Fiction
Tak Ada Senja di Ubud (3)

25 Jul 2016


Bagian 3

Kisah sebelumnya<<<<<
Berusia matang membuat Putti harus menerima desakan orang-orang di sekitarnya untuk menikah. Putti yang hobi merangkai bunga berkenalan dengan Hilmar,  pemilik kebun bunga. Ketika cinta mulai bersemi, Hilmar baru mengaku bahwa ia masih terikat perkawinan. Ketika ia memutuskan mundur, Hilmar tak melepasnya begitu saja.
 

Mereka menyusuri sepanjang jalan aspal kecil itu dan menemukan penginapan yang cocok untuk Hilmar. Sebuah resort sederhana tetapi indah. Kamar Hilmar ada di lantai dua menghadap utara. Pohon kemboja menjulang tinggi nyaris menyentuh jendelanya di sisi barat daya yang berkaca lebar. Gorden putih tulang dipadu motif batik soga. Dari balik jendela itu, ia bisa meraih kuntum kemboja putih semburat kuning.
Ia sempat memikirkan bahwa sebuah impian pernah berada dalam sejangkauan, seperti ia meraih kuntum kemboja itu. Tetapi kini terlepas. Oh.. tidak. Maksudnya impian itu sengaja ia lepaskan. Putti mengedar pandang ke luar jendela. Ubud benar-benar cantik membuat kerasan. Tiba-tiba ia ingat sesuatu. Sontak menoleh Hilmar yang sedang membasuh muka di wastafel.
         
“Sampai di mana rencanamu membangun rumah istirahat di tepi kebunmu?”
 “Yang pasti aku menundanya. Belum ada energi untuk memikirkan lagi. Dulu aku bersemangat karena semua itu akan kurancang bersamamu, sedetail mungkin.” Putti mendesah. Dan sekali lagi menguatkan diri untuk menutup segala celah.  
           
Bahkan pada sorenya ketika mereka menyusuri sepanjang Jalan Campuhan, Putti tak pernah hilang fokus. Keputusannya terhadap Hilmar tetap tak terbelokkan. Tetap tegas, setegas langkah kakinya. Sesekali Putti memotret canang yang dipasang di tepi trotoar. Irisan daun pandan, bunga keningkir kuning dan merah kembang sepatu tertata pada tatakan janur sewarna gading.
“Ketika ke Bali, beberapa tahun lalu, aku hanya ke Sanur dan Nusa Dua. Aku tidak ke Ubud. Cukup kaget melihat bar dan kafe sudah nyaris memenuhi Ubud kecil ini. Hampir tak berjarak,” Hilmar berkata ketika Putti selesai memotret tikungan dengan latar Pura.
“Ya, untuk konsumsi turis asing. Kurasa tak perlu penjelasan panjang lebar, kita tahu apa alasannya. Nah, di sinilah salah satu lokasi yang ada di dalam novel itu.”
“Novel apa?”
“Yang sedang kugarap skenarionya.”
“Oh, aku lupa. Dalam rangka itu juga kamu ke sini.” Putti tersenyum. Memandang sebentar pada Hilmar yang menatap ke seberang. Pikiran Putti masih berkutat pada kehidupan yang ada di dalam novel itu. Ketika tokoh-tokohnya membuat sebuah rencana, namun tak pernah berjalan seperti yang direncanakan. Tetapi berputar-putar, melingkar-lingkar, terbentur-bentur lalu dibawa ke peralihan demi peralihan. Peristiwa demi peristiwa, tetapi tokoh itu tidak pernah menyerah. Ketika Putti mencamkan plot dan alur cerita dalam novel itu, tiba-tiba Hilmar terpekik, hingga Putti langsung memutar badan menatap Hilmar.  
           
