Fiction
Mati Rasa (3)

20 Jun 2016



Bagian 3

<<<< Kisah Sebelumnya
 
Suaranya bergetar ketika ia menceritakan ulang kisah itu ke asisten pertama, yang tercenung mendengarkan. Ia bertanya-tanya, kenapa atasan mereka marah begitu hebat untuk urusan, yang menurutnya, sepele. Apa bahaya memberi alamat kantor ke profesor yang mereka bantu penelitiannya? Seandainya pun dia tidak memberi bantuan itu, toh, profesor itu punya cara lain mendapatkan alamat kantor. Dan menitip barang itu tidak melanggar hukum, sejauh barang yang dikirim tidak berbahaya.
 
Asisten pertama hanya diam. Hening di taksi. Ia mengeluarkan tas kosmetik dari dalam tas. Memperbaiki bedak dan riasan matanya dengan tenang. Setelah itu ia memandang kawan barunya, berkata, “Aku sudah melewati hal-hal buruk seperti itu, bahkan lebih buruk. Keadaanku dulu jauh lebih buruk daripada keset busuk lobi gedung kita. Aku tak mau ceritakan ke kamu bagaimana dia menghina aku dengan menyebut nama binatang. Aku bertahan. Coba kamu tanya kenapa aku bertahan selama ini?”
 
Ia memandang asisten pertama dengan hati masygul, bertanya, “Apa alasannya?”
 
“Kita yang waras harus maklum. Mentalnya benar-benar sudah ambrol.”
 
Perempuan muda itu mengeluh. Hatinya seperti tersayat-sayat. Matanya memanas, sudut-sudut matanya tergenang air, siap tumpah. Dan memang tumpah. Ia menghela napas panjang untuk mengulur kesesakan dadanya. Mengelap air mata dengan tisu. 
 
“Dia juga menyebut aku dengan nama satu binatang,” ucapnya perih.
 
 “Tapi jangan patah hati, kawan. Jangan sama sekali. Itu artinya dia menang. Dan itulah yang dia harapkan. Dia punya kepribadian ganda. Post power syndrome. Dia enggak  sadar  soal itu. Mulai sekarang, sadarlah. Dia bisa lakukan hal lebih buruk dari yang kita pernah rasakan ini. Dia akan buat kita menderita, tak betah, keluar. Itulah yang dia harapkan. Dia tak mau takhtanya digeser. Aku sudah tunjukkan bahwa aku melawan. Dan dia harus hitung-hitungan menghadapi aku. Aku kebal dengan gertak sambalnya.
 
Sekarang, modus operandinya seperti ini. Begitu kita melawan, dia akan mengeluh sakit. Dia akan bilang dia sakit karena kita membangkang. Tak usah dipikirkan. Dia akan minta belas kasihan kita. Minta diurutlah. Minta dibuatkan teh manislah. Begitu selalu. Tadinya aku bilang persetan dengan kerjaan di sini. Maunya keluar. Meski gaji besar, tapi dihina tiap hari, untuk apa? Tapi, satu kawan kita itu,” bisiknya, sambil menyebutkan nama si mata almond, ”dia menasihati aku dengan teori yang seperti aku bilang tadi. Dan berhasil. Aku bertahan.”
 
Ia menatap rekan kerjanya, yang berkata benar. 
 
“Sekarang  kamu  ngerti  kenapa  saya  santai. Jangan dimasukkan ke hati segala hal buruk dari dia.”
 
Kemudian berdua sama-sama menertawakan kepahitan mereka. 
 
“Kita ikut saja ke mana arah dia. Sedapat mungkin, kita jangan lakukan kesalahan. Dia akan manfaatkan itu untuk merendahkan kita. Membuktikan kita tak mampu. Kamu tahu, di bulan pertama aku kerja, aku melakukan kesalahan-kesalahan fatal berturut-turut. Tapi itu justru karena aku takut bikin salah. Aku dihabisi oleh dia. Gila! Bulan-bulan berikutnya, aku mudah sadar kebiasaan dia. Kamu tahu apa yang bikin aku bertahan di sini? Uang. Aku perlu uang untuk bayar  utang kartu kredit, keponakan yang terkena leukemia.  Ayahnya, abangku, bukan orang kaya, dia cerai dari istrinya. Itu saja yang bikin aku kuat.”
 
