Fiction
Sirkam Martini

15 Jul 2016


UNTUK KESEKIAN KALI yang tak bisa dihitung jari, Martini mengungguli ayam jago yang biasa berkokok menandai awal pagi. Udara dingin masih merongrong di luar sana. Kabut memang tak sepekat biasanya, namun tetap menyerbu membuat gigil. Seruan jangkrik dan tokek yang wujudnya tak tampak pun masih bersisa seperti kelelahan. Martini selalu bangun terlampau subuh. Telinganya sudah akrab dengan gelotak tikus yang riuh mencari makanan sisa di dapurnya yang sederhana. Hidungnya biasa dimanjakan dengan bau tanah basah selepas hujan deras semalam.
Tak ada alarm yang memaksa wanita muda itu bangun terlalu dini. Ia juga terkadang masih merasa ngantuk jika harus berbenah seorang diri ketika semua orang masih terlelap. Namun, otaknya seakan enggan kembali beristirahat.
Martini menyisir rambut halusnya dengan sirkam yang kemudian disampirkan sebagai penghias rambutnya di depan meja rias kuno dengan ukiran kayu. Bayangan dirinya di cermin menyunggingkan senyum terpukau. Bangga dengan tubuh sintal serta wajahnya yang menawan, meski hanya berbalut  kaus ketat biasa dan jarit yang membelit paha hingga atas lututnya.
“Kau sudah bangun?” gumam suara setengah sadar lelaki yang masih berbaring di ranjangnya sambil ngulet mengubah posisi memunggungi Martini. Sejenak, kemudian kembali terlelap. Martini hanya berdeham tanpa berujar, yang penting ketika laki-laki itu bangun sudah ada secangkir kopi panas dan lauk di meja untuk sarapan.
 
 
MARTINI NYARIS menjadi perempuan serba bisa. Ia pandai memasak. Tangan gemulainya cekatan mengubah bahan masakan apa pun menjadi penganan yang nikmat. Kelezatan masakannya membuat Martini yang tidak pernah dengan sengaja mempromosikan masakannya itu menjadi tukang masak hajatan kampung. Martini juga lihai melenggang. Saat masih lima belas tahun ia menjadi murid termolek di sanggar tari Risanggeni. Tak ada penobatan khusus. Menurut pelatih sanggar dan teman-teman menarinya, Martini dinilai cepat menangkap segala yang diajarkan. Ia juga pandai membuat gerakan-gerakan tari baru tiap sanggar itu mendapat panggilan menari. Tiap satu tarian Martini mendapat upah lima puluh ribu rupiah, uang hasil menari selalu ia tabung untuk membantu ibunya yang hanya seorang penyayat pohon karet.
Kini Martini sudah berusia dua puluh dua tahun. Lekuk tubuhnya  makin tampak terlihat. Kulitnya kuning langsat mulus seakan nyamuk pun tak akan bisa lama-lama bertandang di permukaan kulit licinnya. Matanya bulat besar seperti melotot, namun cantik dengan bulu mata lentik meneduhi kedua bola jernih itu. Hidungnya mancung, sedikit bangir. Bibirnya merah merekah, meski tanpa gincu. Tulang pipinya menonjol menegaskan bentuk wajahnya. Rambutnya dibiarkan panjang menjuntai. Tiap Martini melepas ikatannya, ratusan helai rambut akan terjun indah bak kain sutra yang digelar bidadari dari khayangan. Satu benda yang selalu membuat Martini merasa perwujudannya sempurna, sebuah sirkam cokelat mengilap dengan hiasan mata berkilauan yang selalu tersampir di belahan rambutnya.
Belum puas Martini menikmati segala pujian atas dirinya dari para perjaka ataupun segala tatapan iri akan keanggunannya, Martini dijejal pernikahan oleh orang tuanya.
“Menikahlah, supaya ada yang menjagamu setelah Ibu.” Selalu begitu yang dilontarkan ibunya. Membuat Martini tak sampai hati menolak. Hatinya enggan, namun apa mau dikata. Martini tak pernah bertemu sebelumnya dengan calon suaminya. Pandangannya buta akan bagaimana calon pendamping hidupnya itu. Tiap kali ditanya akan kesanggupannya, Martini hanya berdeham atau menyunggingkan senyum tanpa banyak arti. Jika bisa bagian dirinya yang terpenjara di sudut terdalam hatinya akan melonjak. Bukan karena girang namun berusaha melarikan diri.
Namun apalah Martini. Baginya menentang kehendak Ibu adalah durhaka. Martini mau tak mau rela dilepaskan pada pria yang belum bertegur sapa sekali pun dengannya.
Muksin pria yang baik, meskipun tak tampan tapi perawakannya tinggi dengan dada yang bidang. Pembawaannya tenang. Muksin tak banyak bicara, bahkan sampai ia menikah dengan Martini. Baginya, Martini adalah istri yang nyaris sempurna. Masih muda, cantik, menarik, bisa masak, bisa menari, bisa bersih-bersih, bisa menghibur dirinya dengan celoteh yang melayang dari bibir merah alaminya.
Lalu kenapa nyaris? Ya, Martini memang bisa banyak hal. Bahkan ketika tembok luar rumahnya sedikit retak, tanpa menunggu Muksin pulang dari kerja Martini menambal tembok rumahnya dengan semen. Mencampur semen putih dan semen hitam dengan air lalu cekatan mengoleskan adonan itu pada dinding rumahnya yang rompal. Martini tak sayang tangan mulusnya akan kasar. Ia hanya berusaha melakukan yang memang ia sanggup. Sekali lagi, Martini bisa segalanya, hanya satu yang sulit ia lakukan. Melayani Muksin, suaminya.
 
