Fiction
Rambut Abi

15 Oct 2015


UNTUK pertama kali dalam hidupnya, Tya mengaitkan kesedihan mendalam dengan kehilangan kecerdasan secara mendadak. Kesedihan telah menyedot seluruh pemikiran logis dan gagasan cerdasnya. Membuatnya tak berdaya. Dari mahasiswi penuh energi, menjadi seonggok daging tak berjiwa dan tak berlogika.

Ketika memasuki ruang Anggrek 3, ia melihat Abi terlelap dengan mulut terbuka. Selang tipis terpasang di hidungnya yang menyuplai oksigen dari tabung biru yang tegak dengan dingin di sisi kiri. Di seberangnya, duduk Kak Firka dengan dahi menempel di bibir tempat tidur. Dia mendongak ketika Tya masuk. Kemudian membuang pandang ke wajah Abi, mengabaikan senyum Tya yang tulus mengembang.

Tya melupakan sakit hatinya dan beralih ke atas tempat tidur. Orang tuanya mengeluarkan suara napas menderu seperti pesawat terbang. Bahkan suara mesin pendingin yang menempel di dinding masih kalah keras. Abi mengenakan kaos oblong putih dan kain sarung yang menyembul di balik selimut rumah sakit. Tya sempat berpikir, berapa banyak pasien sudah mengenakan selimut biru ini. Mungkin banyak sekali termasuk korban kecelakaan lalu lintas atau pasien yang sudah menjadi mayat. Atau mungkin saja baru menyelimuti tubuh Abi karena hanya satu selimut untuk satu pasien. Sepintas terlihat bersih, tapi siapa tahu ada ribuan kuman bersemanyam di baliknya. Tya akan menanyakannya ke pihak rumah sakit nanti.

Rambut Abi berantakan bak setahun tak kena sisir. Bibirnya kemerahan seperti usai menghabiskan beberapa potong sirih manis kesukaannya. Tapi Tya yakin bibir itu bukan merah karena sirih. Mungkin pengaruh obat atau dampak penyakit yang mendera. Wajah Abi juga terlihat kemerahan.

Masih menyandang ransel, Tya mendekat tanpa bersuara. Ia merapikan rambut Abi di sisi kiri dan menempelkan bibirnya ke pipi kanan. Semuanya dilakukan dengan hati-hati seolah Abi adalah bayi yang baru lahir. Barangkali seperti inilah Abi menciumnya dulu. Ingatan itu membuat air mata Tya menggenang di kelopak dan menghalangi pandangannya. Namun, suara yang didengarnya kemudian membuat setitik air mengalir di luar kehendaknya.
“Jangan ganggu Abi. Semalaman enggak bisa tidur...”   

Padahal, Tya bukan mengganggu. Hanya memberikan ciuman lembut kepada Abi-nya. Dalam keadaan normal, biasanya Tya akan membantah tuduhan seperti itu, meski dari siapa pun datangnya. Entah mengapa, kali ini bibirnya terkunci. Hanya air mata saja yang mengalir dan refleks Tya menghapus dengan telapan tangan yang tadi ia gunakan untuk membelai rambut Abi yang mulai panjang. Ah, sebelum sakit Abi menelepon dan mengharapkan Tya pulang untuk menggunting rambutnya. Abi mengirim foto dirinya dengan rambut panjang penuh uban melalui gawai. Tya meminta Abi ke salon di komplek perumahan. Tapi Abi menolak karena tidak suka dengan seorang bencong di sana. Tya juga menyarankan Abi pergi ke tukang cukur lain bersama Kak Minda atau Kak Firka. Untuk saran ini, Abi diam saja. Dia malah mengharapkan Tya sendiri yang menggunting untuk terakhir kali. 

Tya tidak menyangka Abi membiarkan rambutnya memanjang. Selama ini, Tya memang sering menggunting rambut Abi. Tepatnya sejak Tya mengikuti kursus sebagai penata rambut. Semester pertama dan kedua kuliah, Tya sempat nyambi kerja di sebuah salon. Ia berhenti setelah menjadi aktivis dan kemudian asisten dosen. Untuk menjaga kemahirannya, ia rajin merawat rambut teman-temannya, bahkan sejumlah dosen muda. Sebenarnya, ia tidak memungut biaya atas jasa tersebut, tapi beberapa teman dan dosen muda tak ingin bermental gratis malah membayar lebih.

