Fiction
Simfoni Kesedihan [4]

5 May 2016

Bagian  1   2   3   4

Kisah Sebelumnya<<<<

Qurie Qurindra
Aku seperti bermimpi terlalu panjang. Sebuah alunan lagu telah berhasil membawaku terbang jauh.  Melayang-layang hingga ke angkasa, di mana awan-awan seperti mengelilingiku dan burung-burung seperti ikut bergembira. Namun ternyata, semua itu hanya sampai di situ saja!

Saat aku terbangun, aku hanya bisa berteriak tertahan. Keindahan yang ada di mataku tadi telah lenyap, berganti rasa perih yang langsung mendera tubuh. Sepenggal kejadian beberapa saat sebelumnya langsung kuingat. Gerakan tangan Madame Kristalia yang mengarah ke wajahku, lalu benturan keras ujung piano di  kepalaku….

Sungguh, kupikir aku sudah tamat saat itu. Namun ternyata itu belumlah apa-apa. Aku terbangun dengan rongga dada yang hampir meledak. Napasku sesak menghirup asap. Tiba-tiba kusadari api sudah mengelilingi tubuhku. Tapi aku tak mau mati dalam kondisi seperti ini. Dengan tenaga tersisa, aku merangkak keluar ruangan itu. Kubiarkan api menjilat bajuku, membuat sebagian tubuhku ikut terbakar. Namun aku tak menghiraukan lagi rasa perih yang mendera tubuhku. Yang kulihat di ruang sebelah, sebuah jendela besar seperti menampilkan ribuan bintang-bintang.

Aku segera membuka pengait jendela itu, lalu melompatinya. Kurasakan tubuhku seperti melayang sesaat, sebelum akhirnya mengempas sesuatu. Saat itulah rasa perih paling sempurna kurasakan.

Mataku seketika mengabur. Aku seperti mulai melihat bayangan ibu yang samar-samar tengah melambai-lambai di kejauhan. Kupikir saat inilah ajalku. Aku memejamkan mata.

***
Tapi saat aku terbangun, aku mendapati diriku  ada di sebuah rumah sakit. Rasa perih masih kurasakan mendera tubuhku. Terutama di bagian tubuh sebelah kiri. Namun, rasa perih yang paling kurasakan ternyata ada di bagian wajahku. Dengan tak percaya, aku mengangkat tanganku perlahan, untuk meraba apa yang ada di sana. Kurasakan ujung-ujung jariku menyentuh bekas luka yang lebar yang masih terasa basah.
“Sudah... jangan terlalu banyak bergerak,” sebuah suara membuatku terkejut. Barra. Baru kusadari kehadirannya di sampingku.

Mataku berkaca-kaca.
“Kau akan segera sembuh. Semua akan baik-baik saja.” Barra menggenggam tanganku erat-erat.
Aku tak berucap, namun batinku tetap bergejolak. Benarkah rasa perih ini benar-benar bisa hilang? Lalu apakah bekas luka ini juga bisa disembuhkan? Walau aku sudah mendengar tentang kecanggihan operasi plastik sekarang ini,  apa ia benar-benar bisa menyembuhkan luka dan mengembalikannya seperti sediakala?
Sungguh, aku hanya bisa menangis membayangkannya.

***
Aku tahu sejak aku di rumah sakit, Barra belum juga pulang. Ia belum mengabari siapa-siapa. Di hari ketiga, saat ia berniat mengabari Sefa, aku memintanya mengurungkan niat. Entahlah, aku seperti tak ingin Sefa tahu tentang ini semua. Terlebih saat aku teringat teriakan-teriakan Madame Kristalia sesaat sebelum kejadian ini.
Kau.... datang merebut semuanya...

KAU.... MENGHANCURKAN MIMPINYA!
Bagaimanapun, itu memunculkan rasa bersalahku. Walau aku yakin, Sefa tak akan menuduhku seperti itu. Ia akan ada di pihakku. Inilah yang membuat aku ada dalam posisi dilematis. Bagaimanapun, aku benar-benar tak ingin hubungan Sefa dengan mamanya  makin meruncing gara-gara ini. Bagaimanapun, aku tahu betapa rapuhnya dia. Jadi, keputusan membiarkannya tak tahu tentang ini semua adalah keputusan terbaik baginya.

