungkin kantor-kantor itu mau berpikir ulang. Tapi kamu pasti tidak akan mau begitu kan? Saat lajang pun tidak, apalagi setelah ada dua anak.”
“Ndara akan bantu Ibu bikin kue saja, Kak,” ujarnya pelan.
Aku tersenyum kecut.
“Kue? Membantu Ibu? Apa Ibu tak pernah mengajakmu berhitung uang hasil penjualan kue-kuenya?”
“Aku memang belum punya bayi sepertimu dan entah apa akan punya atau tidak, Janistra. Tapi apa kamu pikir membangunkan masa depan untuk mereka semudah membuat pohon pisang bertunas? Berpikirlah untuk membangun pabrik kue sekalian. Itu lebih menjamin masa depan anak-anakmu. Hilir mudik seharian di dapur rumah dan berkutat dengan oven kecil tak akan membuatmu berani bertaruh Gabriel dan Gracia bisa menikmati seragam SMA.”
Ekor mataku mendapati endapan saripati singkong menjatuhkan air mata. Ah, sudahlah. Kalau menangis bisa membuat anak-anakmu kenyang dan sekolah sampai jadi sarjana, menangislah sepanjang masa.
 
***
“Bude Ndari, ayah kami seperti apa?”
Aku sudah menyerahkan bahan seragam merah putih dan pramuka ke rumah Bu Rahma sore tadi. Janistra sudah membawa dua kurcaci ini untuk diukur badannya kemarin. Uang sumbangan pembangunan sekolah, uang semester pertama, dan segala tetek bengek biaya masuk sekolah juga sudah kubayar lunas. Buku tulis, alat tulis, sepatu, dan tas gendong sudah kubeli jauh-jauh hari. Buku-buku pelajaran tinggal menyusul nanti, disesuaikan saja dengan yang dipakai guru mereka. Aku sudah terlalu lama meninggalkan bangku SD. Tak tahu perkembangan kurikulum.
“Iya, Bude. Seperti apa Ayah? Apakah Ayah tinggi dan tegap atau pendek?”
“Apa bunda kalian tak pernah menunjukkan fotonya?”
“Pernah, Bude. Sering malah. Tapi kami lebih suka membayangkannya saja dari ciri-cirinya ketimbang melihat fotonya.”
“Iya. Ayo, Bude, seperti apa Ayah?”
Aku mendesah. Apakah aku juga secerewet mereka saat kecil dulu? Rasanya tidak. Apa model anak zaman sekarang memang seperti ini semua? Oh, kalau semua anak zaman sekarang secerewet mereka dan kalau aku diberi kesempatan mengandung, biar kusimpan saja mereka dalam perutku lebih lama. Ah, memangnya aku akan hamil dengan siapa?
“Ayah kalian selalu mengingatkan Bude pada oleh-oleh khas Madiun.”
Samar kulihat kening dua kurcaci itu berkerut. Sepertinya aku harus berkunjung ke dokter mata. Memastikan apakah lensa kacamataku sudah harus berganti dari minus ke plus. Kenapa aku merasa tua sekali?
“Oleh-oleh khas Madiun?” gumam kurcaci laki-laki bingung. Benar-benar turunan ayahnya.
“Oleh-oleh khas Madiun itu apa, Bude?”
Kurcaci perempuan ikut bersuara. Tak bergumam. Tak sebingung kembarannya. Ah, semoga saja sedikit kecerdasanku menitis pada anak ini. Memperbaiki keturunan.
“Tanyakan saja pada guru sekolah kalian kelak.”
“Guru apa, Bude? Guru kelas, guru olahraga, guru agama, …?”
“Apa saja. Semua guru harusnya pintar. Jadi semua guru harusnya tahu. Kalau pertanyaan begitu saja mereka tak tahu, berhenti percayai mereka sebagai guru.”
Keduanya mengangguk-angguk berjamaah. Suara mixer dan oven pertanda kue matang bersahut-sahutan dari arah dapur.
“Bude, Bude tak ingin punya pakde?”
Masih mengkilik-kilik celah jari kakiku. Aku mulai waswas. Celah jari kakiku belum kuasuransikan.
“Bude punya pakde. Pakde Gatot, Pakde Wid, Pakde Jati. Semuanya sudah berpulang seperti ayah kalian.”
“Bukan pakde yang itu. Pakde untuk kami. Bude tak mencari pakde untuk kami?”
Aku mendengus. Keturunan siapa ini? Pulang cepat memang tak baik. Besok-besok aku lembur lagi saja.
“Pakde kalian bukan barang hilang, jadi untuk apa dicari?”
Dua kurcaci garuk-garuk kepala.
***
“Gabriel dan Gracia sudah jadi masuk sekolah, Mbak?” tanya Iwan setelah meletakkan dokumen di mejaku.
“Harusnya sudah. Kecuali tadi pagi ibu mereka membawa mereka ke toko bahan kue, bukan sekolah,” sahutku.
Iwan tertawa. Dia sudah berani tertawa di depanku walau tak pernah keras. Sembilan tahunan lalu dia masih serba takut-takut dan kikuk.
“Saya salut. Mbak Janistri peduli sekali pada keponakan dan ibu mereka. Juga pada ibu Mbak Janistri pastinya.”
Aku tersenyum kecut.
“Terima kasih pujiannya, Iwan. Tapi aku juga tak sebaik itu. Asal kamu tahu.”
Dua minggu lalu Iwan menemaniku mencari bahan seragam dua kurcaci. Sekalian kembali ke kantor selepas bertemu klien, sekalian mencarikan tiket pesawat ke Surabaya untuk Iwan. Ada klien di sana dan aku sedang tak ada waktu. Jadi Iwan saja yang kukirim ke sana.
“Ah, tetap saja Mbak Janistri baik. Saya kagum,” ujarnya sambil membungkuk mengambil dokumen yang telah kutandatangani.
Kemeja merah jambu dan dasi merah garis-garisnya serasi sekali. Dia jadi makin terlihat unyu-unyu pagi ini. Sembilan tahun sejak kemunculannya yang pertama dan ia masih saja anak manis. Ah, jelas saja. Sampai kapanpun Iwan akan tetap lima tahun lebih muda dariku.
Iwan sudah memegang gagang pintu saat tiba-tiba ia membalik badan.
“Oh ya, Mbak, saya sudah mengajukan cuti tiga hari untuk pekan depan. Kalau sudah jadi, nanti undangannya saya antar langsung ke rumah Mbak Janistri. Minggu depan saya nikah, Mbak. Sebenarnya saya ingin memperkenalkan calon saya dulu-dulu, Mbak. Tapi tak enak. Mbak Janistri selalu sibuk, takut mengganggu. Mbak Janistri pasti datang, ‘kan?”
Hatiku mencelos. Ah, bahkan lelaki unyu-unyu itu pun akan segera menikah. Saat aku mulai berpikir mungkin seleraku anak manis sepertinya. Ah, takdirku memang tak pernah semudah tunas pohon pisang. Kemeja merah jambu dan dasi garis-garis merah itu pemberianku dua minggu lalu. Hatiku mencelos lagi. (Tamat)
 
***

Marliana Kuswanti

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/

 
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?