“Turut prihatin soal keponakan kamu.”
 
“Ya, terima kasih. Kamu juga harus tabah. Pekerjaan ini tidak sulit. Sumpah.”
 
Ia mengangguk, setuju.
 
“Sekarang aku beritahu kamu ini. Dia akan bikin kita saling bersaing. Bagaimana pun dia akan menendang salah satu dari kita. Memang sekarang kita banyak kerjaan karena kuota bertambah. Normalnya, hanya satu asisten. Sikap komisioner kemarin sangat membesarkan hati. Kalau mereka melihat kita berdua bisa bekerja sama menanggung tanggung jawab komisi ini, dia yang akan ditendang. Bayangkan! Selama ini ia hanya berdusta, bilang tak ada yang sanggup menggantikan tugas dia. Bahkan presiden ganti tiap lima tahun. Sementara ini, apa? Kalau dia main kasar, mari kita lebih kasar. Aku sudah dengar bisik-bisik. Board menyukai kamu. Mereka akan menghadirkan penilik dari pusat. Semoga cepat datang. Mereka akan menuntaskan soal pengganti. Itu artinya, dia akan lebih keras mempertahankan kedudukannya. Dia akan setengah mati mencari kesalahan kita. Kamu harus sadar, dia juga perlu pekerjaan ini. Perlu uang tiap bulan untuk menyantuni gaya hidup keluarganya yang pemabuk dan pengangguran itu. Kamu ngerti maksud aku?”
 
Perempuan itu mengangguk.
 
“Sini aku beri tahu. Setelah dia pensiun, kantor sudah bikin iklan di koran sebanyak tujuh kali, sudah mewawancarai dan menerima sembilan belas orang, tapi tak ada yang bertahan. Bahkan ada yang pernah bekerja hanya satu hari. Tak mau lagi dia berhadapan dengan dia. Kamu bayangkan ganasnya dia mempertahankan pekerjaan ini.”
 
Ia tercenung.
 
“Kamu orang kedua puluh. Akulah yang paling lama bertahan menghadapi dia, sudah hampir empat tahun di sini. Sekarang, kita lihat apa yang akan terjadi dalam waktu dekat. Kita harus berjuang.” 
 
Kemudian sunyi di taksi. Dua perempuan muda tenggelam dalam lamunan, mimpi dan ambisi, kepedihan dan kesakitan.
 
“Hidup ini sudah rumit, ditambah rumit ...,” keluh asisten pertama.
 
Ia menepuk-nepuk punggung tangan asisten pertama.  
 
Taksi sudah memasuki tol terakhir bandara.
 
"Kita masih punya waktu sarapan. Aku perlu kopi hitam pagi ini. Pening nih. Kamu sudah lihat foto mereka di dokumen?” 
”Sudah.”
 
"Bagus. Ini pertemuan pertama. Dari foto kita tahu wajah mereka. Karena ada bayi, pasti barang mereka banyak. Kita akan sewa mobil saja. Nanti kalau kamu menjemput sendiri, minta uang taksi lebih, untuk jaga-jaga apa yang mungkin terjadi di jalan. Kerjakan sesempurna mungkin, jangan sampai grantee melapor hal-hal tak menyenangkan ke orang kantor.” 

Tiga puluh menit ke depan pesawat orang yang mereka jemput akan mendarat. Mereka sarapan burger dan kopi hitam. 
“Kalau mengalami hal-hal aneh, jangan panik. Itu penting diingat. Kuasai dulu keadaan. Ketahui apa masalahnya. Tak satu pun masalah di dunia ini mematikan, kecuali kita memang mati. Ayo, ketemu mereka! Mereka sudah mendarat sekarang.”
 
