Fiction
Kopi Rena [3]

25 Mar 2016


Kisah sebelumnya:
Pernikahan San membuat Rena patah hati berat, meski sebetulnya tidak ada kisah cinta di antara keduanya. Rena membenci kopi yang menghubungkan dirinya dengan San. Apa daya, saat ia memutuskan mengelola toko bunga kakaknya, tepat di depan ruko toko bunganya, berdirilah kedai kopi. Apalagi, Dave, pemilik kedai kopi itu, menawarkan pertemanan.


Cerita sebelumnya <<<<
Saat menutup dan mengunci rolling door, tanpa menoleh pun Rena tahu Dave sudah menunggu di belakangnya. Saat berbalik, segelas susu panas disodorkan ke arah perempuan itu.
“Susu bisa untuk menenangkan hati yang kaget atau bersedih.” Dave memasang senyum penuh simpati. Sepertinya ia tahu apa yang telah terjadi. Muka pias Rena dan kemudian menghilang dan baru muncul kembali saat San dan istrinya pergi dari kedai ‘Bitter-Sweet Coffee’, cukup memberi keterangan untuk Dave mengambil kesimpulan: pelanggan baru kedai kopinya adalah laki-laki yang membuat Rena patah hati.
“Tidak. Terima kasih.”

Dave masih sabar membujuk gadis itu. “Hanya minum susu.”
Rena berjalan pergi, tapi laki-laki itu menahannya. “Sedikit saja. Minum cepat-cepat. Kalau sudah dingin, susu ini menjadi tidak enak lagi. Oh… atau kau mau es susu saja? Kalau ya, tunggu di sini sebentar. Aku akan ke kedai dan cepat-cepat membuatkannya untukmu….“
Rena meraih gelas susu dengan kasar. “Ya. Terima kasih.”
Dave tersenyum. “Kau pulang naik bus malam ini?”
“Tidak.”
“Atau, kau mau kita duduk dulu sejenak sementara kau menghabiskan minuman? Aku bisa menemanimu….“
“Kau dicari pelangganmu, tuh,” Rena menunjuk ke arah kedai dengan memajukan dagunya ke arah depan. Sewaktu Dave menoleh, Rena cepat-cepat pergi.
“Tunggu, Rena!” Dave baru sadar ia dialihkan perhatiannya. Laki-laki itu berlari mengejar. Setelah sampai di sebelah perempuan itu, ia menyamakan langkah. Saat Rena mendadak berhenti karena jengkel, Dave pun turut menghentikan langkahnya. Begitu pula ketika Rena kembali berjalan, Dave ikut berjalan. Begitu terus jalan mereka, menyerupai petugas pengibar bendera.

Rena mengentakkan kaki jengkel. “Apa maumu?”
“Menemani. Menemani sampai sedih di hatimu berkurang.”
“Sedihku ini tidak bisa berkurang. Tidak bisa hilang.” Rena merasa seolah kehilangan kata-kata. Bahkan saking jengkelnya, sekarang ia merasa ingin menangis.
“Apanya yang tidak bisa hilang?” tanya Dave lembut. “Ayolah, kita duduk barang sejenak. Kau habiskan minumanmu. Setelah perasaanmu agak lega, kau ceritakan semua hal yang membuatmu tiba-tiba menghilang sore tadi.”
“Tidak ada yang perlu diceritakan!” bentak Rena.
“Ah, masa?” Dave masih terlihat begitu sabar menghadapi gadis yang sedang galau hatinya. “Aku bisa….“

“Tidak,” potong Rena cepat. “Kau tidak bisa apa-apa. Aku sudah belajar mencoba menghadapi ketakutanku. Kau tak tahu bagaimana rasanya berjalan menuju kedai kopimu. Perutku mulas. Jantungku berdebar-debar. Dengkulku rasanya gemetaran, dan punggungku seperti disiram air dingin.”
Rena   makin tak dapat menahan diri.
“Patah hati itu tidak bisa disembuhkan! Kau hanya berteori dengan semua tipe-tipe cara menyembuhkan patah hati!” Rena menahan diri untuk tidak berteriak. Tapi, perasaannya jadi sesak. Di dalam dadanya terasa begitu pedih dan ia tak dapat menahan diri. Sebulir air mata menetes jatuh. Disusul sebulir air mata yang lain.
“Menurutmu minum susu bisa menenangkan hati yang sedang sedih? Minum susu bisa mengurangi rasa sakit? Bisa mengurangi rasa kecewa? Baik. Baik. Aku akan meminum susu pemberianmu ini, dan kita lihat apa hasilnya,” kata Rena.
Dave tak bereaksi apa-apa kecuali menunggu. Gadis itu mengangkat tutup gelas. Ia menyeruput sedikit untuk memastikan isinya aman bila langsung diteguk banyak-banyak. Tak lagi panas, susu itu kemudian diteguk Rena tanpa jeda. Gluk-gluk-gluk.
Susu di dalam gelas tandas. Rena menghapus susu yang menyisakan lengkung jejak di dua ujung bibirnya.

