Fiction
Tak Ada Senja di Ubud (1)

25 Jul 2016


Bagian 1
  
Secangkir kopi creamer, dua potong croissant, selai nanas dan butter, scramble egg, semangkuk buah dengan sedikit perasan lemon terhidang di atas meja marmer kecil nan dingin pada permukaannya. Putti menikmati pelan-pelan, sepotong demi sepotong. Tak seberapa jauh dari tempatnya sarapan, air meluap-luap dari kolam renang biru jernih, memanculkan kilau berpendaran.

Sepasang turis berkecipung riang. Putti tak kenal sepasang turis itu. Tetapi ia tahu, kamarnya tak jauh dengan kamar yang ia sewa selama lima hari di resort ini. Sepertinya dari Belanda, atau barangkali Australia. Putti menduga, usia mereka hanya terpaut beberapa tahun saja dengan usia ibunya. Kulit tubuh mereka sudah keriput, dan tampak timbunan lemak di beberapa bagian tubuhnya. Namun, itu tak mengganggu kegembiraan mereka untuk merayakan hidup.
Cukup lama Putti memandangi ketika mereka bercanda di dalam air. Ia turut riang melihat keriangan mereka. Kebahagiaan tak bisa dikelabui dengan usia, lemak di tubuh, keriput kulit. Putti meyakinkan sekali lagi pada dirinya.

Lalu ia ingat mendiang ayahnya. Saat sakit parah menjelang ajal, ayahnya mengatakan barangkali ia tak akan bisa menyaksikan Putti menikah. Tetapi bahkan ibunya pun, sampai sekarang juga tak kunjung menyaksikan Putti menikah, meski kematian ayahnya sudah dua belas tahun berlalu.
“Sebentar lagi sudah kepala empat. Laki-laki seperti apa yang kamu inginkan, Putti? Jangan terlalu lama melajang.”
Pertanyaan di sebuah malam usai hujan. Ibunya duduk di sofa mengaduk teh camomile panas. Putti terdiam, menatap lembut mata tua ibunya, lalu menutup laptop. Ia memutuskan untuk menunda pekerjaan, tanpa keinginan mengingat sudah berapa kali menerima pertanyaan serupa dari orang yang sama. Semua ibu pasti memiliki keinginan yang nyaris sama. Mungkin letak persoalannya adalah bagaimana cara anak menanggapinya.
“Bagaimana mungkin Putti mengajukan daftar sifat, karakter dan syarat-syarat seorang laki-laki yang ingin Putti nikahi, Ibu? Bukankah cinta dan semesta akan bekerja sama dengan Putti? Mengapa harus memaksakan sesuatu yang tak seharusnya dipaksakan?”

“Bukan. Bukan dipaksakan. Tetapi diupayakan. Kehidupan manusia makin lama bukan  makin segar. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Sama saja. Usia sangat memengaruhi kekuatan tubuh. Apakah kamu tidak ingin merasakan bagaimana gembira atau susahnya hamil? Menjadi ibu, itu sangat membahagiakan. Bukankah sepanjang umur manusia, yang dicari adalah kebahagiaan?”
Putti diam. Mencoba mengerti perasaan ibunya. Memikirkan kebahagiaan seperti apa yang ibu ungkapkan dan dambakan pada putri semata wayang.
“Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Ibu juga,” kata Ibu, usai mencecap teh dari bibir cangkir keramik cantik.
“Kalau begitu, berbahagialah, Ibu. Saat ini pun Putti bahagia karena memiliki ibu yang sangat mengasihi Putti.”
“Akan lebih bahagia lagi jika Ibu lekas menggendong cucu darimu. Ingat usiamu.”
Di antara kepulan tipis uap kopi creamer itu Putti membiarkan ingatannya mengembara. Matanya menjadi panas tatkala ia menahan air yang nyaris tumpah.  Selekasnya ia menepis rasa pedih oleh ungkapan ibunya. Bukankah kebahagiaan adalah pilihan? Itu tak ada sangkut paut dengan usia. Buktinya pasangan gaek yang saling siram di kolam renang itu. Mereka tertawa-tawa layaknya pasangan muda yang dimabuk cinta. Canda mereka mengekspresikan kebahagiaan hati. Putti yakin itu. Jangan cemaskan Putti, Ibu. Lirih hatinya berkata.

