Fiction
Takdir Janistri [1]

10 Jan 2017


Bagian 1
 
Bagian yang paling kubenci dalam hidup adalah menerima takdir. Pasalnya, takdirku tak mudah. Ketika takdirmu semudah pohon pisang bertunas, hidupmu pasti damai-damai saja. Tapi, jika takdirmu serumit belukar seperti takdirku, pasti kau mengaduh, mengeluh sepanjang zaman yang sanggup dilintasi usiamu.
Aku nyinyir? Ya. Orang bilang aku perempuan nyinyir. Segala tentangku adalah nyinyir. Sikapku, ucapanku, pikiranku, isi hatiku, dan sekarang tulisanku yang tengah kau baca. Kau tak suka? Tak apa. Tapi jika dengan nyinyir aku bisa sebentar mengangkangi takdir, aku pilih menjadi nyinyir. Selamanya atau setidaknya sampai takdirku semudah takdir hidupmu, sesederhana tunas pohon pisang.

Namaku Janistri. Janistri Dwi Wulandari. Dwi karena seharusnya aku dua. Ya, dua. Aku terlahir kembar. Adik kembarku, Janistra Dwi Wulandara. Sudah jelas kan kalau nama kembaranku saja dibuat semudah tunas pohon pisang? Tinggal mengganti huruf ‘i’ di namaku dengan huruf ‘a’. Sedang namaku adalah pokok pemikiran, hasil perenungan mendalam yang menyumpekkan kepala selama berhari-hari, bahkan mungkin berbulan-bulan sebelum kelahiranku.
Dan lihat, apa masih pantas disebut kembar, jika dia putih nyaris bening, sedang aku hitam kusam? Itu belum seberapa. Daftar perbedaan di antara kami masih akan panjang. Dia ikal hitam, sedang aku keriting berantakan. Dia sembilan senti lebih tinggi, sedang aku cenderung pendek gempal. Oh, ayolah. Semua sel lemak seakan kompak menghuni tubuhku, bukan tubuhnya. Janistra Dwi Wulandara.
Lalu, ketika kami remaja, tentu saja, dia punya pacar dan aku tidak. Lalu saat kami beranjak  dewasa, dia punya pacar baru dan aku masih saja tidak. Tidak pacar lama, tidak pacar baru, dan pelan-pelan mulai merasa selamanya tak akan punya pacar. Lalu aku mulai menjadi perempuan culas, penuh iri dengki, dan sedikit mengadopsi peran tokoh antagonis di sinetron televisi.
Aku tidak suka Janistra bahagia karena pada dasarnya aku tidak suka semua orang berbahagia selagi aku menderita. Huh, memangnya aku apa? Figuran dunia yang nasibnya tak penting? Menyebalkan sekali!
Dengar, aku tidak suka melihat pipi Janistra bersemu merah tiap malam Minggu dan lelaki bernama Pram, Bram atau Brem seperti oleh-oleh khas Madiun itu datang dengan setangkai mawar merah segar bugar. Selagi Janistra tersipu-sipu malu, hal yang sangat konyol menurutku, aku berdoa sekuat tenaga agar tak sengaja tangannya tergores duri-duri mawar itu lalu ia menjerit keperihan, serta-merta membuang si mawar, lanjut menampar muka Si Oleh-Oleh Khas Madiun, dan bubarlah kencan mereka.
Sayang, Janistra tak pernah bisa sejahat aku. Hatinya lembut sekali seperti komposisi hati peri. Jadilah kencan-kencannya dengan Si Oleh-Oleh Khas Madiun terus terjadi.
***
“Pekan depan hubungan Ndara dan Bram sudah genap sembilan tahun. Bagaimana menurutmu?”
Huh, Ibu bahkan sempat-sempatnya mengingat pekan depan sebagai tahun kesembilan hubungan Janistra dan Bram. Apa pentingnya? Sebegitunya Ibu mengingat tanggal, bulan, tahun, dan menghitung-hitung umur jadian Janistra dengan Si Oleh-Oleh Khas Madiun. Apa yang Ibu ingat tentangku? Jangan-jangan yang Ibu ingat hanya sebatas aku anaknya, bukan kembaran Janistra. Tentu saja. Aku juga hampir lupa bahwa kami ini sepasang kembar. Andai saja aku bukan saudara kembar Janistra, mungkin aku tak akan sesebal ini.
