Fiction
Susun Tarah [1]

3 Sep 2016


Bab 1: Tiga Tangkai Mawar Ungu
Pada sepotong senja. Duduk seorang cucu dan neneknya di beranda rumah panggung tua. Disaksikan oleh serumpun mawar ungu dan dunia yang tak lagi lugu, kisah bertemunya sepasang cucu Adam itu mengalir dari bibir sang nenek; bagai embusan angin di pucuk-pucuk daun kayu manis atau sejernih kelok Sungai Batang Hari yang bermuara dari sembilan mata air.
 
Jumat!
Mendadak jadi hari keramat bagiku.
Bertahun-tahun sebelumnya, telah ratusan jumat bahkan ribuan jumat yang kulalui tanpa makna, tanpa ada yang layak untuk diingat atau dicatat. Jumat hanya berlalu seperti hari-hari lain: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat!
Nah! Kini  tiap kali menyebut Jumat, aku serasa tak sabar menantikannya. Ibarat anak kecil muslim di bulan Ramadan yang menantikan Lebaran. Ditunggu-tunggu, diharap-harap, segeralah datang kau wahai hari Jumat! Andai aku berkuasa atas mesin waktu, maka semua hari akan kuubah menjadi hari Jumat.
Ketika nyaris semua ibu menginginkan anak gadisnya mengadakan pesta perkawinan di gedung mewah dengan pelaminan modern dan makanan ketering, aku dan ibuku malah mendambakan susun tarah: seribangan, naikkah rasan, ngantat perbie, bejehuman, nyembelih, bemasak, petuah ninik puyang, semende, bunting tandang, mehibu, malam lempar selendang. Itulah susun tarah atau urut-urutan rangkaian adat pernikahan di kampungku yang selama ini kuanggap tak penting dan repot bukan main.
Semula aku menganggap susun tarah itu adat perkawinan kuno peninggalan Istana Sriwijaya lima belas abad silam, maka aku sempat berharap untuk kawin dengan pemuda kota, tinggal di rumah minimalis di kota dan jadi wanita karier di kota. Dan mengenai pernikahan, cukup rasanya ijab kabul dengan disaksikan oleh beberapa orang terdekat, dilanjutkan dengan garden party yang dihadiri oleh undangan sebatas keluarga dan sahabat.
Tapi, siapa yang mampu menebak jodoh? Siapa yang dapat memprediksi ke mana hati akan berlabuh? Pada sebegitu luas samudra dan sepanjang itu pantai, tak ada yang tahu, di pantai mana aku akan menemukan dermaga. Lalu apakah hatiku akan takluk untuk tertambat di sana? Di dermaga teduh yang belum bertuan?
Hingga tiba hari itu, Jumat!
Penghujung bulan Maret yang masih menyisakan gerimis, di tengah pasar kalangan kampung bumi betuah yang becek, aku tersedot pada satu fokus; mata, hati dan jiwaku tertuju padanya, pemuda pedagang kain yang sederhana.
Makin ke sini dan  makin dewasa, aku  makin tahu kenapa susun tarah di kampungku mesti ada. Dan begitu aku mempelajari susun tarah, maka  makin kagumlah aku pada adat yang telah berumur seribu lima ratus tahun itu, sebab tidak sembarang gadis boleh menikah dengan susun tarah yang lengkap.
Secantik apa pun parasmu, setinggi apa pun pangkat bapakmu, bahkan sekarung emas yang kau punya, takkan sanggup membeli susun tarah. Hanya dengan menjadi gadis perawan yang baik, lalu mendapatkan calon suami perjaka yang baik pula, baru kau boleh mendapat susun tarah lengkap yang akan kau kenang seumur hidup; yang akan kau ceritakan bangga pada cucu-cucumu kelak sambil bercengkerama di atas beranda ketika rambutmu telah resmi memutih bersama usia.
Akibat kebodohan serta ketidaktahuanku yang dibutakan oleh info menikah gaya Barat yang konon modern, aku nyaris saja tak dapat menikmati susun tarah. Aku menyesali kealpaanku, dan sebelum terlambat, kuakui, seperti inilah kesalahan pikiranku waktu masih jadi gadis muda, merasa semua yang berbau adat Indonesia itu ketinggalan zaman!