“Heii.. kamu menyadari tidak, rasanya begitu saja tempat ini beralih gelap, tanpa melewati remang senja?” Hilmar mengedar pandang. Beberapa saat lalu masih tampak terang, lalu tiba-tiba gelap melahap. Putti tertawa.
“Tak ada senja di Ubud, Hilmar. Topografinya membuat Ubud luput dari tatapan matahari sore. Bukit-bukit mengepung desa kecil ini.”
“Oh, tempat ini tidak memberi ruang untuk merenungi perpindahan. Dari sore langsung menjadi malam. Lompatan yang tak tanggung-tanggung. Seperti perjalanan hidup kita. Maksudku, perjalanan hidupku bersamamu. Tidak sempat aku merasakan proses pergeseran. Perpindahan yang ekstrem. Dari riang, langsung kepada sedih.”
 “Mestinya kamu tahu, kalau aku juga sedih, Hilmar. Sedihku berlipat. Tetapi inilah yang terjadi,” katanya tanpa menolak saat tangan Hilmar menggandeng tangannya, lalu berjalan beriring. Hilmar tak pernah surut harapan untuk bisa membuka pintu hati Putti. Meski ia tahu harapan itu tipis, tetapi setidaknya masih ada.

Sepanjang sore melompat menuju malam itu rupanya menjadi perjalanan penuh refleksi bagi keduanya. Bau dupa dan wewangian bunga serta perdu liar di sisi ruas jalan  mengantar Putti dan Hilmar pada perenungan bahwa hidup tak pernah mudah. Melewati Museum Antonio Blanco mereka masih mencoba meraih sebanyak mungkin arti kebersamaan yang barangkali nanti akan tinggal menjadi prasasti. 
“Aku selalu senang bersamamu, seperti ini, Putti. Juga seperti ketika kamu berada di kebunku. Rasanya aku tenang sekali.”
“Awalnya aku pun begitu, tetapi tidak lagi setelah aku bertemu Maura.” Hilmar menatap Putti dalam-dalam. Menghela napas, lalu memilih diam. Ia tak pernah berenti berharap untuk bisa meraih dan mencairkan hati Putti. Dan betapa ia ngeri jika harapan satu-satunya itu terpaksa harus dimasukkan ke dalam peti, dan ditutup lalu dikunci. Ia berharap itu tidak terjadi.

Tetapi hingga mereka akhirnya melihat gelaran wayang di Pura Dalem dan usai, tak sepatah kata pun ditemukan Hilmar untuk mengungkap betapa hatinya tak pernah berhenti mendamba. Rindunya pada perempuan di sampingnya sudah begitu meluap, ia berada di dekat, bahkan jemarinya masih ia genggam, tetapi gadisnya terasa begitu jauh. Daya magis tempat itu membuat Hilmar meneliti dirinya, bahwa ia kini seperti sedang menikmati secangkir kopi, sececap demi sececap menuju ampas pahit yang tak bisa dihindari.
Malam makin menua, berdua kembali menyusuri  jalanan sepi. Hanya sesekali terdengar gelak tawa yang keluar dari pintu bar. Hingga mereka hampir sampai di dekat Puri Ulun, tempat Putti menginap. Saat Hilmar mengucap ‘selamat malam’ dan ingin menyampaikan keinginan kepada Putti untuk diizinkan menciumnya sekali saja, ponsel Putti berdering.
Nomor tak dikenal. Dalam lemahnya cahaya lampu jalan, Putti menimbang apakah ia terima panggilan dari nomor tak dikenal itu. Tetapi, sesaat kemudian  ia meminta izin kepada Hilmar untuk mengangkatnya. Hilmar mendengar Putti menyebut nama Rambu. Lalu pembicaraan menjadi seru dan penuh semangat. Ada gelak tawa. Hilmar melihat kilat mata Putti. Lalu ada janji.   
 “Baik. Sampai ketemu besok.” Putti menutup telepon. Menatap Hilmar dalam cahaya lampu yang lemah.
“Siapa Rambu?”
 “Penulis novel yang sedang kukerjakan skenarionya itu. Besok ia akan datang, untuk mendiskusikan pekerjaan tentunya.”
 
