Fiction
Kopi Meimei

10 Sep 2016


SETELAH TERBANG dari Surabaya menuju Pontianak yang dilanjutkan dengan bermobil selama tiga jam lebih dan sempat tidur sebentar di hotel, akhirnya pagi ini Sunu sudah berhasil berdiri di depan warung kopi Seroja di Singkawang.
            Seroja bukanlah warung kopi legendaris yang dikenal banyak pelancong. Letaknya pun di pinggiran kota, terselip di antara sekian banyak warung kopi yang tumbuh subur di kota ini. Tapi jangan salah. Rasa kopinya... amboi, luar biasa. Nikmatnya terasa sampai ke hati. Membuat rindu. Sunu sangat bersyukur karena telah dibawa tukang ojek ke tempat ini, setelah kelelahan menyaksikan rangkaian acara  Festival Cap Go Meh tahun lalu.
            Bukan hanya rasa kopinya yang sedap dan wangi, suasana warung kopinya pun ngangeni. Kios tua yang mengingatkan pada setting film-film lawas Tiongkok ini berisi beberapa meja kursi kayu, meja seduh berbentuk huruf L, gelas-gelas bening ukuran setengah jengkal, tatakan berupa piring kaleng kecil, sendok bebek, mug-mug besar, cerek jangkung tembaga,  dan beberapa nampan kudapan khas seperti choipan, lempar bakar, atau apam pinang. Belum lagi cara Meimei menyeduh kopinya. Cairan kopi panas yang dituang dari cerek jangkung pada sudut dan ketinggian tertentu itu akan menghasilkan buih dalam gelas. Semua itu sungguh memesona. Dan, demi semua itulah dia datang kembali ke Seroja.
Dengan dada mengembang karena rasa tak sabar yang bercampur dengan kegembiraan, Sunu pun masuk. Mencari kursi yang paling dekat dengan meja seduh. Pengunjung baru beberapa, jadi dengan mudah dia mendapatkan posisi yang diinginkannya.
Matanya langsung menangkap sosok Meimei, penyeduh kopi yang telah memukaunya. Penampilannya masih sama seperti tahun lalu. Pakaian sederhana dengan celemek merah, rambut lurus hitam diikat satu, tanpa polesan bedak dan lipstik. Mata sipitnya sedang fokus pada seplastik gula pasir yang sedang dituangnya ke dalam mug stainless besar.
“Mei, kopi hitam satu,” ucap Sunu nyaring dan relaks, seolah dia adalah pelanggan setia yang sudah sangat akrab dengan seisi warung ini.
Meimei mendongak. Mencari sumber suara. Begitu matanya menangkap wajah lelaki yang sedang menyeringai lebar ke arahnya, kontan dia mengangguk. “Ya. Sebentar.”
Sunu pun menyaksikan lagi atraksi menuangkan cairan kopi panas dari cerek ke dalam gelas. Dia melahap pemandangan itu, tak ingin kehilangan walau sedetik. Namun, entahlah... sensasinya, kok, tidak sekuat dulu. Cara dan prosesnya memang masih sama, hanya   terasa kurang greget. Meimei memperlakukannya seperti hafalan. Ah, ke mana perginya sosok dan adegan yang dulu terlihat begitu bernyawa?
Seorang amoi pramusaji bergincu ungu mengantarkan kopi pesanan Sunu. Meimei sendiri masih sibuk di meja seduh. Entah apa lagi yang sedang dikerjakannya. Padahal, tahun lalu Meimei menyempatkan diri mengantarkan kopinya. Bahkan menawari dan mengambilkan choipan, kudapan khas sejenis pastel mini kukus berisi rajangan bengkuang dan ebi. Kini Meimei seperti tak mengenalinya lagi.
Sunu kecewa. Harapannya untuk menikmati kopi terenak di dunia sambil berbincang ringan dengan penyeduhnya, ternyata tak terjadi. Meimei sibuk sendiri. Wajahnya pun masam. Kecantikannya jadi berkurang lima puluh persen.
Sudahlah. Kenapa jadi meributkan sikap Meimei? Siapa tahu kekasihnya sedang membuatnya jengkel.
