Fiction
Ipah

21 Sep 2015



Sebuah bintang kejora melejit di langit Pekalongan. Bintang itu, seorang gadis pelantun rebana kasidah bernama Rofiqoh. Setelah menikah dengan Darto Wahab, namanya tenar sebagai Rofiqoh Darto Wahab dari Orkes Gambus Al Fatah. Karena Rofiqoh pula, rebana kasidah tumbuh subur di Pekalongan. Pekajangan, Batang, Comal, Buaran, Kedungwuni, Wonopringgo, sampai Kajen dan kemudian ke seluruh Indonesia.  Mungkin  karena kebanggaan dan kecintaan orang Pekalongan pada Rofiqoh, sang bintang kejora. Sejak itu, hampir tiap kecamatan dan kampung bergairah membentuk grup rebana kasidah  remaja putri. 

Remaja putri Pekajangan dan Wonopringgo terkenal kecantikannya. Menurut sejarah, penduduk Pekajangan merupakan campuran pedagang Cina, Arab, dan Melayu.  Wonopringgo yang pernah memiliki perkebunan tebu juga mempunyai beberapa gadis mirip indo seperti Rita, anak bidan Dargo dan Amirah, adik Pak Amir guru SMP Muhammadiyah.  Mereka berkulit putih dan bermata cokelat bening.     

Bagi putri-putri cantik itu, kasidah juga menjadi kesempatan untuk nampang, sebab sehari-hari mereka dipingit dan diawasi ketat oleh orang tua. Contohnya Ipah, gadis kesayangan bapaknya, Kiai Lukman. Kabarnya, sebelum menjadi tokoh Islam, Kiai Lukman yang bertubuh gempal dan kekar, waktu muda begajulan seperti berandal Lokajaya sebelum tobat dan ganti nama menjadi Sunan Kalijaga.  Warga Wonopringgo percaya kalau  Kiai Lukman berkhotbah bahwa tuak banyak mudharatnya, karena dia dulu pemabuk.  
Kyai Lukman juga rajin menonton kasidah sambil mengunyah siwak karena anak gadisnya ikut manggung.  Ipah berwajah bulat kuning cerah seperti martabak manis sebelum dilipat-lipat  dan dipotong-potong segi empat.   
***
Menjelang  G-30-S, grup kesenian dan budaya sudah mulai dimasuki unsur politik golongan yang amat kentara. Kalau PNI dan PKI menggunakan budaya Jawa seperti wayang dan ketoprak, NU dan Muhammadiyah memakai budaya Jawa islami dan Arab.  Mereka saling bersaing dan tak mau kalah. Kalau PKI menggelar drama yang progresif revolusioner-komunis dan anti-Islam, maka Muhammadiyah menggelar drama Umar masuk Islam. Kalau PNI menggelar sendratari Anoman Duta yang membakar Alengka, maka NU bikin drama Nabi Ibrahim disulut Raja Namrud. Makin besar apinya makin bagus.  Panggung PNI pimpinan Guru Pardi dengan kelir keraton Alengka pernah terbakar hebat. Penonton bersorak sorai karena adegan menjadi amat realistis, dikira sengaja dibakar. Mereka baru sadar setelah melihat Anoman, bukannya mengobarkan api,  malah ikut membantu Rahwana dan Indrajit  memadamkan api pakai kasur tipis dan selimut basah.

Wonopringgo menjadi ajang pergulatan politik dan benturan budaya seperti ini.  Tidak hanya nasionalis lawan komunis lawan Islam tetapi juga Islam lawan Islam. NU dan Muhammadiyah sering berseteru. Kedua golongan ini hanya bersatu mendukung Rofiqoh dan kasidah untuk melawan PKI dan PNI menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Rofiqoh benar-benar menjadi unsur pemersatu  kelompok Islam di Pekalongan dan sekitarnya.  Rofiqoh juga menjadi impian remaja NU dan Muhammadiyah.