Ia menarik napas, lalu tersenyum kecil pada sepasang patung yang mengapit jalan setapak menuju pendapa, tempat yang disediakan resort ini untuk sarapan tiap pagi. Pada telinga patung dewa itu terselip kembang sepatu. Merah, memanah jantung hati Putti. Seorang perempuan bersarung, berkebaya dan pinggang diikat selendang biru telah menyematkan kembang itu saat melakukan upacara puja tadi pagi. Patung itu seolah menatapnya. Menakar permenungannya tentang kebahagiaan. Iya, bahagia tak akan datang sendiri, bahagia harus dipilih dan diraih.  

Sekuntum kemboja jatuh di permukaan kolam, lalu mengambang tergoyang seperti lenggok penari legong yang disaksikan Putti tadi malam di pelataran Pura. Ia ingin seperti kembang kemboja yang jatuh itu. Luwes dan tenang menghadapi kehidupan. Tetap santun pada semesta, meski berada dalam keterempasan.
Putti menyeruput kopi creamer, pada tenggorokannya masih tersisa rasa pahit saat ia menyermati susunan acara pada lembar undangan pembukaan galeri seni milik Agung, kawan baiknya di daerah Sayan, akhir pekan nanti. Undangan itu dikirim Agung via e-mail seminggu lalu.
Tetapi itu bukan satu-satunya alasan ia datang ke tempat eksotis dan religius ini. Kedatangannya ke sini juga karena ia sedang konsentrasi pada penulisan skenario film yang sedang digarapnya. Sebuah film yang diangkat dari novel ber-setting lokasi di Ubud. Ia tak menyangka kalau penulis novel itu adalah kawan semasa SMA.

Putti baru tahu ketika ia dan penulis itu mulai berkomunikasi lewat e-mail. Tentu saja Putti tak mengenali sejak awal karena penulis itu menggunakan nama samaran. Ketika seorang produser kenalannya meminta dia untuk membuat skenarionya, lalu ia memelajari novel itu, Putti sangat terkesan, sehingga ia menyanggupi dan kemudian berkenalan dengan penulisnya untuk proyek itu.
Penulis itu mengenalkan diri sebagai Rambu. Rambu yang  tiap hari dijumpainya di sekolah dengan seragam abu-abu dua dekade lalu. Tetapi ingatan Putti tentang kawan itu amat terbatas. Yang tersisa dalam memorinya adalah: ia sangat pendiam dan kutu buku, dan bukan kawan yang merepotkan.  
Dan kini ia akan mengunjungi tempat-tempat yang disebut di dalam novel itu. Ia ingin skenario yang ia tulis lalu dibaca pemerannya bisa mudah menangkap ruh cerita hingga lebih bernyawa. Tetapi yang tak kalah penting sehubungan dengan keberadaannya di Ubud ini adalah, ia ingin menenangkan diri dan berjarak dengan persoalan yang kini tengah dihadapi.

Putti melihat arloji. 07.35 WITA. Croissant, scramble egg, semangkuk buah sudah pindah ke perutnya. Ia menandaskan sisa kopi creamer dan beranjak dari pendapa saat sepasang turis itu keluar dari kolam renang lalu melangkah menuju pendapa untuk sarapan. Tubuh keduanya kuyup. Air menetes dari pakaian renang mereka, juga dari rambut dan jari-jari tangan mereka. Putti tersenyum pada keduanya. Mereka mengangguk kecil dan balas tersenyum.
Putti tak buru-buru. Ia berjalan santai menapaki jalan setapak itu. Kanan dan kiri ditumbuhi aneka bunga serta berbagai jenis pohon tanpa bunga. Tetapi di bagian sini didominasi kembang pagoda. Dan pada kuntum-kuntum pagoda itu, kelopak dan putik-putiknya menyita hati Putti. Kembang selalu menghubungkannya pada seseorang yang mungkin saat ini sedang merindukannya, atau malah sudah mulai berusaha melupakannya.

