Fiction
Sebuah Nama

25 Aug 2016

         

Makasih, Tante. Namaku Drupadi. Nama Tante siapa?”
Dru termangu mendengar suara gadis cilik yang tengah berdiri di depannya. Gadis cilik yang mengaku bernama Drupadi itu masih memegang bola berwarna oranye, bola yang tadi tidak sengaja mengenai kaki Dru. Gadis cilik yang mengaku bernama Drupadi itu pun masih berdiri di depannya dengan senyum lebar di bibirnya.
Mendadak Dru bingung harus bereaksi bagaimana. Mendadak Dru tidak tahu harus mengucapkan apa. Dan mendadak Dru teringat seorang lelaki bermata tajam. Lebih tepatnya, Dru teringat janji lelaki itu.
“Janji ya kita bakal ngasih nama anak pertama kita pakai nama kita?”
“Walaupun kita nikah sama orang lain?”
“Walaupun kita nikah sama orang lain. Kamu kan udah janji, Dru, bakal ngasih nama anak pertama kamu pakai nama aku. Enggak boleh ingkar janji, lho.”
“Tapi, Jun, apa kata suamiku kelak? Seandainya kita nikah sama orang lain.”
Enggak peduli. Pokoknya kamu udah janji, Dru, dan janji harus ditepati.”
“Kamu maksa aku kayak gini emangnya kamu sendiri bakal ngasih nama anak pertama kamu pakai nama aku? Aku enggak yakin.”
“Aku serius, Dru. Kalau anak pertamaku cewek, aku pasti ngasih nama dia Drupadi. Aku enggak akan ingkar janji.”
“Drupadi!”
Dru tersentak dan secara otomatis menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Dia lupa jika ada orang lain yang bernama sama di dekatnya. Dan saat itulah matanya bertemu dengan mata tajam lelaki yang baru saja diingatnya. Lelaki dengan janji konyolnya. Juna.
                                                           
 
AKU ENGGAK NYANGKA bakal ketemu kamu di sini, Dru.”
Dru tersenyum mendengar kata-kata Juna. Dia pun tidak pernah mengira akan bertemu dengan Juna di taman ini. Senyumnya makin mengembang saat dilihatnya seorang gadis cilik tengah sibuk menjilati es krim di dekat seorang penjual es krim keliling di depan sana. Gadis cilik itu berambut hitam pekat dan bermata tajam, sama seperti ayahnya.
“Aku enggak nyangka kamu bener-bener ngasih nama anak kamu pakai namaku.”
Juna menghela napas sejenak mendengar kata-kata Dru. Pandangannya ikut mengamati gadis cilik yang berdiri beberapa meter di depan mereka.
“Janji adalah janji, Dru. Kebetulan anak pertamaku perempuan dan ibunya tak keberatan dengan nama itu.”
Baik Dru maupun Juna terus mengamati gadis cilik yang sibuk dengan es krim di tangannya itu. Keduanya duduk berdampingan dalam diam. Angin sore yang bermain-main dengan daun-daun berguguran menjadi satu-satunya suara di antara mereka.
“Mana ibu Drupadi?” Pertanyaan singkat dan tiba-tiba dari Dru itu cukup mengagetkan Juna. Juna masih terus melihat ke depan, meskipun dari sudut matanya dia tahu Dru sedang memandang ke arahnya dan menanti jawabannya.
“Maaf kalau aku lancang.” Setelah semenit penuh menunggu dan tidak mendapat apa-apa, Dru sadar bahwa Juna tidak berniat untuk menjawab pertanyaannya. Dru kembali memandang ke depan, membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka.
Untuk beberapa saat lamanya Dru dan Juna larut dalam ketenangan yang ada. Mereka menikmati alunan angin yang membuat daun-daun bergemerisik, matahari sore yang memancarkan kehangatan, bahkan suara riuh-rendah yang disebabkan oleh anak-anak kecil yang mulai muncul di taman itu. Mereka menikmati semuanya.