“Oh, kau benar, Dave. Keadaanku sekarang menjadi baik-baik saja. Terima kasih.” Rena menyerahkan gelas kosongnya kepada Dave, lalu pergi begitu saja. Sebelum begitu jauh, ia membalik. Laki-laki itu masih berdiri menunggu.
“Dan, kopi… kopi tetap menyisakan rasa sakit. Aku kira, tidak ada yang bisa kita perbuat untuk mengubah hal tersebut.”
Di dalam mobil, Rena menghapus air matanya yang terus-menerus mengalir turun. Seharusnya ia tak bersikap seperti barusan. Laki-laki itu sudah berbaik hati mau membantu mengurangi rasa sedih, tapi apa yang dilakukan untuk membalasnya? Ia mengacaukan kebaikan itu dengan marah-marah tidak jelas. Rena jadi membenci dirinya sendiri karena hal ini.

 *****
Telepon di toko berdering. Seorang pelanggan memesan beberapa ikat jenis bunga dan juga flower arrangement, bunga rangkai untuk digunakan nanti sore.
“Lima belas pcs round table arrangements,  5 pcs long table arrangements, 20 pcs center arrangements,10 ikat daun hajuang merah, 10 ikat daun asparagus bintang, 10 batang pisang tegak, 20 ikat bunga carnation, 5 ikat bunga sedap malam, 2 kotak  bunga  anggrek cymbidium (bunga anggrek impor biasanya dikemas dalam kotak kardus), 5 ikat krisan, dan 5 ikat mawar.”

Sesudah semuanya beres dan terkumpul, Rena, Cita, dan Yanto secara bergantian mondar-mandir mengusung pesanan yang harus diantar ke bagian belakang mobil. Bunga-bunga itu akan digunakan untuk keperluan dua jam mendatang. Demi menghindari macet dan hal-hal yang tak diinginkan, Rena memutuskan untuk mengantarkan pesanan itu sekarang juga.

“Mas Dave memperhatikan kita, Mbak Rena,” bisik Cita.
“Ya,” tanggap Rena dengan nada biasa saja. Sejak kejadian malam itu, Rena tak lagi bercakap-cakap dengan Dave.
Rena pergi mengantar bunga ditemani Cita. Peristiwa yang tidak diinginkan terjadi:  mobilnya mogok kembali. Rena yang tak mengerti apa-apa menelepon Papa. Orang tua itu juga tak mengerti bila tak melihat langsung.

Sesaat setelah telepon diangkat dan Yanto mengucap halo, Rena baru sadar pegawai laki-lakinya yang satu itu tak bisa mengendarai mobil. Yanto pergi dan pulang bekerja dengan mengendarai sepeda. Kalaupun ia meminjam motor dan menyusul Rena sekarang, percuma. Ember-ember berisi bunga segar ini tetap tak bisa diantar menggunakan motor, bukan?

“Cita? Kau punya nomor Mas David? Tunggu, kau jangan berpikiran macam-macam,“ potong Rena cepat. “Jangan menunjukkan ekspresi wajah seperti itu. Ini keadaan darurat. Aku tidak ada maksud lain kecuali minta bantuan. Ini hubungannya dengan kepercayaan pelanggan, Cita. Kau pasti mengerti maksudku. Jika Mbak Shanti mengalami hal yang sama, lalu tak ada yang bisa dihubungi, ia pasti juga akan meminta bantuan….“
“Mbak Rena…,” Cita menyela sopan sambil tersenyum. Ia menyodorkan ponselnya yang bertuliskan nomor Dave.