Kerap cinta datang pada saat yang tak tepat. Kadang terlambat, kadang terlalu cepat. Dan Putti membenarkan bahwa cinta selalu datang sepaket dengan persoalan, suka duka dan risiko yang harus ditanggung saat terlibat perjanjian penting dengan Dewa Eros. Ia sedang mengalami itu. Betapa pun ia cinta kepada Hilmar, ia tak akan mengambil keputusan sembrono. Ia tak akan memilih kebahagiaan semu dan bernoda. Memang benar bahwa cinta itu persoalan perasaan, tetapi terlalu berisiko jika tidak diimbangi logika. 
 
****
Semua berawal ketika sepupu Putti melangsungkan pernikahan. Ia diminta untuk mendekorasi rumah dengan rangkaian bunga segar. Pojok taman untuk lokasi siraman, lalu saung untuk jualan dawet dengan alat tukar kereweng (pecahan genteng), juga acara midodareni. Untuk keperluan semua itu, Putti butuh banyak bunga.
Lima tangkup garberra, enam tangkup besar bunga peacock dan puluhan kuntum bunga lily sudah dipilih Putti lengkap dengan daun-daun sebagai bahan pendukung rangkaian. Daun pilo, daun ekor tupai dan daun kacapiring sudah teronggok tak jauh dari tempat Putti berdiri.
Ia sedang memilih kembang krisan jenis starlion warna putih, ketika seorang di dekat dinding penyekat itu memperhatikan. Sekilas mereka sempat beranggar tatap. Tetapi Putti segera mengabaikan dan kembali asyik dengan kuntum-kuntum itu.
“Membeli banyak sekali bunga, untuk keperluan apa, Mbak?” tiba-tiba laki-laki itu sudah ada di dekatnya. Sepasang matanya cekung sehingga menampilkan tulang hidung yang kuat di antara manik mata berwarna cokelat. Rambutnya sedikit gelombang, sepasang alis hitam nan lebat.
“Untuk mendekorasi ruangan. Acara pernikahan,” jawab Putti sekadarnya.
“Oh, Mbak bekerja di EO, ya?”
Putti menggeleng.
“Sepupu saya menikah besok. Saya dimintai tolong untuk mendekorasi.”
“Oh, hebat! Dulu kursus merangkai?”
“Autodidak,” kata Putti malas-malasan. Laki-laki itu tersenyum.
“Sering membutuhkan bunga?”
“Oh tidak. Hanya bila ada acara keluarga saja.”
“Ketelitian dan pilihan Mbak terhadap bunga sangat bagus. Dan Mbak juga hafal nama-nama bunga.” Putti tersenyum, tanpa menyadari senyum irit itu telah memesona si laki-laki.
“Mbak, eem.. saya pemasok bunga-bunga di area ini. Ini kartu nama saya. Mungkin suatu saat Mbak membutuhkan beberapa jenis bunga. Bisa pesan langsung kepada saya dengan harga dan barang yang pasti bagus.”

