Fiction
New York, New York

10 Nov 2016


Apa yang kau ingat tentang New York?
Taksi kuningnya yang terkenal? Patung Liberty yang menyambutmu di dermaga? Atau peristiwa gedung kembar yang meledak bertahun-tahun lalu?
Aku mengingat New York seperti aku mengingat betapa lezatnya mencelupkan pretzel hangat ke dalam saus keju yang lezat. Menikmatinya di antara gerimis yang turun dan bisingnya klakson di jalanan. Sampai saus keju itu tandas, baru aku akan memencet bel di salah satu apartemen dengan remahan pretzel di jaketku.
Pretzel, lagi?” ujarnya menyambutku. Pandangan matanya jatuh pada remah-remah di jaket.
Aku mengangguk. Ia tahu aku selalu membeli pretzel yang dijual di hampir seluruh trotoar di New York. “Kau sudah menyeduh kopi?”
“Bukankah itu tugasmu?”
Aku memutar bola mataku, merasa tidak beruntung pagi ini. Tapi, Simon memang benar, sudah menjadi tugasku untuk menyeduhkannya kopi, merapikan meja kerjanya yang selalu berantakan dan memesan sarapan pagi untuk kami berdua.
Simon adalah penulis novel laris, dan aku, Aruna, adalah asisten pribadinya. Tiap pagi aku akan datang ke apartemennya dan pulang menjelang makan malam. Tugasku termasuk menerima telepon, mengirim dan menjawab surel dan selebihnya menghadap laptop untuk membantu Simon dengan risetnya. Pekerjaan impian dengan gaji lumayan, sampai aku punya cukup punya uang untuk membeli tiket dan kembali pulang ke Yogyakarta.
“Aku membuat roti isi tuna untuk sarapan,” Simon mendorong piring ke arahku.
Aku mengucapkan terima kasih dan melanjutkan membereskan dapur yang entah kenapa, seperti baru saja dihantam badai. Piring kotor dan berlemak memenuhi bak cuci piring, gelas wine di meja dan sepanci saus spaghetti di atas kompor.
Simon melirikku, “Aku menjamunya semalam. Kami memasak pasta, minum wine, ngobrol dan lebih banyak wine.”
Itu menjelaskan semuanya, batinku masam. Lain kali aku akan minta bonus karena ini di luar tugas-tugasku. Aku mulai mengenakan sarung tangan plastik dan membersihkan piring kotor menjijikkan itu.
“Lalu kami mulai membicarakan hubungan kami dan berakhir dengan tamparan di wajahku,” lanjutnya.
Aku membalikkan tubuh, “Kau tak apa-apa?”
Simon tersenyum, “Menurutmu?”
Aku mendesah, melepas sarung tangan dan menghampirinya. “Simon….”
Ia menenggak habis kopinya dengan sekali tegukan dan menatapku sendu, “Tahan semua telepon yang masuk, batalkan pertemuan dengan Jean hingga minggu depan. Aku ingin tidur.”
“Tenggat waktumu tiga hari lagi, Simon. Dan kau baru separuh jalan,” bantahku sengit. Aku hanya ingin memastikan ia bekerja sesuai jadwal yang dibuatnya sendiri. Simon sudah jauh melenceng dari jadwal dan Jean pasti akan meradang. Pembaca novel Simon sudah menantikan karya berikutnya. Sudah lama sejak Simon menerbitkan novelnya dan mereka sudah tak sabar.
Ia hanya melambaikan tangan dan melangkah ke kamar tidur. Aku buru-buru menyusulnya, “Hanya karena ia tak ingin tinggal bersamamu lagi, bukan berarti hidupmu berantakan, Simon. Ingat pembacamu.”
“STOP, Aruna! Berhenti! Biarkan aku sendiri, ok?” Suara Simon menggelegak. Kami berdiri berhadapan dan saling memandang, canggung.
“Maafkan aku,” gumamku.
 
