Fiction
Jemuran dan Jendela

15 Sep 2016


 
Suci keluar dari pintu rumahnya dengan muka penuh kerutan. Hidungnya sudah amat terganggu oleh bau itu.
Mula-mula ia mengetuk pintu di sebelah kiri rumahnya. Matanya menatap tak suka pada pelat yang bertuliskan ‘Blok B, RT 5, No. 3’. Belakangan pintu itu lebih banyak tertutup daripada terbuka, seolah penghuninya tak butuh makan. Kalaupun terbuka,  selalu hanya sebentar, menampakkan kelakuan aneh penghuninya, yang sukar disapa. Kalimat-kalimat yang dipersiapkan Suci untuk mengobrol atau sekadar menyapa selalu jadi berantakan atau menghilang begitu saja.
Seperti kali ini. Suci sudah benar-benar tak tahan, sehingga membuat ketukannya  makin mengeras. Berderet kalimat yang antre dalam mulut membuat kedua bibirnya mengerucut. Apalagi ketika pintu itu masih tak menampakkan reaksi. Meskipun sebenarnya ia sudah menduga akan begitu lantaran yang terjadi memang selalu begitu. Siapa pun yang mengetuk. Anehnya, ada orang-orang tertentu yang begitu berdiri di ambang pintu ini, langsung mendapatkan sambutan penghuninya beberapa detik kemudian. Helen punya dan mengerti apa itu telepon genggam. Suci tahu, Helen masih waras.
“Tak punya nomor ponselnya ya, Mbak?”
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Suci sedikit kaget. Ia melihat Dewi yang menjemur seprai, lagi, di pagar depan rumahnya. Entah mengapa belakangan perempuan itu rajin sekali mencuci, mendahului matahari membangunkan para penghuni rusun. Padahal, biasanya ia sering kalah dengan pagi. Ia baru akan keluar dengan jemurannya setelah cahaya menjajah semua rumah yang menghadap timur di kompleks rusun itu.
“Buat apa aku punya nomornya? Kau punya?” balik bertanya ke Dewi.
Perempuan itu menggeleng. “Biasanya aku lihat para tamunya begitu. Sekali telepon, pintunya langsung terbuka.”
Suci juga tahu itu. Ia sudah tak berselera mengetuk pintu yang masih tertutup itu. Ia berjalan tergesa ke arah Dewi dan lalu berbisik, “Apa kau juga mencium bau busuk ini?”
Dewi sedikit terkejut. “Bau busuk?” Tiba-tiba ada yang bergejolak dalam dadanya.
“Ya,” sahut Suci. “Aku sampai tak berselera masak gara-gara ini. Suamiku juga kehilangan selera makan di rumah. Bisa kau bayangkan, betapa meruginya kami karena tak bisa berhemat lagi.”
Dewi mengajak Suci pindah, menjauh dari seprai yang ia cuci. Semula Suci mengira mereka akan duduk di depan rumah Dewi. Tapi, wanita itu ternyata mengajak duduk di depan rumah Suci sendiri, sembari coba membuktikan ucapannya.
“Benar, ‘kan?” susul Suci. “Masa  kau tak cium?”
Dewi membaui. Ke kanan dan ke kiri. Lalu berakhir dengan gelengan kepala.
Lho, masa, sih? Ini benar-benar tercium bau busuk, kok. Kayak bangkai!” kata Suci. “Sebentar….” Ia langsung bangkit dan bergegas menuju kelokan blok. Ia berusaha memastikan tempat muasal bau. Tangan kirinya mulai memencet hidung. Sebentar kemudian tubuhnya menghilang ke balik kelokan blok.
Sementara itu Dewi sudah kembali berada di depan cuciannya. Ia terlihat menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Berusaha menghapus sebuah kenangan buruk yang bisa membuat kedua matanya selalu berkaca-kaca. Telinganya mulai menangkap kesibukan orang-orang rusun kala pagi membangunkan semesta.
 