***
Rambu menunggu di bangku paling tepi di kedai kopi itu. Membaca buku, menaklukkan waktu. Perawakannya sedang, kemeja kotak-kotak dominasi biru sangat pantas dikenakannya. Selulus sekolah dua puluh tahun lebih, mereka tak pernah bertemu. Dan kini buku telah memertemukan mereka. Putti mengingat-ingat, siapa yang naksir atau ditaksir Rambu saat SMA dulu? Putti tak ingat, atau tak menemukan. Ah... Rambu bukan siswa yang menonjol, bukan idola, bukan bintang kelas.
“Rambu,” panggil Putti renyah. Ia mengangkat wajah, menatap Putti dengan mata menyipit, lalu tersenyum tanpa basa-basi. Kemudian menutup buku dan berdiri mengulurkan tangan, menjabat dan menyilakan Putti duduk di bangku sebelahnya.
Sorry aku agak telat datang,” kata Putti sambil meletakkan tas.
“Santai saja. Aku tidak kesulitan menyiasati waktu. Apalagi di tempat cantik seperti Ubud ini.”
“Dua dekade berlalu, selama itu kita tak pernah lagi ketemu. Tetapi kamu tak banyak berubah dari zaman SMA. Ha… ha… ha….”
“Begitukah menurutmu? Tetapi sekarang badanku tidak kerempeng lagi, tidak jerawatan. Justru kamu yang rasanya masih….” Rambu menatap Putti, meneliti wajahnya. “Oh, tidak. Kamu makin cantik dan matang. Tidak sama seperti kala SMA.” Gelak tawa mereka tak menjaraki. Kalimat-kalimat konyol. Atau hanya sekadar formalitas saja karena jelas-jelas mereka tak mungkin sama dengan semasa SMA.
Duapuluhan tahun berpisah, Rambu pindah ke Bandung, Putti tetap di kotanya hingga kini. Tak pernah ada kontak, tak ada reuni. Baru akhir-akhir ini mereka bersua, meski hanya lewat e-mail atau SMS. Itu pun untuk merundingkan proyek.
“Apakah di Starbucks ini juga kamu pilih untuk mempertemukan dan memisahkan tokoh perempuan dan tokoh laki-laki dalam novelmu?” Rambu tertawa hingga memancing pengunjung lain menoleh.
“Benar. Bangkunya juga di sini. Hanya waktunya saja yang beda. Di novelku malam hari, kita siang hari. Bagaimana menurutmu? Apakah penggambaranku sudah mendekati tepat?” Rambu menatap mata Putti, tatapan yang membuatnya tercekat. hingga membuat Putti gagal konsentrasi.

“Ya, aku bisa mengenalinya. Tepat saat ini aku sedang mengulang baca pada bagian itu,” jawab Putti setelah terdiam beberapa detik.
“Tapi, bisakah kita bertukar tempat duduk? Kalau tak salah, tokoh perempuan duduknya di bangku yang kamu duduki. Kamu ceritakan, ketika ia menoleh ke kiri, ia mendapati pintu keluar, bukan jalan menuju toilet.” Rambu nyaris tergelak. Tetapi ia mengeremnya mengingat tawa yang tadi menolehkan beberapa pengunjung. Ia tak menolak permintaan Putti. Maka mereka bertukar tempat duduk sambil memindahkan barang masing-masing.
“Nah, sekarang sepertinya pas. Meski kita bukan tokoh-tokoh dalam novelmu, tak ada jeleknya kalau saat mendiskusikannya kita berada pada lokasi yang persis sama. Sebab, di sinilah tokoh novelmu mengambil sebuah keputusan yang membalik seluruh jalan hidupnya. Menjadi biara. Saat itulah perpisahan terjadi, begitu hening dan murung. Setidaknya seperti itu perasaanku saat membacanya.” Rambu menyimak kalimat Putti sambil menggigit-gigit kuku ibu jarinya.
“Yah. Sejarah tentang manusia adalah sejarah tentang penderitaan. Bahkan yang sering berjadi, ketika kita meraih kebahagiaan, jalan yang harus kita lalui pun penuh penderitaan, kesedihan, bahkan  luka,” katanya kemudian. Putti terkunci. Lalu menghela napas.
“Itu yang membedakan manusia dengan dewa, malaikat, hewan atau makhluk lain.” Rambu tersenyum. Tetapi Putti malah menghunjam mata pada pusaran chocolate-nya. Tanpa ia tahu Rambu menangkap sebuah misteri dari suara dan tatapan matanya.
“Akan berapa lama di Ubud?” Rambu bertanya usai mencecap dark mocha.
“Minggu sore.”
“Sebelum itu ada acara khusus?”
“Sabtu malam ada grand opening Agung-art Gallery milik kawanku.”
Emm... menarik. Di mana?”
“Sayan. Mau ikut?”
“Boleh,” kata Rambu tanpa ragu. Ia mengaduk larutan hitam itu pelan, lalu mendongak. Sekali lagi kilat mata mereka memantulkan cahaya yang menyusup hingga relung-relung hati keduanya. Entah bagaimana, tatapan mata itu menjadi peristiwa puitis yang membuat cara bicara mereka bergeser, tidak lagi penuh gelak tawa. Tetapi rendah terukur, yang sesekali membuat mereka tersenyum.
“Kita jalan, yuk! Ada tempat yang kita bisa capai antara empat jam. Sedikit berkeringat, tetapi kamu tak akan pernah melupakan selamanya.”
“Ah, promosimu meyakinkan sekali.”

