Fiction
Takdir Janistri [2]

10 Jan 2017

Bagian 2
Kisah sebelumnya:
Janistri selalu merasa iri dan cemburu kepada saudara kembarnya, Janistra, yang cantik, menarik dan memiliki pacar, yang hendak melamarnya. Hal yang terakhir ini yang belakangan kian memantik iri hati Janistri, yang hingga usia dewasa belum pernah memiliki kekasih. Satu hal kelebihan Janistri adalah dia pintar dan memiliki karier yang bagus.  
 
Janistra terus saja berceloteh tentang kekhawatirannya padaku. Tentang sinyal telepon dan internet di sana yang barangkali buruk sekali hingga aku akan sukar dihubungi untuk memastikan kabar. Tentang panah beracun yang bisa saja meleset ke pahaku kalau tiba-tiba terjadi bentrokan dua suku. Tentang bagaimana kalau mobil yang aku dan Iwan sewa kehabisan bensin dan kami tak menemukan pom bensin di mana-mana. Tentang pasar yang bisa jadi hanya buka sekali seminggu pun tak lengkap, lalu apa yang akan kumakan selama dua minggu di sana. Tentang apakah aku dan Iwan bisa memasak dengan teknik bakar batu atau tidak. Tentang apakah perutku tak lengket makan papeda dua minggu berturut-turut, tiga kali sehari.
Oh, ayolah, Janistra, aku akan menginap di penginapan, bukan di alam bebas! Jika kau khawatirkan sinyal, baiklah, aku dan Iwan akan membawa seperangkat tower sendiri dan menancapkannya ke tanah Papua dari atas pesawat sebelum mendarat di bandara. Tentang panah beracun dan bentrokan antarsuku, kurasa Ibu masih punya banyak sekali panci dan wajan untuk kusulam sebagai baju perisai yang akan kukenakan selama di sana dan selagi negosiasi dengan klien.
Tentang kehabisan bensin, kurasa aku bisa meminjam baling-baling bambu milik Doraemon saja. Bukankah begitu lebih praktis? Aku bisa menyelipkannya di saku celana. Dan soal makanan, aku bisa membawa dua karung beras demi menghindari perutku lengket oleh sagu. Sekalian dua tabung gas, sekantung bibit sayur-mayur, dan satu drum gurami hidup untuk dimasak di sana. Jika tabung gas tak mungkin dibawa karena mudah meledak, aku akan bertahan di sana dan menjerang air di atas nyala lilin, Janistra! Aku membuang napas panjang.
“Yah, beginilah kalau kamu ingin maju, Janistra. Kamu tak bisa hanya duduk seharian di kantor, melakukan maupun tak melakukan apa pun. Kamu harus berani keluar dan menangkap potensi-potensi di luar sana. Untuk urusan klien dan pekerjaan, Janistra, aku berani mengejarnya sampai ke peradaban kuno suku Maya dan Inka, bahkan lubang semut sekalipun.”
“Kamu lihat sendiri kan pencapaianku sekarang? Perusahaan tak hanya butuh orang-orang yang diam tepekur di dalam cubicle-nya seharian. Perusahaan butuh orang-orang yang berani melakukan sepak terjang menjaring klien dengan sangat aktif dan agresif.”
Janistra menunduk. Tentu saja. Aku tak dapat ia ragukan.
“Ya, Kak. Janistra selalu kagum dengan keberhasilan Kakak.”
Ya, memang seharusnya begitu. Keterlaluan sekali kalau tidak. Tapi pengakuan kagumnya belum akan menghentikan khotbahku yang masih panjang.
“Harusnya kamu cermat menggunakan umurmu, Janistra. Mestinya dari dulu-dulu kamu manfaatkan waktumu itu untuk menimba ilmu sepertiku. Sekarang pun kurasa belum terlambat kalau kamu mau. Agar otakmu bertambah bobotnya dan kantormu mau membayarmu lebih.”
“Lihat aku, ijazah S-2-ku memang tak langsung memengaruhi tugas-tugas pentingku di kantor. Artinya, dengan atau tanpa ijazah itu, aku akan tetap mengerjakannya dengan sama baiknya. Tapi, pimpinan menilai bawahannya tak cuma dari bagaimana tugas dikerjakan. Semua orang menghargai dan akan  makin tertegun-tegun dalam kekaguman seiring tingginya pendidikan kita. Pohon Natal yang tinggi lebih mungkin disemati aneka hiasan ketimbang yang pendek, Janistra.”