Sampai sebulan berselang, aku baru diizinkan keluar dari rumah sakit. Barra mengusulkan agar aku tinggal di rumahnya, supaya ada yang bisa terus mengurusku. Aku tak bisa menolak tawaran itu.
“Gedung yang terbakar itu sudah mulai dibangun lagi,” Barra mencoba mengajakku bercakap. Tapi, aku tak terlalu menanggapinya. Entah kenapa, jauh di lubuk hatiku, yang kubayangkan hanyalah Sefa. Apa yang dia lakukan sejak kebakaran itu? Apa yang sedang ia perbuat sekarang? Bagaimana tugas akhir yang harus diselesaikannya?
“Sefa juga masih terus mencarimu,” Barra seperti dapat membaca pikiranku. “Kudengar sehari yang lalu, ia pergi ke kota di mana kau berasal. Seharusnya... kau mengatakan semua yang terjadi. Bagaimanapun, ia....“
Aku menggeleng memutus ucapannya. “Aku tak bisa. Ini... akan membuatnya  makin terluka,” ujarku pelan. Barra hanya bisa mengangguk lemah.

***
Kadang-kadang aku selalu berpikir tentang hal-hal yang layak kudapat dan hal-hal yang tak layak kudapat. Keadaan yang menimpaku ini,  makin membuatku berpikir tentang itu. Tiap aku bercermin, aku selalu dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam dua sisi seperti itu. Bagaimana beruntungnya aku karena masih bisa hidup dari kejadian itu? Namun di sisi lain, aku merasa betapa sialnya aku sekarang, di mana jari-jari di tangan kiriku yang penuh bekas luka bakar ini seakan terasa bagai menjadi batu. Begitu sulit untuk digerakkan.

Barra masih saja menghiburku. Ia tetap mengatakan semua akan kembali normal seperti sediakala. Aku juga meyakini itu. Tapi, sampai berapa lama? Apakah hatiku dan hatinya mampu menunggu?

Sungguh, itu pertanyaan yang begitu berat. Kadang-kadang aku berpikir, diriku yang lama memang sudah mati sejak hari itu. Yang ada sekarang ini adalah diriku yang kedua. Diriku yang diberi kesempatan untuk kembali hidup, tentu dengan sosok yang berbeda.
Berpikir demikian, aku jadi mulai mempertanyakan, apakah aku masih layak menerima semua kebaikan Barra? Apakah aku masih layak mendapat hatinya? Bagaimanapun, ia laki-laki yang sangat baik. Namun aku sadar, kadang-kadang kebaikan seperti itulah yang mudah sekali dimanfaatkan orang lain. Dan aku, tentu aku tak ingin memanfaatkan itu.
Aku mencintainya tanpa syarat. Tapi, aku tentu tak akan tega memintanya juga berlaku sama padaku. Tiap aku melihatnya tertidur lelap, hatiku seperti teriris. Kubayangkan ia berada di sisiku. Kubayangkan juga ia mengeluarkan biolanya dan memainkannya tanpa aku bisa mengiringinya. Sungguh, ini bayangan yang begitu mengerikan bagiku.
Kupikir aku harus bersikap adil padanya. Ya, adil….

Jadi malam itu, setelah kupertimbangkan masak-masak, aku datang ke kamarnya. Tanpa bicara apa-apa, aku menariknya dalam pelukanku. Aku menciuminya, dan membiarkan ia membalas menciumiku.