Seperti Rofiqoh, Ipah menjadi bintang kasidah pada acara-cara keagamaan dan pengajian akbar di Wonopringgo dan sekitarnya: Jetak, Kedungwuni, sampai Kajen. Pengajian-pengajian akbar sekitar tahun 1960-an juga dimaksudkan untuk menangkal pengaruh kiri PKI.  Aku tak begitu ingat jelas kapan dan di mana pertama kali melihat Ipah.  Mungkin di Jetak  atau mungkin juga di Wonopringgo. Yang kuingat, ratusan orang berjejalan di lapangan, penjual makanan dan minuman memenuhi jalanan. Lalu pidato berapi-api seorang kiai muda, tentang apa topiknya, aku juga tidak ingat, mungkin juga tentang surga, neraka dan wilayah sekitarnya. Pikiranku dan hampir semua orang terpancang pada penampilan rebana kasidah.  
***
Tak lama setelah Pak Kiai berkhotbah, beberapa kelompok pemuda sudah berteriak, "Kasidaaaah!"  Teriakan ini makin lama makin santer dan karena kebetulan dekat panggung, aku bisa lihat wajah saleh para kiai tampak gelisah karena khotbah itu mulai tak dihiraukan massa.  Cuma  Pak Haji Lukman yang tersenyum aneh sambil menggigit siwaknya. Tampaknya sang pengkhotbah tahu salatan dan buru-buru mengakhiri khotbahnya. Ketika pembawa acara menyebut, “Sekarang, irama kasidaaah,” lapangan itu seakan meledak dengan tepuk tangan dan sorakan. 

Beberapa pria berkopiah naik panggung.  Sebagian berwajah keturunan Arab, salah satunya temanku bernama Agus. Mereka mulai sibuk: menggesek biola, menggaruk senar mandolin, menaboki rebana dan meniup mikrofon: ”Bwuuuh…bwuuuh,  wahiiid…. Ithnaaan…. thalatsaaaa!”

Yang dinanti-nanti tiba. Serombongan gadis cantik menaiki panggung. Penonton bersorak membahana. Semua mata mengarah ke panggung. Bahkan beberapa penjaja makanan tak lagi hirau jualannya.  Ipah si bintang kecil seperti  Rofiqah si bintang kejora, maju ke depan dengan  menggoyang badan, tersenyum malu-malu tapi tanpa basa-basi.  Badannya agak bundar, kulit kuning kemerahan dan lincah. Penonton bersorak sorak, tapi pelan-pelan diam  ketika Ipah menyanyikan lagu Rofiqoh,  Hamawi Ya Mismis.  Diiringi rebana, tuk tuk tuk, biola, ngiiik, ngeeek, ngeeek, dengan nada berjingkat-jingkat riang.

Hamawi ya mis mis, baladi ya mis mis  (3x)
Iduwah bidna, malasi bitsna, wafaros bidna jahril ya mis mis 2 X     
Hamawi hamawi ya mis missssss ….   

Ipah tersenyum manis.  Penonton bersorak riuh meningkahi suara latar para pria yang bernada serak.  

Biola menimpali riang dan menuntun Ipah ke bait berikut:
Syarof tiya'id,  wa anis tiya'id  (2x)
Ya faroh ya gadid ana hubi gadid  (2x)
Ya faroh ya gadid iqbal wistiiiid  (2x)

Tiba-tiba biola ditarik panjang seperti keluhan, ngeeek, ngeeek. Rebana ditepuk pelan bernada sedih.    

Ya rib’anna, uroyanna  (2X)   

Diam sebentar, tiba-tiba Ipah tersenyum dan meneruskan dengan nada riang.   

Iduwal bidna, malasi bitsna, wafaros bitna  (3x)
Jahril ya mis mis  (2x)
Hamawi  ya mis mis (2x)

Tiba-tiba tanpa hujan tanpa angin, kembali  suara Ipah menjadi sedih dan mendayu-dayu:

Yalleeeee…leee ..yalllee  yaaaa leee….