“Tapi, kamu memilih menghabiskan umurmu dengan kekasihmu itu. Aku tak melarangmu berkasih-kasihan. Sebagai kakakmu dan kembaranmu, aku ikut senang. Tapi, kamu jadi tak punya waktu untuk memikirkan hidupmu sendiri dengan lebih baik dan lebih jauh. Kamu keasyikan bergelut di ketiak kekasihmu, bergelantungan di sana, dan lupa membangun kualitas hidupmu. Pendidikan dan pekerjaanmu. Dua hal yang akan menopang kedua kakimu saat kamu tak punya ketiak lagi untuk digelantungi.”
Aku tahu, kalimat-kalimatku barusan terdengar pedas sekali. Di lidahku saja terasa pahit nian. Tapi, aku suka mengatakannya dan merasa puas. Kapan lagi aku mengalahkan Janistra secara telak selain dalam dua perkara itu, pendidikan dan pekerjaan? Di kontes kecantikan, jelas aku tak pernah menang jika lawanku dia. Tapi, di pendidikan dan pekerjaan, nasibku jauh lebih cemerlang daripada cemerlangnya wajah Janistra.
Dan, ketika kami menua nanti, kupikir aku akan bertambah cemerlang selagi wajah Janistra mengisut seperti kulit jeruk kepanasan. Aku tak bilang aku tak bakal menua. Jika Tuhan memberiku cukup umur, tentu saja aku juga akan reyot dan peyot. Tapi, aku punya bekal yang tak dipunyai Janistra. Pendidikan yang kuenyam selagi muda dan posisi terbaik yang pernah kududuki selama bekerja akan menjadikanku nenek-nenek yang lebih bersinar ketimbang Janistra yang kecantikannya hilang. Kecuali dia mau berpayah-payah rajin suntik botox, operasi plastik, tanam benang, atau pasang susuk di beberapa titik wajah dan mungkin juga tubuh.  
Yah, selain kecantikan ragawi, Janistra memang punya hati berkomposisi hati peri. Tapi, aku tak yakin hati perinya itu akan membuat masa tuanya terlihat lebih baik. Palingan dengan hati perinya itu ia hanya akan dikenal sebagai nenek-nenek baik hati, tapi kehidupannya akan tetap jauh dari kata cemerlang. Kusam-kusam begitu mungkin.
“Bram tak pernah menghalangiku untuk melanjutkan studi, Kak,” ujar Janistra.
Kepalanya yang tadi menunduk sekarang sudah berani terangkat. Mungkin ia sedikit atau malah sangat tersinggung dengan ucapanku barusan. Biar saja. Tak apa. Bukan urusanku.
“Tapi nyatanya ia juga tak pernah mendorongmu untuk melangkah selangkah saja lebih maju dari hidupmu yang sekarang, bahkan sembilan tahun lalu saat kalian pertama jadian, ‘kan? Aku tak bermaksud mengomporimu. Tapi kupikir lelaki begitu sengaja menggantung kekasih di ketiaknya. Sewaktu-waktu ia mencukur bulu ketiaknya, seperti yang kubilang, kamu tak punya tempat untuk bergelantungan lagi dan jatuh ke tanah dengan berdebum. Pasti sakit sekali. Bisa jadi malah gegar otak, lumpuh total, dan membuatmu tak bisa ke mana-mana lagi. Tak bisa melanjutkan hidup dan bahkan berdiri di atas kedua kaki sendiri pun tak mampu.”
Kulirik dengan ekor mata, kudapati Janistra mengepalkan tangannya sesaat dan matanya lumayan berkaca-kaca. Oh, aku jahat sekali, yah? Ah, silakan saja. Benci saja aku. Toh aku juga tak pernah minta disayang-sayang. Aku tak butuh yang seperti itu. Aku hanya butuh mandiri dan aku sudah punya itu dan masih akan terus membangun kemandirian hingga istana kemandirianku sedemikian rupa, sampai aku juga punya benteng yang kokoh. Kebutuhan dikasihi penuh kelembutan yang sejatinya melemahkan itu hanya milik Janistra dan hati perinya.
Aku sudah selesai berkemas dan berhasil menggemukkan tiga tas saat Janistra mendekatiku dan menggenggam tanganku dengan sungguh-sungguh.
“Kak, Kakak hati-hati, ya, di sana. Jaga diri baik-baik dan jaga kesehatan. Jangan telat makan seperti kebiasaan Kakak, tidur yang cukup, dan minum vitamin kalau perlu. Aku akan sering-sering hubungi Kakak.”