Lalu aku mulai  berbisik padanya, “Kau... mau melakukannya?”
Barra terdiam sesaat. Kulihat ada keraguan yang kutangkap di wajahnya. Namun, sebelum ia benar-benar menjawabnya, aku sudah menariknya kembali merapat padaku. Perlahan kupeluk lehernya, agar ia ikut rebah di atas tubuhku.
“Apa... wajahku yang sekarang… mengganggumu?”
Barra menggeleng. “Sebentar lagi semua akan kembali seperti biasa.”
“Kau tak keberatan… menciuminya?”
Barra tersenyum,. Seperti yang kuminta, ia menciuminya dengan lembut.
Aku memejamkan mata. “Jangan memaksa diri,” bisikku. “Kalau itu mengganggumu, aku tak keberatan kau menutup matamu....”
Barra tak menghentikan ciumannya. “Kau berlebihan.” Kini, tangannya mulai menelisip ke dadaku.
Aku menahan napas. “Tunggu! Aku ingin kau berjanji satu hal padaku.”
“Apa?”
Aku tak menjawab. Makin kutarik tubuhnya merapat.

***
Menjelang dini hari, aku terbangun dalam keheningan. Kulihat Barra terlelap di sisiku. Sejenak, muncul keinginanku untuk  menciumnya, tapi aku mengurungkan niat itu. Aku segera bangkit dari pembaringan. Kuambil selembar kertas, dan menulisnya dengan sedikit terburu. Setelah itu, kuletakkan kertas itu di atas mejanya.
Lalu, aku pergi.

***
Sefadia Krani
Hanya beberapa hari aku pulang ke kota asalku, namun semua seakan menjadi  makin berat. Permasalahan yang sekian tahun mulai mengendap di dasar hati, kembali muncul menyeruak. Sebagian tetap saja belum membuatku mengerti. Masih terlalu kabur. Namun setidaknya, aku mulai bisa meraba makna ucapan Barra sebelum ia pergi untuk selamanya. Kenapa pula ia menyebutkan nama Qurie di situ. Samar-samar aku mulai bisa merasakan keterkaitan semuanya.

Aku tentu masih mengingat bagaimana hubungan keduanya. Aku sangat mengenal Qurie. Tiap malam selama bertahun-tahun aku menghabiskan waktu bersamanya. Jadi aku tahu sekali bagaimana ia mencintai Barra. Hanya dengan melihat gerak tubuhnya, aku bisa menebaknya. Dan aku yakin Barra pun menyimpan perasaan yang sama padanya. Mereka seperti memang sudah ditakdirkan bersama.

Inilah yang kemudian membuatku merasa sangat bersalah.
Tapi, sejak kebakaran itu, keadaanku memang begitu hancur. Hidupku menjadi begitu kacau. Aku benar-benar kehilangan Qurie. Aku mencarinya ke mana-mana. Aku bahkan mendatangi kota tempatnya berasal. Namun, aku tetap tak berhasil menemukannya. Anehnya,  tiap aku ada dalam pencarianku, bagian paling dalam dari diriku, seperti meyakini kalau Mama mengetahui semua ini. Ya, Mama mengetahuinya. Tapi aku tak bisa menuduhnya begitu saja. Aku tak memiliki bukti apa-apa. Hanya keyakinan hatiku ini saja.

Namun, semua berubah saat Mama mulai memintaku untuk kembali fokus melanjutkan sekolah. Ia mulai meminta Madame Inge memosisikan diriku sebagai pengganti Qurie. Sungguh, apa yang kupendam beberapa hari ini, tak lagi bisa kutahan. Aku begitu marah. Namun,  tiap aku berhadap-hadapan langsung dengan Mama, aku seperti tak bisa berkutik. Tak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutku.
Maka itulah, aku kemudian memutuskan pergi.  Namun di saat itulah, Barra seakan muncul begitu saja. Dan aku alpa membaca raut wajahnya yang tengah bersedih. Pikiranku tertutup dengan kesedihanku sendiri. Kesedihan yang telah bercampur dengan ketakutan dan kemarahan. Saat itulah, aku memintanya untuk menemaniku pergi dari kota ini.