Dia pikir, rambut Abi itu bisa mencairkan kebekuan ketika bertanya; “Kenapa tidak ada yang antarkan Abi gunting rambut?”
Kak Firka tiba-tiba mendongak, lantas berdiri dengan sigap. Matanya kemerahan menatap Tya. Bukan saja kemerahan akibat kemarahan, tetapi juga karena ia tidak tidur semalaman menjaga Abi.
“Kamu pikir rambut Abi lebih penting dari penyakitnya? Kamu ingin menyalahkan kami karena rambut Abi panjang?!”
Suaranya tinggi bahkan jika saat ini mereka tak berada di rumah sakit. Untuk kedua kalinya, Tya hanya diam saja agar pertengkaran tidak pecah saat Abi  terbaring sakit. Ia juga menyadari pertanyaannya keliru.
Saat itulah, pintu terbuka dan Kak Minda masuk bersama seorang anaknya berusia lima tahun. Aroma parfum Kak Minda menguar ke seluruh ruangan dan seolah membuat suasana terasa segar seperti di taman bunga yang mengendurkan ketegangan. Begitu yang terlihat di iklan. Tapi di sini, di ruang rawat inap Anggrek 3 ini, aroma penuh wangi bunga itu malah membuat ketegangan kian meninggi.

“Ada apa?”
“Ini, anak enggak tahu diri. Sudah pulang terlambat, malah nyalahin orang.”
“Itu memang perangainya sejak dulu. Dasar anak manja,” Kak Minda menarik tangan anaknya yang hendak merapat ke tubuh Tya. Kemudian, suaranya terdengar susul-menyusul dengan Kak Firka untuk menyalahi Tya terhadap sesuatu yang tak dipahaminya. Intinya, mereka menganggap Tya sebagai anak tak berbakti karena mementingkan kuliah ketimbang Abi yang sakit. Seharusnya, kata Kak Firka yang dibenarkan Kak Minda, Tya langsung pulang setelah menyelesaikan S1. Seharusnya, kata Kak Minda yang dibenarkan Kak Firka, tanggung jawab merawat Abi sepenuhnya berada di tangan Tya karena ia belum menikah.

Seharusnya, Tya keluar dari ruangan dan mengajak mereka bicara di selasar  agar tidak mengganggu istirahat Abi. Tapi ia diam saja. Tidak membantah dan tidak bisa berpikir. Dia menelan mentah-mentah semua kecaman itu seolah memang benar adanya. Bahkan, seorang pembunuh yang keji sekali pun tetap diberi kesempatan membela diri. Tapi kedua kakaknya melampiaskan seluruh kemarahan tanpa memberinya kesempatan bicara, tanpa memedulikan Abi yang sedang sakit jantung, paru-paru, dan hernia yang bisa bertambah parah kalau mendengar rentetan tuduhan kepada Tya. Pun demikian, jika ada orang yang menuduh Kak  Firka dan Kak Minda lebih keji dari pembunuh yang keji, Tya adalah orang pertama yang tidak setuju.
***

Tya memahami kedua kakaknya sudah banyak berkorban untuk Abi. Mereka menjaga Abi sejak Tya diterima di sebuah universitas negeri di Jakarta. Sejak itu, praktis komunikasi dengan Abi hanya lewat telepon. Lima atau enam kali Abi ke Jakarta, termasuk ketika Tya wisuda S1. Sebelumnya, Tya juga banyak merawat Abi sejak Ummi meninggal dunia dan Abi sakit-sakitan.

Ketika Abi dirawat ke Penang, Malaysia, tiga minggu lalu, Kak Firka yang menemaninya. Tya bukannya tidak peduli, ia ikut memberikan hampir seluruh tabungannya untuk biaya pengobatan Abi. Sayangnya, sampai di sana Abi tidak bisa dioperasi. Jantungnya harus sehat dulu sebelum dilakukan operasi hernia. Tya tidak mempertanyakan ke mana uang pemberiannya digunakan dengan batalnya operasi. Sebab, ia tahu Abi juga menggunakan uang sendiri untuk biaya ke Penang.

Sejak dulu, kedua kakaknya memang sudah mengibarkan bendera kebencian. Tya sendiri tak tahu penyebabnya. Kalau dikatakan Abi lebih sayang terhadap dirinya dan terlalu memanjakan dirinya, rasanya tidak benar juga. Abi dan Ummi sayang ke semua anaknya. Dan Tya bukanlah gadis manja. Dia sudah berusaha menjadi gadis mandiri bahkan ketika Abi masih sehat bekerja.