***

Seharusnya semua orang tahu bahwa hidup ini pilihan, tapi bagiku pilihan itu tak ada, aku harus tetap tinggal di rumah, kecuali jika aku mau nekat memilih jadi anak durhaka. Aku boleh memilih hendak sekolah di desa atau di kota, boleh memilih sekolah setinggi-tingginya atau sekolah sampai SMK saja, yang tidak boleh adalah meninggalkan rumah dan kawin dengan lelaki asing di luar kampungku, lalu ikut suami ke desa lain, ke kota lain atau ke negara lain.
Aku bisa dikutuk hidup belangsak ibarat rumput di tengah jalan atau umpama kepiting naik ke batu, tak akan pernah berhasil memanjat tinggi, akan kandas segala julang cita-cita. Sebab aku adalah tunggu tubang, anak perempuan pertama sekaligus anak perempuan terakhir yang berkewajiban menunggu rumah adat, sawah adat, dan ladang adat.
Di Pulau Jawa orang menyebutnya tunggu keprabon, menunggu rumah peninggalan orang tua untuk tinggal dan menemani orang tua hingga akhir hayat mereka. Tapi di sini, di kampung Bumi Betuah suku Semende Ogan Komering Ulu Sumatra Selatan, orang menamainya tunggu tubang. Dan itu tugas mulia, hanya orang-orang terpilih yang bersedia menemani orang tuanya menghabiskan tugas usia, menunaikan sisa  umur hingga biji mata menjadi lamur, dan berakhir di liang kubur, dengan penuh rasa syukur.
Inilah kampungku yang bernama Bumi Betuah itu, kampung adat Melayu Semende warisan Raden Kasian, salah satu Putra Raja Sriwijaya yang selamat dari serbuan pasukan Raja Gorkha dari India ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum orang-orang Belanda datang ke Indonesia. Setelah dikalahkan oleh pasukan Raja Gorkha, sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya diserang lagi oleh pasukan Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit, maka selanjutnya Sriwijaya tunduk pada Jawadwipa dan menjadi bagian dari Nusantara.
Tapi, Raden Kasian dan istri bersama dua anaknya beserta tujuh dayang dan prajurit berhasil melarikan diri ke hutan rimba Sumatra dan menyelamatkan secuil adat yang tak tergoyahkan oleh siapa pun hingga kini, hingga abad milenium ketiga, di sebuah hutan yang sekarang telah berkembang menjadi sebuah kampung ramai oleh penduduk, kampung yang dinamai Bumi Betuah.
Jika kalian hidup di Kampung Bumi Betuah sepertiku, maka kalian tak boleh bertingkah jail, sekali kita kedapatan memaki orang tua di pinggir jalan, atau melempari mangga tetangga atau mencuri sandal jepit di beranda surau, maka nama kita dan nama orang tua kita beserta perilaku buruk kita akan dilaporkan pada pembarap di rumah adat Selaso Jatuh Kembar, untuk dicatat dalam kitab adat.
Kelak ketika kita siap meminang atau dipinang, catatan itu akan diperlihatkan kepada calon mertua, dan anak yang punya terlalu banyak catatan adat buruk akan sulit mendapat istri atau suami. Semua calon mertua akan menolaknya sebagai menantu, untuk apa punya menantu yang tak tahu adat dan sopan santun! Paras bagus tak guna, harta banyak tak faedah, bila tak dapat hidup bersopan-santun dalam masyarakat. Begitu kurang lebih kata penolakan mereka.
Namaku Juniar Wulandari, gadis dewasa dua puluh tujuh tahun yang sehari-hari bekerja sebagai guru di sebuah sekolah pendidikan karya wanita di Kota Kecamatan Pulau Beringin, setengah jam naik sepeda motor dari Kampung Bumi Betuah. Sekolah SMK dengan tiga jurusan; tata boga, tata busana, dan tata rias. Aku salah satu guru di situ yang mengajar tata busana. Di kampung, aku terkenal dengan sebutan Mawar Ungu! Itu panggilan olok-olok ala Melayu Semende untuk kenang-kenangan.
Sungguh!