Sungguh, terkadang aku menyesali peristiwa itu. Aku kerap berandai-andai, bila aku sempat membaca sesaat saja raut wajahnya saat itu, aku pastilah mampu menebak apa yang tengah terjadi padanya, atau minimal mengira-ngiranya.
Aku tiba-tiba merasa begitu egois. Aku menjadi sosok kejam, seperti sosok Mama yang kukenal selama ini. Karena sejak saat itulah tanpa kusadari, aku mulai mengikat Barra dalam kehidupanku. Aku membiarkan kerapuhanku terus muncul di depannya. Hingga ia harus terus ada untuk selalu menguatkanku.
Dua tahun selepas kepergian itu, kami menikah dalam kesenyapan.

***
Aku sampai di rumah dalam keadaan hati yang masih gamang. Bibi sudah mengirimkan kabar kalau Mama akan segera keluar dari rumah sakit. Aku menyambut kabar itu dengan datar, tanpa reaksi.

Hal pertama yang kulakukan adalah masuk ke perpustakaan. Kuambil kotak seukuran bekal makanan itu yang dulu tak bisa kubuka karena memakai kunci digital. Masih kuingat kata apa saja yang telah kucoba hari itu. Kini dengan tangan sedikit gemetar, jari-jariku mulai bergerak perlahan mengetik kata: Q U R I E.

Seperti yang kuduga, kunci itu teryata terbuka. Tanganku gemetar membuka tutup kotak itu. Kulihat lembaran-lembaran kertas ada di dalamnya. Selembar surat, potongan kertas, tiket-tiket pesawat dan kereta yang menuju berbagai kota, dan sebuah foto lama.
Dengan gerakan perlahan tanganku mengangkat foto itu. Nyaris saja aku terpekik ketika melihat apa yang ada di situ. Qurie tengah terlelap dengan bekas luka bakar yang begitu kentara di wajahnya.

Air mataku luruh. Bertahun-tahun lalu aku mencarinya, aku sama sekali tak pernah membayangkan ia menderita seperti ini. Tapi, kenapa Qurie tak datang padaku? Bukankah aku adalah sahabat terbaiknya? Apakah karena Mama yang melakukan ini semua? Dan ia kemudian tak ingin aku tahu tentang ini? Sungguh, sebelum kujawab rentetan pertanyaanku itu, sesuatu terjatuh di lantai. Sebuah amplop dan selembar potongan kertas yang tertekuk rapi. Lembar kertas itu langsung kukenali sebagai tulisan Qurie.

Barra Sayang, ini janji yang ingin kutanyakan padamu semalam:
biarkan aku pergi, dan jangan pernah mencariku. Kumohon.
QQ


Hatiku mendesir. Sejenak aku mencoba menebak-nebak surat ini. Kapan Qurie menulisnya dan apa maksudnya? Namun, tebakan yang terbentuk di kepalaku terasa begitu samar. Aku seperti bisa menebak, apakah surat ini yang membuat Barra kembali muncul di sekolah dengan keadaan yang begitu sedih?
Aku tak bisa menjawab, aku sudah mengambil amplop di balik lembar kertas itu. Kali ini kubaca tulisan yang ada di depannya. Untuk: Sefa.
Tanganku seketika terasa gemetar. Dengan gerakan terburu, kuambil lembar surat yang ada di dalam amplop itu dan kubaca tulisan-tulisan Barra yang berderet rapi di sana....