Grantee dan keluarga kecilnya membawa dua koper besar dan dua yang lebih kecil. Bayi mereka tidur nyenyak di kereta. Kedua belah pihak saling berkenalan resmi, penuh keramahan. Kopor-kopor dimasukkan ke bagasi mobil sewaan. Asisten pertama mengatur tempat duduk. Ia duduk di samping sopir. Ia, suami-istri dan bayi, di bangku tengah. Mobil meluncur pelan menuju hotel transit mereka. 
Di mobil, mereka bercerita soal cuaca dan perjalanan mereka. Suami istri itu sangat ramah dan terbuka. Mereka menceritakan bagaimana mereka saling bertemu dan menikah. Di pernikahan mereka, seorang sahabat Indonesia mereka menyanyikan lagu daerah. Semua tamu senang mendengarnya musiknya. Menurut mereka, itulah salah satu sebab dia ingin melakukan penelitian di sini. Saat si grantee menyebutkan nama Indonesia yang dimaksud, ia berseru senang karena itu adalah sahabat masa kecilnya.
 
“Kami sangat dekat,” serunya.
 
Suasana di dalam kendaraan itu jadi lebih hangat.  
 
Keesokan harinya, ia dan asisten pertama, mengantar grantee ke beberapa kantor pemerintah untuk mengurus izin peneliti asing. Ke kantor imigrasi untuk mengurus kartu izin tinggal tinggal sementara. Ke markas besar kepolisian untuk mendapat izin perjalanan ke kota-kota penelitian. Ke departemen dalam negeri untuk mendapat surat izin meneliti di tingkat propinsi dan kabupaten tingkat satu dan dua. Diperlukan 3-4 hari menyelesaikan semua urusan itu dalam keadaan normal.
 
Sekarang surat-surat sudah di tangan. Grantee siap ke lokasi penelitian. Kepada penyelia senior, ia memuji bantuan perempuan itu, dan tanpa mengurangi rasa hormat, juga berterima kasih ke asisten pertama.
 
Tetapi pujian itu malah berbuntut kesedihan.
 
"Apa yang kamu lakukan? Mau jadi pahlawan, hah? Tak ada masalah pribadi dikaitkan ke pekerjaan, ngerti? Membantu dia seperti orang cacat? Kamu sedang mengubah sistem yang ada. Dia akan berbicara pengalamannya ke mereka yang akan datang. Mereka akan menuntut pelayanan yang sama. Itu akan merusak segalanya. Tahu kamu?” teriak atasannya. 
Seluruh isi kantor mendengar teriakan itu. Tubuh perempuan itu bergetar karena atasannya berteriak seperti orang pasar yang tak pernah sekolah.
 
"Saya tidak mau komisi ini berubah jadi agen jasa. Komisi ini sangat bergengsi, ngerti apa kamu? Kamu merusak reputasi program!” 
Ia tak sanggup menatap mata atasannya yang sepertinya akan meloncat keluar karena murka yang menyala.
 
Apa yang dituduhkan atasannya itu di luar batas kesadarannya. Apa yang dia lihat dari diriku sehingga dia menuduhku seperti itu? Aku hanya berusaha ramah, bermanfaat, proaktif, seperti yang pernah dia usulkan. 
 
“Besok kamu sendiri jemput si profesor di bandara. Saya akan lihat bagaimana kamu mengubah sikap, cara bekerja. Jangan sok tahu. Kalau dia tanya apa pun, bilang tidak tahu! Saya yang akan jawab semua pertanyaan dia. Ngerti? Jangan bikin penyakit saya kambuh!”
 
Tubuhnya makin bergetar di tempat duduknya.
 
“Kamu baru dua minggu di sini, sudah bikin banyak masalah!”      
 
Setelah peristiwa histeris itu, atasannya menarik tasnya kasar, memerintahkan asisten pertama untuk ikut dengannya, ke luar.
 
Perempuan itu menarik napas panjang. Jantungnya benar-benar tercabik-cabik. Semua perkataan itu melemahkan seluruh jiwa raganya.
 
Sunyi  di ruangan. Temannya di bagian keuangan, membawa mugnya mengambil air di dispenser, melewati mejanya, dan berkata pelan, “Sabar, ya.”
 
Kolonel Sanders keluar dari ruangannya, membawa mugnya dengan wajah suram, mendekati mejanya, bertanya, “Are you okay?”
 
Mendengar itu, air matanya menetes ke tangan. Ia menghapus dengan rasa pedih. Wajah ibunya yang ringkih dalam bayangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, menjawab, “I am okay, Sir.”
 
Kolonel Sanders menekan bahunya pelan, memberi simpati dalam sunyi.
 