MUKSIN SELALU BERGAIRAH melihat  Martini yang menawan. Lelaki tiga puluh tahun itu seperti tak kuasa ingin mencicipi legitnya tubuh Martini. Namun, seolah Martini tak tertarik pada dada bidangnya yang tanpa sehelai apa pun. Muksin hanya bisa gigit jari. Bila hasratnya sudah memuncak, Martini hanya diam, seolah tak mau tahu. Tak ada perlawanan ataupun tanggapan. Muksin seperti memerkosa istrinya sendiri. Tak tega dilihatnya paras ayu itu berdiam pasrah. Dilepaskannya Martini, meski keinginannya belum sampai terpenuhi.
Mbah Werek, sesepuh kampung yang biasa menangani keluhan hubungan suami-istri, kerap memberikan aneka jenis yang katanya obat tradisional. Sirih yang dikunyah Mbah Werek muncrat ke muka Muksin  tiap wejangan bagai seminar panjang tak berujung itu tak henti memekakkan cuping telinganya. Hingga pelbagai metode konyol di luar nalar yang menelisik logika Muksin namun tetap saja dilakukan.
Mulai dari mencuci pakaian dalam Martini dengan air kembang yang dipetiknya sendiri, menyuguhkan teh kental dengan satu seperempat gula batu berwana kuning tembaga, Martini harus minum pada tepat bekas Muksin menyeruput sebelumnya. Sekali waktu Martini keheranan dengan tingkah suaminya yang memasak oseng jantung pisang pada awal subuh. Lapar katanya, tapi malah Martini yang diminta sangat menghabiskan tumis keasinan itu. Hingga kemudian Muksin berpuasa pada bulan purnama ketiga sebelum kumandang azan magrib.
Semua dilakukan Muksin semata-mata untuk mendapatkan Martini, istrinya sendiri. Akalnya nyaris tumpul ketika dirasa segala upayanya hanya malah membuat Martini  makin menarik di matanya, namun tetap saja pasif pada keperkasaannya. Muksin habis daya. Ingin sekali rasanya ‘jajan’ di luar, mengabaikan sejenak Martini yang selalu sibuk menyisir rambut panjangnya dengan sirkam cokelat mengilap bermata yang selalu saja kemudian ia sampirkan pada belahan rambutnya.
Namun,  tiap melihat Martini dengan jarit yang melilit menampakkan kemolekan tubuhnya, niat Muksin berangsur surut.  Seperti selokan mampet yang sampahnya diserok. Pikiran Muksin yang terganjal nafsu kembali lurus. Ibu Martini kerap menanyakan perihal kehamilan Martini, begitu pula ibunya yang bagai menunggu angan-angan yang sesungguhnya jarang diusahakan. Bagaimana bisa punya anak kalau ia dan Martini saja jarang berhubungan intim? Mungkin Martini takut bentuk tubuhnya berubah jika hamil nanti, atau mungkin dia masih senang berlenggak-lenggok memenuhi panggilan tari untuk hajatan atau acara besar kampung.
 