Mereka keluar, dengan motor sewaan, melintasi jalanan aspal, melewati Neka Museum, lalu Anhera. Lalu Indus, Left Bank lalu berpapas dengan barisan umat berbusana atasan putih berarak untuk upacara ngaben. Dan motor mereka makin kencang mengarah ke bukit. Di sebalik Indus, di seberang jurang.
Tiba di kaki bukit, Rambu memarkir motornya di rumah penduduk. Memandang jalan setapak berliku, kanan-kiri tanaman perdu menghijaukan alam.
“Udara di sini segar sekali dan suasananya tenang,” kata Rambu, menarik napas dalam, lalu mengembusnya.
“Kamu kenal sekali dengan daerah ini?”
“Aku sering merenung di tempat ini. Mari kita naik ke sana. Jangan sampai kita terlambat.” Mereka menapaki jalan baru bersama cerita lama. Mempercakapkan tentang film, buku, dan makanan. Mempercakapkan tentang petualangan dan catatan perjalanan.
“Rambu, adakah senja di Ubud?”
Rambu tercekat, ia menatap lama mata Putti, lalu berpaling ke arah puncak bukit nun di atas sana. Hatinya berdesir, bahwasanya senja itu yang akan ia berikan pada Putti. Bertahun ia berharap rasa semasa SMA itu kelak akan menemukan momennya. Momen untuk mempersembahkan sesuatu kepada Putti. Sesuatu yang akan dikenang selamanya. Dan ia memilih momen ini.
“Kamu akan melihatnya, Putti. Justru itu yang akan kuberikan padamu.”
Putti menoleh pada lelaki itu. Hening air muka nan bening.
“Selama aku mengerjakan novel itu, persis aku bekerja di Ubud, aku kerap datang ke sini, dan aku sering mengingatmu, bahkan sering bertanya-tanya, di mana kamu kira-kira saat ini.” Suara Rambu nyaris berbisik. Bersaing dengan desau angin persawahan dan gemericik arus sungai kecil yang membelah tanah perbukitan itu.
“Aku tak percaya itu.”
“Silakan. Tetapi, kamu boleh menanyakan kepada produser film kenalanmu itu, tanyakan siapa yang memilih penulis skenario novelku.”
“Artinya?”
“Aku sempat kehilangan jejakmu. Semasa kita kuliah di beda kota. Tetapi kemudian aku menemukanmu lagi bahwa ternyata kamu beraktivitas tak jauh beda denganku, meski menulis bukan profesi utamaku. Dan semesta membantu. Seorang produser berniat membuat film mengadaptasi novelku. Saat itulah aku melihat kesempatan. Aku mencoba menawar setelah ngobrol panjang lebar dan diskusi intens tentang proyek itu dan ia setuju kamu yang mengerjakan skenarionya. Lalu kita bertemu, seperti yang aku harapkan.”  
“Rambu. Sungguh aku tak bisa berkata-kata. Kalau ternyata aku sudah masuk ke lingkaran ini sebelum proyek itu dimulai.”
“Hanya saja yang aku khawatirkan adalah, kalau mendapatimu sudah menikah, atau minimal memiliki kekasih mengingat pada usia seperti sekarang ini kita baru dipertemukan oleh alam.”
Hening menyusup. Tetapi getir menyingkir. Dan Putti masih belum percaya bahwa ternyata cinta bisa hadir tepat waktu. Meski Rambu harus menjalani proses panjang dan Putti tak tahu telah terlibat sejak lama. Tetapi untuk saat ini Putti tak bisa berpikir jernih. Semua terlalu tiba-tiba dan tanpa jeda. Ia butuh waktu untuk sadar dari kondisi tercekat. Tetapi tak bisa dipungkiri, ia menangkap getar lembut yang ia curigai bisa berkembang kea rah rasa yang lebih dahsyat.

