Fiction
Kilatan Cahaya dari Ujung Desa

30 May 2016

 
 
 
            DUA MATA BULAT itu menerawang. Kosong. Hitam. Pekat. Pada satu sudut suram di balik dedaunan pisang. Dari arah itu angin berembus. Bagai berkecepatan cahaya, sesuatu bergerak menuju gubuk bilik yang menjadi bangunan utama tempat bale-bale yang dia duduki berada.
            Cepat. Kilat. Mata itu mengikuti. Dia melihat, sosok manusia masuk melalui kusen pintu yang tidak bercat. Kala itu langit tampak temaram karena awan hitam sedang menaungi desa kecilnya. Meski begitu, dapat dengan jelas dia amati orang lain yang menghuni gubuk itu sedang diseret pergi. Menjauh. Menembus ke satu sudut suram di balik dedaunan pisang.
            Nyata, cahaya itu berasal dari mantra ajian seorang lelaki yang sedang menebar bau kemenyan. Jauh dari sisi lain desa.
 
 
            KANG AKANG! Akang di mana?”
            Suaranya yang parau, terdengar aneh karena dipaksakan untuk berteriak. Kemarin, dua hari sebelumnya, juga beberapa minggu lalu, sering kali dia diingatkan untuk tidak sering berdiam diri di rumah. Melamun seperti menanti, tanpa jelas apa yang ditunggu.
            “Kalau tidak ada kegiatan, kamu teh pergi saja ke tempat Uwak. Dia juga enggak ada temannya di sana. Sendirian wae,suaminya memberi saran setelah bosan mendengar cerita tentang mimpi istrinya.
Wanita itu terlalu percaya bahwa hal yang berasal dari alam bawah sadar bisa jadi merupakan pertanda sesuatu yang lain. Katanya, firasat kali ini berkata bahwa suaminya memang akan dibawa pergi.
            Tapi, lelaki itu berbeda pendapat. Mimpi bisa terjadi karena ketakutan. Kelelahan. Terlalu sering melamun melihati kebun liar berpohon pisang di belakang rumah. Jika terus dan terus masuk ke dalam, hutan kelam yang masih suci menyambut. Hutan yang belum tersentuh. “Gimana kalau nanti kamu teh jadi kateterusan kawas kitu? Anak kita mah jangan dipikirin. Dia sekolah di kota. Bukannya mau aneh-aneh.”
            Biar hanya petani, anak mereka bisa disekolahkan. Timbal balik atas hidup yang hanya sebatas cukup. Dicukup-cukupkan. Pagi sampai sore, sang suami menggarap sawah. Malamnya pergi ke musala untuk membimbing mengaji anak-anak yang belum mulai sekolah SD. Tanpa dimintai bayaran pun, ada saja warga yang membagi hasil kebunnya barang sedikit. Jadilah ada uang yang bisa disisihkan dari tanaman padi milik sendiri.
Nyai senang, anaknya bisa sekolah. Hanya terkadang, ada saja ingatan saat anak itu memijiti kakinya. Sambil dia mengerjakan sulaman pada kain-kain, sarung, pakaian, menunggu kepala keluarga mereka pulang. Berdua. Di bale-bale belakang itu.

            Anaknya biasa bertanya tentang kecakapan bapaknya melantunkan langgam qari sebelum memberi dakwah  tiap Jumat malam; kenapa suaranya begitu merdu? Atau tentang lantunan azannya yang terdengar mengundang agar warga desa mau berjemaah di masjid kecil mereka.
Pada hari lain dia terkadang bertanya, kenapa bapaknya begitu tegas saat mengajar anak-anak kecil itu mengaji?
Nyai lantas tersenyum. “Begitulah bapakmu.”
Lelaki gagah yang sudah dijadikan panutan di desa itu. Tegas, tetapi mengayomi. Kuat, tetapi berlembut hati. Siapa yang tak segan dengannya? Sang ibu ingin anaknya itu menjadi seperti bapaknya kelak saat dewasa.
Mereka lalu bercerita tentang malam yang pekat saat lelaki itu akan pulang dengan membawa sisipan tangan dari para tetangga. Obrolan berlanjut di dapur sambil mengolah singkong atau sukun untuk direbus atau digoreng.
 
 
            “AKANG dibawa pergi! Dia dibawa orang ke dalam hutan!”
            Nyai berteriak-teriak. Suaminya tidak ada! Dibawa pergi ke dalam hutan! Di rumah, tidak ada. Di sawah, sama saja. Purnama mulai muncul. Langit pekat yang tadi diselimuti mendung, menampakan bias gumpalan hitam yang terkenai cahaya bulan. Sampai hari  makin tua, dia masih mencari.
Desa yang letaknya di kaki gunung itu, riuh sejenak. Tanggapan-tanggapan mereka menggumam menghiasi malam yang biasanya sunyi. Wanita itu membawa keributan kecil di desa kecilnya.

