Fiction
Opera Batak

20 Aug 2016



SUDAH 67 HARI Rui tinggal di kampung ini. Dokter menganjurkan Rui untuk istirahat di pedesaan untuk menyegarkan pikiran. Jadilah sementara dia tinggal di rumah Bou, di desa kecil dan terpencil di Kabupaten Tapanuli. Rui terpaku di dekat jurang di belakang rumah. Dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya hari ini. Semua kesedihan akan berakhir hari ini, begitulah pikirnya.
 
Ketika sebelah kakinya sudah berjalan ke depan, terdengar suara nyaring. Suara itu makin lama makin terdengar. Ternyata bukan sekadar suara, tapi nyanyian. Seseorang bernyanyi. Rui mengabaikan suara tersebut. Namun, ada sesuatu dari nyanyian tersebut yang menyayat hari. Membuat Rui termenung dan merenung. Meskipun Rui orang Batak,  dia tidak terlalu paham bahasa Batak. Dia tidak paham apa arti lagu itu.
 
Kemudian tanpa sadar Rui berjalan ke arah datangnya nyanyian itu. Dia sudah berdiri di depan satu pondok. Seorang nenek tua sedang menyanyi sambil menggunakan alat musik garuntang. Rui mengamati dari jauh. Entah mengapa, suara nyanyian dan suara musik itu seperti menyihir Rui. Dia terpesona sekaligus trenyuh. Rui terduduk di bawah pohon pisang mendengarkan nenek itu bernyanyi.
 
Rui menutup mata dan beberapa tetes air mata mengalir di pipinya. Nyanyian itu mengingatkan dia akan nasibnya yang malang. Sahabat Rui, Meta, merebut calon suaminya. Dan bukan hanya itu, keterpurukan membuat Rui tidak fokus bekerja. Bahkan pekerjaannya sebagai pembawa acara Sahabat Alam pun digeser oleh Meta. Beberapa kali Rui ingin bunuh diri, dan malam ini, niatnya terhalang oleh lagu ini.
 
 
PAGI INI, Rui menanyakan tentang nenek tua yang bersenandung kepada Bou.
“Bou, siapa nenek tua yang bernyanyi semalam? Terdengar di dekat jurang.”
“Jurang? Untuk apa kau ke jurang?” tanya Bou kaget, sambil berhenti memasukkan nasi goreng ke mulutnya.
“Ah, aku cuma menghirup udara segar,” jawab Rui
Bou tidak lanjut bertanya, meskipun jawaban Rui tidak membuatnya puas.
“Bou, nenek tua itu,” Rui mengingatkan.
“Baiklah,” lalu Bou mulai bercerita.
 “Nenek tua itu konon adalah primadona opera Batak, Haruting namanya. Opera Batak zaman dulu. Namanya Marnala. Anak-anak di sini memanggilnya Ompung Marnala. Dulu dia sangat terkenal. Semacam bintang. Opera itu sering manggung di Rumah Gorga. Banyak yang datang menonton. Konon, Presiden pun pernah datang menonton. Banyak yang jatuh cinta dengan Marnala dulu. Dia sangat cantik dan molek.
 