Kemudian beberapa bait syair yang tidak jelas tetapi nadanya makin pilu:
 
Yaaaa, yaleeeeehhh.  Ya dzairinina  bi tzhurazal…,  bi muhabatik ya gamal ya gamaaal. Yaaaalleeeeeeh…..

Penonton bersorak riuh rendah, sebagian bergoyang.  Luar biasa lagu ini, nada sedih, riang, syahdu, dirangkum dalam  waktu tidak lebih dari tujuh menit.  Tapi memang demikian mungkin keindahan lagu-lagu padang pasir. Malam itu aku langsung jatuh cinta pada Ipah.   
Setelah orkes mundur kembali, ceramah agama dimulai lagi. Kali ini seorang pemuda  yang baru belajar menjadi juru dakwah berbicara tentang peranan pemuda Islam untuk berani meraih masa depan.  Penonton tidak peduli dan berteriak, meminta Ipah menyanyikan lagu:  Ya Asmar Latin Tsani:  

Anna bahwa yaa asmar latin tsani, ….
Warul ib'ha duwa kal  bima ahsani,  yaaa asmar latin tsani…

Pentas itu menampilkan putri yang cantik-cantik. Tapi mataku tetap terpancang pada Ipah, anak Kiai Lukman yang berwajah bulat dan bertubuh demplon, tidak kekar seperti bapaknya.  Mata Ipah sangat jernih dengan hidung mungil dan pembawaan yang riang.  Bibir bawahnya agak tebal dan gigi tidak terlalu rata tetapi putih bersih berkilat-kilat jika dia tertawa. Pipinya dihiasi satu butir jerawat kemerahan dan satu tahi lalat dekat dagu.
Ipah lalu memimpin teman-temanya melantunkan sederet lagu Arab: Magadir ya ghalbi ana magadir, Habibi ya nurul aini, Ala asfuri ya allaiya, dan akhirnya lagu pujian pada Nabi Muhammad tercinta  
…Tallaal badru alaina. Ya Nabi salaam alaika. 

Nada suara Ipah amat  nyaring, riang, tetapi lembut, manis, tanpa dosa, seperti suara para bidadari di surga. Mataku tak lepas menatap  anak gadis Haji Lukman ini menyanyi.  Seluruh penonton lalu gemuruh berselawat Badar. Aku ikut berselawat  dengan bulu kuduk merinding.

Aku mendesak ke depan, ke arah panggung yang hanya berjarak 2-3 meter dari pentas. Aku lihat, tak sedikit para pemuda lain yang juga mengagumi Ipah. Di antaranya,  si Komar yang berbadan besar dan paling dibenci anak-anak karena sombong.  Bapak si Komar,  Haji Badrun, adalah pedagang batik kaya di Jetak Kidul yang memproduksi batik Demakan, batik orang kaya.

Untuk menarik perhatian Ipah, kuambil kerikil dan kujentikkan ke arahnya. Kena! Ipah mengerling ke arahku, wajahnya menunjukkan rasa heran, tapi kemudian tersenyum manis dengan mata sayu ke arahku.  Detik itu, semua kualihkan saham cinta dalam portofolioku 100 persen pada Ipah.   

***
Rumah Haji Lukman bertingkat dua, depan Pasar Wonopringgo, tepat  berseberangan jalan dengan pasar hewan  yang menjual sapi, kerbau, kambing, dan unggas.  Pasar ini jorok, bau tahi kerbau, sapi dan ayam yang menyesakkan. Ada sungai kecil tempat pegawai pasar melemparkan tahi-tahi binatang itu ke dalamnya.  Suasananya riuh, lenguh kerbau-sapi, embik kambing, kokok ayam jantan, kotek ayam betina, kuak itik dan unggas lainnya.  Tetapi semua bau itu bak parfum mahal di hidungku karena letaknya langsung berhadapan dengan toko Haji Lukman.