“Bagaimana apanya? Lagi pula, Ibu ingat sekali dengan hari jadi Ndara dan pacarnya itu. Jangan-jangan Ibu salah,” ujarku, sambil memencet-mencet adonan roti lebih kuat daripada yang sebetulnya dibutuhkan untuk membuatnya kalis.
Sampai Ibu melirik adonan di tanganku dan berujar, “Kamu berbakat sekali mengolah adonan, Ndari.”
Itu pujian atau sindiran? Aku melengos. Tapi, hanya di dalam batin. Tersenyum sinis pun cuma di batin. Tak berani terang-terangan atau Ibu akan menggamparku bolak-balik dengan kayu pemipih adonan kue. Ibu bukan tipikal ibu-ibu berperangai kasar. Tapi, ibuku sangat tak suka anak perempuan beraut menyebalkan. Sepertiku mungkin. Nyatanya aku merasa Ibu selalu lebih keras padaku ketimbang pada Janistra.
“Tentu Ibu ingat, Ndari. Mana mungkin Ibu tak ingat tentang anak sendiri?” ujar Ibu selagi adonan kueku sudah kubentuk cepat-cepat dan kusemayamkan dengan tenang ke dalam oven.
“Tadi siang katanya Ibu mau mengembalikan jahitan ke Bu Rahma. Kedodoran, ‘kan? Biasanya jam segini Bu Rahma sudah di rumah,” ujarku mengingatkan Ibu pada ucapannya sendiri siang tadi.
Bu Rahma tetangga selang beberapa rumah. Penjahit rumahan yang pagi sampai siang jelang sore juga mengajar di sebuah sekolah alam. Tapi, bukannya buru-buru meninggalkan dapur dan mencari jahitan yang perlu diperbaiki itu, Ibu malah kembali menuang tepung ke baskom dan mengambil mentega. Pertanda ia akan lebih lama lagi berkutat di dapur.
“Ah, nanti sajalah. Malam pun tak apa. Lagi pula, tak enak rasanya ke sana tanpa membawa buah tangan. Sekalian tunggu rotinya matang.”
Aku mengernyit cepat tanpa sempat kucegah. Untung aku sedang membelakangi Ibu. Saat aku membalik badan, kernyitanku sudah seperti warna baju usang atau batik murahan setelah dicuci dengan detergen banyak-banyak dan dijemur di bawah terik matahari seminggu lewat enam hari. Pudar sepudar-pudarnya.
Apa hubungannya jahitan kedodoran dengan roti matang? Biasanya bolak-balik ke rumah Bu Rahma menjahitkan ini-itu bahkan sejak aku balita, tak perlu membawa buah tangan.
“Lagi pula, ada yang lebih penting untuk Ibu bicarakan denganmu. Soal Ndara dan Bram itu,” lanjutnya.
Tuh kan, benar saja. Segala tentang Janistra memang selalu lebih penting bagi Ibu.
“Jadi bagaimana menurutmu?” tanyanya lagi saat aku masih bergeming membalas tatapannya yang begitu menuntut pertimbangan.
Ibu sekarang tak lagi fokus mengurusi tepung dalam baskom dan menteganya. Perhatian Ibu tampaknya terkuras seluruhnya pada pertanyaannya barusan. Masih tentang Janistra dan lelaki yang enggan kusebut namanya.
“Bagaimana apanya?” tanyaku berlagak bodoh.
Mungkin satu-satunya lulusan magister sains yang langsung berubah dungu kalau diajak bicara tentang saudaranya. Ibu mendesah keras.
“Ya itu, hubungan Ndara dengan Bram,” ujarnya tak sabar. “Menurutmu bagaimana, sudah pantas kan kalau mereka menikah atau yah… paling tidak bertunangan begitu? Sudah sembilan tahun. Sudah lebih dari cukup kan untuk diikat lebih kuat?”
Huh, memangnya mereka sepasang tanaman rambat yang sulur-sulurnya perlu diikat lebih kuat ke bambu penyangga? Konyol sekali!
Lihat, Ibu malah sudah meninggalkan tepung dan menteganya untuk mendekatiku. Celemeknya saja entah sudah disampirkan di mana. Aku tak bisa berkelit lagi. Sekarang perempuan berambut dua pertiga putih keperakan itu sudah tinggal enam jengkal dari badanku. Aku ikut mendesah. Sekeras yang kudapat.