“Papa!” Dru merasa aneh saat dirinya sendiri ikut menoleh ketika gadis cilik itu memanggil Juna. Dru lebih merasa aneh saat mendengar seseorang memanggil Juna dengan sebutan papa.
“Iya, Dru, kenapa?” Juna menyambut gadis ciliknya dengan tangan terentang lebar. Gadis cilik itu meloncat kegirangan ke pelukan sang ayah.
“Pa, aku mau main sama mereka. Boleh, ya?” pinta gadis cilik itu manja. Secara serentak, Dru dan Juna melihat segerombol  anak kecil yang berdiri tak jauh dari mereka. Untuk kedua kalinya Dru merasa aneh saat dirinya sendiri ikut menoleh bersama Juna.
“Boleh, Dru. Tapi ingat, jangan jauh-jauh dari Papa, ya.”
Gadis cilik itu mengangguk mantap dan segera berlari bersemangat menghampiri anak-anak kecil yang tampak semringah dengan kedatangan gadis cilik itu. Segera saja para bocah itu asyik dengan permainan dan dunia mereka sendiri, meninggalkan Dru dan Juna kembali pada keheningan.
“Drupadi ceria banget, Jun,” celetuk Dru.
Juna tersenyum dan membenarkan pujian Dru dalam hati.
“Umur berapa dia?”
“Enam tahun,” jawab Juna. “Bulan depan dia masuk sekolah dasar.”
“Udah dapet sekolah yang oke?” Spontan saja Dru bertanya, dan di detik berikutnya dia sudah menyesalinya.
Juna terkekeh geli sebelum menjawab, “Udah. Aku sudah dapet sekolah yang oke. Makasih, Dru, sudah peduli soal itu.”
Dru tertawa garing mendengar kata-kata Juna. Sungguh, dia juga tidak tahu kenapa dia menanyakan hal itu pada Juna. Sekarang dia benar-benar merasa kikuk setelah menanyakannya.
Gimana kabarmu, Dru?” Dru merasa sangat bersyukur karena Juna tidak membahas pertanyaannya lebih lanjut.
“Seperti yang kamu lihat,” balas Dru singkat. Bukannya Dru bermaksud tidak sopan, tapi rasa kikuknya masih belum bisa hilang sepenuhnya dan dia tidak tahu harus berkata apa.
“Masih sering main piano?”
Cukup dengan pertanyaan sederhana seperti itu, Dru menengok ke samping dan menemukan sorot tajam yang memancarkan kehangatan tengah menatapnya. Hilang sudah rasa kikuk dan tidak nyaman pada diri Dru.
Dru tersenyum getir sesaat sebelum memalingkan kembali wajahnya. “Kamu orang pertama yang bertanya soal piano setelah aku menikah, Jun.”
Juna menangkap kegetiran itu. Dipandanginya Dru yang sedang memandang entah apa di depannya. Dru tidak berubah. Wajah Dru sama persis seperti yang diingatnya selama ini. Rambut Dru juga sama persis seperti yang dulu. Bahkan harum tubuh Dru pun sama persis seperti yang sering dia cium dulu. Dru tidak berubah. Dan entah kenapa dia senang mengetahui Dru tidak berubah sama sekali.
“Apa kamu benar-benar melupakan idealismemu dengan jadi akuntan, Dru?” Juna memutuskan untuk mengikuti Dru, melihat entah apa di depan mereka.
Dru tertawa sumbang. “Bukan melupakan, Jun. Mengesampingkan.”
“Apa bedanya?” Nada suara Juna naik satu oktaf tanpa disadarinya. Juna juga sudah mengubah kembali posisinya. Sekarang dia dan Dru sudah duduk berhadapan. Dia melihat Dru menarik napas sejenak sebelum memandang dalam-dalam matanya dan menjawab pertanyaannya.
“Sampai kapan pun aku enggak akan melupakan impianku, Jun. Kamu satu-satunya orang yang tahu itu. Tapi untuk saat ini, aku harus mengesampingkan keegoisanku.”