***
PERISTIWA ENAM BULAN lalu itu masih terpatri di ingatanku. Karena sesudah pembicaraan kami itu, Simon mencoba bunuh diri di kamar mandi. Kalau saja Jean, editor bergaya nyentrik itu, tak datang ke apartemen Simon, mungkin nyawa Simon tak dapat diselamatkan. Ia hampir kehabisan darah dari luka di pergelangan tangannya.
Aku berdiri mematung saat petugas membawanya masuk ke ambulans. Aku menunggu di rumah, sementara Jean mendampingi Simon ke rumah sakit.
“Aruna,” bisiknya parau sebelum ia dinaikkan ke ambulans.
Aku mendekat dan mencoba tersenyum, “Kau akan baik-baik saja, Simon. Aku akan menjengukmu….”
“Tolong katakan padanya aku mencintainya,” bisiknya.
Aku terpana. Dasar pria bodoh. Baiklah, mungkin ia tak bodoh-bodoh amat mengingat lima novelnya meledak di pasar. Tapi, buatku ia tetap pria tampan yang bodoh. Bagaimana mungkin ia masih mengharapkan seorang gadis yang sudah menghancurkan hidupnya? Gadis yang bahkan tak tahu bagaimana mencintai pria baik hati yang  tiap malam menunggunya pulang.
“Kamu pasti mengingat cowok New York-mu itu, Run.” Sapaan Gita membuyarkan lamunanku.
Aku berpaling pada gadis berambut hitam yang sudah menjadi sahabatku sejak SD itu. “Pria tampan yang bodoh,” ujarku geli.
“Dia pasti bodoh karena tak menyadari betapa gadis manis sepertimu mencintainya dalam diam,” ujar Gita.
Aku tersenyum masam. Simon memang tak pernah tahu betapa aku menyukai senyumnya yang merekah ketika kami sama-sama menikmati pretzel di Madison Park Avenue, meski gerimis turun dan membuat rambut ikalnya basah. Atau saat ia memelukku karena aku menangis akibat rindu yang menghujam pada rumahku di Yogya. Aku suka memandangi wajahnya yang serius ketika ia mengetik di pagi hari, atau rengekannya agar aku tak memesan pizza di Ray’s Pizza karena mereka pelit memberi keju.
“Kamu akan kembali ke New York?” tebak Gita.
Aku menggeleng. “Tidak, Git. Aku tidak ingin kembali ke sana dan terkatung-katung lagi.” Ke New York hanya untuk menjadi nomor dua? Tidak lagi.
Gita tertawa. “Kamu yakin? Memangnya dia ndak akan menghubungimu lagi?”
“Aku bahkan tidak berpamitan padanya, Git. Ia pasti marah padaku.” Aku mengingat kepingan kenangan terakhirku bersamanya. Kenangan terburuk dari hubungan kami selama hampir dua tahun.
Aku menjenguknya di rumah sakit. Selang infus masih terpasang dan ia tersenyum ketika menyadari aku yang datang.
“Sudah baikan?” tanyaku.
Simon tersenyum, “Apa kau sudah menyampaikan pesanku kepadanya?”
Oh, Tuhan. Simon, ayolah.
Aku mengangguk.
“Dia tak pernah datang menjengukku,” ungkapnya, sedih.
“Tapi aku di sini, bersamamu. Kau akan baik-baik saja tanpanya, Simon, percayalah.” Aku datang memberinya pengharapan, agar ia bangkit, kembali ceria dan mungkin aku bisa mengakui perasaanku padanya.
“Aku membutuhkannya.”
Mataku mulai panas. Aku menggenggam tangannya dan ia membalas dengan meremas tanganku. Kau tak membutuhkannya, Simon, ada aku, aku mulai membatin.
“Setelah kau sembuh, aku janji akan mentraktirmu pretzel. Kita bisa membawa draft naskahmu dan ngobrol di taman.”
“Kau tahu kenapa ia tak mau datang menjengukku, Aruna?”
Danau mulai terbentuk di pelupuk mataku. Aku menghela napas dan menghelanya perlahan. Ia mengernyitkan dahi.
“Kau baik-baik saja, Aruna?”
Aku melepaskan genggaman tangan dan menggeleng. “Tidak, Simon. Aku tidak baik-baik saja. Aku….”
“Aruna?”
“Tidak ada gadis yang kau rindukan itu, Simon!”
“Aruna, berhenti! Jangan katakan itu!”
Aku hampir histeris, “Kenapa? Kenapa kau tak mau menerima kenyataan? Dia sudah pergi dari hidupmu, Simon. Selamanya, dia tak mungkin kembali karena dia sudah….”
Simon mulai panik. “Berhenti, berhentilah. Kumohon.”
“Dan aku,” napasku tersengal, “aku mencintaimu. Aku berusaha membuatmu sadar, tapi kau selalu menolak kenyataan.”
“Ya, Tuhan,” bisiknya.
Dan itu adalah terakhir kali kami bertemu. Aku tak sanggup lagi berada di sisinya. Tidak selama ia masih berhalusinasi tentang Diane, gadis yang dicintainya. Gadis yang memergoki kami tengah berciuman, yang pergi meninggalkan apartemen dalam keadaan marah dan sebuah truk menabrak mobilnya di malam bersalju. Sejak itu hidup Simon seperti dijungkirbalikkan. Merasa bersalah, ia menghidupkan kenangan bersama Diane dengan makan malam imajinasi yang dilakukannya  tiap Kamis malam. Malam di mana ia kehilangan Diane. Dan aku tersisih dari kehidupan cintanya selain sebagai asisten pribadinya.
Air mataku menetes dan Gita memelukku.
Wes toh, Run. Keputusanmu sudah benar. Kamu ndak bisa selamanya berdiam diri. Kalau jodoh, ia akan menjemputmu,” bisik Gita.
Omong kosong, bisikku dalam hati.
 