Kepada Sefa
Bila kau sudah menemukan surat ini, itu artinya kau sudah bisa menebak apa yang terjadi padaku selama ini.
Aku menyayangimu, Sefa. Aku senang selama ini bisa selalu ada di sisimu, dan menguatkanmu. Bersamamu, aku merasa hidupku begitu berarti. Namun, aku harus jujur padamu, Sefa. Sekian lama aku menyembunyikan sesuatu yang membuatku seperti melakukan semua ini hanya dengan separuh hatiku.
Maafkan aku, Sefa. Tapi sejak kebakaran besar itu, aku memang menyimpan rahasia besar, yang tak pernah kau tahu. Sahabatmu, Qurie, yang hilang sejak hari itu, sebenarnya masih hidup. Aku menyelamatkannya beberapa saat setelah kejadian. Namun, separuh tubuhnya telah terbakar, dan aku tak tahu apakah waktu bisa benar-benar menyembuhkannya.
Tak ada yang tahu, kalau di hari itu, aku telah melamarnya dan ia menerimaku. Namun, kebakaran itu seperti mengoyak mimpi-mimpi kami. Ia begitu hancur. Namun, aku sudah memutuskan untuk bersamanya. Jadi, apa pun yang terjadi, aku telah siap menghadapinya. Namun, ia yang ternyata memilih meninggalkanku. Ia tak ingin memberi beban padaku.
Maka itulah, selama bersamamu, aku terus mencarinya ke berbagai kota. Tapi, sampai sekarang aku tak pernah menemukannya.
Maafkan aku, Sefa. Tapi, aku akan terus mencarinya.
                                      
Barra


***
Selama ini aku tak pernah tahu, air mata yang terus jatuh di pipi, lama-kelamaan akan menghadirkan kehangatan di dalam tubuh. Mungkin ini perasaanku saja. Tapi itulah yang kurasakan sekarang. Aku merasa hatiku lebih hangat dari kemarin. Setitik cahaya seperti mulai muncul di kegelapan hatiku. Disusul titik cahaya lainnya. Satu demi satu kemudian seperti membentuk sebuah cahaya yang begitu besar. Dari situlah, kehangatan seperti memberi perasaan lega yang menjalari seluruh tubuhku.

Mama memang sudah mengatakan, Qurie selamat malam itu. Namun, surat dari Barra-lah membuatku  makin lega. Sungguh, sekian tahun aku terus berdoa agar bisa mengetahui kabar Qurie, baru hari inilah doa itu seperti benar-benar terjawab. Kini, semuanya seperti telah cukup jelas bagiku. Ucapan terakhir Barra sebelum ia pergi untuk selamanya. Juga sebutan nama Qurie di penghujung napasnya. Aku merasa akhirnya bisa menghubungkan semuanya.

Aku mungkin memang telah bersalah menikahi Barra. Lepas dari kondisiku saat itu yang membutuhkannya untuk menguatkan kerapuhanku, aku tak mau mengingkari kalau telah mencintainya juga. Aku sama sekali tak akan mengelak. Tapi aku tahu, aku tak pernah benar-benar mendapatkan hatinya. Delapan tahun kami bersama, aku tahu Qurie adalah sosok yang memang diciptakan untuknya. Aku meyakini itu.
Sekarang aku hanya bisa terus bersyukur telah mengenal keduanya. Kuyakini, mereka memang dihadirkan untukku. Untuk menguatkan kerapuhanku.

***
Qurie Qurindra
Pernah aku memiliki keinginan menjadi alunan simfoni. Tapi itu dulu, saat aku   sedang suka-sukanya dengan piano. Sekarang aku sepertinya tak lagi memiliki keinginan seperti itu. Kupikir aku akan memilih menjadi burung kecil saja, yang mampu terbang tinggi dengan sayapnya sendiri. Aku akan selalu berkawan dengan matahari, menyerap sinar paginya yang selalu kusuka, untuk terus terbang menjauh.
Kupikir semua memang sudah berakhir. Setidaknya babak pertama dalam hidupku sudah usai kujalani. Kini saatnya aku menjalani babak selanjutnya dari hidupku. Sejak meninggalkan rumah Barra, aku memang sudah memutuskan untuk melakukan suatu perjalanan yang sangat panjang. Mungkin perjalanan yang tak akan pernah dilakukan oleh siapa pun.

