Fiction
Makan Malam Pertama

30 Nov 2016



Malam ini, aku dan istriku makan malam berdua saja untuk pertama kalinya dalam 20 tahun. Kalimat itu ada di dalam buku harian George Washington yang pernah kubaca di sebuah buku. Dan malam ini, aku mengalaminya sendiri. Mungkin tidak sama persis. Tapi, malam ini aku dan istriku makan malam berdua saja untuk pertama kalinya dalam 13 tahun.
            Kupandangi wajah istriku yang tirus. Senyum di wajahnya masih terlihat sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Hanya rambutnya yang kini kelabu, juga garis-garis samar di wajahnya yang mengingatkanku akan daun kering, yang menunjukkan usianya tak lagi muda.
            Aku balas tersenyum sambil mengambil dan meremas lembut jemarinya. Kami berjalan perlahan menuju meja bulat dengan dua kursi yang tampak anggun dalam temaram lampu taman berwarna kuning. Nyala api lilin yang bergoyang tertiup angin, jatuh bersinar di mata istriku.   
            “Terima kasih,” kata istriku halus, saat ia sudah duduk dengan nyaman di kursinya.
            Aku segera duduk di kursiku. Dua gelas tinggi di hadapan kami mengembun karena cairan bening yang dingin di dalamnya. Istriku mengambil gelasnya, lalu menyesap minumannya sedikit. Matanya melirikku yang tak lepas menatap tubuhnya yang dibalut gaun panjang berwarna hitam.    
            “Kau cantik sekali malam ini,” desahku, sambil sedikit menyesali waktu-waktu yang terbang tak terasa di belakang kami.
            “Ini makan malam pertama kita setelah...,” istriku menggantung ucapannya. Matanya menerawang, seakan mengingat-ingat masa lalu.
            “Setelah kelahiran Andra. Tiga belas tahun yang lalu,” aku menjawab lembut. Mata istriku bercahaya oleh embun.
            “Ah, tidak!” ia menepis tak setuju. “Sebelum aku hamil, kau dan aku terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan hingga tak pernah bertemu di meja makan saat malam.”
            “Aku tahu. Maafkan aku.”
            “Bukan salahmu. Aku pikir, tiap orang pernah mengalami hal itu. Bila berhubungan dengan pekerjaanku, aku akui, aku memang egois.” Istriku mengalihkan pandangannya ke langit yang bertabur bintang. Alunan Moon River yang lembut dan samar-samar membuatnya memejamkan mata dan menggoyangkan kepalanya lembut.
            “Kau sama sekali tidak egois,” aku membantah sambil tertawa kecil. “Kau adalah wanita paling lembut dan tidak pernah mementingkan diri sendiri, yang pernah kukenal.”
            Tawa istriku lepas. “Kau terlalu menghiburku. Kau sangat tahu, aku emosional dan meledak-ledak. Aku perfeksionis dan tidak sabaran. Bagaimana bisa pria yang diidolakan banyak wanita sepertimu jatuh cinta pada wanita sepertiku?”
            “Aku bisa melihat jauh ke dalam hatimu melebihi mata siapa pun.” Aku menatapnya sungguh-sungguh. “Kau ingat, kau sendiri yang memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Di saat promosi jabatan baru saja kau dapatkan.”
            Istriku menopang dagunya dengan telapak tangannya. “Aku ingat, sore itu, aku mengunjungi Bella yang baru melahirkan anak ketiganya. Wajah bayi itu cantik sekali. Kulitnya halus dan harum. Bibirnya mungil dan merah. Rambutnya hitam dan ikal. Oh, ia sungguh bayi yang sempurna. Aku tidak akan pernah lupa tatapan Bella kepada bayinya. Seakan seluruh dunia hanya terisi mereka berdua. Dan mendadak, aku merasa takut kehabisan waktu.”
            Aku paham perasaan istriku. Ketika kami menikah, ia yang bersikeras tidak ingin hamil dulu. Kariernya sedang menanjak dan cemerlang. Ia selalu rajin meminum pil KB-nya  tiap hari selama lima tahun pertama pernikahan kami. Bayangan kehamilan dan kehadiran seorang anak baginya seperti jerat tali yang akan menghambat laju geraknya.