Sunu mengambil gelasnya. Memperhatikan uapnya yang mengepul meliuk-liuk samar. Mendekatkannya ke hidung. Membaui aromanya yang dulu terasa demikian menggoda. Kemudian menempelkan bibir gelas itu pada bibirnya dan menyeruputnya perlahan. Hati dan otaknya sudah siap menerima kejutan rasa yang serupa candu.  Biarlah Meimei tak mengenalinya lagi, yang penting kopi ini tak lupa menyertakan kenikmatannya.
Satu detik dua detik. Satu teguk dua teguk. Sunu membeku. Tak percaya. Kopi hitam ini sangat tidak enak. Pahitnya getir. Wanginya pun biasa saja. Kopi sachet pabrikan saja lebih enak dari ini. Kenapa jadi berubah begini? Sungguh menggelikan dia mau memaksakan cuti dari agenda pekerjaannya yang padat dan melakukan perjalanan hanya untuk mencicipi kopi seperti ini!
Rasa kopi ini mengganggunya. Sunu pun bangkit sambil membawa gelasnya. Dihampirinya meja seduh. Kemudian diletakkannya gelas yang masih penuh itu di atas meja yang penuh dengan macam-macam bahan kopi dan peralatannya.
“Mei, kopimu tak enak!” ucap Sunu, antara sebal dan ingin  menggoda.
Meimei mendongak. Memandang Sunu dan gelas kopinya, bergantian. Dahinya berkerut banyak. Matanya yang sipit terbuka lebih lebar. Bibirnya mengerucut. Dia terlihat kesal. “Maaf.”
“Kata maafmu percuma. Ditambah dengan kejudesan dan ketakpedulianmu, kesalahanmu tak termaafkan.”
Mata Meimei kini membulat. Bibirnya yang kecil menganga. Kemudian menoleh waswas ke arah A Kiong, si pemilik warung yang sedang duduk di bagian lain meja seduh ini. Lelaki tua itu sedang sibuk dengan sempoa hitamnya, namun tampaknya mendengar semua yang telah diucapkan Sunu. Buktinya, dia langsung berdiri dan mendekat.
Haiyyaaah, apa yang sudah ngi perbuat? Bisa rusak ini ngai punya warung. Sudah berapa hari tak becus kerja. Payah laaah...!” A Kiong ngomel. “Hei, kau... amoi anak Ai Sing, gantikan pekerjaan dia menyeduh kopi. Biar dia pulang saja. Tak usah kerja lagi. Dia sudah mengacaukan rezeki waaaa...!”
Meimei terbelalak. Sunu juga. Dia sungguh tak mengira keluhannya telah  membuat gadis ini dipecat dari pekerjaannya. Hukuman itu terlalu berat untuk sebuah kesalahan menyeduh kopi.
“Wah, jangan begitulah, Pak.  Saya hanya bergurau. Kopinya enak, kok,” ralat Sunu. Wajahnya memerah karena malu campur sesal. Betapa sembrononya dia.
“Tidaaaak. Memang  dia sudah tak becus kerja. Sudah berapa hari ini banyak pelanggan yang protes waaaa...!” balas A Kiong tegas. Kemudian dia berpaling kepada Meimei. “Sudah, ngi pulang saja sana. Sembahyang di tepekong, minta dibebaskan dari energi buruk.”
Sunu jadi merasa sangat bersalah. Dipandangnya Meimei yang sedang mengerut. Dia berharap Meimei akan memohon maaf dan berjanji akan bekerja lebih baik lagi, asalkan tak dipecat. Tapi, tidak. Meimei tak berkeras bertahan. Dia hanya menggumamkan kalimat tak jelas, melepas celemek dan menaruhnya di atas meja. Kemudian dia melangkah keluar dari meja seduh. Pergi. Dia tak seperti Meimei yang dulu.
Sesaat Sunu kaku. Tak percaya. Namun, begitu dilihatnya Meimei benar-benar pergi meninggalkan warung kopi Seroja, sontak tubuhnya berlari memburu. Dia tak bisa diam saja. Dialah yang membuat gara-gara sehingga gadis itu dipecat.
“Mei!” panggil Sunu.
Meimei tak menoleh. Dia justru berlari menjauh dan menghilang di tikungan.
 