Marnala itu pintar menyanyi, marandung, memainkan alat musik dan juga berpuisi. Namun sayang, pada tahun ’80-an, opera Batak mulai ditinggalkan. Mereka tidak lagi diizinkan untuk manggung di Rumah Gorga. Mereka hanya melakukan pentas dari kampung ke kampung, dari rumah ke rumah apabila ada undangan. Masa jaya opera Batak turun drastis. Opera Batak tidak lagi diminati. Apalagi semua orang mulai beralih ke televisi dan bioskop. Katanya,  masyarakat malu nonton opera Batak karena takut dikira kampungan.
Hari demi hari penonton makin sedikit. Hingga akhirnya tidak ada lagi yang menonton opera Batak. Semua anggota opera mencari kerjaan lain. Ada yang jadi buruh, petani, nelayan, bahkan buruh cuci. Tapi, Marnala pantang menyerah. Hidup matinya di opera Batak itu. Dia terus berusaha untuk tetap menghidupkan opera Batak. Dia pentas sendiri di pasar dan di emperan toko. Dia juga minta bantuan pemerintah untuk menyediakan tempat bagi aktivitas budaya. Tapi, sepertinya pemerintah terlalu sibuk mengurusi hal lain.
Sampai akhirnya keluarga Marnala bosan dengan perjuangannya. Mereka meninggalkan Marnala, suami dan anak-anaknya. Konon, sejak itu dia juga berhenti berbicara. Sejak itu, tidak seorang pun pernah mendengar dia berbicara. Hanya mendengar nyanyiannya,” Bou mengakhiri ceritanya.
Entah mengapa, cerita tentang pemain opera Batak atau disebut dengan paropera itu menarik perhatian Rui. Alangkah kasihan pekerja seni di kampung sini. Apalagi anak muda lebih gemar menonton tarian dan nyanyian di Youtube.
“Kalau kau mau melihat dia pentas. Lihat saja di emperan depan Pasar Harambir,” kata Bou, yang kemudian melanjutkan menghabiskan nasi gorengnya.
 
 
PAGI HARI Rui pergi ke pasar sendirian untuk melihat pentas opera Batak Ompung Marnala. Wanita tua itu memakai kebaya Batak yang biasa dipakai parliturgi ke gereja serta kain ulos ragi hotang yang terbaik dari kain ulos miliknya. Wajahnya masih menyisakan kecantikan, dengan dandanan sangat rapi di usianya yang sudah tua dan gigi yang nyaris ompong.
Dari pagi beberapa anak kurang ajar melempar Ompung Marnala karena mereka mengira dia orang gila. Beberapa orang dewasa bahkan tertawa sambil menunjuk-nunjuk si Ompung. Tapi, ada juga orang-orang berhati mulia yang melemparkan uang recehan dalam kaleng yang disediakan oleh Ompung Marnala. Rui menunggui Marnala selesai pentas. Sore hari menjelang magrib, saat riasannya mulai luntur, Ompung Marnala selesai pentas.
Tangannya yang kurus dan keriput menghitung uang recehan yang dilemparkan orang ke dalam kalengnya. Dan, setelah selesai pentas, Marnala pun ikut pulang bersamanya. Sepanjang jalan mereka tak pernah bertegur sapa, seperti memahami tak ada kata yang mampu melukiskan jendela hati masing-masing.
Esoknya, hingga dua hari kemudian, Rui kembali ke emperan di depan pasar tempat Ompung Marnala biasa manggung. Sudah sebulan lebih kegiatan Rui adalah menonton pentas opera Batak Ompung Marnala dan setelah selesai, dia pulang bersamanya. Berjalan bersisian tanpa bicara. Kadang-kadang memang kesunyian itu lebih banyak berbicara ketimbang kata-kata.
Mungkin hanya Rui satu-satunya orang di kabupaten ini yang menganggap nyanyian, permainan musik, andungan Ompung Marnala sangat menyentuh hati dan menggetarkan jiwa. Sementara orang lain hanya menganggapnya pentas kampungan.
 
HARI INI, setelah selesai pentas, Opung Marnala bermain sordam. Seperti biasa, beberapa orang yang berhati mulia melemparkan koin ke dalam kalengnya. Rui yang terakhir beranjak. Biasanya Rui tidak memberikan apa pun pada Ompung Marnala, tapi kali ini dia meletakkan enam lembar uang seratus ribu ke dalam kaleng tersebut. Ompung Marnala berhenti bermain sordam. Dia menatap uang tersebut sejenak, kemudian menatap Rui agak lama dengan pandangan yang sulit diartikan. Namun, tidak sepatah kata pun yang meluncur dari bibirnya. Seolah-olah dia berpikir orang seperti apa Rui, tapi uang itu tidaklah terlalu penting bagi Ompung Marnala.
 