Tuduhan yang salah besar menyangkut pendidikan. Kak Minda dan Kak Firka hanya tamat SMA. Menurut Tya itu kesalahan mereka sendiri. Abi sudah membiayai kuliah mereka di perguruan tinggi negeri di Lhokseumawe, Aceh. Keduanya seperti sepakat untuk tidak menyelesaikan kuliah. Mereka menikah, dan kuliah tak pernah selesai. Dan Tya, meski kuliah di Jakarta dan kemudian melanjutkan ke jenjang S2, itu berkat beasiswa Dikti. Bahkan untuk biaya hidupnya di Jakarta pun jarang merengek kepada Abi karena sudah bisa hidup mandiri.

Tya tahu, Abi sesungguhnya kecewa dengan Kak Minda dan Kak Firka yang tidak menyelesaikan kuliah. Itu sebabnya ia sering memuji Tya kepada teman-temannya dan orang sekomplek. Ketika Tya beberapa kali menjadi narasumber di stasiun TV sebagai aktivis mahasiswa, Abi sangat terharu. Ia menelepon Tya sambil menangis, bangga.
Itulah penyebabnya menurut analisa Tya. Ketika persoalan keuangan membelit kedua kakaknya, ia menjadi sasaran kesalahan dan kemarahan. Masalah-masalah lain yang tak ada hubungannya pun, menjadi merembes.
***

Tiga jam Tya menghabiskan waktu di dalam pesawat dalam penerbangan Jakarta – Medan – Lhokseumawe ketika mendapat telepon Kak Firka tentang kesehatan Abi. Itu perjalanan yang sangat melelahkan—bahkan meski di luar Ramadhan. 

Tya memang tidak bisa langsung pulang setelah mendapat kabar tentang Abi karena harus menyelesaikan beberapa urusan kuliah yang tak bisa diwakilkan. Itu juga menjadi sumber persoalan. Sampai di rumah sakit, ia sebenarnya sudah sangat lelah karena perjalanan itu praktis membutuhkan waktu sampai delapan jam untuk persiapan dan perjalanan darat. Dia ingin mandi di rumah dan kembali ke rumah sakit untuk menjaga Abi.

Namun rencananya berubah. Setelah merentet Tya dengan segudang kecaman, kedua kakaknya memutuskan pulang, termasuk Kak Minda yang sebenarnya berencana menggantikan Kak Firka menjagai Abi.

“Sekarang giliran kamu. Kami punya keluarga untuk diurus,” kata Kak Minda ketus.
“Uang Abi lebih banyak habis buat kamu ketimbang kami,” sambung Kak Firka.
Tya diam saja. Tapi kali ini bukan karena kecerdasannya yang menurun akibat tekanan kedua kakaknya itu, justru kecerdasannya sedang pulih untuk tidak melayani sifat buruk mereka. Dia menganggap keduanya sebagai bagian dari ujian kesabaran.
***

Untuk sementara, Tya membersihkan diri di toilet rumah sakit sambil menunggu Mitha datang. Sebelum pulang, ia sudah menghubungi sahabat kecilnya itu dan mereka sepakat bertemu di rumah sakit.

Sepeninggal kakaknya, ia bebas menciumi Abi dengan hati-hati, berharap Abi terbangun tetapi tidak sampai mengganggu istirahatnya. Namun, Abi masih tetap terlelap.
Mitha datang selepas magrib, terkejut melihat Tya berbuka puasa dengan air mineral dan roti seadanya. “Seharusnya, kabarin aku kalau kamu buka puasa di rumah sakit, biar aku bawa makanan untuk buka.”

Tya yang tak ingin membuat Mitha repot, hanya menepiskan tangannya di udara. “Aku sudah terbiasa, anak kos,” ia tertawa pelan. “Bukan itu masalahnya. Hmm, kamu nyium aku bau asem, kan? Aku belum mandi sejak tadi pagi.”
“Ya, sudah. Sekarang kamu pulang saja. Biar aku gantiin. Waktu Kak Firka daftarin anaknya ke TK, aku juga yang jagain Abi,” ujar Mitha. 

Di rumah Abi yang juga ditempati Kak Firka dan keluarganya, Tya bertemu dengan kakaknya itu. Pertama, ia membentak Tya karena meninggalkan Abi sendirian di rumah sakit. Setelah tahu Mitha ada di sana, ia terdiam. Tya menunggu lanjutannya, misalnya, Kak Firka mengatakan teganya dirinya menitip Abi sama Mitha. Kalau itu dikatakan, Tya akan membalas dengan menyebutkan hal itu pernah dilakukan Kak Firka ketika mendaftarkan anaknya ke TK.