DIANTAR TUKANG OJEK, akhirnya Sunu sudah berdiri di depan rumah Meimei. Alamatnya diperoleh dari Cucun, amoi bergincu ungu si pramusaji. Cucun pun membocorkan sedikit informasi tentang nasib Meimei. Bahwa berdasarkan fotonya, Meimei sudah dipilih oleh seorang lelaki Taiwan untuk dijadikan istri. Dan lelaki itu, melalui Cece Lian --agen pencari calon pengantin-- sudah membayar uang susu sekian juta rupiah sebagai mahar kepada orang tuanya. Konon, minggu depan Meimei akan dijemput untuk dibawa ke Taiwan.
Sungguh, sedikit informasi itu telah membuat dada Sunu bagai terbakar. Dia marah. Apa-apaan ini? Memang dia tak punya hubungan khusus dengan Meimei. Namun, tetap saja semua ini terasa tak benar. Bagaimana bisa memilih calon istri hanya melalui selembar foto? Tanpa perkenalan face to face? Dan uang susu itu? Duh, jangan-jangan ini tentang human trafficking!
Rumah papan tak bercat yang mengesankan lapuk ini sepi. Pintu dan jendelanya tertutup. Beberapa helai pakaian yang melambai-lambai di tali jemuran, seolah mengucapkan salam selamat datang.
Sunu mengetuk pintu. Dia tak tahu apa yang akan dilakukannya terhadap Meimei. Dia hanya merasa harus bertemu dan meminta maaf atas komplainnya di warung tadi.
Setelah empat kali mengetuk, pintu dibuka. Wajah Meimei yang memerah, menyembul. Kentara, dia baru saja menangis. Mengetahui bahwa tamunya adalah lelaki  yang telah membuatnya dipecat dari Seroja, dia langsung ingin menutup kembali pintunya. Tapi, Sunu tak kalah sigap. Tangan dan kakinya menahan daun pintu.
“Mei, kau tak mengenaliku lagi? Aku Sunu. Tahun lalu kita ngobrol banyak di Seroja. Aku minta maaf atas kejadian tadi.”
Wajah Meimei datar saja. Tak menganggap penting keterangan itu. Seperti tak ingin mengingat. Melihatnya, dada Sunu bagai ditusuk pedang es. Gadis ini sudah kehilangan semangatnya. Pasti gara-gara rencana pernikahan anehnya itu.
“Mei, bisakah kita bicara tenang-tenang dulu? Sebentar saja. Kumohon....” Suara Sunu memaksa.
Akhirnya, Meimei bersedia. Mereka duduk di atas lantai kayu di teras. Tak ada yang mengganggu. Sebab, bapaknya yang sedang sakit itu tengah tidur di kamar, ibunya sedang bekerja di pabrik kecap, dua adik sedang sekolah, dan dua adik lagi entah sedang ke mana.
“Aku tahu kenapa kopi seduhanmu tak enak hari ini, Mei. Karena kau sedang merasa sengsara.”
Meimei menunduk. Tak mengiyakan, tak juga membantah. Namun, setelah jeda sekian lama, dia bicara juga. Suaranya seperti tanpa tenaga. “Jangan salah sangka, Mas. Aku tidak sedang sengsara. Aku justru sedang gembira karena bisa meringankan beban orang tua. Kami bukan keluarga kaya. Bapak sedang sakit dan terlalu banyak mulut yang harus diberi makan. Sebagai anak tertua, aku harus tahu diri. Jadi jangan tertawakan caraku berbakti.”
Bulu kuduk Sunu meremang. Jelas, Meimei adalah anak yang baik. Merasa bertanggung jawab terhadap keluarga. Namun, kenapa harus setuju dengan jalan ini? Bayangkan, bersedia mengikuti lelaki yang katanya akan menjadikannya istri ke negeri yang jauh dari sini, hanya dengan harga sekian juta rupiah. Bagaimana dia bisa yakin bahwa semua ini bukan tipuan?
“Aku tidak menertawakanmu, Mei. Aku justru sedang prihatin. Gadis sebaik kamu, yang memiliki keahlian meracik kopi luar biasa, harusnya berani menjalani pilihan lain untuk membantu keluarga. Kau melupakan cita-citamu memiliki warung kopi sendiri, Mei?”
Meimei melengos. Ada air yang mengambang di matanya. Sunu menjerit dalam hati. Alangkah inginnya dia menyedot semua air mata yang dimiliki Meimei dan kemudian menggantinya dengan bintang-bintang harapan.
Meimei bukanlah perempuan yang telah membuatnya jatuh cinta dan menghiasi mimpinya tiap malam. Namun dia tahu, dia menyayangi penyeduh kopi ini. Ingin melihatnya memiliki masa depan yang membahagiakan seperti yang dicita-citakannya. Ingin menyaksikannya menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri.
“Mei, jika kau punya tekad ingin mewujudkan mimpimu memiliki warung kopi, aku bersedia membantu. Kita bisa bekerja sama. Aku yang memodali, kau yang mengelola. Keuntungan bersih kita bagi dua....”
Meimei ternganga. Memandang lelaki di dekatnya, yang sebenarnya tak benar-benar dikenalnya, seolah dia makhluk berantena dari luar angkasa. Mana ada orang yang mau begitu saja memberikan modal kepada orang yang bukan siapa-siapanya? Pasti ada buntutnya. Dan apakah buntut itu? Minta ditemani tidur? Duhai, lalu apa bedanya dia dengan calon suami Taiwan itu?
Sunu tersenyum maklum. Dia hanya menawarkan opsi, tak memaksa. Terserah Meimei mau menerimanya atau tidak. Dia yakin gadis ini berotak bagus.
“Zaman sekarang di negeri ini, Mei, bantuan tulus memang kerap dicurigai dan dianggap aneh. Padahal, para leluhur kita dulu menganggapnya hal yang lumrah.”
Meimei termangu. Pikirannya yang sederhana tak mudah menganalisis semua perkembangan ini. Dia seperti sedang berdiri di hadapan sederet binatang buas dengan topeng kelinci. Semuanya tampak tak meyakinkan.
Sunu membiarkan pikiran Meimei berlompatan ke mana-mana. Tentu gadis itu perlu waktu untuk berpikir dan memutuskan. Dan dia tak keberatan menunggu.... (f)
 
Catatan:
Ngi                  : kamu
Ngai                : saya
Tepekong      : kuil
 
 
 ***
RETNI SB


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?