Hingga pernah suatu hari, istriku kehabisan pil KB-nya. Aku berpikir, inilah kesempatan emasku. Malam itu juga, aku tuntaskan hasratku dengan harapan yang menjulang akan kehadiran seorang bayi di dalam rahim istriku. Aku tak mungkin lupa tatapan memohon istriku saat mengingatkanku bahwa ia belum meminum pilnya. Ia menyuruhku pergi ke apotek untuk membeli pengaman. Aku menolaknya. Ia tertidur malam itu dengan sisa air mata yang masih menempel di pipinya.
Namun, Tuhan masih belum berkenan mengabulkan pintaku. Istriku tak kunjung hamil. Aku tahu, ia masih tetap terus meminum pil KB-nya, walau tidak pernah lagi secara terang-terangan di hadapanku. Dan selama tujuh tahun berikutnya, aku memendam kesunyian dan kerinduan yang sangat akan kehadiran seorang anak.
Untuk apa aku bekerja keras di kantor, kalau tidak untuk anak-anakku, kelak. Untuk apa materi berlimpah, namun jiwaku sunyi merindukan sentuhan jari mungil yang akan memanggilku ‘papa’.
Betapa waktu begitu lihai memanipulasi usia. Saat istriku menyadari ia sudah berada di akhir 30, ia akhirnya membuat keputusan.  
“Terkadang, ada hal-hal yang ingin kuputar ulang. Mungkin dengan keputusan yang berbeda, kita akan merasakan hasil yang berbeda hari ini,” istriku merenungi gelas tingginya yang tinggal separuh. Angin malam mempermainkan anak-anak rambut di dekat telinganya.
“Tidak baik berandai-andai. Kita tidak boleh menyesali dan terus memikirkan masa lalu. Hidup yang kita punya dan jalani adalah saat ini.”
“Seandainya saja kesadaranku datang lebih cepat,” istriku seperti tidak mendengarkanku, “mungkin aku tidak akan hamil di usia yang berisiko. Mungkin aku akan memiliki kehamilan yang sehat dan menyenangkan. Yah, seandainya saja....”
Aku tahu, malam ini adalah waktu di mana pikiran kami mengembara ke masa lalu. Makan malam pertama kami ini seperti sebuah kontemplasi hidup yang sudah kami jalani bersama selama ini. Dua puluh lima tahun. Bukan waktu yang singkat, sesungguhnya.    
“Menurutmu, jika saja aku hamil di usia yang lebih muda, apakah Andra akan tumbuh... berbeda?”
            Aku tersenyum letih sambil menggelengkan kepalaku tak yakin. “Aku tak tahu, Malika.”
            Aku, dan kuyakin juga istriku, lalu teringat wajah Dokter Rian saat menyampaikan berita itu.
            “Dari hasil pemeriksaan cairan di dalam embrio Ibu Malika, dengan berat hati kami beritahukan bahwa janin Ibu mengidap sindroma down….”
            “Ultrasonografi tiga dimensi dan tes amniocentesis saat kehamilan tiga atau empat bulan bisa mendeteksi hal tersebut....”
            “Leher yang tebal. Usus yang tebal....”
            “Kehamilan di usia 40 tahun meningkatkan risiko anak lahir dengan sindroma down. Satu dari 100 kelahiran....”
            “Belum diketahui sebab dari kelainan kromosom dalam pembuahan ini....”
            “Aborsi medisinalis adalah sebuah pilihan juga....”
            Aku tahu, perlu waktu bagi istriku mengumpulkan ketegaran dan keikhlasan di dalam hatinya. Dan bagiku juga, pastinya. Buah hati yang sekian lama aku nantikan, kini telah hadir menempel kuat pada rahim istriku. Waktu-waktu sunyi yang sudah berlari meninggalkan kami, seperti menyisakan sebuah lubang besar di dalam hati. Dan, tinggal beberapa saat lagi, kekosongan itu akan terisi.
            Malam itu, sepulang dari dokter, istriku tidak berbicara sepatah kata pun. Namun, esok harinya, aku melihat ia berdiri  tanpa alas kaki di halaman belakang, di atas rumput yang berembun. Tangannya mengelus-elus perutnya yang mulai terlihat berisi. Belum pernah kulihat wajah istriku sedamai itu.