Di antara suara hewan dan unggas serta bau tahi dan kencingnya, aku bisa tahan berjam-jam di situ.  Di seberang jalan kecil, Ipah dengan riang dan sering bernyanyi nyanyi kecil melayani pembeli malam batik (lilin) yang berwarna cokelat kehitaman, bahan-bahan pewarna alami atau kimia untuk mewarnai batik Pekalongan yang indah.
Aku menatap ke seberang jalan sekadar mengharapkan senyum dan kerling mata Ipah, tapi tak berani mampir atau berkenalan dengannya.  Tongkrongan bapaknya yang tokoh ulama, bekas jagoan berandal dan kabarnya masih penuh ilmu kebal itu, membuat nyaliku ciut.  Tapi, senyum dan lirikan mata Ipah sudah cukup membuatku tersenyum sendirian seperti orang kurang waras, selama seminggu.  
***
Ipah tahu kalau aku jatuh hati kepadanya, karena beberapa kali dia mengerlingkan matanya dan tersenyum ke arahku. Suatu saat, kuberanikan diri menemuinya di tokonya, setelah aku yakin  Haji Lukman tidak di rumah. Dengan gemetaran aku mendekatinya. Ipah tersenyum,
”Mau beli apa,  Mas?”
Aku tergagap-gagap dan tanpa sengaja berucap, “Ah, ehmmm, mau beli malam (lilin)….”  
Ipah agak kaget, ”Oh ya, berapa kilo?”
Aku  gemetar dan kebingungan, “Enggak tahu, sedikit saja….beberapa ons, eh, gram atau apa, yang kecil itu saja.” Tanganku menunjuk ke potongan-potongan atau sisa malam yang bertebaran.

Ipah terheran heran, lalu tanya mamak-nya, Bu Haji yang demplon, berkulit kuning langsat dan bergigi emas, ”Mbok wis, kasih gratis saja.”  Kemudian kedua wanita itu tertawa terpingkal-pingkal.   
Kukayuh sepedaku cepat-cepat dengan muka panas, seperti habis disiram lilin batik.  Setelah kejadian itu,  tiap kali aku lewat, Ipah tertawa genit dan bertanya menggoda, “Mas, kok, enggak beli malam lagi!”  Suara terkekeh-kekeh tawa ibunya ikut menimpali.   
“Bukankah cinta sejati tahan diterpa berbagai cobaan, bahkan  lautan api atau hutan pedang, tetapi hancur jika menjadi bahan tertawaan,” batinku.  

Takdir tak bisa ditolak. Cintaku pada Ipah tak bertahan lama. Suatu hari, kulihat sebuah tenda berwarna hijau di depan pasar dan kerumunan orang di depan rumah Haji Lukman.  Masya Allah,  Ipah menikah! Kabar itu rasanya tak akan terlalu menyakitkan kalau saja Ipah tidak menikah dengan  Komar!   Selama hampir tiga hari, aku menderita patah hati. Makan tak enak dan tidur tak nyenyak.
***
Sejak Ipah menikah, aku tak pernah lagi mampir ke pasar hewan itu.  Daerah Pasar Wonopringgo tak lagi menarik dan hambar.  Sekali-sekali kulihat Ipah dan Komar lewat, berboncengan naik Vespa biru.  Komar di depan dengan sarung model Demakan yang terkenal mahal. Wajahnya cengar-cengir. Ipah tampak lebih segar dan juga senyum-senyum simpul. Sekeras apa pun menghindar, pernah sekali kami bertemu. Dia agak terperanjat dan matanya  tiba-tiba sayu menatap ke arahku.  Mungkin juga, akulah cinta pertamanya yang sulit dia lupakan.  “Sangat mungkin, aku yakin, haqqul yakin,” batinku.

Kenangan dari Yonif 407,
Wonopringgo, Pekalongan. Circa 1965. 

**********
Rusdian Lubis




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?