Putti menatap laki-laki itu, hanya beberapa detik. Kemudian ia menerima kartu nama, melihatnya sekilas lalu dimasukkan ke dalam tas.
“Terima kasih banyak,” katanya kepada laki-laki itu sambil hatinya menetapkan sebuah keputusan tak akan ia mengontak untuk memesan bunga padanya. Tidak dalam waktu dekat, tidak juga kelak. Bukan masalah apa-apa. Realistis saja. Ia hanya merasa yakin tak akan membutuhkan bunga yang banyak. Biasanya hanya butuh beberapa jenis dan beberapa tangkup saja.
“Pasti sangat merepotkan pengantar karena saya tak pernah membutuhkan bunga dengan jumlah yang pantas untuk diantar secara khusus,” Putti berkata jujur, tak ingin memberi harapan kosong pada laki-laki pemasok bunga.
“Oh, tentu saja saat mengantar pesanan bisa sekalian memasok bunga-bunga di toko.” Putti menoleh pada onggokan daun dan bunga yang sudah menjadi pilihannya. Lalu kembali menatap laki-laki itu dan berkata: “Baiklah, terima kasih untuk tawarannya.”
Percakapan kecil yang segera diabaikan Putti manakala ia keluar dari toko bunga. Bahkan ia sudah lupa dengan pertemuan itu. Lagi pula sejak awal, Putti sudah memutuskan tak akan memesan bunga padanya. Beli di toko saja sudah cukup. Tak perlu direpotkan dengan pemesanan dan segala tetek bengeknya.  
Tetapi ternyata, lima bulan kemudian, pada saat ulang tahun pernikahan tantenya, ia kembali menjadi penanggung jawab dekorasi rumah. Ia terlalu sibuk untuk mengurus pemilihan bunga di tengah tenggat pekerjaan yang tidak toleran. Maka, pada situasi terdesak seperti itu, ia mengaduk tumpukan kartu nama di kotak penyimpanannya di atas meja kerja. Ketemu. Ia menghubungi nomor HP pada kartu nama si pemasok bunga. Hilmar Wijaya.
Rupanya pemasok bunga itu belum lupa pada gadis yang pernah ia sodori kartu nama di sebuah toko bunga pada sore yang gerah, tetapi tak pernah hilang indah.

“Baik. Saya ulang, ya, Mbak. Anyelir kuning, sedap malam, kecombrang, helikonia, krisdoren, daun kacapiring, leaderleaf, pilo. Ada lagi?”
“Sudah cukup. Langsung antar ke alamat yang tadi saya sebutkan ya, Pak.”
“Siap Puan Putri!” Putti tertawa dengan canda si pemasok bunga.
“Tolong rekeningnya, saya akan mengirim uang muka pemesanan.”
“Nanti saja bila bunga sudah sampai di alamat, Puan Putri.”
“Putti. Bukan Puan Putri. Panggil Putti saja!”
“Baik Putti. Nanti saja bila bunga sudah sampai di alamat, jangan khawatir soal harga dan kwalitas. Dijamin bagus kok. Apakah untuk pernikahan sepupu lagi?”
“Oh, bukan. Ini untuk ulang tahun pernikahan tante saya. Adik dari Ibu. Tetapi juga bertepatan dengan ulang tahun ibu saya ke-61.”
Wow… selamat. Saya berjanji akan mencarikan bunga yang paling bagus.”
“Terima kasih.” Putti menutup telepon dengan rasa lega karena urusan bunga sudah teratasi. Dan ia berharap semoga pelayanannya tidak mengecewakan.
Sekali lagi mereka bertemu pada siang yang cukup terik. Saat Putti sibuk dengan vas-vas serta pita-pita. Mengenakan oblong cokelat serta celana sebatas lutut, Putti menemui pengantar bunga.
“Astaga! Anda sendiri yang mengantar? Terima kasih banyak.”
“Silakan dicek dulu, Putti,” katanya, ketika pekerjanya selesai meletakkan bunga-bunga itu di atas meja.
Putti melihat dan meneliti  tiap tangkup bunga itu. Kondisi dan jenisnya, Putti merasa puas. Memang bagus seperti yang dijanjikan. Lalu, tiba-tiba dia mengerut kening, ia yakin tak memesan mawar marun dipadu bunga camila putih kekuningan dan daun cemara. Seikat besar, berpita putih dengan tangkupan kain tule putih juga. Anggun dan cantik. Seperti pengantin perempuan di hari pemberkatan.
Eeemm… saya tidak memesan rangkaian mawar, ini bukan….”
“Oh, lupa,” potong Hilmar segera. “Itu persembahan dari kami untuk peringatan ulang tahun Ibu, 61 tangkai mawar merah. Semoga panjang umur, sehat senantiasa dan melimpah berkah kebahagiaan.” Putti terpana. Lalu memandang takjub pada rangkaian bunga itu.
“Amiin… amin. Terima kasih doanya. Terima kasih untuk kado cantiknya. Pasti ibu saya sangat suka. Nanti akan saya sampaikan. Sekali lagi terima kasih.”
Betapa istimewa. Betapa Putti tersandra perhatiannya pada hari itu. Tanpa menyangka bahwa bunga telah menjadi pintu masuk ke sebuah ruang yang berwarna-warni seperti pelangi.  Sebuah awalan yang manis. Seumpama lagu, mereka telah memulai dengan intro bernada dasar pas. Bukan nada dasar minor yang menyayat. Tetapi nada dasar mayor yang penuh semangat.
Putti benar. Ibunya terkesan, tetapi bercampur curiga. Tak mungkin itu hanya sekadar bonus. Pasti ada yang istimewa sehingga pemasok bunga itu berani mengambil hati ibunya. Dan seikat mawar itu, ditempatkan di ruang tengah hingga beberapa hari usai pesta perkawinan perak tantenya.
Ketika satu persatu mawar marun itu mulai menghitam layu kusam, Putti memberesi, bermaksud membuangnya ke tempat sampah belakang rumah, tetapi ibu mengadangnya.
“Putti. Rasanya Ibu ingin bunga itu berada di sana selamanya.”
“Itu tidak mungkin, Ibu. Kotor. Sudah hilang indah. Sudah layu dan hitam. Sebaiknya dibuang sekarang.”
“Baiklah. Tetapi apakah Ibu boleh berharap mendapatkan rangkaian bunga lagi dari siapa itu namanya?”
“Hilmar, pemasok bunga.” Ibu tersenyum oleh penegasan itu.
“Apakah harapan Ibu terlalu muluk bila Ibu ingin dia sempatkan mampir ke sini?” memerah wajah Putti. Apakah memang seorang ibu memiliki indra tambahan untuk melihat sebuah gelagat?  
  