            “Kau tahu, sekecil apa anak kita di usia empat bulan ini?” ia berbisik, seakan khawatir suaranya akan mengagetkan janin di dalam perutnya. “Semalam, aku mendengar ia berbicara padaku.”
            Aku memeluk pinggang istriku, dan mengelus perutnya lembut. Kuhirup aroma wangi rambutnya, dan aku tahu ia sudah membuat keputusan.
            Kenyataannya, Andra memanglah istimewa. Dan ibunya juga, tentu saja. Istriku melepaskan semua pekerjaannya, dan fokus merawat Andra. Fisioterapi, terapi wicara, hingga perhatian ekstra, semua kami berikan untuk Andra. Aku melihat istriku tidak pernah ragu mengikutsertakan Andra dalam  tiap kegiatan keluarga. Ia juga membiarkan Andra bermain dan bersosialisasi bersama anak-anak yang lain. Bahkan, atas usulnya, Andra kami sekolahkan di sekolah umum, yang menerima Andra dan menyediakan guru pendamping khusus di kelas.
            “Kau berubah banyak sejak Andra lahir. Lebih sabar. Lebih tenang. Terkadang, aku berpikir, kau jauh lebih siap menerima Andra dibandingkan aku,” aku berkata terus terang. Memikirkan, bagaimana perasaan terempas, kesedihan, dan tak berdaya, datang tak terelakkan dalam hari-hariku.
            “Benarkah?” istriku tersenyum. “Terkadang isi hatiku pun berontak. Namun, aku ingat suatu hari saat aku merasa begitu sedih melihat kondisi Andra. Ia menghapus air mataku, lalu berkata ia mencintaiku dan bahagia menjadi anakku. Sejak itu, aku bertekad tidak akan lagi muram dan berpikir negatif akan hidup ini.”
“Andra adalah anugerah. Ia guru kehidupan kita,” aku bergumam.
Mata istriku bercahaya. “Tiga belas tahun yang penuh cinta. Ia hadir menguatkan kita. Aku harap, ia melihat kita makan malam berdua di sini.”
Aku termenung menatap piring kosong di hadapanku, lalu beralih pada wajah istriku. “Cekungan itu belum ada kemarin.”
            Mengerti yang aku maksud, istriku meraba wajahnya. Jemarinya menelusuri cekungan di bawah matanya hingga ke ujung dagu.
            “Aku rasa... aku menangis agak terlalu banyak akhir-akhir ini.” Istriku tersenyum getir. Namun, tidak ada lagi air yang keluar dari matanya yang indah.
Gaun hitamnya belum berganti selama dua hari. Gaun itu dipakainya saat mengantar Andra ke peraduannya yang terakhir. Kelainan jantung yang diderita Andra akhirnya mengalahkan semangatnya untuk terus tumbuh menjadi orang besar.
            “Jangan menangis lagi,” pintaku. “Aku pikir, Tuhan sudah begitu pemurah memberi kita kesempatan hidup dengan seorang anak yang luar biasa. Aku tak ingat, dimulai sejak kapan aku menunggu-nunggu dan sangat mengharapkan dirimu mengandung, Malika. Mungkin, sejak kejadian pil KB-mu yang mendadak habis, dulu.”
            Wajah istriku menegang. “Kau masih ingat? Peristiwa itu sudah lama sekali berlalu.”
            “Aku harus membuat sedikit pengakuan,” kataku sambil menatap lurus mata istriku. “Aku yang membuang pil-pil itu. Aku ingin kau hamil, Malika.”
            Istriku tersentak. Wajahnya memutih. Pasi. “Aku pun harus membuat pengakuan,” bisiknya lirih. “Saat itu, aku memang hamil, Kei. Dan aku... menggugurkan kandunganku, saat kau ditugaskan kantor ke Jepang selama dua bulan. Seharusnya, Andra mempunyai kakak. Seharusnya, kita memiliki dua anak. Seharusnya, mungkin, hari ini akan berbeda, dan Tuhan tidak menghukumku dengan kepedihan yang sulit untuk kutanggung. Maafkan aku, Kei. Tolong ampuni aku.”
            Malam ini, aku dan istriku makan malam berdua saja untuk pertama kalinya dalam 13 tahun. Halaman belakang yang kami pilih sebagai tempat makan malam ini membisu. Menatap piring-piring kami yang tetap kosong. Aku tahu, menu utama kami adalah kesunyian. (f)
 
***
 
 Yulina Trihaningsih
 
 
 



 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?