BERKEPALA TIGA seolah menjadi momok menakutkan bagi Muksin. Usianya akan  makin tua. Mendambakan cepat memiliki keturunan bagai hanya khayalan. Ia seperti tak ada bedanya dengan tunawisma yang berkeliaran di jalan. Menyusuri tanah yang terkadang lembek ataupun yang panas meranggas beraspal. Tak ada tujuan. Punya arah pun tak tahu mesti mulai dari mana. Hasratnya seakan menjadi penyakit tiap  kali tak tersalurkan. Meski begitu, Muksin sadar Martini bukan sekadar objek pelepas nafsu. Terkadang ambang terka Muksin menebak Martini tak puas akan dirinya yang hanya seorang guru SMP honorer. Seorang pegawai negeri sipil yang belum berstatus pegawai tetap. Berangkat kerja menggunakan motor butut yang kerap keluar masuk bengkel karena ngadat. Suara knalpotnya bising, menderu seperti sengaja membuat gaduh di tengah obrolan ibu-ibu kampung yang nimbrung pada gerobak tukang sayur keliling.
Seminggu belakangan Martini tampak sibuk. Ia menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin untuk bersolek, laris mendapat panggilan menari acara midodareni berikut syukuran pulangnya anak pak lurah dari menyelesaikan studi  S-2 di Yogyakarta berkat beasiswa yang diraihnya. Pagi buta tangannya sudah bergegas membungkus aneka kue yang berjejer di loyang untuk arisan bulanan. Meski terlampau takut mengganggu istrinya, sesekali Muksin membelai lembut rambut panjang Martini atau sekadar menemani apa pun yang membuat tubuh sintal itu geratakan sendiri. 
 
MARTINI, lelahnya mungkin serupa ranting kurus pohon mangga yang menahan buah gempalnya untuk tidak jatuh sebelum waktunya. Paras wanita itu  resik  tanpa polesan. Matanya sayu seolah nyaris terpejam. Kakinya berjalan lemas bagai melayang mondar mandir hingga kemudian ambruk di ranjang dengan desahan panjang seakan penatnya berhamburan bersama desah lirih yang membubung keluar dari raganya. Martini melepas sirkam cokelat mengilap yang selalu tersampir di rambut kelamnya.
“Ayolah... kau hampir terlalu tua untuk punya anak.” Entah apa yang mendadak merasuki Martini. Nyawa Martini mendesak masuk. Senyum menggores indah paras lembutnya. Muksin diam setengah terbelalak. Otaknya sembarang menerka. Matanya serasa berlomba keluar hendak merenggut senyum manis Martini dalam rengkuhannya. Kembali Martini tersenyum manja. Bingar Muksin  makin tak bisa disembunyikan. Jantungnya berdegup parau, memacu cairan dalam tubuhnya seribu kali lebih cepat. Darahnya mendesir hebat seakan alirannya bisa dirasakan raga Muksin yang sejenak membatu. Senyumnya perlahan mengembang. Matanya umpama berlian dengan kerlip menyipitkan mata, kilaunya mengalahkan sirkam cokelat mengilap bermata milik Martini. (f)

***
Florentina Viniawati
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?