Juna tertawa hambar mendengar jawaban Dru. “Keegoisan? Siapa bilang punya impian itu egois? Justru orang tua kamu yang selalu mendikte anak-anaknya itu yang egois.”
“Kamu benar, Jun. Punya impian bukan berarti egois.” Dru tersenyum lembut. “Tapi aku sudah berkeluarga sekarang. Situasinya sudah beda. Aku enggak hidup sendiri lagi. Kamu pasti mengerti maksudku.”
Juna tertegun di tempatnya duduk. Dru benar. Mereka tidak hidup seorang diri lagi saat ini. Ada orang lain yang hidup bersama mereka. Ada orang lain yang harus dipenuhi kebutuhannya. Tentu saja situasinya sudah jauh berbeda sekarang. Bagaimana mungkin Juna bisa lupa?
“Kamu sendiri apa kabar, Jun? Masih sering melukis?”
Juna tersenyum sesaat sebelum mengangguk satu kali. “Ya, Dru, aku masih melukis, meskipun enggak sesering dulu.”
Dru tersenyum maklum mendengar jawaban Juna. Dia tahu betul apa maksud Juna. Mereka adalah dua orang berbeda dengan isi kepala yang sama.
“Aku senang kamu masih melukis. Paling tidak di antara kita berdua, kamu berhasil mempertahankan idealismemu sekaligus bersikap realistis.”
“Kamu benar-benar sudah enggak pernah main piano lagi, Dru?” Dru tertawa melihat sorot tajam itu memancarkan keprihatinan. Aneh rasanya mengetahui orang lain mengasihani hidup Dru di saat Dru sendiri tidak merasa demikian.
“Pianonya sudah dijual,” jawab Dru acuh tak acuh sambil mengangkat kedua bahunya. Tidak mungkin dia menceritakan alasan sesungguhnya di balik itu semua. Tidak mungkin dia menceritakan aib keluarganya sendiri. Meskipun Juna adalah satu-satunya orang yang dia percaya di dunia ini, dia tidak bisa menceritakan semuanya seperti dulu. Keadaan mereka sudah berbeda.
Juna tampak berpikir sejenak sebelum berkata lirih, “Ibu Drupadi meminta cerai tahun lalu. Dia bilang dia sudah enggak tahan.” Juna mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan keras. “Aku dengar kabar dia baru saja menikah lagi.”
“Terus, hak asuh Drupadi?” Dru tahu ini bukan urusannya, tapi dia tidak tahu kenapa dia tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk tidak bertanya.
“Hak asuh Drupadi jatuh ke ibunya.” Juna sedikit melamun saat menjawab pertanyaan Dru. “Tapi aku enggak mau pisah dari  Dru. Itu sebabnya aku mati-matian meminta hak asuhnya. Itu sebabnya aku mati-matian bertahan menjadi manajer marketing. Semua demi Dru. Aku enggak mau pisah dari  Drupadi. Enggak lagi.”
Kata-kata Juna membuat Dru tiba-tiba kesulitan menghirup oksigen. Dru tahu pasti apa maksud Juna. Dru merasa mereka berdua saling menatap untuk waktu yang sangat lama sebelum akhirnya tangan Juna bergerak untuk mengusap lembut rambut Dru.
“Kamu enggak ingkar janji, kan, Dru?”
Dru tahu janji apa yang sedang ditanyakan oleh Juna. Dan Dru tahu jawaban apa yang harus diberikannya pada Juna. Hanya saja rasanya berat sekali mengatakannya.
Gimana kalau ternyata aku ingkar janji?”
Juna menatap Dru tidak percaya. Tidak mungkin Dru serius dengan perkataannya. Dru pasti bercanda. Dru tidak mungkin ingkar janji.
“Kalau kamu mau bilang kamu ingkar janji, aku enggak percaya, Dru. Aku tahu kamu.”
Dru menghela napas berat memandang kepercayaan diri Juna. “Gimana kalau aku bener-bener ingkar janji? Apalah artinya sebuah nama, Jun.”