Lalu si bengkung udang  menyentuh pundaknya, kemudian tanpa bicara dia jongkok di sisi kirinya, menepuk-nepuk pahanya pelan. Ia tersenyum menerima simpati itu.
 
“Aku boleh tanya enggak?” tanyanya.
 
“Tanyalah. Apa saja,” jawab si bengkung udang.
 
“Tiap kali aku tiba di kantor, kamu selalu sedang menelepon. Kamu menelepon siapa?”
 
“Oh itu. He… he… he…. Itu anak saya. Baru empat tahun. Kalau saya pamit pergi, dia selalu pesan, meneleponnya begitu aku tiba di kantor. Dia harta aku satu-satunya. Dia tak pernah kenal ayahnya, karena masih di perutku, ayahnya pergi meninggalkan kami. Tak pernah tahu dia di mana. Dan aku tak mau tahu. Aku lakukan apa saja tiap hari hanya untuk anakku. Tiap kali ingat dia, aku selalu bisa sanggup bertahan, apa pun. Itulah yang terjadi tiap hari. Terima kasih, ya. Baru Mbak seorang yang tanya soal itu,” jawab si bengkung udang sambil mengusap-usap tangannya.
 
“Oh, gitu,” ia tersenyum, mengangguk-angguk. Ia sudah membayangkan sebuah jawaban yang pahit. Tetapi, mendengar fakta yang barusan dikatakan, ia sadar, kenyataan sering kali lebih mengerikan daripada bayangan.  
 
Malam itu, dia demam tinggi. Dia bermimpi buruk, macam-macam. Sampai ia terjaga berkali-kali, berkeringat, dan menangis, sendirian.
 
Pagi hari, dia naik taksi ke bandara, membayangkan dirinya robot. Hatinya ngambang. Dia tidak merasakan sesuatu. Tak ada rasa lapar  atau haus. Tetapi, tekad di hatinya membatu. Dia akan bertahan.  
Di tengah jalan, satu telepon masuk ke selulernya. Si profesor peneliti yang akan dia jemput. Profesor itu menjelaskan bahwa pesawatnya tiba lebih cepat, dan menyebutkan satu nama kafe, tempat dia duduk menunggu. Ia juga menyebutkan warna kemeja yang ia kenakan.
 
"Agak sulit menemukan kafe yang dimaksud. Yang tak ia bayangkan adalah, profesor itu masih muda. Rambutnya ikal cokelat muda. Matanya hijau. Melihat pemandangan segar itu pun, hatinya tak tergugah. Ia memperkenalkan diri secara resmi, menjabat tangan profesor itu, berkata, “Kita pergi sekarang.” 
”Hei, lihat. Saya belum selesai. Kita minum sebentar? Masih ada waktu?”
”Tidak. Silakan minum kopi Anda. Saya menunggu.”
”O, baik. Sepuluh menit?”
 
Si profesor membawa satu ransel besar dan panjang, satu ransel kecil yang digendong. Ia ahli tsunami. Sudah mengunjungi beberapa kota pantai Negeri Ini yang berpotensi tsunami. Kali ini dia datang untuk penelitian lanjutan. Untuk melakukan itu semua, dia memerlukan izin kerja maraton dari beberapa departemen sekaligus. 
Si profesor bertanya ini dan itu. Dan tiap dia menjawab, silakan bertanya nanti di kantor.
 
Profesor itu hanya tertawa, berkata menduga-duga, kamu pasti tidak mau berurusan dengan atasan kamu, kan?
 
Perempuan itu menatapnya, tidak menjawab. Dan si profesor masih terus berusaha menumbuhkan ceria di tengah-tengah mereka.
 
Tiba-tiba saja mereka sudah berbicara sastra.  Tiap kali prosefor itu menyebut satu judul buku, ia berkata, sudah membaca. Kadang-kadang ia sambungkan ke karya sastra lain. Ia tak menyadari kalau ia sudah mulai berbicara ke si profesor. 
 
“Kamu membaca banyak buku sastra penting. Kenapa tidak minta beasiswa untuk melanjutkan sekolah?”
 