“Ah, iya.” Rena telah bereaksi berlebihan. Bila memang tidak ada apa-apa dengan Dave, kecuali hanya untuk minta tolong, ia tidak perlu mengarang alasan sepanjang itu.
“Halo,” Rena berdeham, “Dave. Maaf mengganggumu. Ini aku, Rena.”
“Oh, hai. Ya? Kau kedengarannya seperti sedang bermasalah?” tanya Dave penuh simpati. “Ada yang bisa aku bantu?”

Rena merasa lega luar biasa. Awalnya ia mengira akan bicara canggung saat kembali menghubungi Dave. Ternyata tidak. Laki-laki itu tetap memberi perhatian seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya. Rena bilang bahwa ia butuh bantuan. Ada pesanan bunga yang mesti segera diantar, sementara kendaraannya mogok.
“Ya, aku akan menyusulmu. Di mana kau sekarang? Kau membawa banyak ember berisi bunga, ya? Ah, kalau begitu… hei, Thomas, bisakah aku pinjam… Ya? Apa? Oh….”  Pembicaraan Dave sementara teralih. “Di mana kau, Rena? Bersediakah menunggu selama beberapa menit? Barangkali sepuluh atau lima belas menit?”
Dave datang tak begitu lama setelah Rena menelepon. Dengan sigap ia membantu Cita memindahkan ember-ember berisi ikatan bunga dan juga bunga yang telah dirangkai itu. Setelah memastikan Cita tak apa-apa sementara waktu menunggu sendirian, Rena diantar Dave mengirim pesanan bunga. Papa sudah dihubungi dan diberi tahu bahwa Cita menunggui mobil Rena.

Sampai di tempat tujuan, Dave sigap menurunkan bunga-bunga pesanan dan juga membantu merangkai dan menatanya di dalam ruangan. Dave bahkan meminta maaf atas nama ‘Lavender Florist’. Aku akan selalu ada untukmu. Laki-laki menepati kata-katanya. Pemesan bunga pun sampai terkesan dengan sikap Dave.
Rena benar-benar berterima kasih karena telah dibantu dari sore hingga menjelang malam itu.

“Kembali kasih, Rena,” jawab Dave singkat. Ia menanyakan apakah Rena masih butuh bantuannya.
“Tidak. Sudah cukup. Aku sudah terlalu merepotkanmu.”
Rena mengira Dave akan menanyakan bagaimana ia akan pulang nanti malam. Ternyata tidak sama sekali. Setelah memastikan Rena benar-benar tidak lagi membutuhkan bantuannya, Dave segera bergegas kembali ke kedai kopi.
Tiba-tiba Rena merasakan pengulangan rasa jauh yang sama. Yang pertama adalah saat ia melihat San dalam jas hitam resepsi pernikahan. Kali ini oleh sikap dingin Dave.
Rena kembali ke toko dengan suasana hati muram. Mengapa sekarang ia bersikap seolah-olah kehilangan perhatian laki-laki itu? Biasa saja, dong. Bukankah sebelumnya ia pernah marah-marah dan menganggap perhatian Dave yang menyorongkan segelas susu hangat itu keterlaluan dan menjengkelkan? Bila sekarang laki-laki terlihat menjaga jarak, itu juga akibat perbuatan Rena sendiri.

Yanto dan Cita menyambut dengan raut muka cemas. Mereka bertanya penuh kekhawatiran; apakah Rena dan Dave terlambat mengantar pesanan? Lalu, pelanggan tidak puas dan marah-marah atau bagaimana.
“Tidak. Semua baik-baik saja.” Rena segera duduk dan berpura-pura sibuk menatap layar komputer. Entah apa yang dilihat dan dikerjakannya kemudian. Tak jelas. Ia masih sempat sekilas memperhatikan Cita dan Yanto menoleh ke arah kedai ‘Bitter-Sweet Coffee’ kemudian saling pandang. Saat dua orang itu menuju ke arah depan toko untuk menyambut tamu, samar Cita sempat menyebut nama Dave. Dua pegawainya pasti sedang membicarakan dirinya.

Tiba-tiba Rena rindu perhatian yang pernah dan selalu diberikan laki-laki itu. Tidak. Ia tidak boleh menengok-nengok dan sebaiknya berhenti berharap, atau ia akan patah hati dua kali karena kopi.