“Mana bisa mengukur kepantasan suatu hubungan hanya dari lamanya umur mereka jadian, Bu?”
Jawabanku sepertinya mengecewakan Ibu. Tak sesuai dengan yang diharapkannya. Sinar matanya meredup. Maaf. Harus begini agar nasib baik Janistra tak makin menjadi-jadi, lalu aku jadi kian sulit mengejar ketertinggalan.
“Sembilan tahun tak membuktikan apa-apa, Bu, selain hubungan mereka memang sudah sembilan tahun. Lantas apa? Itu bisa jadi patokan kesetiaan dan tanggung jawab seorang Bram pada Ndara?”
Aih, terpaksa sekali aku menyebut nama lelaki itu dengan baik dan benar. Seperti ejaan yang disempurnakan.
“Tak bisa, Bu. Banyak kan pasangan selebritas yang akhirnya cerai juga setelah menikah dengan kekasihnya yang sudah bertahun-tahun dipacari? Seperti Ndara dan Bram,” lanjutku.
Ibu mendesah putus asa.
“Jadi menurutmu, sampai kapan Ndara dan Bram dibiarkan berpacaran saja? Berapa tahun lagi?”
Aku menumpuk serbet-serbet yang telah kulipat sedemikian rapinya. Kotak-kotak merah, kotak-kotak biru, kotak-kotak hijau, kotak-kotak kuning, kotak-kotak hitam. Kenapa serbet selalu saja kotak-kotak?
“Sampai kita yakin Ndara dan Bram patut disandingkan,” ujarku mantap, setelah menumpuk serbet terakhir. Kotak-kotak hitam. Jadi tambah hitam karena ternoda jelaga. Sebentar lagi pasti akan kupensiunkan ia dari masa dinasnya.
“Dan sekarang kamu belum yakin?” tanya Ibu dengan mata menyelidik.
Aku tahu jawaban apa yang diharapkannya. Tapi lagi-lagi aku memilih tak memenuhinya. Aku menggeleng. Kedua bahu Ibu melunglai.
“Kurang apa lagi, sih, menurutmu? Bram dan Ndara sama-sama sudah cukup umur. Mereka dekat sudah lama. Dua-duanya juga sudah sama-sama bekerja. Pasti tak berat jika mereka menikah dan langsung dikaruniai momongan.”
Ibu bicara begitu sambil memandangi oven dengan rotiku yang hampir matang di dalamnya. Aku ikut memandangi oven. Oven yang menarik.
“Bukan soal kurang yang seperti itu, Bu. Hanya kurang mantap. Ndari punya banyak kenalan dan Ndari tahu banyak pengalaman mereka yang tak selalu manis ketika akhirnya menikah dengan kekasih masing-masing. Ndari tak bermaksud lebih tahu daripada Ibu. Tapi zaman sudah berubah, Bu. Hubungan lelaki dan perempuan sudah jauh berbeda sekarang. Pernikahan bukan sekadar dua orang dijadikan satu rumah, lalu adem-ayemlah rumah tangga mereka seumur hidup.”
Ini satu-satunya keunggulanku dibanding Janistra. Modal pendidikanku yang satu tingkat lebih tinggi daripada Janistra dan karierku yang jauh lebih baik daripada Janistra yang hanya staf biasa, membuat omonganku selalu didengar Ibu. Apalagi Bapak sudah tak ada. Kepada siapa lagi Ibu akan meminta pertimbangan kalau bukan  padaku?
“Zaman sekarang, istri tak memegang peranan sepenting dulu. Ibu pasti mau bilang, di zaman feodal, peran istri tak lebih dari teman di kasur dan di dapur. Apanya yang lebih penting ketimbang sekarang? Begitu, ‘kan?”
Ibu diam saja. Tapi, matanya yang beralih dari oven ke mataku memang mengatakan begitu. Aku tersenyum simpul.
“Itu jauh lebih baik daripada sekarang, Bu. Zaman sekarang, kalau cuma soal memasak, jasa pembantu sudah siap sedia. Upah pembantu memang  makin mahal. Tapi selevel Bram, ia tak akan kepayahan membayar pembantu untuk memasakkannya makanan-makanan sedap. Pun warung makan dan resto sudah menjamur dengan berbagai pilihan menu dari Asia, Eropa, sampai khas Timur Tengah dengan berbagai pelayanan super bagus. Fungsi istri sebagai pengurus dapur sudah tergantikan.”