Gadis perawan berumur lebih seperempat abad sepertiku nyaris menjadi aib. Di negara mana pun aku sudah termasuk perawan tua. Tak terhitung lagi entah berapa belas kali bapang, endung dan cebuk-cebuk yang empat orang itu mencarikan jodoh untukku. Tak ada yang cocok! Bukannya pemilih, memang belum ketemu yang sekufu; yang tingkatan paras, pendidikan, akhlak, asal keturunan dan penghasilan yang berimbang denganku. Biarpun di antara lelaki yang dijodohkan itu ada yang polisi, pegawai kabupaten, wirausaha, sesama guru hingga tentara. Tak ada yang berhasil menawan hatiku. Tak ada! Mungkin belum! Mungkin sebentar lagi ada!
Ibu kepala sekolah di tempatku mengajar beberapa kali bilang. “Kau hanya belum menemukan lelaki yang mampu membuatmu terpesona! Sekali kau terpesona pada seorang lelaki, maka segala teori sekufumu itu akan runtuh laksana gunung es diterpa global warming! Ekor matamu akan mengikuti ke mana lelaki itu melangkah, dan bila itu terjadi berarti hatimu telah tertambat! Bersiap-siaplah untuk tak lelap tidur dan tak nikmat makan, sebab bayangannya akan menghantui dirimu siang hingga malam! Tak peduli pada sekufu atau kutukan leluhur, kau bahkan rela kawin lari atau bertaruh nyawa untuk mendapatkan lelaki yang bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama yang berhasil membius hatimu.”
“Apakah Ibu dulu juga begitu? Dengan Pak Frans? Suami Ibu sekarang ini?” tanyaku yang selalu iri, bagaimana Ibu Fatonah yang biasa saja dari segi paras mampu membuat Pak Frans yang tampannya sekelas aktor Bollywood bertekuk lutut.
“Saya berdoa kepada Tuhan tiap malam, berjam-jam di sepertiga malam terakhir, dari jam dua pagi hingga subuh, selama tiga tahun, berdoa memohon benar-benar pada Tuhan agar memberikan Frans sebagai imam salat saya dan anak-anak saya kelak!” jawab Bu Fatonah. “Tuhan yang memegang rahasia jodoh kita, bila sudah bertemu dengan seseorang yang mampu membuatmu terkesima, selagi orang itu masih sendirian, maka segeralah minta pada Tuhan agar menjadikan orang itu sebagai jodohmu.”
“Kalau orang itu tidak mau sama kita bagaimana?”
“Berdoa lagi yang banyak, yang khusyuk dan sungguh-sungguh! Kemudian lakukan pendekatan yang anggun dan santun.”
“Jika orangnya tetap tidak mau?”
“Berdoa lagi lebih keras! Berusaha lagi lebih anggun, lebih santun dan lebih intensif.”
“Kalau dia terang-terangan menolak?”
“Berarti Tuhan akan memberimu jodoh yang lebih baik! Yang lebih membuatmu terpesona.”
“Benarkah?”
“Haruskah saya berbohong padamu setelah usia saya nyaris enam puluh dan sebentar lagi pensiun?”
Lalu pagi itu, Jumat terakhir di bulan Maret, teori ibu kepala sekolah jadi kenyataan! Aku yang kehabisan bahan kain brokat untuk praktik membuat kebaya harus ke pasar membeli bahan kain. Sebab harga kain di pasar kampungku selalu lebih murah dibanding harga kain di toko-toko kota kecamatan. Maka berangkatlah aku naik motor ke Pasar Kalangan Bumi Betuah yang hanya buka  tiap Jumat.
Pada dasarnya aku jarang ke pasar, selama ini selalu endung yang berbelanja! Jadi, aku tak begitu memperhatikan perkembangan pasar. Pada los-los bagian kain, ada satu yang paling ramai, di ujung barat, ke tempat itulah aku menuju! Ramai bisa jadi sedang ada diskon, atau sedang ada barang baru, atau penjualnya yang ramah! Di usaha apa pun keramahan adalah nilai tambah yang memberi rasa nyaman di hati calon pembeli.
Dan aku terkesima!
Pedagang kain itu seorang pemuda sederhana, dengan ketampanan sederhana di los kainnya yang juga sederhana, sedang sibuk melayani beberapa pembeli wanita. Pemuda itu tak lepas senyum sambil menjelaskan harga dan kualitas kain hingga memotong berapa meter yang dikehendaki pembeli.
“Kain brokat warna hitam ada?” tanyaku setelah semua pembeli pergi.