***

Kedai kopi ‘Bitter-Sweet Coffee’ masih ramai pengunjung. Pelayannya mondar-mandir mencatat dan mengantar pesanan. Tapi tak nampak sekalipun sosok Dave. Rena jadi berpikiran macam-macam; barangkali laki-laki itu mulai berpikir ulang untuk memindah kedai kopinya ke tempat yang lebih luas dan besar. Alasannya tentu bukan karena usahanya yang telah maju, namun demi menghindari Rena.
“Aku tak tahan bila harus bekerja melayani pelanggan dengan terus diamat-amati gadis tukang ngambek itu.” Kemudian Dave mengambil keputusan dengan enteng saja. “Pindah, ah.”

Rena segera menggeleng. Menghapus khayalannya barusan. Tidak mungkin seperti itu.
Suatu hari, ketika Rena sudah memutuskan untuk mengurangi kecemasan, laki-laki itu muncul kembali. Kedai kopi ‘Bitter-Sweet Coffee’ buka seperti biasa. Dave dalam celemek seragam kedai mondar-mandir mencatat pesanan, juga mengantarkannya.
Apakah Rena perlu datang ke sana untuk meminta maaf? Ia bisa membawakan bunga. “Yanto!”

Yanto mengangguk setelah mendengar pertanyaan bosnya. “Ya. Datang saja ke kedai kopinya sambil bersikap biasa. Setelah memesan kopi, bilang ke pelayan kalau Mbak Rena ingin bertemu Mas Dave. Nanti setelah Mas Dave datang dan duduk, Mbak Rena jelaskan apa maksud kedatangan Mbak ke sana; untuk meminta maaf.”
“Apakah aku perlu membawa bunga?”
“Tidak membawa bunga, tidak apa-apa. Mbak membawa bunga pun akan lebih baik.”
“Sampaikan permintaan maaf dengan bunga, ya?”
Yanto tertawa. “Ya, Mbak.”
Hingga siang menjelang, Rena dan dua pegawainya sangat sibuk di toko. Waktu telah benar-benar longgar ketika Rena memeriksa jam di pergelangan tangan; sudah pukul tujuh malam!

Tuhan selalu tepat waktu. Untuk segala hal yang tidak ada hubungannya dengan cinta. Sungguh, Rena tidak mengerti mengapa ketidakberuntungannya dalam cinta datang bertubi-tubi. Tanpa jeda. Seperti hujan yang turun deras namun setiap tetes airnya bernapaskan kesedihan.
Rena sudah merapikan rambut, melepas celemek kerja, dan mencoba menghaluskan bagian-bagian kemejanya yang kusut dengan cara menarik-nariknya (percuma saja, sih, sebenarnya). Ia baru saja memilih dua tangkai mawar berwarna kuning.
“Mbak Rena,” panggil Cita hati-hati. Rena menoleh mengikuti arah yang ditunjuk Cita. Yanto berdiri juga menghadap ke arah yang sama. Seorang perempuan cantik masuk ke ‘Bitter-Sweet Coffee’. Tinggi, ramping, dan berdandan elok sekali. Dave yang sedang bertugas di belakang kasir mendongak dan buru-buru keluar. Ia menyambut hangat dan ramah.

Perempuan itu duduk dan Dave turut duduk di depannya. Tangannya diangkat, memanggil salah satu pegawainya. Perempuan itu menyebutkan satu jenis kopi. Dave memesan kopi yang sama, dilihat dari jarinya yang menunjukkan jumlah dua.
Perempuan itu dan si pemilik kedai  kemudian bercakap. Bercakap dan terus bercakap. Mereka baru berhenti sejenak ketika pesanan kopi datang. Obrolan mereka kembali dilanjutkan sambil diselingi beberapa seruputan kopi.
“Apa perempuan itu pacar Mas Dave?” tanya Cita kepada Yanto. Ia lalu menoleh ke arah Rena dengan raut muka cemas. Sepertinya baru sadar kalau pertanyaan barusan kurang tepat.