“Sedang urusan ranjang, maaf, Bu. Terdengar tabu memang, tapi zaman sekarang mendapatkan perempuan yang berbeda-beda untuk memenuhi kebutuhan yang satu itu sudah semudah mendapatkan buah tomat dari pohonnya.”
Ibu terlihat bergidik. Tambah bergidik saat kutambahkan dengan nada prihatin, “Jelas jauh lebih bervariasi ketimbang seorang istri. Istri hanya begitu-begitu saja dan malah akan menua seiring umur perkawinan. Tapi perempuan sewaan kan bisa dipilih sesuai selera. Dari yang sebaya, lebih tua dari Bram, sampai yang masih seragam sekolahan, banyak. Tinggal pilih. Apalagi pekerjaan Bram sering ke luar kota. Ia punya banyak relasi di luar sana. Itu sangat memungkinkannya punya daftar jasa perempuan seperti itu.”
Ibu mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah seolah menepis bayangan mengerikan di kepalanya.
“Ah, Bram tak mungkin begitu. Dia tak terlihat seperti lelaki yang senang begitu.”
Aku menang. Ibu menyangkalku memang. Tapi ia tak bisa menyembunyikan keragu-raguannya sendiri. Dan jadi makin terlihat ragu saat kubilang, “Makanya kita jangan buru-buru mengikat Ndara dengan Bram. Kita butuh waktu untuk memastikan Ndara mendapatkan lelaki terbaik. Lelaki yang tak hanya menjadikannya tempat menitipkan benih pelestari keturunan dan mengubah status di KTP-nya menjadi ‘kawin’.”
“Ting!”
Ovenku berbunyi. rotiku matang. Aku buru-buru mengeluarkannya. Hmm, sedap sekali baunya. Sempurna. Ibu masing mematung.
“Ibu tak jadi membuat roti lagi? Untuk buah tangan Bu Rahma yang mana, roti ini atau yang mau Ibu buat lagi?”
“Ah, sudahlah. Mengembalikan jahitan tanpa membawa buah tangan juga tak apa.”
***
Janistra tak pernah meminta keputusan apapun terkait hubungannya dengan Si Oleh-oleh Khas Madiun pada Ibu. Tapi wajahnya menampakkan kecewa juga saat malam peringatan hari jadi ke sembilan itu tiba dan Ibu tak mengatakan apapun yang menyiratkan desakan untuk lekas melangkah ke tahapan yang lebih serius. Pun Si Oleh-oleh Khas Madiun bukan tipe pengambil inisiatif pernikahan yang jitu.
Atau mungkin lelaki itu belum siap? Biasalah, lelaki selalu butuh waktu lebih lama untuk siap terutama soal pernikahan. Alasannya macam-macam. Paling sering kemapanan finansial. Yah, kendati calon istri mereka juga berpenghasilan tak kalah banyak. Atau malah terlalu banyak sampai membuat lelakinya minder?
Tapi jelas dalam kasus Bram tak begitu. Penghasilannya lebih tinggi dibanding Janistra. Kalau penghasilan dua orang ketiban asmara itu disatukan, cukuplah untuk menafkahi diri mereka dan dua anak secara sederhana. Tapi kalau aku ditanya pas sifat nyinyirku berada di level tertinggi, kubilang pasti itu karena Bramnya saja yang masih lirik kanan-kiri. Pernikahan menyulitkan pemenuhan hasratnya melirik-lirik. Yah, lelaki mana yang mau digunjing orang telah selingkuh atau setidaknya zina mata dengan perempuan yang jelas-jelas bukan istrinya? Nanti merusak pencitraannya sebagai lelaki baik-baik, menantu idaman ibuku.
Sedang Janistra, yah, sebagaimana perempuan-perempuan pada umumnya, ngebet kawin. Maklum, umur-umur segitu. Hush! Jangan sebut aku! Aku tak termasuk! Atau akunya yang tak punya calon? Tak mungkin kan aku berbagi pelaminan dengan batang pisang? Oh, ayolah, jangan batang pisang lagi!