***
ORANG BILANG cinta itu sayap, kebebasan itu langit. Kau bisa saja terbang tinggi, tapi ingat, ada batas atmosfer yang tak boleh didekati jika tak ingin hancur. Aku rasa aku sudah menyentuh batas itu dan sekarang hancur berkeping-keping.
Aku menikmati pagiku di Yogya tanpa pretzel. Gita membawakan gethuk dan wedang sereh untuk sarapan. Sementara aku mengirim lamaran lewat surel, Gita meneleponku.
“Halo Run, kamu ada di rumah, ‘kan?”
“Ya, memangnya kenapa?”
Gita tertawa di ujung sana, “Nadamu, kok, curiga gitu, toh, Run. Wong aku cuma nanya karena sebelum makan siang nanti aku mau mampir ke rumahmu. Sekarang aku lagi jemput tamu di bandara.”
Aku menyetujui usulan Gita yang akan mengenalkan tamunya siang ini. Gita juga mewanti-wanti agar aku tidak makan siang dulu karena ia membawa gudeg manggar. Gita memang bekerja paruh waktu sebagai pemandu untuk pelancong asing yang mengunjungi Yogya. Tiap kali ia mendapatkan tamu, ia selalu menempatkan mereka di Omah Joglo, penginapan milik Bapak dan Ibu yang kini juga sedang kutempati.
Aku mengerjap menatap layar laptop-ku. Ada surel masuk. Secepat itukah sebuah perusahaan merespons surat lamaran yang baru satu jam lalu kukirim? Tanganku gugup saat mengarahkan tetikus ke kotak masuk. Dan aku makin tercengang ketika surel itu datang dari Jean. Apa maunya? Belum sempat aku membaca surel dari Jean, ketukan di pintu terdengar.
Pretzel?” Ia mengacungkan sekotak pretzel ke arahku, tepat ketika aku membuka pintu.
“Simon! Bagaimana kau... Gita?” Aku menatap dua orang itu bergantian. Gita tersenyum dan melambai padaku. “Kamu... Kenapa tidak memberi tahuku sedari awal?”
“Bukan kejutan, dong, namanya, Run,” balas Gita, “Aku menyiapkan gudegnya dulu, ya.”
Simon tersenyum saat aku menatapnya. “Mungkin pretzel-nya sudah basi,” ujarnya.
Aku menggeleng dan tertawa. “Tidak apa-apa. Lupakan pretzel itu. Sedang apa kau di sini?”
“Menyusulmu! Apa lagi?”
“Simon….”
Ia memelukku, “Maafkan aku, Aruna. Selama ini aku dibutakan oleh masa lalu. Kau benar, Diane takkan pernah kembali padaku. Harusnya aku tahu, perhatian-perhatianmu itu... kau mencintaiku.”
“Simon,” bisikku. “Siapa yang memberi tahumu soal ini?”
Simon melepaskan pelukannya dan menyentuh pipiku dengan lembut, “Sesaat setelah kau pulang, Jean masuk dan memberi tahu semuanya. Kenapa kau tak berterus terang padaku soal perasaanmu?”
Aku menghela napas. “Kau tahu, kau baru saja datang. Kuantarkan kau ke kamar dan kita akan ngobrol saat makan siang nanti. Bagaimana?”
Simon mengangguk. Aku mengantarnya ke kamar dan ia bercerita sedikit soal terapi yang diikutinya semenjak aku pergi. Ia mencium pipiku ketika aku meninggalkannya untuk istirahat.
“Kita mulai dari awal?” tanyanya.
Aku mengangguk. Sewaktu aku kembali ke kamar, aku merasa ada yang aneh. Aku buru-buru kembali ke kamar dan memeriksa surel dari Jean.
 
Aruna,
Kau akan berterima kasih padaku untuk ini, Aruna. Rahasiamu aman bersamaku. NYPD baru memutuskan bahwa kematian Diane murni akibat kecelakaan. Sekarang kau akan menjadi satu-satunya untuknya. Happy?
Satu lagi, sesuai perjanjian, lanjutkan tugasmu. Pastikan ia menyelesaikan novel itu atau aku akan hancur bersama karier Simon. Dan rahasiamu akan terkuak.
Salam,
Jean.
 
Aku tersenyum membaca surel Jean. Di kepalaku terngiang Frank Sinatra menyanyikan New York, New York.
I want to wake up in a city that never sleeps. To find I’m a number one, head of the list. (f)
 
***

Dyah Prameswarie


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?