Lalu ia memelukku begitu erat. Meremas-remas punggungku dan kudengar isakan di dekat kupingku sedikit ke atas. Ya, aku masih belum lupa, ia sembilan senti lebih tinggi. Oh, ayolah. Hentikan adegan cengeng ala sinetron stripping ini!
 
***
Ada yang salah saat aku pulang. Bukan rumah yang bergeser ke kiri, perabotan yang naik ke awang-awang atau jumlah pembantu yang membengkak jadi ribuan. Tapi, Si Oleh-Oleh Khas Madiun yang pertama kujumpai! Tidur telentang di sofa ruang tamu, berkolor selutut, berkaus putih oblong persis seperti bapak-bapak rumah tangga!
Aku melintasinya begitu saja. Sama sekali tak berminat membangunkan. Aku harus segera menginterogasi seisi rumah. Pertama, Bibi.
“Bi, bagaimana bisa kekasih Janistra itu tidur pulas sekali di sofa ruang tamu? Seperti di rumah sendiri saja!” ujarku dengan nada tinggi, mengejutkan Bibi yang sedang mencuci piring.
“Eh, Non Ndari. Sudah pulang, Non? Mau Bibi siapkan air hangat untuk mandi atau mau makan dulu, Non? Non pasti capek. Barang-barangnya biar Bibi yang beresin, Non,” ujarnya panjang lebar dan hendak segera berlalu untuk mengambil tas-tasku yang kutinggal di ruang tengah.
Aku menahan lengannya yang berbalut kebaya tua saat hampir melewatiku. Mungkin aku sedikit terlalu keras mencengkeramnya sampai-sampai ia kaget.
“Bi! Bibi belum jawab pertanyaan Ndari. Bagaimana bisa Bram tidur begitu pulas di ruang tamu? Mana Janistra? Mana Ibu?”
“Ada apa ini?”
Oh, rupanya suara tinggiku mengundang Ibu selagi Bibi menampakkan wajah takut-takut. Antara harus menjawab pertanyaanku dan keinginannya segera berlalu mengurusi tas-tasku. Aku melepaskan cengkeramanku.
“Sudah pulang kamu, Ndari? Baru saja?” tanya Ibu lagi, membimbingku duduk di sekitar meja makan yang memang terletak di dapur. Bibi sudah berkelebat cepat ke ruang tengah.
Oh, memangnya aku tampak sudah sepuluh tahun berdiri di sini? Perasaanku tak enak. Ibu berseliweran antara kulkas dan meja makan. Mengambil sebotol air dingin, membuatkanku segelas minuman jeruk sachet, mengeluarkan kue-kue, bersiap membuatkan secangkir teh tanpa gula kesukaanku, dan entah apa lagi yang akan dilakukannya karena ia juga telah memegang sendok nasi.
“Ibu,” sergahku sebelum Ibu kembali mendekati kulkas, rak-rak, atau apa pun itu.
Tanganku memegang erat pergelangan tangannya, memastikan ia tak dapat ke mana-mana selain berdiri di dekatku atau duduk bersamaku. Ibu menatapku dengan tatapan aneh. Perasaan tak enakku kian menjalar liar. Ibu mendesah pelan dengan wajah yang sukar kutebak. Menarik kursi di dekatku, lalu duduk menghadapku sedikit serong. Tatapannya beralih ke kaca yang melapisi meja. Sejak kapan Ibu takut pada tatapan anaknya sendiri dan lebih suka kaca meja? Ibu tahu apa yang harus dijawabnya.
“Bram kelelahan. Sedari pagi ia sudah naik ke atas genting. Membetulkan antena teve yang jadi tak keruan. Di atas ternyata beberapa genting juga melorot. Kalau tak dibenahi dan nanti malam atau besok-besok hujan lagi, pasti akan bocor di mana-mana. Semalam hujan deras sekali. Anginnya juga luar biasa. Padahal, musim hujan tak mungkin hanya sehari, ‘kan?”
Oh, sejak kapan musim hujan bahkan yang terburuk sekalipun sampai membuat Si Oleh-Oleh Khas Madiun nangkring di atas genting rumah ini? Sejak kapan pula lelaki itu beralih profesi jadi tukang antena dan genting? Bukankah selalu ada Pak Warto atau Bang Jamal, tukang yang ahli dalam urusan begituan, yang telah menjadi langganan keluarga ini sejak dulu kala?