Rahang Juna mengeras dan Dru melihat itu. “Apalah artinya sebuah nama? Sebuah nama bisa berarti segalanya, Dru. Kamu tahu itu.”
Dru terdiam mendengar jawaban Juna. Diam-diam dia membenarkan perkataan Juna.
“Maaf.” Juna terperangah mendengar permintaan maaf Dru. Dru duduk dengan gelisah di tempatnya. “Maaf, Jun.”
Sebelum sempat berkata-kata lagi, suara ceria seorang gadis cilik menginterupsi percakapan mereka. Gadis cilik itu tampak lelah dan penuh dengan keringat. Dia mengibaskan kedua tangannya yang mungil.
“Pa, pulang, yuk? Aku capek, nih.”
Juna segera mengambil sapu tangan di saku belakang celananya dan mengusap peluh yang membanjir di wajah gadis ciliknya. Gadis cilik itu terkikik geli ketika Juna dengan sengaja menggodanya dengan memencet-mencet hidung kecilnya.
“Dru, jangan lupa bolanya.” Dru mengingatkan gadis cilik itu pada bola oranye yang tadi ditinggalkan begitu saja ketika si gadis cilik melihat penjual es krim keliling. Gadis cilik itu terkekeh sejenak lalu memeluk bola oranyenya.
“Makasih, Tante.” Dru tersenyum dan mengelus lembut rambut gadis cilik itu sebelum berpaling menatap Juna.
“Kelihatannya Dru capek banget, Jun. Kalian pulang saja. Aku juga mau pulang.”
Sebenarnya Juna masih ingin tinggal di taman itu, masih ingin mengorek jawaban dari Dru. Tapi, saat dilihatnya gadis ciliknya menguap lebar sekali, dia menyerah.
“Kamu bawa mobil?” Juna melihat Dru mengangguk pelan. “Hati-hati, Dru.” Juna melihat Dru mengangguk sekali lagi. Dan dengan begitu saja Dru berlalu.
 
                                                           
DRU TIDAK SEGERA melajukan mobilnya. Dia duduk bersandar sambil memejamkan matanya rapat-rapat. Dia ingin meresapi pertemuannya dengan Juna. Dia ingin mematri sosok Juna lekat-lekat di ingatannya.
Drrrt... drrrt…
Ponsel Dru bergetar kencang di dasbor mobil. Dru segera membuka matanya dan meraih ponselnya.
“Dru, kamu di mana? Maafin aku, Sayang. Aku janji enggak akan jual barang-barang pribadi kamu lagi buat main saham. Kamu di mana? Pulang ya, Dru? Maafin aku.”
Dru mendesah mendengar janji suaminya. Janji yang akan selalu diingkari lagi dan lagi. Janji yang betul-betul tidak bisa lagi diterima Dru saat piano kesayangannya sudah raib terjual.
“Ini terakhir kalinya kamu jual barang-barang aku,” ancam Dru.
Dru mendengar suaminya terus menghujaninya dengan janji-janji dan Dru hampir saja memutus percakapan mereka jika suaminya tidak berkata, “Pulang, ya, Dru? Arjuna bangun dan nanyain kamu terus dari tadi.”
Dru termangu mendengar nama anak lelakinya disebut. Arjuna. Dialah yang membuat Dru bertahan dalam pernikahannya selama ini. Pernikahan yang diatur oleh ibunya. Pernikahan yang membuatnya teringat betapa tidak mungkinnya seorang Ida Ayu sepertinya bersanding dengan seorang Putu seperti Juna.
Tidak butuh waktu lama bagi Dru untuk segera menyalakan mesin mobil dan membawa dirinya pergi dari taman itu. Juna tidak perlu tahu nama anak lelakinya. Juna tidak perlu tahu dia tidak pernah ingkar janji. Apalah artinya sebuah nama jika sampai kapan pun mereka tidak bisa bersama.
 
***
AYU FITRI
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?