Saat itu dia sadar. Dia terlalu banyak bicara. Ia tidak mau lagi menanggapi si profesor. Lalu ia menjawab tidak tahu, untuk pertanyaan apa pun. Sampai laki-laki bermata hijau itu mencari sebuah buku kecil di tas gendongnya. Kemudian matanya bersinar melihat buku itu.
 
“Ah, sudah lama saya ingin baca buku itu.”
 
"Nah, akhirnya saya punya buku yang kamu belum baca,” kata si profesor tertawa penuh kemenangan, menyerahkan buku itu. 
Ia ragu-ragu. Si profesor mendesak, berjanji, tidak akan menjadi masalah buat mereka.
 
Tiba di kantor, dia langsung mengarahkan si profesor ke ruangan Kolonel Sanders, yang sedang menunggunya, dengan penyelia seniornya.  
 
Yang tidak dia ketahui adalah, si profesor memuji peristiwa dalam perjalanan tadi. Bahwa selama dia menjadi peneliti di Negeri Ini, baru kali ini menemukan seorang yang membaca buku-buku sastra penting dunia, mampu menganalisis dan mengaitkan isi buku dengan budaya dan politik tertentu.
 
Perempuan itu tidak mendengar apa yang dikatakan si profesor. Dan akibatnya, dia ingin langsung mati, berhadapan dengan atasannya. 
 
”Kamu betul-betul tebar pesona! Kembalikan bukunya sekarang juga! Memalukan!”
 
Atasannya masih berkata yang lain, tapi dia tak lagi bisa mendengarnya. Telinganya sudah terlalu penuh mendengar berita-berita buruk tentang dirinya. Lantas atasannya mengaku sakit kepala, karena perempuan itu.
 
“Mau diurut, Mbak?” tawar asisten pertama sambil menengok ke rekan kerjanya.
 
 
Adegan 5 – Pupus      
  1. antor mendapat kunjungan dari pusat. Seorang pengawas. Beberapa perubahan struktur dan perkembangan program akan disosialisasikan di beberapa negara. 
Asisten pertama berbisik kepada perempuan itu bahwa ia telah mendengar pusat akan mengusulkan mereka dijadwalkan mengikuti latihan, berkenalan dengan seluruh program selama dua minggu, di kantor pusat.
Dia menanggapi semangat asisten pertama dengan rasa enggan. Hatinya agak beku. Dia tak bisa merasa sedih atau gembira. Semua terasa sama. Berat. 
 
Pagi itu mereka menyambut kedatangan pengawas dengan rapat kecil di ruang kerja Kolonel Sanders.
 
Orang pusat itu seorang perempuan muda yang cerdas, positif, cantik. 
 
“Maaf kalau saya terlalu intervensi dengan urusan dalam negeri kalian. Saya hanya berusaha membantu. Saya dengar beberapa kali kalian gagal mencari pengganti memimpin di program. Semua orang memang harus melewati proses. Kami telah mendiskusikan masalah ini, mengusulkan untuk memberi kesempatan kepada dua asisten kita ini,  untuk mengikuti latihan standar,” ujar si cantik.
 
“Visa kamu masih berlaku minimal enam bulan ke depan?” Kolonel Sanders menyambut usulan itu, cepat.
 
“Itu bukan hal urgen. Kenapa kamu bertanya hal tak penting itu!” bentak atasannya.
 
Sunyi di ruangan. Kolonel Sanders langsung diam. Wakil dari kantor pusat itu pun menunggu. 
 
“Saya kira itu bukan ide bagus. Sedikitnya orang baru harus melewati satu putaran dulu. Tiga bulan kita lihat perkembangannya. Dia telah beberapa kali berinisiatif sendiri dan tidak koordinasi dengan tim. Saya kira ini berbahaya,” suara atasannya terdengar  bergetar.
 
Tak ada komentar. 
 
Melihat itu dia menambahkan, ”Saya pernah menelepon dia, telepon dimatikan. Padahal waktu itu saya perlu informasi penting. Dia belum kenal betul budaya kerja kita.”
 
“Saya tak pernah ...,”  ujarnya meralat.
 