“Apakah kekhawatiranku itu perlu, Putti?” Putti menggeleng pelan. Disusul tarikan napas panjang Rambu memeluk pundak Putti tanpa ragu. Lalu kembali berjalan dalam diam hingga tak jauh lagi puncak bukit itu akan mereka dapati.
“Kamu tak ungkap dalam novelmu, ketika tokoh itu mengatakan, ‘Tak kutemui senja di Ubud.’ Padahal kamu tahu, ada senja di Ubud.”
“Dengan demikian novelku cacat? Tak selesai? Gagal?”
Rambu menatap Putti.  
“Inginnya senja itu kuberikan untukmu. Biarlah tokohku mencari dan terus mencari lalu menemukan sendiri sebuah senja di Ubud.”
Di puncak bukit itu, Putti dan Rambu mengantar senja beringsut. Melepas bola bercahaya tatkala beranjak meninggalkan hari itu. Temaram, redup seiring jantung Putti yang berdegup. Rambu tetap diam di sebelahnya, menatap pada obyek yang sama. Di kaki langit.
“Indah, bukan?” Rambu menoleh pada Putti. Menjemput mata itu. Begitu dekat.
“Indah sekali.” Lirih suara Putti sambil ia melilitkan selendang kecilnya.
“Senja itu cantik sekali, seperti kamu, Putti.”
“Terima kasih.”
“Tak berubah cantikmu hingga kini. Sekali lagi kukatakan kepadamu, bahwa aku sangat menantikan saat-saat seperti ini. Dan aku tak menyangka momen  itu aku miliki. Berada di puncak Bukit Campuhan, menjemput senja bersamamu.” Putti hilang kata-kata. Segala pedih perihnya terasa luruh. Ke mana perginya duka lara itu?
Di kaki garis cakrawala itu, langit memerah jingga. Putti mengingat Hilmar. Yah! Di Ubud, Putti mengalami peralihan itu. Proses pergeseran dari terang menuju gelap. Begitu singup hatinya, begitu mistis. Bukankah sebaiknya Hilmar tak perlu menyaksikan peralihan itu? Biar saja ia langsung mengalami lompatan seperti yang ia katakan.
“Oh,” tiba-tiba Rambu mendesah kecil. Putti tercekat. Lalu langit menggelap.
Matahari sudah terbenam saat ia memikirkan Hilmar. Pendar sinarnya tinggal sisa-sisa. Tanpa disadari, Putti telah melewati detik-detik peralihan itu.
“Aku berharap turut terbenam juga sepi sedihku.” Rambu tertawa kecil. menertawai dirinya, menertawai hidupnya. “Mari kita pulang, Putti.” Tangan Rambu meraih pergelangan tangan Putti. Membimbingnya menuruni Bukit Campuhan yang mulai berkabut.

***
“Apakah malam ini kamu jadi ikut ke grand opening galeri milik kawanku, Hilmar?” Putti menelepon seusai mandi.
“Jika kamu tak keberatan.”
“Tentu tidak. Hanya saja, kita nanti juga berangkat bareng dengan Rambu, penulis novel itu.”
“Tidak soal. Jadi bagaimana? Aku harus sudah berada di penginapanmu setengah jam sebelumnya?”
“Begitu juga boleh.”   