“Oh! Oh! Juniar? Apa kabar kau? Lama sekali kita tak jumpa, lebih dua belas tahun,” jawab pemuda pedagang kain itu, membuatku  makin terkesima. Dia menyapaku akrab, seperti sudah kenal lama. Siapa dia? Dari mana dia berasal? Orang kampung inikah atau dari kampung sebelah?
Dia mengambil tiga gulung kain brokat yang kutanyakan. “Hanya ini yang saya punya, kain brokat bersulam benang emas, kain brokat bersulam benang perak dan kain brokat hitam polos tanpa sulaman benang warna lain,” ujarnya, sambil mempersilakan aku memilih. “Bagaimana rasanya jadi guru? Enak? Sesuai sama yang kau cita-citakan dulu?”
“Kita pernah ketemukah sebelumnya?” tanyaku, lupa sudah pada kain brokat, fokus memandanginya, berusaha mengingat, tak banyak pemuda tampan yang sempat tertangkap mataku di Kampung Bumi Betuah dengan tiga ribu penduduk ini.
“Oh! Alangkah belagaknye nian denga ini, mase dik tehingat agi, kance lame?” ujarnya dalam bahasa Melayu Semende Ogan Komering Ulu.
“Benarkah? Teman lama? Selama apa?” ujarku tak melepas matanya.
“Begitu ya, berbahasa nasional selalukah? Walau bukan di sekolah? Di pasar bolehlah kite memakai base dihi.”
“Bolehlah,” jawabku mengulurkan tangan. “Sape name?”
“Benar-benar lupa atau hanya pura-pura?” dia menyambut tanganku bersahabat. “Tanya sajalah sama orang-orang, sape name pedagang kain yang paling ujung, orang sepasarlah kenal gale.”
Aku mengangguk, melepas tangan, mungkin dia selebritas pasar, pikirku.
Ndak pilih kain ye mane? Ndak behape meter?” dia bertanya.
“Ambil yang polos, lima belas meter cukup,” jawabku tanpa berpikir lagi berapa harga kain per meternya.
Dia segera mengukur, aku memperhatikan sungguh-sungguh, aku hafal kelakuan buruk yang umum dilakukan pedagang kain, mereka cepat sekali mengukur dan menggunting, kecepatan itu akan mampu menipu mata yang tidak waspada, ukuran kain per meter bisa berkurang hingga dua senti, kalau dikalikan lima belas bisa-bisa kita kehilangan tiga puluh senti meter kain tanpa disadari. Tapi kutahu dia mengukur dengan jujur, cekatan namun tak terburu-buru, dan senyumnya tak lepas-lepas, seolah ia sangat bahagia jadi pedagang kain dan lebih bahagia lagi karena ada gadis perawan cantik sepertiku yang membeli kainnya.
“Per meter sembilan ribu, kali lima belas, berapa bu guru?” candanya.
“Kau hitung saja sendiri, kan kau yang berdagang kain? Kenapa aku yang harus mengalikan?” sahutku berniat membalas candanya.
“Takut salah hitung, Bu Guru. Siapa tahu kalau Bu Guru yang menghitung jatuhnya jadi lebih cepat, kan Bu Guru itu pandai hitung-hitungan?”
“Tergantung! Kalau ibu guru matematika bisa jadi, tapi aku kan guru tata busana.”
“Baiklah, semua seratus tiga puluh lima ribu rupiah.”
Aku mengulurkan uang seratus lima puluh ribu. Dia menerima dan mengembalikan dua puluh ribu. “Diskon lima ribu, lagi promo, los kain baru.”
“Sebaru apa?” tanyaku.
“Baru tiga bulan.”
Kali ini aku benar-benar berhitung. Tiga bulan kali empat Jumat? Bagaimana mungkin aku baru tahu kalau di pasar kampung ini telah dua belas kali kedatangan pedagang kain yang tampan. Aku masih ingin berlam-lama di los kain itu, tapi beberapa pembeli baru telah menyita perhatiannya, dia melayani pembeli lain sama ramahnya seperti ia melayaniku.
“Terima kasih Bu Guru, jangan sungkan untuk membeli kain kemari lagi,” ucapnya sambil menetapku yang masih mematung di depan los. Aku mengangguk dan tak sengaja ekor mataku menabrak jarum jam tangan!
Astaga! Jam praktik sebentar lagi habis! Pasti murid-muridku ramai sekali ngerumpi di kelas tanpa guru, semoga mereka tidak mengganggu kelas lain yang sedang belajar. Aku buru-buru meninggalkan los kain dengan hati yang tak ikhlas.