“Kenapa?” tanya Rena pura-pura tidak mengerti. “Aku tidak apa-apa, kok.”
“Tidak tahu,” jawab Yanto yang pandangannya masih terus ke arah kedai. Ia tidak memperhatikan apa yang terjadi antara Cita dan Rena. “Tapi sepertinya ia tampak agak sedikit tua kalau disandingkan Mas Dave.”
“Oh.” Cita hanya menjawab pendek.
“Mas Dave selama ini tidak pernah menunjukkan ia punya pacar,” Yanto masih melanjutkan. “Apa karena ternyata pacarnya perempuan yang lebih tua? Hei, Cit, perempuan itu sepertinya tajir, ya?”
“Dari mana kau tahu kalau ia perempuan tajir?”
“Penampilannya…,”  Yanto menoleh. “Eh, Mbak Rena mengapa pucat begitu?”
Cita mendesis pelan sembari memukul lengan temannya, “Kau, sih. Nyerocos seperti keran air lupa dimatikan.”
“Aku…,” Rena mengembalikan double rose, dua tangkai mawarnya, ke dalam ember. “Kepalaku pusing. Apa aku boleh pulang lebih cepat hari ini?”

***

Keesokan Minggu pagi, Rena tak berminat berangkat ke toko. Ia ingin mengambil libur. Ia melanjutkan tidur dan tepat tengah hari saat terbangun, sebuah panggilan telepon masuk.
Dave!
“Halo, Pemalas,” sapa Dave di seberang.
Teringat peristiwa semalam, Rena membalas sapaan dengan jengkel. “Enak saja! Aku bukan pemalas!”
“Kau ke mana saja? Hari ini tak kelihatan di toko.”
“Aku… aku sedang sibuk menyiapkan taman bunga energi surya.”
Dave diam sejenak sebelum tertawa. “Apa kau juga membangun rumah kaca?”
“Ya! Tentu saja! Aku mengaduk campuran semen, itu bukti kalau aku bukan seorang pemalas.”
Tawa berderai tak berhenti dari seberang telepon. Setelah tenang, Dave berkata, “Sekarang bicara serius, ya?”
Tubuh Rena segera meremang. Ada hal serius apa yang ingin dibicarakan oleh Dave melalui telepon?

“Aku ingin pesan buket bunga istimewa,” kata Dave.
“Ada Yanto dan Cita di toko,” jawab Rena. “Mereka akan membantumu   memilih dan merangkai bunga yang cocok. Untuk Mama?”
“Ya. Dan, juga untuk satu perempuan istimewa.”
Hati Rena seperti tersengat lebah. Ingatannya kembali melayang pada peristiwa semalam. Seorang perempuan cantik yang tajir mengobrol akrab dengan Dave.
“Aku pesan dua buket, ya. Terserah padamu, bunga apa yang kau pilihkan. Asal pantas diberikan untuk perempuan istimewa tersebut.”
Bagaimana kalau anyelir dan mawar dan jenis-jenis bunga yang wangi itu untuk mamamu, dan bunga bangkai untuk perempuan istimewamu?
Tuhan selalu tepat waktu dalam segala hal, kecuali untuk urusan cinta.
“Kami akan mengadakan makan malam di rumah. Bisa kau antarkan dua buket tersebut? Aku akan memberimu alamat yang bisa kau tuju dan….”
Oh, bagus sekali. Aku akan mengantar bunga, bertemu perempuan istimewa itu, Dave menyambutku dengan perempuan itu di belakangnya, menerima buket bunga dari tanganku, mengucap terima kasih, aku berpamitan pulang, dan buket itu diserahkan pada si perempuan yang akan memekik senang sambil mengucap, “Terima kasih, Sayang!” Nelangsa betul nasibku.

“Mengapa tidak kau ambil sendiri di toko?” Suara Rena terdengar sedikit ketus.
“Aku harus pulang cepat untuk menyiapkan semuanya.”
“Oh, ya. Benar.” Rena sudah ingin menutup telepon dari tadi, tapi ia harus bersikap profesional. Ia mencatat alamat dan menawarkan isi rangkaian buket bunga yang dipesan Dave. Putih dan wanginya lily casablanca, sendunya merah mawar fortuna, serta riangnya kuning carnation, ketiganya merupakan perpaduan utama bunga-bunga yang dipilih demi menyenangkan hati seorang perempuan istimewa.
“Ok, setuju,’ kata Dave.
Meski pilihan bunga-bunga itu membawa nuansa menggembirakan, Rena membaca catatan dengan hati pedih.