“Seterusnya kamu yang jaga Abi, ya?”
Tya menganggupinya dengan anggukan.
“Seterusnya, meski Abi sudah sehat nanti.”
Langkah Tya terhenti di depan pintu kamarnya yang hingga saat ini dibiarkan kosong. “Maksudnya, saya tak usah balik ke Jakarta?”
“Terserah kamu, lebih sayang kuliah atau Abi.”
Selama berada di kamar mandi, pikiran Tya tertuju pada perkataan Kak Firka barusan. Tidak mungkin ia mengabaikan kuliahnya yang baru saja dimulai. Ia yakin, Abi juga tidak menginginkan demikian. Bahkan Abi selalu mengingatkan dirinya agar melanjutkan kuliah sampai S3, kalau bisa. Menjadi doktor pertama—bahkan mungkin satu-satunya—dalam keluarga besar mereka.
Ketika mematut diri di depan cermin, ponsel Tya tiba-tiba berdering. Nama Mitha tertera di sana. Tya segera menyambarnya.
“Iya...?”
“Abi sudah bangun. Nanyain kamu. Cepetan, ya?!”
Tya serasa ingin terbang ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, ia teringat dengan perkataan Kak Firka dan nasib Abi. Kalau memungkinan, ia akan mendiskusikannya dengan Abi. Tya ingin berbakti kepada Abi, tetapi juga ingin menyelesaikan kuliah.
Setibanya di Anggrek 3, hanya ada Mitha seorang diri di sana. Duduk menekur di kursi yang pernah diduduki Kak Firka. Dia mengangkat wajahnya ketika Tya masuk. Matanya menyiratkan kesedihan dan keprihatinan mendalam.
“Abi masuk ICU...” dia menjawab pertanyaan yang tersirat di mata Tya.   
“Katamu... Abi sudah bangun?”
“Benar, setelah dokter datang, kondisinya drop. Tekanan darahnya naik. Dokter bilang, ke ICU sementara agar lebih fokus tertangani, tidak terganggu dengan keluarga yang membesuk.”
Tya tak percaya kondisi Abi drop justru ketika ia sudah pulang. Ditemani Mitha, ia menuju ruang ICU. Perawat jaga yang sedang duduk di kursi langsung bangkit dan menghampiri mereka. “Putri Pak Ibrahim?” dia melihat ke arah Tya yang mengangguk. “Tadi beliau berpesan, ingin anaknya menggunting rambut. Tapi tidak mungkin meninggalkan ruang ICU sampai kondisinya stabil.”
“Tak bisakah menunggu sampai stabil?”
“Dokter menyarankan, sebaiknya mengikuti keinginan Pak Ibrahim.”
“Sebaiknya, kamu ikuti...”
Tya mengikuti saran Mitha dan balik ke kamar untuk mengambil gunting dan sisir dalam ranselnya. Saat ia kembali, Mitha berdiri di depan pintu ruang ICU, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Doakan semoga Abi tambah sehat,” ujar Tya bersiap masuk. Tapi ketika ia hendak mendorong pintu kaca ruang ICU, Mitha menarik tangannya.
“Abi mendengarkan semuanya...” katanya dengan suara parau.
“Maksudnya?”
“Abi sudah terbangun ketika Kak Minda dan Kak Firka memarahimu. Dia hanya pura-pura tidur. Aku pikir, itu yang membuatnya drop.”
Tya terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dia akan tetap terpaku seandainya Mitha tak mendorongnya masuk. “Guntinglah rambut Abi sepenuh jiwa. Buat Abi tambah bangga dan bahagia.”

Udara dingin di ruang ICU dan aromanya yang khas menyergap ketika Tya masuk. Tubuh Abi terbaring tak berdaya di tempat tidur dengan layar monitor medis di atas kepalanya dan beberapa pasang kabel terpasang di tubuhnya. Tya trenyuh melihat kondisi Abi, sekuat hati menahan air matanya agar tidak tumpah.

Di luar, azan isya mulai terdengar. Tya ingat, Ramadhan lalu, ia sempat salat tarawih di masjid bersama Abi beberapa malam menjelang hari raya. Ia berharap bisa mengulanginya lagi kali ini, menghabiskan setiap malamnya bersama Abi sampai Ramadhan berlalu.(f) 
 
********
Ayi Jufridar



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?