Sepulang mengajar pukul dua siang, aku menyempatkan diri ke Pasar Kalangan yang telah bubar. Pasar Kampung Bumi Betuah hanya buka dari subuh hingga lohor. Kutanya pada pedagang sembako di ujung timur yang bersiap pulang setelah mengemas barang dagangannya.
“Maaf, Ibung, numpang betanye, taukah sape name pedagang kain baru di los paling ujung situ?” tanyaku dalam bahasa Semende. “Tadi pagi aku beli kain di sane salah itung.”
Ai! Itu Kurman, anak uyun jelanggun rurung dahat,” jawab bibi pedagang sembako.
“Terime kasih, Ibung.” Aku berpamitan.
“Same-same! Dikde ndak mbeli gule barang sekilu due?”
“Masih ade gule di humah, terime kasih.”           
Kemudian aku berlalu dan mencerna; hanya ada satu nama Kurman dalam memori ingatan yang sempat kukenal!
Kurman yang itukah?
Teman di madrasah ibtidaiyah dulu!?
Tidak mungkin! Waktu kecil dia sama sekali tidak tampan, tidak memesona! Apa lagi ibunya, orang paling bakhil yang kukenal di Kampung Bumi Betuah. Orang yang berkali-kali kusindir dan kukirimi tujuh tangkai mawar ungu  tiap tanggal dua puluh tujuh untuk menusuk hati pelitnya yang berduri selama bertahun-tahun.
Dan aku mulai menyebar intel Melayu: menyebar beberapa orang yang kupercaya untuk mendapatkan informasi akurat tentang pemuda tampan pedagang kain bernama Kurman. Aku berharap semoga dia Kurman yang lain, bukan Kurman anak bujang bungsu dari keluarga Adiguna yang sekarang sudah bangkrut.
Dulu Tuan Adiguna beserta tiga anak lelakinya datang ke kampung ini sebagai mantri desa, waktu itu di kampungku belum ada puskesmas, hanya ada satu mantri desa. Selesai masa tugas, Tuan Adiguna tak mau kembali ke Jawa, hanya ketiga anaknya yang dikirim ke Jawa untuk sekolah lepas madrasah ibtidaiyah.  Sang mantri menetap di kampungku, bersama istrinya ia berdagang kain di pasar-pasar dan tetap mengobati warga bila ada yang sakit.
Mereka cukup sukses dan berkecukupan, meskipun tak punya sawah atau ladang kopi. Hingga Tuan Adiguna meninggal dan Nyonya Adiguna tak sepandai suaminya dalam dalam berdagang, juga tak bisa mengobati orang sakit, lalu puskesmas masuk desa. Dan Nyonya Adiguna kehilangan pamor. Tapi aku tetap mengiriminya tujuh tangkai mawar ungu  tiap bulan.
Salah satunya muridku di sekolah yang rumahnya di rurung dahat, satu rurung dengan Kurman kutanyai. “Kenapa nanya-nanya? Bu Niar naksir, ya? Jangan, deh, Bu, saingannya banyak, saya aja naksir sama dia, Bu,” jawab murid yang kutanyai. “Habis orangnya saleh, Bu, pekerja keras, santun dan ganteng lagi! Beberapa orang tua yang berminat menjadikannya calon menantu sudah mendatangi rumah adat selaso jatuh kembar untuk melihat catatan adat buruknya. Rupanya dia tak punya satu pun catatan buruk, hanya tertulis pernah sekali dilaporkan mencuri sandal terompah di surau dahat, itu pun tak sengaja, salah ambil, tertukar dengan sandal Haji Syahril almarhum.”
Rupanya benar dia, Kurman Azlani nama lengkapnya, yang semasa kecil satu kelas denganku, heboh pencurian sandal terompah itu masih membekas dalam ingatanku. Sama ingatnya aku dengan catatan buruk kasus mawar ungu Nyonya Adiguna; ibu dari Kurman azlani. Orang yang kucatat untuk kuhindari jadi mertua.
Saat itu aku baru berumur sembilan tahun, lagi centil-centilnya dan selalu suka bunga mawar. Waktu itu setahuku bunga mawar hanya merah, betul-betul merah, semerah darah! Lalu aku mendapati ada juga mawar putih, mawar merah muda, mawar kuning, tapi mawar ungu? Dalam pikiran kanak-kanakku, mawar ungu itu mustahil, pasti orangnya salah lihat, tak mungkin orang pindahan dari Jawa yang bernama keluarga Adiguna itu punya satu pot besar mawar ungu. Aku harus melihatnya. 