“Diam kamu! Tentu saja kamu enggak merasa karena saya yang telepon kamu. Lain kali kalau kamu ditelepon orang, jangan lama-lama. Apalagi bukan urusan pekerjaan. Kita ini di sini harus siap 24 jam. Para grantee di lapangan punya seribu satu urusan. Mungkin mereka ada kesulitan tengah malam, butuh bantuan segera. Gimana kalau ada hal mendadak, dan kamu sibuk telepon?”
 
Kolonel Sanders beberapa kali berupaya bicara, tetapi penyelia senior terus berkoar-koar dengan suara keras dan penuh tekanan, mengulang satu dua kesalahan perempuan itu, yang sama sekali tidak terjadi seperti yang dia tuduhkan. Sebenarnya saat itu dia ingin berteriak ke atasannya, bahwa dia bukan boneka, bukan anak kecil. Bahwa dia seorang pekerja. Tahu sopan santun dalam bekerja. 
 
“Dia juga cenderung genit kepada  laki-laki.”
 
“Kapan? Saya tak pernah ....”
 
“Diam kamu! Saya belum selesai bicara! Ada beberapa grantee melapor ke saya. Apa perlu saya sebutkan nama-nama?”
 
Perempuan itu tiba-tiba merasa mual. Dan dia bersumpah, ingin memuncratkan muntah di wajah atasannya yang setan itu.
 
Tapi,  kenyataannya dia diam. Hanya mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ia ingat perkataan asisten pertama. Membayangkan sesuatu yang dapat membuat hatinya membatu. Dan dia membayangkan wajah ibunya. Yang sakit dan ringkih. Dan kebaikan hati bibinya. Segera dia berjanji di hatinya, untuk bertahan. Sampai mati, di ruangan ini.  

Terasa ketegangan di udara. Penyelia senior terus berbicara sambil tangannya bergerak ke sana kemari. Wajah cantik perwakilan kantor pusat itu mendengarkan dengan serius. Wajah Kolonel Sanders buram. 
Pada satu titik, Kolonel Sanders menyela, tiba di momen yang tepat, saat yang tak kentara, menyetop pembicaraan si penyelia senior. Dengan nada rendah dan sopan, ia setuju bahwa perempuan itu belum melihat program satu putaran. Lalu dia ingatkan peristiwa rapat dengan dewan komisioner, dan berhasil menunjukkan kemampuan dalam menganalisis, dan diakui oleh yang hadir di sana.
 
“Jadi, kenapa kita tidak beri dia kesempatan itu?”
 
Lalu segera dia memuji kehebatan penyelia senior sebagai seorang yang telah sangat berjasa, membuat pelbagai sistem yang terus diperbaiki, telah diakui dan diadopsi negara-negara lain sebagai sistem terbaik, membuat pekerjaan lebih efisien.
 
Dengan jelas ia mengatakan lagi penghargaan-penghargaan yang diterima oleh si penyelia kantor dari kantor pusat. Kepiawaiannya sebagai negosiator diakui dunia. Tak seorang pun akan menafikan prestasi itu. Dan pujian, bahwa sebagai pemimpin yang memiliki hati besar, dia telah menunjukkan contoh dengan menuntun calon-calon yang akan menggantikan dia, di kursinya.
 
“Kamu orang yang tepat untuk mengantar mereka latihan di sana, memberi mereka yang terbaik agar apa yang kamu harap bisa terwujud dalam diri mereka. Agar ketika estafet kepemimpinan ini diserahkan kepada mereka berdua, kamu merasa tenang.”
 
Atasannya menggeleng-gelengkan kepalanya.
 
Kolonel Sanders belum selesai, melanjutkan, “Ini waktunya kamu mulai melakukan kesenangan-kesenangan dalam hidup. Jalan-jalan, berkebun, membaca buku-buku yang kamu suka. Itu berulang kali kamu bilang, tetapi belum pernah sekali pun dilaksanakan. Lepaskan kekhawatiran kamu. Beri kesempatan ke mereka berdua.”
 
Perempuan pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda setuju dengan apa yang diusulkan Kolonel Sanders. Ia melihat wajah atasannya memucat. Darah sepertinya menghilang. Tetapi rupanya Kolonel Sanders dan perempuan pengawas tidak melihat perubahan itu. 
 
“Agar tidak membebani program, pusat akan membayar perjalanan mereka dan biaya hidup selama tiga minggu. Kami sudah menyiapkan tiket pulang-pergi, mengatur jadwal di sana, bertemu ….”
 