Sesungguhnya harapan Ibu pun adalah harapan Putti. Tetapi apakah bukan sesuatu yang terburu-buru untuk memikirkan dan merumuskan harapan itu? Putti menyambungkan kabel perasaannya agar terhubung dengan kabel logika. Dan ia pastikan arus mengalir dengan voltase terukur agar tidak korsleting.
Tetapi memang ke sanalah sebuah kisah melangkah. Sebuah alunan yang mengayun keduanya untuk merajut tali kasih. Bunga-bunga cinta bersemi. Dinding-dinding hari penuh lukisan warna-warni. Begitu kuat warna itu sehingga mampu membuat Putti melangkah ringan menuju kantor, menyelesaikan pekerjaan sesuai deadline. Pun bagi Hilmar. Mengurus kebun dengan penuh semangat, semakin tinggi juga niatnya untuk mewujudkan rumah singgah tak jauh dari kebunnya. Rumah singgah untuk menandai cintanya kepada Putti. Rumah dengan beberapa kamar untuk disewakan. Dengan pemandangan hamparan kebun bunga serta Gunung Ungaran yang melatarinya, pasti akan menjadi persinggahan nyaman, istimewa dan berkesan bagi tamu-tamunya.
Dan bila ia harus menggantikan pekerjanya yang berhalangan untuk memasok bunga, ia lebih semangat, ringan melangkah melebihi biasanya. Menuju ke kota tempat Putti tinggal adalah perjalanan menuju harapan.

Hari-hari Hilmar yang awalnya hampa dan sunyi itu mulai tercerahkan oleh irama lagu cinta yang berdenting-denting di setiap waktu. Selamat tinggal kesendirian, selamat tinggal sunyi sepi tertolak.

Dulu, Hilmar suka mencari-cari agenda acara agar memiliki alasan singgah berkunjung ke kota tempat Putti tinggal. Tetapi sekarang tidak lagi. Kini pertemuan-pertemuan sudah dirancang berdua dengan riang dan terang-terangan. 
Bila Sabtu tiba dan Putti libur kerja, ia akan naik bus berangkat ke Salatiga. Di sana ia akan turun di pertigaan jalan besar dan sudah dipastikan Hilmar telah siap dengan Taft-nya di salah satu sisi bahu jalan. Menurut Putti, mobil itu memang pas dan pantas untuk digunakan bolak-balik ke kebun karena body dan mesinnya kuat.