“Mana Janistra?” tanyaku gusar.
Aku tak suka Si Oleh-Oleh Khas Madiun itu kemari, apalagi tidur di sofa ruang tamu dengan tampilan bapak-bapak rumah tangga. Tapi, aku lebih tak suka lagi lelaki itu di sini sedang Janistra entah ke mana. Lebih baik lelaki itu ditemui oleh Janistra supaya tak ngorok seperti sedang di pos ronda.
“Ndara … Ndara sedang belanja teri nasi kesukaan Bram dan katanya sekalian beli obat gosok kalau-kalau Bram pegal-pegal selepas naik turun membenahi genting dan antena.”
Celah dua alisku berkerut maksimal. Teri nasi? Siapa yang mendadak suka makan teri nasi di rumah ini? Aku bahkan geli melihatnya karena sukar membedakannya dengan ulat beras. Tapi, Ibu tadi menyebut teri nasi kesukaan Bram? Apa-apaan… Janistra akan memasak makanan kesukaan Bram di rumah ini? Menjamunya? Romantis sekali! Dan obat gosok? Apakah akan ada adegan pijat-memijat di rumah ini antara Janistra dan Bram? Menjijikkan sekali!
Ibu tahu aku menuntut penjelasan atau aku akan membangunkan lelaki berkolor itu, kalau perlu menyeretnya keluar rumah. Aku yang paling keras di rumah ini.
“Maafkan, Ibu, Ndari. Ndara … Ndara dan Bram … sudah menikah.”
Aku seperti menelan koteka. Mengganjal tenggorokan sampai sepanjang dada, bahkan ulu hati. Wajah menyesal dan mata berkaca-kaca Ibu ditambah kedua tangannya yang menahan cemas sama sekali tak memperbaiki kondisiku. Kotekanya bahkan serasa siap beranak-pinak.
“Maaf, Ndari, maaf. Ibu tak bermaksud sengaja tak memberi tahumu dan meminta persetujuanmu terlebih dulu. Tapi … tapi ini mendesak sekali, Ndari. Mendadak. Bram mendapat tugas mengurus salah satu anak perusahaan di luar negeri. Atasannya tak punya pilihan selain Bram untuk memegang anak perusahaan itu sementara waktu. Bram sudah bekerja lama di kantornya dan ia mendapat kepercayaan. Lusa ia harus berangkat.”
“Kamu tahu, Ndari? Anak perusahaan itu tak sedekat Singapura atau Malaysia. Bram tak mungkin sering-sering pulang ke Indonesia. Jadilah orang tua Bram ingin Bram dan Ndara dinikahkan terlebih dulu sebelum Bram berangkat ke luar negeri dan entah kapan kembali. Bram pun siap dan ketika Ibu bertanya pada Ndara, Ndara pun tak keberatan. Mungkin inilah saatnya, Ndari.”
Saatnya? Saat untuk apa? Janistra berbahagia dan aku kembali kalah untuk kesekian kalinya? Remasan-remasan tangan Ibu di telapak tanganku seperti sayur hambar.
“Ibu bertanya pada Ndara, tapi kenapa Ibu tak bertanya pada Ndari?”
Suaraku demikian tercekat. Tak kusangka akan sampai sebegini jauh persekongkolan Ibu, Janistra, dan Si Oleh-Oleh Khas Madiun itu. Apa perasaanku sebagai saudara kembar tua Janistra sama sekali tak menjadi pertimbangan? Sedang aku hanya sedang dua minggu bertugas di Papua, bukan di planet lain, juga bukan untuk sepuluh tahun lamanya! Tapi, keputusan pernikahan ini diambil begitu mudah, seakan-akan tak ada aku atau aku bukan siapa-siapa di keluarga ini.
Keluarga yang selepas Bapak meninggal dan aku bekerja lebih dari separuh pengeluaran bulanannya kutanggung karena hasil penjualan kue kering Ibu tak pernah semanis rasanya. Sedangkan Janistra tak ingin atau tak mau mempergunakan lebih banyak waktunya untuk belajar setinggi dan bekerja sekeras aku. Ia menghabiskan waktu sepulang kantor dan akhir pekannya berdua-dua dengan kekasihnya selagi aku berjibaku memeras otak, mengerahkan tenaga, dan menumpahkan ide-ide baru untuk kemajuan perusahaan tempatku bekerja, untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi daripada karyawan-karyawan lainnya.