***

Rumah Dave tak besar dan megah, tapi terlihat begitu nyaman. Rena memencet bel dan menunggu dengan cemas. Saat dibukakan pintu, laki-laki itu segera menariknya masuk. Satu buket bunga disimpan di atas meja dekat pintu. Sementara buket bunga yang satu lagi diambilnya untuk diserahkan pada mama. Makan malam bersama keluarga ini diadakan untuk menyambut mama yang barusan pulang dari rumah sakit.
“Ma, ini buket bunga dari Rena. Mama masih ingat? Ia yang ikut menjenguk di rumah sakit waktu itu,” kata Dave.

Mama tersenyum bahagia. Ia berdiri dibantu Ben untuk mengucap terima kasih sembari mengecup dua pipi Rena. Rena merasa disambut dengan begitu hangat seperti anggota keluarga sendiri. Tapi di sudut  hati kecilnya ada yang berusaha terus mengingatkan untuk tak terburu senang. Masih tetap akan ada perempuan istimewa lain, dan itu bukan dirinya.
Yang mengherankan Rena malam itu, Dave malah menarik sebuah kursi di meja makan dan memintanya duduk. Rena harus turut makan malam bersama mereka. Perempuan itu mengira ia akan canggung berada di sebuah keluarga komplet; ayah, ibu, dan dua kakak perempuan dengan suami dan anak-anak mereka. Namun, kecemasannya tak terbukti. Anggota keluarga itu pintar membawa diri dan mengajak bicara seolah-olah sebelumnya mereka sudah lama kenal Rena.

Selama makan malam hanya satu yang dinanti-nanti Rena dengan cemas; kedatangan tamu perempuan istimewa. Tapi, semua anggota keluarga, dan juga Dave, sepertinya tak sedang menunggu siapa-siapa lagi.
Mereka menghabiskan waktu hingga pukul sembilan malam. Ketika anak-anak kecil itu mulai mengantuk, satu per satu ibu mereka membawa ke kamar untuk ditidurkan. Rena merasa harus segera pamit.
“Tunggu sebentar. Aku akan mengantarmu pulang.” Dave mengambil jaket.
“Tapi, aku membawa mobil.“
“Ya. Aku akan mengikutimu di belakang. Kau pulang kembali ke rumah atau ke toko?”
“Toko bunga.” Rena kemudian berpamitan pada seluruh anggota keluarga. Mama mengecup kedua pipi Rena sekali lagi dan mengucapkan banyak terima kasih.

***

Dave meminta Rena menunggu sebentar. Ada yang tertinggal dan harus diambil di dalam rumah. Rena menganga saat melihat Dave berlari keluar dengan membawa buket bunga besar yang tadi diletakkannya di atas meja. Laki-laki itu memberi tanda supaya Rena membuka pintu mobil. Begitu permintaan itu dituruti, hand bouquet flower segera disodorkan padanya.
“Apa-apaan ini?” tanya Rena gugup.
“Untuk perempuan istimewa,” kata Dave. Karena Rena masih terlalu bingung untuk menerima buket bunga, Dave menyandarkan rangkaian bunga pada kemudi mobil.
“A… aku belum mengerti.”
“Kau lupa apa pesananku?” tanya Dave. “Dua buket bunga. Satu untuk Mama, satu untuk perempuan istimewa.”
“A… aku si perempuan istimewa itu?”
“Ya,” jawab Dave mantap. “Aku menyukaimu, Rena.”
“Eh, tapi? Tapi, aku kira perempuan yang….“
“Yang mana?”
“Yang datang ke kedaimu waktu itu. Yang….“
“Ia dokter yang merawat Mama. Setelah mengatakan kondisi Mama sudah membaik dan bisa pulang, aku mengundangnya datang ke kedai. Sekadar untuk mengucapkan terima kasih, kalau itu yang membuatmu cemas.”
“Tap…  tapi….”
“Kita bahas lagi nanti setelah sampai di toko.”