Semua tabunganku kupakai untuk itu. Aku memilih kota-kota di dalam peta. Menunjuknya, lalu membeli tiketnya. Beberapa hari berselang aku akan kembali memilih kota-kota lainnya dalam peta. Kembali menunjuknya, lalu kembali membeli tiket. Terus seperti itu. Nanti bila sudah kurasakan kota sudah cukup jauh dari kota asalku, aku akan menetap. Bila aku menyukainya, aku akan tinggal beberapa lama. Namun bila tidak, aku akan kembali pergi mencari kota yang lain.
Hingga tak terasa sudah belasan kali aku berpindah. Kupikir kali ini sudah sangat jauh. Saat aku menemukan sebuah rumah dengan bentuk seperti rumahku yang dulu. Aku memutuskan untuk menetap.
Sekarang aku tak lagi punya pilihan. Sebentar lagi, jabang bayi ini pastilah akan lahir.

***
Sefadia Krani
Sampai beberapa bulan ke depan semuanya berjalan seperti biasa. Aku perlahan mulai menata kehidupanku lagi. Tapi rumah ini, bagaimanapun, tetap memerangkap pikiranku pada Barra. Ruang tamu dengan sofa tempat biasanya menyaksikan televisi, kamar tidur dengan lampu baca yang  makin berdebu, dan perpustakaan dengan kategori buku-buku sesuai kesukaannya, tak pernah benar-benar bisa mengenyahkan pikiranku darinya.
Sementara itu, aku mulai bertanya-tanya, bagaimana keadaan Qurie sekarang? Di mana ia tinggal? Dan aku tak pernah punya bayangan untuk jawaban semua pertanyaan itu. Tapi selalu saja, ada celah-celah kecil yang memberikan jawaban. Itu semacam petunjuk diam-diam dari Tuhan. Hingga suatu kali, tanpa kusadari aku mendengar berita di televisi…

Kita seperti dikejutkan oleh kehadirannya. Umurnya masih 10 tahun, tapi ia telah begitu piawai memainkan lagu-lagu klasik yang kita ketahui sangatlah rumit...
Aku melirik sekilas ke arah terlevisi.
Lihatlah pertunjukan tadi. Saat lagu terakhir dibawakan, semua penonton melakukan standing ovation untuk sang pianis cilik kita, Sefadia Qurie....
Jantungku seperti terhenti. Apa tadi? Sefadia Qurie?
Bersamaan dengan itu, di layar televisi, kulihat wajah itu dengan jelas. Ia seorang gadis kecil yang tengah tersenyum melambaikan tangan ke arah penonton.
Sungguh, aku begitu saja mengenalinya.

***
Dengan bantuan seorang teman wartawan, aku mendapatkan informasi tentang keberadaan pianis cilik itu. Di hari tercepat yang bisa kuatur, aku sudah terbang menuju kota tempatnya berada.

Dalam perjalanan, aku membaca semua berita tentangnya yang bisa kutemui di Google. Dari situ aku tahu, Sefadia Qurie besar di sebuah rumah yatim piatu. Ibunya –yang tak disebutkan namanya-- telah lama meninggal karena sakit. Namun, hal terbaiknya, ia sempat mengenalkan gadis cilik itu bermain piano. Itulah yang kemudian membuatnya terus mendalami piano sampai hari ini.

Aku benar-benar merinding membacanya. Perasaanku berkecamuk. Berita kematian Qurie sepertinya begitu saja hadir mengempaskan semua  pertanyaanku tentangnya.
Pada akhirnya, aku datang ke rumah yatim piatu itu. Aku berharap sekali bisa menemuinya di situ. Karena dari informasi yang kudapat, ia sudah mendapat banyak tawaran beasiswa musik dari kota-kota besar.

Seorang petugas panti memanggilkan dirinya. Aku menunggunya dengan hati tak tenang. Langkah-langkah kecilnya kulihat mendekatiku.
Entahlah saat ia mulai melangkah perlahan mendekatiku, aku seperti terlempar begitu saja ke masa lalu, saat aku bertemu dengan Qurie pertama kali. Semua perabot yang ada di sekitarku sekarang seperti membaur menjadi perabot-perabot masa itu. Lalu aku seperti mampu menebak gerakan tangannya yang terulur padaku, juga suaranya yang terdengar, “Hai, aku Qurie Qurindra. Maukah kau berteman denganku?”

(Tamat)


 
***
Yudhi Herwibowo


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?