Seperti yang kemarin-kemarin, mereka akan langsung menuju Bandungan, ke kebun bunga milik Hilmar yang tak seberapa luas, namun dimanfaatkan secara maksimal. Melintasi jalan berliku dan beberapa tanjakan. Pepohonan di sisi kanan dan kiri jalan sanggup membilas dan membuat pikiran Putti segar dan relaks.

Di kebun itu, sementara Hilmar mengatur para pekerja yang mengurus dan memanen bunga, Putti akan tinggal di gubug di tepi timur. Gubuk itu terbuka pada bagian depannya, terbuat dari kayu papan beratap sirap. Dari sana ia bisa memandangi hamparan kebun bunga dan alam sekitar. Angin sejuk mengembus. Teduh tenang sehingga membuat Putti selalu kerasan duduk berlama-lama di sana.
Kadang-kadang di gubuk itu ia menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda, kadang menulis skenario cerita, kadang membaca novel atau buku-buku. Tetapi tak jarang juga Putti akan turun dan menyusur kebun bunga itu, berbincang dengan pekerja yang semua begitu sederhana bersahaja, baik dalam tampilan atau perkataan.

Meski dalam perbincangan itu dia bisa menangkap tatap mata para pekerja yang sepertinya menakar siapa gadis yang kerap bersama majikannya. Tetapi mereka baik, begitu bersemangat memersilakan ketika  Putti bermaksud memetik beberapa kuntum dan jenis bunga untuk dibawa pulang. Untuk nanti dirangkainya, lalu ditempatkan di ruang tengah atau meja kerja.

Lalu pada sorenya, saat sosok gagah Gunung Ungaran membiru begitu berterus terang dengan lekuk liuknya, dan Hilmar selesai dengan pekerjaan termasuk mengupah para pekerja yang diserahkan setiap akhir pekan, maka mereka akan keluar kebun untuk santai dan dilanjut makan malam. Dan Hilmar akan mengantar Putti pulang ke kotanya pada pukul 20.00 WIB. Begitu berjalan berbulan-bulan.

Tetapi, belum sekali pun Putti diajak mempir ke rumah Hilmar di Salatiga. Putti tak curiga itu. Mungkin Hilmar jenis laki-laki yang tak gampang membawa gadis ke rumah, sebelum memantabkan hubungan. Ah, tetapi semua itu sudah selayaknya berakhir. Ia tak sanggup melanjutkan sebuah hubungan yang tak seorang pun akan setuju dan memihaknya bila kisah cinta itu diceritakannya. Jika sudah sampai pada perasaan itu, Putti akan didera kelelahan batin yang luar biasa. Itulah mengapa ia memutuskan ke Ubud. Ia perlu mengambil waktu untuk rehat dan mengevaluasi diri.

Putti menarik nafas, mengembus pelan saat tiba di kamarnya. Berjendela mengadap perbukitan Ubud yang beberapa jam lalu cukup berkabut. Dan bukit hijau membentang di sana itu telah mengingatkan pada hari-hari yang kini harus ia lupakan. Melupakan? Putti tahu ia tak akan bisa melupakan, selain menerima ingatan itu dengan tenang dan wajar, lalu pelan-pelan kembali pada kesadaran bahwa semua memang harus diakhiri, tanpa penyesalan.
Masih cukup waktu untuk santai sejenak di kamar sebelum nanti menyusuri jalan di daerah Campuhan salah satu lokasi penting bagi tokoh dalam novel yang dia garap skenarionya. Sayang sekali kawannya SMA yang menulis novel ini sedang pergi ke luar negeri untuk sebuah urusan dengan penerbit buku. Sehingga ia hanya bisa dikontak dengan email. Tetapi kabarnya ia akan pulang ke tanah air minggu ini. Putti berharap bisa segera bertemu dan berdiskusi bersamanya sekaligus reuni kecil dan bersama-sama mengingat masa-masa konyol. Putti tersenyum kecil, beban hatinya sedikit terangkat.