***
Bangunan galeri itu tak terlalu besar dibanding galeri-galeri yang ada di Ubud ini. Tetapi, desain interior dan eksteriornya tak kalah bagus. Pilar-pilar kayu, patung dan lukisan yang dipajang jelas konsumsi selera tinggi. Putti mengenal Agung saat perjalanan ke pedalaman Kalimantan. Putti berurusan dengan skenario film, Agung memburu benda seni. Mereka saling menemukan teman perjalanan yang seru. 
Putti sudah melihat bangunan galeri ini dari foto yang dikirim Agung di HP-nya. Ia juga sempat mampir di hari pertama saat ia tiba di Ubud. Kini di depannya, galeri itu seperti penari Bali yang tengah mempertontonkan keindahannya. Sangat menakjubkan.
“Terima kasih sudah hadir untuk kebahagiaan ini, Putti. Apa kabar?” sambut Agung sambil merentang tangan. Bagai kawan lama yang menunggu-nunggu untuk sebuah sua. Di belakangnya, Rambu dan Hilmar berdiri beriring.
“Agung, kenalkan, mereka kawanku. Rambu dari Bandung, Hilmar dari Salatiga.” Agung menyambut hangat, memuaskan dalam berkenalan lalu mempersilakan mereka duduk memilih bangku untuk menikmati tarian dan musik lokal sebelum pintu gedung galeri dibuka.  
Kepada Hilmar dan Rambu, Putti minta pamit memotret penari dari dekat dan beberapa objek yang memang sangat sayang dilewatkan oleh lensa kamera. Sesekali ia mendekat pada Agung bila tak sedang repot menyalami dan menyambut tamu. Tetapi dari aktivitas itu, Putti sesekali mencuri pandang ke arah dua laki-laki itu. Baru kemudian ketika acara nyaris dimulai, Putti bergabung dengan mereka.
Sepanjang acara, Putti merasakan kebekuan. Ia sudah menyangka bahwa perasaannya akan kacau. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Terlalu gegabah ia mengambil keputusan. Tetapi semua sudah telanjur. Dia harus menyiapkan jawaban untuk Hilmar, juga Rambu. Usianya nyaris kepala empat, tetapi ia terlalu naïf menghadapi dua laki-laki yang duduk di sebelah kanan dan kirinya. Beruntung seremonial pembukaan itu lekas usai. Mereka beranjak dari kursi hampir bersamaan lalu menyatu dengan semua tamu, bergerak menuju pada titik yang sama: pintu galeri yang telah digunting untaian melati yang tadi direntang sepanjang pintu ukir.
Agung menjadi ujung tombak, memandu semua tamu untuk menunjukkan koleksi di dalam galerinya. Putti sibuk memotret, Rambu cermat mengamati beragam hasil seni itu, pun Hilmar. Tanpa diketahui dari mana berawal, tiba-tiba saja semua sudah sibuk dengan keinginan dan selera masing-masing. Hingga Putti tiba di depan lukisan besar yang diberi judul Senja Bukit Campuhan. Putti tertegun. Pada lukisan itu, ia bisa merasai semilir angin yang menerpa anak rambutnya. Bau perdu dan pohon-pohon, pendar cahaya yang pudar dan bau itu, oh… Putti sangat mengenalinya. Tiba-tiba ia tergeragap saat ada tangan yang singgah di bahunya. Dari situlah bau yang dikenalinya berasal. Bau parfum lembut.
“Rambu.”
“Lukisan itu indah sekali.”
“Tetapi lebih indah aslinya. Maksudku juga lebih indah momen  yang disimpan di sini,” kata Putti, sambil menunjuk sebuah titik, di mana dia bayangkan duduk bersama Rambu dua hari lalu.
Lama keduanya berada di sana, berbincang di hadapan lukisan Senja Bukit Campuhan hingga ia menyadari Hilmar tak terlihat olehnya.
“Di mana Hilmar, ya?” Rambu celingukan. Putti menyisiir  tiap sudut gelari. Tak ada. Ia mencoba menghubungi HP-nya. Tak diangkat. Sekali, tak diangkat. Sekali lagi, dibiarkan nada tunggu itu karatan di telinganya. Putti putus asa.       
“Siapa dia sesungguhnya, Putti? Maksudku apakah ada hubungan khusus denganmu?”
“Aku akan katakan semua. Akan kuceritakan semua kepadamu. Yang pasti dia bukan kekasihku. Sejak satu bulan lalu.”
“Oh…”
Esok harinya, saat Putti menelepon Hilmar untuk klarifikasi tadi malam, juga untuk menitip salam buat Maura, ponsel Hilmar mati. Beberapa saat berselang ia menghubungi lagi, tetap tidak aktif. Maka ia mengambil keputusan untuk datang ke penginapan Hilmar, sebelum Hilmar chek out nanti siang.
Putti melewati toko suvenir, memilih dan menimbang barang sebentar, lalu mengambil lonceng angin dari bambu yang akan ia titipkan kepada Hilmar buat Maura. Putti bergegas. Berjalan cukup cepat dan dipacu niat. Beruntung penginapan Hilmar tak jauh dari tempatnya menginap.
Saat sampai di depan penginapan Hilmar, tepat ia melihat lelaki itu masuk ke dalam mobil. Oh, rupanya Hilmar memutuskan pergi lebih awal. Atau ada agenda lain?
“Hilmaaar,” Putti memanggil. Pintu mobil terbuka dan Hilmar keluar.
“Aku meneleponmu sedari tadi. HP-mu mati. Lalu aku memutuskan untuk langsung ke sini. Kamu mau pergi sekarang?”
Hilmar berdiri di sisi mobil, menatap Putti dengan tatapan berbeda.
“Ya. Urusanku sudah selesai di sini. Aku akan meninggalkan Ubud sekarang.”
“Titip ini untuk Maura. Sampaikan salam rindu dan sayangku kepadanya.”
“Terima kasih, Putti. Akan kusampaikan. Ada lagi?”
Putti menggeleng.