Lalu kau pasti ingin bertanya dari mana aku tahu Janistra kecewa. Wajahnya? Aih, memangnya aku ini siapa? Teman seperguruan ahli pembaca wajah yang kerap muncul di teve-teve? Tentu saja bukan. Tapi, hei, aku ini kembarannya. Biar kata kami berasal dari dua sel telur yang berbeda, tetap saja kan kami satu rahim dan satu jalan lahir? Memangnya Janistra dikandung di perut sedangkan aku di punggung hingga aku tak paham apa kabarnya dia dan dia tak paham apa kabarku?
Maka malam sembilan tahun itu berjalan datar. Datar sekali. Dan aku bersorak kegirangan. Waktu Si Oleh-oleh Khas Madiun akhirnya pamit mengajak Janistra pergi cari angin, aku berpetuah, “Kalian harus terus saling menjaga satu sama lain seperti yang selama ini kalian lakukan. Itu kan kunci dari sebuah hubungan? Semoga langgeng ya.”
Janistra yang berkomposisi hati peri mengangguk taat, sedang kekasihnya itu berterima kasih dua kali. Oh, baiklah, kalian kelihatan senang dengan petuahku dan aku berjanji tak akan bosan mengulangi tahun depan dan tahun depannya lagi. Selagi tak ada janur kuning melengkung di dekat pagar. Selagi hubungan kalian hanya seperti orang latihan baris-berbaris, jalan di tempat terus.
Aku tak tahu motif lainnya. Aku hanya tak suka dan akan berupaya sedemikian rupa supaya janurnya tak melengkung mendahului lengkung janurku. Kapankah itu? Kapan-kapan, kalau jodohku sudah datang. Kapan? Ya mana aku tahu?! Kalau aku tahu, bisa kupesankan undangannya sekarang.
Oh ya, selagi Janistra menikmati kecewa tak didesak Ibu lekas kawin, aku akan menikmati dua pekan di Papua. Ada pertemuan dengan klien kantor di sana. Orang-orang Eropa. Sudah kuajak bertemu di Nusa Dua saja. Bali sebagai surganya dunia sudah tersebar ke seluruh agen wisata pun aksesnya jauh lebih mudah dengan beragam fasilitas pula. Mulai transportasi, akomodasi, hiburan, sampai wisata alamnya yang tak perlu diragukan lagi.
Tapi sekelompok orang Eropa itu memilih Papua. Bosan katanya. Bosan bukan dalam arti sebenarnya. Bali memang cantik, juga eksotik. Jelas tak cukup menikmatinya hanya sesekali. Tapi Papua lebih membuat penasaran kata mereka. Wamena dan tentu saja Raja Ampat yang konon menawannya seperti perawan. Baiklah, aku akan berangkat ke sana. Papua, tunggu aku!
***
“Kamu jadi berangkat, Ndari?”
Ibu muncul di ambang pintu kamarku. Janistra ikut di belakangnya dan langsung masuk ketika Ibu masih saja bertahan di ambang pintu. Janistra duduk di pinggir ranjangku yang berserakan barang-barang yang besok kubawa.
“Jadilah, Bu. Tiket sudah dipesan, sekarang pun sedang berkemas,” sahutku sambil terus melipat-lipat pakaian dan memasukkannya serapi mungkin ke dalam tas.
Ini bukan kali pertama aku akan menemui klien di luar kantor. Tapi yang ini agak ribet. Pasalnya pembicaraan urusan pekerjaan nanti tak bisa dipastikan dalam suasana seperti apa dan di mana. Mungkinkah kami hanya akan bertemu dan membahas urusan pekerjaan saat di restoran atau penginapan? Kalau di sana ada restoran yang memadai untuk meeting.
Sayang aku tak bisa memastikan. Aku belum pernah ke Papua sebelumnya. Sedang membicarakan urusan pekerjaan di penginapan rasanya agak mengganggu suasana kerja jika ternyata tempat penginapannya tak seperti yang kubayangkan. Atau pembicaraan tentang pekerjaan malah akan berlangsung sembari para klien itu menikmati berbelanja di pasar Wamena dan snorkeling di Raja Ampat?
Jadilah aku juga tak dapat memastikan pakaian seperti apa yang akan kupakai di sana. Daripada salah kostum padahal di sana aku tak punya referensi di mana harus membeli baju kantor atau baju santai, lebih baik aku membawa semuanya dari rumah kan? Hmm, aku jadi lebih mirip orang mau hijrah ke Papua selamanya ketimbang singgah di sana dua minggu saja.