Dan buah manisnya, aku selalu membawa pulang uang lebih banyak. Oh ya, aku tak menafikan peran seorang Janistra. Ia juga menyumbang untuk keperluan rumah ini. Tapi, sumbangannya tak pernah lebih banyak daripada keringatku di Senin pagi. Hanya cukup untuk membeli sedikit garam, sedikit gula, dan sedikit tepung. Semua serba sedikit pun hanya berlaku untuk tiga barang itu. Lainnya tentu saja aku.
Tapi sekarang, semudah inikah Ibu dan Janistra mengkhianati kerja kerasku untuk dapur, air, dan listrik rumah ini? Tak adakah rasa bersalah yang tebersit di hati mereka saat memutuskan pernikahan itu lalu menggelar pestanya sedemikian rupa tanpa persetujuanku, tanpa kedatanganku, bahkan pemberitahuan pun baru sekarang? Atau mereka memang sudah tak punya hati?
Rasa bersalah itu turun sebagai air mata di pipi Ibu. Tapi aku sama sekali tak tersentuh. Tabiat kerasku seakan mendapat benturan. Tak membuatku melunak, tapi justru membuatku  makin ingin menunjukkan kekuatan tandukku.
“Kami … kami sudah mencoba menghubungimu berulang kali begitu Bram mendapat tugas dari kantornya itu dan keluarganya meminta mereka segera dinikahkan, Ndari. Tapi tak berhasil. Kalaupun telepon tersambung, setelahnya tak ada suara yang terdengar. Ndara dan Bram sudah coba menghubungimu lewat e-mail, tapi kamu juga tak kunjung membalas e-mail mereka.”
Oh, baiklah. Jadi aku yang bersalah atas sinyal telepon yang sering memburuk selama aku di sana? Aku juga yang salah kalau e-mail dua sejoli itu tak kunjung kubalas bahkan aku pun belum sempat membukanya karena aku memang sedang fokus urusan pekerjaan dengan para klien? Lalu salah siapa memutuskan kawin cepat-cepat, macam luar negeri tempat Bram ditugaskan itu sama sekali tak tersentuh moda transportasi?
Ke planet sebelah saja bisa kembali naik roket, kenapa lelaki itu tak mau sedikit bersusah-payah kelak pulang sekali saja untuk menikahi Janistra di hadapanku? Aku bahkan hanya pergi dua minggu, tak bisakah mereka menungguku pulang? Nyatanya saat aku kembali pun lelaki itu masih saja berkolor dan malah molor di ruang tamu, bukan sudah terdampar di belahan lain bumi!
Oh, demi sakit hati yang nestapanya mengalir melalui aliran darah ke sekujur tubuhku, dari jantung sampai seluruh saraf tepi, aku doakan semoga Si Oleh-Oleh Khas Madiun itu benar-benar tak akan sempat kembali setelah diberangkatkan ke luar negeri!
“Bahkan tidak ada pesta meriah apa pun untuk pernikahan Ndara dan Bram dua hari lalu, Ndari. Hanya sebatas untuk mengikat mereka, mengesahkan hubungan mereka secara agama dan hukum ….”
Aku tak peduli lagi pada penjelasan Ibu yang panjang-panjang. Aku bergegas ke kamar dengan punggung tegap dan langkah mantap. Kuputuskan malam ini menginap di hotel dan sesegera mungkin menyewa atau membeli sekalian sebuah apartemen mungil di pusat kota.
Brakk!”
Bantingan pintu kamarku menyentak lelaki berkolor di sofa ruang tamu. Janistra belum kembali dari berbelanja teri nasi dan obat gosoknya. Dan aku sama sekali tak perlu menunggunya sebelum pergi seperti ia dan semua orang yang terlibat dalam pernikahan ini tak perlu menunggu kepulanganku!
 
***
Duniaku berjalan lambat-lambat sekaligus senyap, tapi nikmat di dalam apartemen ini. Sendirian, aku menghabiskan  makin banyak waktu untuk bekerja. Tanpa ada lawan bicara sepulang kerja, aku punya waktu untuk merenung dan berbicara dengan hatiku sendiri di ujung-ujung malam atau di pagi yang masih sangat pagi. Aku menikmatinya.