Belum selesai pengawas itu berbicara, wajah penyelia senior itu memutih dengan cepat, matanya sayu, tubuhnya meleot-leot, lalu jatuh ke lantai dengan suara keras. Seluruh tubuhnya tergeletak tak berdaya di lantai yang dingin.
 
Setiap orang di ruang itu berteriak, mendorong kursi mereka masing-masing ke belakang.
 
Kepanikan menyerbu. Kolonel Sanders meneriakkan nama si bengkung udang untuk memberi tahu sopir, mengantar ke rumah sakit. Tiga laki-laki di ruang itu menggotong tubuh atasannya, masuk ke lift yang sesak, lalu ke mobil. Asisten pertama duduk di depan, menelepon keluarga penyelia senior, lalu rumah sakit. Kepala HRD duduk di kaki penyelia senior, menggosokkan obat gosok ke telapak kaki dingin atasannya. Kepala atasannya rebah di pangkuannya, ia menaruh wewangian di dekat hidung atasannya, berharap itu membuat dirinya sadar.
 
Kendaraan meluncur di jalanan. Ke rumah sakit.  Semua berlangsung cepat dan tak terduga.
 
Gawat darurat rumah sakit menyambut pasien dan segera melakukan pertolongan pertama. Dokter  jaga mengatakan pasien terkena serangan jantung pertama. Menurut pemeriksaan, terlambat sedikit saja, jantung bisa terhenti, jiwa melayang.
 
Petugas rumah sakit memberi tahu akan membawa pasien ke ruang intensif. Tubuhnya langsung dipasang alat-alat. Kepadanya diberi obat penenang.
 
Satu jam atasannya tak sadarkan diri. Ketika matanya terbuka, dialah yang dilihatnya pertama kali. Ia mengulurkan tangan ke arah perempuan itu, dan disambutnya dengan menggenggam tangan itu.
 
“Syukurlah. Jangan berpikir macam-macam. Tenang saja,” katanya. 
“Selama kamu di sana, mereka tak akan berhenti berupaya mengirim kamu ke pusat,” ujar atasannya dengan suara pelan.
 
Astaga! Bahkan dalam keadaan pingsan dia masih memikirkan hal itu?
“Jangan khawatir. Kami tak mungkin berangkat,” katanya.
“Terima kasih,” ujar atasannya,  terus menggenggam tangannya.
 
Tak lama adik-adik penyelia senior muncul di rumah sakit. Ingatannya melayang ke satu sore yang dia habiskan dengan atasannya. Di rumah rehabilitasi itu. Di ruang paduan suara. Bagaimanapun, atasannya butuh pekerjaan ini. Dia menyantuni banyak orang, banyak keperluan, tanpa pamrih, seperti kata adik laki-lakinya, waktu itu. 
 
Mereka duduk di ruang tunggu. Tak saling bicara. Sunyi. Sendiri ia memamah biak, berusaha mencerna lagi, apa yang dikatakan atasannya terakhir tadi.
 
Apakah aku yang harus mengundurkan diri dari kantor? Kali ini dia tidak memercayai asisten pertama bahwa atasan mereka pura-pura sakit, tiap kali hal tak menyenangkan terjadi. Ia bahkan melihat atasannya telah mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan pekerjaan ini. Mungkin demi orang-orang yang dia bantu?
 
Kepalanya dipenuhi pertanyaan, sampai ia merasa jangar sendiri.
 
“Aku hampir tak percaya dia benar-benar pingsan,” kata asisten pertama, lirih.
 
Tubuhnya diam, tak menjawab.
 
“Kenapa jadi begini? Ini pertama kali dia pingsan,” bisik rekan kerjanya, lagi.
 
Ia masih tak bergerak. Ia memikirkan kalimat yang diucapkan atasannya tadi. Dan itu menusuk ke jantungnya. Bagaimanapun, kalimat itu ditujukan kepadanya. Apakah ini yang dinamakan galau? Senang atau sedih atau marah atau kecewa atau apalah, menjadi satu rasa, entah apa?
 
Ia mati rasa.
(Tamat)
 
***
Ita Siregar
 
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?