Demi melancarkan urusan dengan klien dan mengantisipasi apapun yang terjadi di sana, aku bahkan sudah membeli pakaian menyelam dan perlengkapan snorkeling. Kalau-kalau klienku itu mengajakku snorkeling di Raja Ampat. Yah, walaupun aku belum pernah melakukannya, setidaknya berjaga-jaga membawa pakaian dan sedikit peralatannya lebih baik ketimbang sama sekali tak membawa apapun dan hanya menjadi kambing congek melihat mereka asyik sendiri di permukaan air.
Soal instruktur, aku harap di Raja Ampat ada orang terlatih yang siap mendampingiku kalau aku memang harus terjun ke bentangan air yang aku tak tahu mengandung keluarga hiu dan pasukan ubur-ubur atau tidak. Kalau ternyata tak ada instruktur dan aku tak cukup berani untuk nekat menceburkan diri hanya demi menggolkan negosiasi-negosiasi, setidaknya aku sudah nampak berusaha. Itu tak akan terlalu mengecewakan para klien dan di lemariku akan ada bukti kalau aku setidaknya pernah berniat melakukannya.
“Papua itu jauh sekali, Ndari,” keluh ibuku.
“Memang, Ibu. Di peta saja letaknya di ujung begitu. Tapi Ibu tak usah khawatir, Ndari toh tak pergi sendiri. Asisten Ndari, Iwan, juga ikut. Yah, walaupun dia anak baru dan pengalamannya masih sedikit, setidaknya dia laki-laki. Ada yang menjaga Ndari kalau-kalau di sana terjadi perang antarsuku,” ujarku berseloroh.
Ibu coba nyengir sedikit. Tapi Janistra malah sama sekali tak.
“Ya sudah, bawa saja semua yang perlu dibawa. Pastikan obat-obatan dan pakaian hangat tak tertinggal. Selesai berkemas, istirahatlah.”
Aku mengangguk. Ibu lenyap dari ambang pintu. Janistra masih mengendap di pinggir ranjangku. Seperti saripati singkong setelah air perasannya semalaman diendapkan. Airnya dialirkan, patinya tertinggal. Ibu pergi, ia masih di sini.
“Kenapa harus jauh-jauh, Kak? Tak bisa ketemu kliennya di sekitar sini saja?” ujarnya setelah beberapa waktu hanya mengendap dalam senyap.
Aku mendesah.
“Maksudmu di mana? Di rumah tetangga sebelah atau balai PKK ujung jalan itu?”
“Ya bukan begitu. Tapi tak perlulah sampai sejauh Papua. Ndara khawatirkan Kakak. Pun Kakak, kita sekeluarga, bahkan mungkin orang-orang sekantor Kakak belum ada yang pernah ke sana. Apalagi Papua tak sehingar-bingar Bandung, Surabaya, Bali. Ndara cemas kalau sesuatu yang kurang baik terjadi, Kakak tak bisa lekas pulang atau menghubungi. Kami pun akan susah mencari.”
“Haduh, kamu pikir aku akan melancong ke hutan Amazon? Hutan Amazon saja sudah banyak diinjak kaki peneliti dan pembuat film. Aku cuma mau ke Papua, Janistra. Kurasa aku tak akan dihadang kingkong di pinggir jalan. Tenang saja. Aku akan mengoleh-olehimu koteka terbaik yang bisa kudapat.”
“Tapi tetap saja Ndara khawatir, Kak,” ujarnya seraya memilin-milin ujung baju di pangkuan.
Idih, imut sekali gayanya. Yah, aku sedikit iba juga melihat wajahnya memelas begitu. Jika kami masih kanak-kanak, mungkin aku akan berlari memeluknya dan menenangkan gusarnya. Tapi selepas dewasa dan makin banyak ia mengalahkanku kecuali dalam hal tingkat pendidikan dan jenjang karier, ibaku sering cepat berganti muak.
“Ya sudah, kalau begitu jangan doakan yang buruk-buruk,” sahutku.
“Tentu tidak, Kak, tapi ….” (Bersambung)

***

Marliana Kuswanti

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:

http://www.femina.co.id/fiction/
 


Topic

#FiksiFemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?