Gelo!” teriak seorang pemuda.
“Benar-benar sudah gila!”
Seorang lagi berkata, “Dia mah geus teu eling! Jelas-jelas dari tadi suaminya nuturkeu dari belakang, siapa lagi yang dicari?”
Seorang lain lagi. Lalu seorang lagi. Seorang lagi. Sampai mungkin semuanya. Kesimpulannya sama. Nyai sudah gila, kata mereka.
Agak kasar, suami Nyai menariknya pulang. Beberapa hari ini dia hanya sebentar saja bekerja di sawah. Juga sudah jarang memberi pengajian rutin. Karena Nyai, istrinya.
Sejak mimpi-mimpi Nyai terus menyerang dalam tidurnya, ucapan wanita itu  makin jauh dari kenyataan. Halusinasi. Serba melihat semua yang serba tak mungkin. Kali ini tipuan mata itu menghilangkan sosok suaminya yang sangat dia khawatirkan akan dibawa pergi. Hasilnya semua orang berkata dia gila. Padahal, mereka tak pernah tahu bahwa dalam penglihatan Nyai, suaminya itu memang tak tampak.
Warga desa peduli dengan ketenteraman desanya. Maka itu, mereka tak ingin ada lagi kegegeran seperti malam kemarin itu. Beberapa hari setelahnya mereka membicarakan perihal kegilaan Nyai kepada warga desa lain yang juga sudah menerka cerita di balik itu. Sebagian berpendapat wanita itu diteluh. Dikirimi jin oleh orang yang tidak suka dengan suaminya. Sebagian lain berpikir bahwa dia terlalu rindu pada anaknya yang hanya pulang satu-dua bulan sekali.
Tapi, apa pun alasannya, Nyai sudah dianggap gila.

“Orang gila lebih baik dipasung saja. Takutnya, nanti orang-orang desa ada yang dilukai.”
Lantas beramai-ramai para laki-laki pergi ke gubuk kecil di dekat hutan. Bagian paling luar dari desa itu. Tanpa membawa obor. Pun parang. Mereka membawa kekhawatiran. Kepada nasib Nyai dan anak-anak mereka yang sudah tidak ada yang mengajari. Sosok yang dianggap berjasa di kampung mereka, sudah tersita waktunya untuk mengurusi wanita yang bertahun-tahun silam dinikahinya. Mereka takut tak akan ada lagi sosok pemuka desa yang alim itu.
Kumaha upami kitu wae, Kang?”
Jalan pertama melalui musyawarah. Salah satu berbicara mewakili. Beberapa orang diajak duduk melingkar di bale-bale, yang lain berdiri atau mencari tempat duduk di atas batu, juga kayu.
“Saya pikir, kalian teh semua tahu bahwa kekerasan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Buktinya kalian datang kemari tanpa amarah. Yang saya ingin ingatkan sekarang, pemasungan sama saja dengan bentuk lain dari kekerasan,” suami Nyai menjawab. “Kalian mengerti arah pembicaraan saya?”
Bukan. Paham mereka tentu bukan berdasarkan hal itu. Obor dan parang ditinggalkan, semata karena mereka tahu, orang di hadapan mereka adalah sosok yang harus dihormati. Bukan karena mereka tidak ingin menjadikan kekerasan sebagai solusi.

“Saya bukan berkata seperti ini karena Nyai itu istri saya, tapi memang bukan itu jalan yang terbaik. Kalaupun istri kalian yang ternyata mengalami hal semacam ini, saya tetap tidak menyarankan solusi pemasungan ini. Sekarang masyarakat kita pasti lebih mampu memilih jalan damai yang tanpa kekerasan. Apa pun masalahnya.”
Tiba-tiba seorang lelaki muda yang baru beberapa minggu menggelar pesta pernikahan, berdiri dan bertanya, “Kumaha kalau masalahnya perzinaan atau perselingkuhan? Apa kekerasan juga tidak boleh dilakukan? Padahal, di Al-Quran ditulis, zina teh haram. Neraka hukumannya.”

Heh, kenapa kamu teh jadi bahas itu?” protes seorang warga yang lebih tua.
Lelaki yang ditanyai itu tersenyum. Wajahnya memang terlihat cerah seperti habis berwudu, tapi hatinya juga gelisah tak menemukan sebuah jawaban.
“Nyatanya memang tidak semua hal teh dapat disebandingkan.” Lelaki muda itu berkata lagi. Dia bangkit dari duduknya di atas akar pohon mangga yang menyembul. Jauh-jauh dia berangkat dari ujung desa itu. Memakai sarung sebagai penghalau dingin.

Dia menunjukkan sarung yang melilit di bahu. Inisial nama tersulam di sana. Bentuknya. Benang yang dipakai, sama dengan inisial-inisial lain di sarung, kain, dan pakaian milik suami Nyai. Memang itu hasil sulaman Nyai saat sedang menyulam di bale-bale belakang sambil dipijiti kakinya. Sarung itu adalah salah satu sarung milik suami Nyai yang sering dibawa saat berjaga ronda. Sudah sedikit kumal.
Suami Nyai sudah mulai sering melupakan banyak hal. Dia mulai bertanya-tanya, bagaimana bisa sarung itu ada pada orang lain? Apa dia lupa meninggalkannya di suatu tempat?
“Sarung ini, saya temukan di kamar tidur saya. Di sebelah tubuh istri saya yang masih tidur tanpa busana. Mungkin Akang ingat?”
 
 
Catatan:
  1. Panggilan untuk laki-laki yang lebih tua atau lebih dihormati. (Sunda)
  2. Panggilan untuk kakak dari ibu atau ayah. (Sunda)
  3. Bagaimana kalau kamu terus-terusan jadi begini. (Sunda)
  4. Gila! (Sunda)
  5. Dia sudah tidak waras!
  6. Mengikuti
  7. Bagaimana kalau begitu saja, Kang?
 
  

*** 
Sani Nurahayu
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?