Ibu? Ibu berulang kali mencoba menyapaku lewat ponsel. Tapi, aku memilih tak mengacuhkannya. Tentu saja Ibu, Janistra, dan Si Oleh-oleh Khas Madiun itu tahu di mana aku berkantor. Selang semalam saja usai aku tak pulang ke rumah, mereka bertiga bahkan sudah mendatangi kantorku seperti rombongan pengantar wisuda. Tapi, toh, aku enggan menemui mereka, walau Iwan, asistenku yang kemarin langsung mengunggah foto-fotonya selama di Papua ke jejaring sosial, jadi dibuat pening.
Menghadapi rombongan pengantar wisuda yang begitu getol meminta bertemu denganku dan melaksanakan perintahku bahwa aku sedang tak ingin ditemui siapa pun kecuali terkait pekerjaan. Walau aku hanya terjeda dua lantai dan sekat-sekat ruang dari Iwan yang sedang menemui rombongan keluarga kecil bahagia itu, aku sama sekali tak tertarik untuk turun.
Esoknya mereka datang lagi. Tapi, Si Oleh-Oleh Khas Madiun tak tampak. Jika benar ia ditugaskan ke luar negeri, barangkali ia sudah berangkat. Hanya Ibu dan Janistra di hari yang sudah sore. Aku masih di kantor. Tentu saja. Seorang lajang workaholic sepertiku selalu mudah ditemui di tempat kerja sampai hari larut malam. Tapi, toh, aku tak tergugah untuk menemui mereka.
Lukaku terlalu dalam. Terlalu dalam hingga kuyakin Ibu dan Janistra tak akan sanggup menyelaminya, merasakan rasanya. Jika kunjungan-kunjungan ke kantor dan upaya menemuiku itu hanya sebatas pemuas rasa tak enak hati, lebih baik tak usah. Mau diapa-apakan, pernikahan, toh, sudah telanjur terjadi. Itu artinya lukaku juga sudah tak bisa diapa-apakan. Atau jangan-jangan mereka hanya berusaha mengibarkan bendera putih perdamaian padaku karena takut uang bulanan kuhentikan? Aku akan memberi pelajaran tentang seberapa berartinya aku di rumah itu, lebih dari yang mereka pikirkan selama ini.
Berbulan-bulan berlalu dan aku tahu Ibu dan Janistra terus mencoba menemuiku. Berhadapan dan eyel-eyelan dengan Iwan bahkan sering kali memata-mataiku di halaman dan tempat parkir, menunggu penampakanku. Kalau sudah begitu, aku tersenyum kecut.
Selain pintu utama, kantor ini punya pintu belakang dan pintu samping yang tak mencolok mata. Hanya karyawan saja yang tahu. Biasa digunakan untuk lewat klien-klien super istimewa yang membutuhkan pengawalan dan privasi lebih tinggi. Aku bisa meninggalkan kantor dengan tenang lewat dua pintu itu atau sekalian saja menginap di kantor sambil terus mengurusi pekerjaan yang seakan tak ada habisnya karena aku memang jago mencarinya.
Sedang apartemen mungilku suci dari tapak kaki mereka. Jangankan Ibu dan Janistra yang telah membuatku kecewa dan meradang, orang-orang kantor termasuk atasanku dan Iwan saja tak ada yang tahu aku telah berpindah tempat tinggal. Tempat tinggalku tak penting bagi mereka. Sepanjang aku mudah dihubungi lewat seluler dan e-mail, di mana pun aku bersemayam   usai jam kantor, itu tak penting lagi. Toh, performa kerjaku selalu maksimal, benar-benar nyaris tanpa cela sekalipun telah dicari-cari, dan itu semua tak ada hubungannya dengan di mana aku tinggal.
Dan jika tadi sempat kubilang akan kuberikan pelajaran pada Ibu dan Janistra tentang seberapa berartinya aku untuk kokohnya rumah itu, aku benar-benar membuktikannya. Sengaja kukatung-katung jadwal pemberian uang untuk mereka. Jika dulu aku lekas memberikan uang yang tak sedikit segera setelah gaji berikut seluruh bonusku dibayar perusahaan, sekarang aku melakukannya tak tentu waktu. Pun kutransfer saja ke rekening Ibu yang juga menampung uang pensiun almarhum Bapak. Jumlahnya tentu saja kususut banyak.
Tega? Memang. Berbaik-baik memberikan sebagian besar penghasilanku saja tak membuat mereka menghargaiku sesuai kadar kepantasan. Aku akan membuat mereka mengerti bahwa tak ada yang cuma-cuma di dunia ini. (Bersambung)

***

Marliana Kuswanti

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/
 
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?