“Maaf, tadi malam aku pulang mendahului tanpa pamit padamu. Pada kalian.”
“Ya. Kami mencarimu. Kamu bisa cek berapa kali aku menghubungimu. Ingin tahu keberadaanmu.”
“Aku hanya merasa lebih baik aku lekas pergi. Mestinya kamu mengerti.” Putti merasakan nada suara Hilmar yang tajam menghunjam. Menyisakan pedih dan sakit. Sehingga tanpa kemauannya, hatinya mengeras.
“Aku mengerti, aku memahami, sama seperti aku mengerti dan memahami ketika kamu menyampaikan atas desakan ibumu bahwa kamu sudah menikah, Hilmar. Aku mengampunimu saat itu juga. Aku juga mengampunimu saat kamu pergi tak pamit pada kami tadi malam. Baru tahu kalau ternyata kamu punya cara yang kurang menyenangkan untuk….”
Hilmar tercekat. Putti tak melanjutkan kalimatnya. Serta-merta ia meraih tangan Putti dan mengajaknya kembali ke lobi setelah meminta driver untuk menunggunya sebentar.              
“Aku sudah berusaha memaklumi posisimu, Hilmar. Selalu berusaha mengerti sehingga tak perlu menyalahkanmu, atau menyalahkan diri sendiri. Tetapi aku berhak atas hidupku.”
Hilmar masih bungkam. Tetapi tatapannya melunak lalu menunduk, menambatkan mata pada lonceng angin dari bambu.
“Aku mencintaimu, Putti. Cinta yang katamu datang tak tepat waktu itu. Ada di mana kamu sepuluh tahun lalu sehingga aku baru bertemu kamu beberapa saat lalu.”
“Waktu tak pernah berjalan mundur, Hilmar. Betapapun aku menjelaskan dan mengorek-ngorek ingatan, itu tak akan memberi arti apa-apa pada kita.”
“Baiklah, Putti. Kurasa aku benar-benar sudah selesai. Terima kasih atas  kesediaanmu untuk penyelesaian ini.”
“Salamku untuk Maura.”
Himar mengangguk, mengangkat lonceng angin hingga setinggi sejajar kepalanya. Ia tahu gemanya akan menandai akhir dari sebuah kisah. Ia akan memasangnya pada penyangga gubuk di kebunnya. Ia akan meminta izin Maura.
“Maaf, aku hanya menitip itu.”
“Ini lebih dari cukup. Aku pasti akan selalu senang mendengar gemanya.” Suara Hilmar pelan, penuh perasaan. Putti diam, menatap lama pada mata yang masih menatap lonceng angin itu. Terbayang krisan starlion, garberra, anyelir kuning, amarilis, dan setangkup besar mawar maroon ditangkup kain tulle dan pita putih. Lalu semua memudar.
“Selamat jalan, Hilmar.” (Tamat)
 
 ***
Indah Darmastuti


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?