Mawar ungu itu sungguh ada, hidup dan berbunga.
Ketika itu ada tiga tangkai, dua masih agak kuncup dan satu baru mekar. Aku meminta setangkai dengan sopan pada Nyonya Adiguna untuk bibit, untuk kutanam dan kurawat baik-baik. Permintaanku ditolak. Aku mencoba membelinya, setangkai saja, tapi uangku tak diterima.
“Ini bunga langka,” ujarnya angkuh.
Beberapa anak gadis lain yang meminta juga tak diberinya. Mawar ungu itu sengaja benar dipajang di beranda atas depan rumahnya untuk dilihat oleh siapa saja yang melintas. Jika aku berangkat ke sekolah atau mengaji, aku ambil jalan memutar untuk melihat mawar ungu tersebut. Dan hatiku  makin suka, coba kupinta lagi, tak dikasih, coba kubeli lagi, tetap tak di terima. Aku jengkel, dan malam harinya aku tergoda, seperti Siti Hawa yang tergoda untuk memakan buah terlarang, aku pun mengendap-endap pada jam dua pagi ke beranda atas rumah Nyonya Adiguna dan memetik tiga tangkai mawar ungu.
Setelah subuh Kampung Bumi Betuah rurung dahat gempar. Tiga tangkai mawar ungu hilang! Nyonya Adiguna melapor pada ketua adat. Lalu dukun cunding dipanggil. Karena hebatnya ilmu itu, maka ilmunya disebut gaib dan tak sembarang orang bisa mempelajarinya.
Dukun cunding bukan peramal cinta murahan yang beriklan di televisi. Bukan! Dukun cunding adalah salah satu orang tua paling saleh di kampungku. Hanya akan menunjukkan ilmunya bila benar-benar perlu. Bila orang kehilangan harta benda pusaka keluarga atau kehilangan anak gadis yang dilarikan orang, maka dukun cunding akan membacakan semacam mantra di depan kuku ibu jari kanan. Hanya beberapa menit saja lamanya, lalu secara ajaib, wajah orang yang mencuri tersebut akan terpampang di kuku sang dukun cunding.
Dan dukun cunding tak pernah salah tuduh! Dukun cunding bukan komputer yang bisa error. Orang dari kota yang mau melihat kehebatan dukun cunding hanya akan dapat cibiran, kecuali orang kota itu mau tinggal di Kampung Bumi Betuah selama bertahun-tahun lalu ia benar-benar kehilangan harta berharga atau kehilangan anak gadis, saat itulah dukun cunding akan memperlihatkan ilmunya. Jadi jangan berharap dukun cunding akan bersedia muncul di televisi swasta sebagai bintang tamu dalam acara reality show. Jangan harap!
Nyonya Adiguna memohon pada dukun cunding di rumah adat selaso jatuh kembar untuk menggunakan ilmunya, sebab menurut sang nyonya, tiga tangkai mawar ungu miliknya itu tak ternilai harganya; itulah harga sebuah sentimentil dan keangkuhan.
Dukun cunding menyanggupinya dengan satu persyaratan, Nyonya Adiguna tidak boleh memberi tahu siapa pun setelah melihat pencurinya dalam kuku. Nyonya Adiguna menyanggupi, maka tak pakai lama, dukun cunding membacakan mantra, dan beberapa detik setelah mantra selesai dirapalkan, wajah polos kekanakan sembilan tahun milikku mucul di kuku cunding, wajah dengan senyum manis berhias sekuntum mawar ungu terselip di telinga kiri.
“Apakah bunga mawarnya mau diambil?” tanya dukun cunding. Nyonya Adiguna bilang tak perlu, sebab dia sudah menduga bahwa akulah pelakunya, dan dugaannya benar.
“Nanti siang, ketua adat akan datang ke rumah anak itu, dia uyun ratu di kampung ini, tapi ketua akan tetap mendendanya dan mencatat adat buruk anak itu dalam kitab sopan-santun. Hukum tidak pandang bulu. Dan kalau Ibu menyebarkan aib ini, hidup Ibu akan termakan karma, Ibu paham?” ujar dukun cunding menasihati.