SUCI MASIH BERSIKERAS bahwa bau busuk itu berasal dari rumah Helen. Ia bahkan sudah mengadu ke Bu RT dan berharap wanita itu mau menuruti usulnya untuk mengadakan kunjungan mendadak ke rumah yang pintunya selalu tertutup itu.
Bu RT  tidak serta merta langsung menuruti usul itu. Dirinya, yang sudah kenyang dengan aneka masalah orang-orang rusun, mencoba bijaksana dengan lebih banyak mendengarkan daripada grusak-grusuk bertindak. Tiap masalah yang berkaitan dengan manusia selalu lebih rumit ketimbang sekadar masalah dinding rembes, pipa pecah, atau listrik korsleting. Jadilah arisan yang rutin diadakan ibu-ibu RT 5 tiap Senin sore itu riuh membicarakan sosok Helen.
Sejak kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa suami dan dua anaknya, sosok Helen memang berubah drastis. Ia menjadi pendiam dan pelamun. Beberapa tetangga ada yang pernah mendapatinya berbicara sendiri. Ia juga terlihat lebih abai terhadap dua anaknya yang tersisa.
“Anaknya yang nomor dua akhirnya kemarin diambil salah satu saudaranya yang tinggal di Kebon Jeruk. Hanya tinggal anak bungsu yang masih bersamanya,” cerita salah seorang ibu peserta arisan.
“Aku juga melihat kejadian itu. Arif menangis terus lantaran sebenarnya ia tak mau tinggal bersama orang lain,” tambah ibu yang lain. “Tapi mau bagaimana lagi, ya? Wong, Ibu Helen-nya enggak kerja. Entah sekarang sudah dapat atau belum.”
“Dapat kerja apa? Empat hari lalu aku melihat ia mencubiti anaknya yang ribut minta sesuatu,” tambah seorang ibu yang lain, sambil melirik seseorang yang duduk tak jauh di deretan sebelah kanannya. “Tapi entah kenapa suara anak itu sekarang enggak pernah kedengaran lagi…”
“Ya, betul. Rumah Bu Helen entah kenapa sekarang berubah sepi,” sambung yang lain, dengan nada penuh misteri. “Aku sempat kepikiran, apa jangan-jangan… bau busuk yang diceritakan Bu Suci itu adalah… tapi kupikir, bagaimana mungkin? Anak yang mati saja ditangisinya sampai setengah stres begitu, masa  yang hidup mau dicelakainya sendiri?”
Dan suara-suara yang lain pun bersahutan. Makin menghangat saat  sesi makan-makan. Kadang terselipi pembicaraan masalah lain juga. Ibu Helen menjadi menu utama dalam arisan Senin sore itu. Di tengah keriuhan aneka cerita dan decap mulut yang mengunyah makanan itulah ada dua pasang mata, yang meskipun letak duduknya berjauhan, kerap bertemu dalam ruang kebencian.
Saat arisan itu bubar, dengan tenangnya Sinta berjalan ke arah Dewi. “Kang Ruslan pindah kerja di mana, ya, Mbak? Kok, tiga hari ini kulihat enggak pernah lewat depan tempat kerjaku lagi?”
Dewi menjawab pertanyaan itu dengan tatapan sengit dan lantas menghindar ke samping Suci. Ia telah memastikan bahwa nomor asing yang kerap singgah di layar telepon genggam suaminya memang benar milik wanita itu. Nomor yang hanya digunakan untuk menagih utang kepada para peminjam yang bandel. Sudah menjadi rahasia umum di rusun tersebut bahwa janda cantik beranak satu itu juga meminjamkan uang kepada orang lain dengan sejumlah bunga, selain bekerja sebagai kapster di sebuah salon kecantikan ternama. Kebetulan sudah setahun ini suami Dewi belum bisa melunasi tunggakan utangnya. Dan Dewi baru tahu bahwa lelakinya pernah berurusan dengan perempuan itu sepekan lalu. Entah urusan apa yang bisa berakhir dengan SMS-SMS mesra yang amat memuakkan. Suaminya tak mau mengaku, meski sudah ketahuan.
“Semoga saja kalian bertemu di neraka!” gumam Dewi, saat kakinya mulai masuk ke dalam rumahnya yang sepi. Tujuh tahun pernikahannya tak menghasilkan anak.
 
 
DEWI SUDAH MENDENGAR ITU. Pukul tujuh nanti malam beberapa tetangga dipastikan akan bersilaturahmi ke rumah Helen demi memastikan beberapa prasangka yang  makin menjadi-jadi. Jantung Dewi berdegup kencang membayangkan apa yang akan orang-orang pikirkan setelah masuk ke rumah yang sering tertutup itu. Belakangan ia sering berpikir, untunglah jendela rumahnya hanya ada satu di depan, yang bisa ia tutup kapan pun dengan berbagai macam alasan. Membayangkan perkataan Suci kemarin sore saja ia sudah amat waswas. Bahwa bau busuk itu sepertinya bukan berasal dari rumah Helen. Orang-orang tentu akan terus mencari dan mencari.
Dengan terburu-buru Dewi menjinjing dua koper besar miliknya. Ia sengaja tak menyewa orang untuk bantu menjinjing, meski sadar bahwa ini justru akan memperlambat langkahnya. Ia sudah harus sampai di jalan raya saat orang-orang baru menggeliat bangkit dari tempat tidur. Setidaknya begitulah rencananya tadi malam, saat melunasi biaya sewa bulan ini. Dengan membawa rasa capek memikirkan nasibnya di masa lalu dan masa depan, akhirnya ia memilih untuk tidak pamitan kepada siapa pun, meski di malam-malam terakhir kepalanya dipenuhi perdebatan antara pamit atau pergi diam-diam. Andai saja bau busuk itu tidak mendahuluinya, tentu ia akan memilih seseorang untuk dipamiti.
Azan subuh baru saja terdiam. Dewi sempat melihat satu dua orang yang keluar dari deretan pintu di sebelah kanan rumahnya. Merekalah yang menurutnya wajib diwaspadai.
“Subuh-subuh begini mau berangkat ke mana, Mbak?” pertanyaan yang tiba-tiba itu sempat membuat Dewi kaget. Tumben sekali Suci sudah bangun di pagi buta. Rambutnya masih terlihat acak-acakan. Sesekali ia melontarkan ludah melewati pagar rusun depan rumahnya. Ia bilang sampai terserang flu gara-gara bau busuk itu.
“Mau ke rumah saudara,” jawab Dewi gugup. Jantungnya  rasanya tak keruan.
Kok, bawa banyak barang begitu? Mau menginap, ya?”
Dewi menjawabnya hanya dengan senyum. Tak mau berlama-lama melayani basa-basi itu. Penyesalan tumbuh setelah ia sampai di lantai terbawah rusun, mengapa ia mesti berbohong tadi? Kenapa tak sekalian bilang mau pindah, agar mereka tak berpikiran yang tidak-tidak ketika tahu ia tak balik-balik? Toh, ia sudah membersihkan kamar sebersih mungkin dan menjadikannya sewangi mungkin.
Dengan mata berlinang kini Dewi membayangkan tempat kontrakan yang lebih nyaman. Ia tak akan memilih rusun lagi. Ia mungkin akan melupakan dendamnya kepada Sinta, meski mungkin akan mencekiknya jika bertemu lagi di tempat yang lain. Satu hal saja yang pasti bagi Dewi, ia juga ingin mencari lelaki pengganti. Yang lebih setia. Tentu saja setelah koper ini ia bereskan.
 
***
Adi Zamzam
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?