Putti sudah siap dengan laptop dan novel lalu mulai meneliti draft yang sudah ia buat kemarin. Ia terus menggali inti dan ruh cerita. Ia mengambil pulpen, mencatat di buku agenda hal yang perlu ia perhatikan menyangkut seting lokasi, plot dan alur. Mencermati dengan rinci huruf-huruf di layar monitor tentang karakter semua tokoh dan psikologinya. Sekaligus membayangkan siapa yang paling pantas memerankan setiap tokoh dalam novel itu.
Ia menandai halaman, lalu mencatat detil. Juga mencatat beberapa hal yang ingin ia tanyakan kepada Rambu si penulis novel jika mereka bertemu nanti.  Saat Putti menandai novel pada halaman 73, ponselnya berdering.  

Sesaat ia ragu akankah menjawab, atau ia diamkan saja. Ia tak ingin harinya menjadi rusak karena telepon darinya. Tetapi Putti menimbang matang, sudah seharusnya setiap persoalan dihadapi, bukan dihindari. Baiklah. Ia ambil hp dan,
“Halo..”
“Putti, aku sudah di Bandara Ngurah Rai. Di mana alamatmu menginap di Ubud?” Putti tercekat. Sejenak otaknya mampat.
“Kamu tahu aku di Ubud?”
“Aku bertemu kawanmu yang dulu pernah kamu kenalkan padaku di toko buku. Katanya kamu ambil cuti, dan sedang mengerjakan tulisan di Ubud. Aku ingin bertemu kamu. Sangat ingin bertemu. Semoga kedatanganku tanpa pemberitahuan ini tidak mengganggu jadwalmu.”
“Jika ditanya terus terang, kedatanganmu cukup menganggu. Tetapi bagaimana pun juga, kamu sudah sampai di sini.”
“Putti, maafkan aku. Aku pikir, banyak yang perlu aku jelaskan padamu. Maafkan aku. Sungguh aku minta maaf. Jika semua sudah kusampaikan apa yang menjadi hatiku dengan sejelas-jelasnya, aku akan segera kembali. Pulang dengan tenang. Tolonglah aku. Beri aku waktu untuk menyelesaikannya.”  
“Baiklah. Aku menginap di Puri Ulun. Tak jauh dari Hutan Monyet.”
“Baik, aku ke sana sekarang.”

Novel yang tadi baru sempat dibaca ulang di beberapa bagian, kini mangkrak. Putti telentang di atas ranjang. Di ruang matanya yang terpejam, hamparan kebun bunga itu mengiris-iris hatinya. Belum lama kuncup cintanya mulai mekar segar, kini menuju layu. Angin yang mengusap-usap lembut kening dan pipinya terasa membangkitkan rindu, rindu terlarang. Putti kembali meneguhkan hati, tak perlu lagi memberi celah untuk kehidupan cinta yang tak semestinya dihidupi.

Putti tak pernah menyesali teleponnya sore itu. Bahkan sangat disyukuri ketika HP Hilmar gagal terus sewaktu dihubungi sehingga ia memutuskan untuk menelepon ke rumah. Karena cepat atau lambat, ia akan tahu. Cepat atau lambat ia akan menghadapinya seperti yang ia hadapi kini.
“Kamu menelepon ke rumah, Putti?”
“Iya. Ibumu  yang menerima. Katanya kamu sedang mengantar saudara ke dokter. Ada apa? Hp-mu gagal terus kuhubungi.”
“Tidak apa-apa. Hanya saja, eemm… ada yang penting, bisa kamu datang Minggu depan? Aku akan jemput di tempat biasa.” telepon Hilmar pada sore sepulang kerja.
Oke, aku akan datang.” 

Cerita Selanjutnya >>>>
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?