Siangnya rumahku didatangi ketua adat. Bapang, endung dan keempat cebukku murka sekali padaku. Bagaimana mungkin gadis kecil yang manis bisa mencuri benda remeh seperti tiga tangkai mawar? Kalau mencuri kalung emas mungkin wajar dan layak didenda.
Bapang memasuki kamarku dan mendapati tiga tangkai mawar ungu itu kuletakkan di dalam gelas antik berisi air supaya tetap segar. Barang bukti itu membuat Bapang tak dapat mungkir bahwa gadis kecilnya sudah mencuri.
Aku diintrogasi oleh ketua adat, perbuatanku dicatat, tapi aku tak sepenuhnya salah, aku dicatat pernah mencuri tiga tangkai mawar ungu di tanggal dua puluh tujuh, dan Nyonya Adiguna dicatat sebagai calon mertua yang sangat pelit dan tidak berperasaan. Aku berani bertaruh, tak akan ada gadis Kampung Bumi Betuah yang mau jadi menantunya dan tak akan ada orang tua gadis yang mau jadi besannya.
Meskipun aku sudah datang untuk meminta maaf dan membayar denda ke rumah adat, Nyonya Adiguna diam-diam tetap menyebarkan berita itu, orang sekampung tahu kalau aku mencuri tiga tangkai mawar. Bapang sampai bepergian ke taman kota provinsi di Palembang untuk membeli bibit bunga mawar ungu.
Lalu beranda rumah kami dihiasi empat puluh pot bibit mawar ungu. Kini seakan jadi taman ungu, dan aku berkata semua orang di kampungku, siapa pun boleh memetik bunga mawar ungu di beranda bila menginginkannya, tak perlu meminta, tak usah membeli apalagi sampai mencurinya jam dua malam, tak perlu! Silakan ambil! Selama beberapa tahun kemudian di tiap rumah anak gadis kampungku memiliki pot bunga mawar ungu yang langka, sangat langka sehingga nyaris semua orang punya. Dan aku mengirimi Nyonya Adiguna tiga tangkai  tiap bulan. Selama tujuh tahun! (Bersambung)

Baca juga: Susun Tarah [2]
***
 
Pago Hardian, Pemenang I Sayembara Cerber Femina 2016

Mematangkan Cerita Selama Setahun

Susun Tarah, kisah cinta berbalut tradisi Bumi Betuah, di Sumatera Selatan ini begitu memikat dewan juri karena cerita bisa dibangun dengan cara jenaka dan mampu mengekspolasi tema adat dengan sangat memikat. “Ide cerita ini saya dapat ketika saya pulang ke kampung halaman saya tujuh tahun lalu, waktu itu kebetulan di kampung ada yang kawinan, dan menurut saya, urut-urutan adat perkawinannya terlalu repot, memakan banyak waktu dan biaya,” ujar Pago, yang kini tinggal di Yogyakarta.
            Pago memulai mencatat segala hal mengenai susun tarah sejak tahun 2014. Bahkan ia pernah menuliskannya dalam bentuk cerita anak yang sederhana. “Tapi Susun Tarah tidak cocok untuk dijadikan cerita anak. Akhirnya pada tahun tahun yang sama coba saya tuliskan dalam bentuk cerita wanita dewasa. Berhubung sebelumnya saya pernah lomba ikut cerber Femina dan kalah, maka cerita ini saya tulis dalam gaya bahasa yang mengacu pada fiksi-fiksi yang dimuat di majalah Femina,” ujarnya sambil mengaku membutuhkan satu tahun untuk mematangkan cerita ini. 
            Sejak kecil, Pago sudah menyukai pelajaran mengarang, “Sejak SD, nilai mengarang saya selalu tinggi, zaman SMA saya jadi ketua Majalah dinding sekolah,” ujarnya. Tapi, Pago mulai serius menulis yang ia sebut untuk berbagi ilmu sekaligus mencari nafkah itu sejak tahun 2004, ketika kuliah di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogjakarta.
Tentu saja kemenangannya ini membuatnya bangga. “Ini lomba yang tidka main-main. Dan tidak mudah bagi penulis pemula, yang baru belajar menulis sebulan dua bulan, atau bahkan setahun dua tahun untuk bertarung di lomba ini,” ujar Pago. (Yos)


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?