 
PENGALAMAN BERKARIER di dunia jurnalistik sebelum akhirnya kini menjadi pembawa acara di sebuah stasiun televisi swasta, memberikan akses bagi Rui untuk berbicara dan bertemu dengan orang penting di negeri ini. Rui menghubungi Kepala Balai Latihan Adat di Sumatra Utara yang pernah diwawancarainya dulu, Bapak Jhon Sianipar. Rui baru saja membaca iklan Pentas Opera Batak oleh Teater Geneva di Pematang Siantar. Balai Latihan Adat menjadi salah satu sponsor pentas itu.  
“Rumondang Panggabean. Apa kabar?” Jhon Sianipar mengulurkan tangannya sambil beramah-tamah pada Rui.
Setelahnya mereka diskusi dengan serius. Semula Jhon menolak ide Rui yang meminta agar Opung Marnala bisa ikut tampil dalam Pentas Opera Batak Teater Geneva sebagai penyanyi atau pangandung undangan. Lewat diskusi dan argumen yang alot akhirnya Jhon Sianipar setuju dengan ide Rui.
 
Rui menyempatkan diri mendatangi rumah Ompung Marnala. Dengan bahasa Batak terbata-bata Rui menjelaskan maksud kedatangannya untuk mengundang Ompung Marnala untuk pentas di Pematangsiantar. Ompung Marnala, dia tidak bicara sepatah kata pun namun dia mengangguk sebagai tanda persetujuan. Dari sorot matanya, Rui bisa melihat dia sangat senang. Entah mengapa, melihat kebahagiaan wanita tua di depannya ini membuat Rui bahagia.
 
SESAMPAINYA di Pematang Siantar, ternyata Ompung Marnala ditolak untuk tampil karena waktu yang tidak memungkinkan. Rui sangat marah sampai-sampai satpam harus turun tangan untuk menyeretnya keluar. Rui tidak dapat membendung air matanya. Dia kecewa dan lelah lahir batin.
Dalam perjalanan pulang ke Tapanuli, mereka makan berdua di restoran. Justru Ompung Marnala terlihat biasa saja dengan penolakan itu. Dia menepuk lembut punggung tangan Rui.
 
SORE INI sangat cerah dengan langit biru mengajak menari. Sementara itu matahari menanggapi dengan menyinari bumi dengan perkasa. Rui mengajak Ompung Marnala untuk duduk di depan air terjun Tapz. Lapangan rumput luas di depan air terjun sangat nyaman untuk duduk menikmati sore. Sesampainya di lapangan Tapz, Ompung Marnala sangat kaget karena rekan-rekannya saat pentas opera Batak dulu ada di sana. Memang beberapa ada yang sudah meninggal dunia. Mereka saling berpelukan. Ompung Marnala juga melihat Rui menyewa tenda untuk jadi panggung mini untuk pentas opera Batak. Dia menatap Rui dengan mata berkaca-kaca.
 
Kemudian, Rui sebagai narator memulai acara pentas opera Batak. Meski penonton hanya dua orang yang kebetulan lewat di depan lapangan tersebut, tidak mengurangi semangat Ompung Marnala untuk melakoni perannya dalam lakon Asal Mula Danau Toba.
 
Konon, penampilan Ompung Marnala di depan air terjun Tapz ini merupakan penampilan terbaiknya. Setidaknya, begitulah menurut teman-temannya. Dan Rui? Dia bersyukur tidak langsung terjun ke jurang malam itu.

***

NANA SITOMPUL
 
Catatan:
Garuntang        : Alat musik yang terdiri dari deretan bambu diikat jadi satu
Ompung           : Nenek
Rumah Gorga  : Gedung/rumah pertemuan
Sordam            : Alat musik mirip seruling
Mangandung    : Bernyanyi seperti meratap

 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?