***

Rena dan Dave kini duduk berhadapan pada round table, meja bundar dalam kedai ‘Bitter-Sweet Coffee’. Di sudut ruangan terpajang vas tabung. Selain dipenuhi air, vas kaca bening tersebut diisi pula warna-warni bebatuan, dan di atasnya berdiri bambu-bambu hoki yang disusun secara loose arrangement. Bambu hoki atau bambu rezeki ini acap pula disebut dengan dracaena, bambu hias oriental. Batangnya panjang dengan variasi bentuk spiral di bagian ujung.
Di atas meja telah tersedia dua gelas minuman yang asapnya masih mengepul hangat di permukaan. Gelas susu itu untuk Rena, gelas kopi untuk Dave. Pencahayaan ruangan kedai yang sengaja diredupkan dan mengandalkan candle light di meja membikin jantung Rena berdesir halus… deg-degan dengan cara yang tak bisa dijelaskan.
“Aku menyukaimu, Rena. Aku mencintaimu. Tidakkah kau tahu?” ulang Dave perlahan dengan lembut.
Rena menggeleng.

“Tidakkah kau merasa?”
Rena kembali menggeleng. “Aku terlalu takut untuk bisa mengira-ngira dan bahkan merasa.”
“Apa yang kau takutkan?”
“Aku kira… aku kira… aku takut patah hati dua kali hanya karena kopi.”
Dave menggenggam erat tangan Rena. “Saat Mbak Shanti bercerita mengenai Rena, adik perempuannya, aku penasaran. Bagaimana bisa ada perempuan yang patah hati karena kopi. Sejak pertama kali melihatmu datang ke toko bunga, aku langsung jatuh cinta. Dan bertekad akan membantu gadis itu mengatasi ketakutannya pada kopi.”
Rena terus mendengarkan. Pikirannya menyusun satu demi satu peristiwa yang terjadi antara dirinya dengan Dave. Sapaan di bus, gelas susu, dan banyak lainnya—juga ketakutan-ketakutannya.
“Kau tahu, bagaimana caranya supaya bisa menikmati kopi tanpa takut akan…,” Dave berhenti sebentar dengan menyunggingkan senyum mengganggu.
“Takut akan kepedihan patah hati di masa lalu?” sambut Rena dengan pertanyaan.
“Bukan.” Dave mempererat pegangan tangannya. “Minum kopi tanpa takut kepala menjadi pusing dan jantung berdebar-debar. Kau kan tidak bisa minum kopi karena dua alasan itu, bukan?”

Rena tertawa dan mengangguk pelan.
“Tambahkan susu.” Ben meminta satu gelas kosong. Begitu gelas itu sudah tersedia di depannya, ia kembali menjelaskan. “Kita adalah gelas kosong ini. Kita memulai segala sesuatunya dari awal. Kau dengan segala sifat dan karakter dan ketakutan-ketakutan di masa lalu. Begitu pula aku; dengan segala ketakutan yang ada pada dirimu tapi versi diriku.”
Dave menuang setengah isi gelas kopi ke dalam gelas kosong. Kemudian menuang setengah isi minuman Rena. Dave mengaduk perlahan campuran kopi dan susu di dalam gelas. “Ini adalah kita sekarang. Campuran baru. Kesempatan baru. Kemungkinan-kemungkinan baru.”
Rena terus memperhatikan. Perlahan hatinya menghangat. Dave meletakkan dua cookies cokelat pada lepek di dekat gelas susu kopi mereka.
“Ini adalah kejutan-kejutan manis yang akan kita alami bersama.” Laki-laki itu menyorongkan gelas susu-kopi ke arah Rena. “Minumlah.”
Rena mulanya ragu-ragu. Tapi, ia segera memantapkan diri. Tangannya meraih gelas dan direguknya susu-kopi itu perlahan. Rasanya begitu hangat dan menenangkan.
“Rena, aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Maukah kau menikmati gelas susu-kopi ini bersama denganku selama-lamanya?” tanya Dave lembut.
“Aku….” Suara Rena serak. Ia berdeham pelan. “Aku takut kopi, Dave. Tapi, bila kau berjanji akan selalu membikinkan aku susu-kopi ini selama-lamanya, aku bersedia.”
“Bersedia apa?” tanya Dave.
“Bersedia mencuci tumpukan gelasnya.”
Dave tertawa. Ia mendekat dan mengecup kening Rena.
Tuhan memang tepat waktu, juga untuk urusan cinta. Selama ini Rena terlalu terburu-buru menyimpulkan dan kurang sabar. Ia terlalu dikuasai ketakutan untuk melihat bahwa ada cinta di sekitarnya. Well, terlalu berkubang pada kesedihan masa lalu tak baik ternyata.
Tuhan akan selalu tepat waktu. Juga untuk urusan cinta. (Tamat)
 
***
Desi Puspitasari


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?