Fiction
Gepuk Ibu

25 Dec 2016


Ada yang basah di sudut mata wanita itu. Pagi ini bedaknya tampak lebih tebal. Lipstik merah menyala di bibirnya. Dia mencoba menarik garis bibirnya melengkung ke atas.
"Sarapan dulu, Neng."
Aku hanya mengangguk. Terdiam. Melirik tajam, lantas makan tanpa suara.
"Uhukk!" Aku tersedak. Tergesa wanita itu menyodorkan segelas air putih.
"Pelan-pelan makannya," ucapnya. Masih dengan senyum di bibir.
"Aku tidak butuh ini!" Tanganku menepis gelas yang disodorkannya.
Wajah wanita itu tampak agak geram. Hilang sudah senyum yang sempat tersungging. Daster lusuhnya basah terkena air yang menghambur dari gelas.
"Kamu ini, dibaik-baikin sama Ibu malah kayak gitu. Mau jadi apa atuh? Kelakuan persis ayahmu." Ibu menghela napas panjang, lalu pergi ke dapur.
Aku sangat senang mendengar dia mengomel dibandingkan terdiam. Menebar senyum dengan wajah menor dan tatapan redup. Aku muak melihatnya.
Selalu ada rahasia di balik tebalnya bedak yang ia kenakan ataupun bibir merah menyalanya. Pipi yang melebam. Bibir itu pasti semalam mengeluarkan darah. Selalu seperti itu. Tiap pagi atau kapan pun di rumah ada lauk gepuk, pasti sebelumnya ada hati dan raga yang terluka.
Saat aku selesai merampungkan sarapan, di dekat wastafel teronggok piring dengan sepotong daging gepuk tersisa, disertai remah-remah nasi. Ini menandakan pamanku --adik Ibu-- berkunjung ke rumah.
Paman suka sekali menyisakan sepotong daging gepuk tiap selesai makan di rumah ini. Aku juga tidak mengerti, kenapa raut muka Ibu selalu ceria tiap dia datang, dan entahlah kenapa Ayah selalu ringan tangan, saat emosi. Terutama sehabis Paman pergi.
Ayah bagai raja, ucapannya ibarat titah yang harus dilaksanakan. Aku tak mengerti, kenapa Ibu tidak meminta cerai. Sepertinya itu jalan kebebasan baginya. Kata Nenek, dulu Ayah sangat penyayang sebelum menikah dengan Ibu. Sifatnya berbeda 180 derajat setelah menikah. Entahlah, bagiku dia hanya orang lain. Aku sangat membencinya. Bahkan ingin membunuh dia.
 
AROMA GURIH MERUAP. Ibu mengangkat rebusan daging, lalu memotongnya. Setelah beres, dia mengulek garam, bawang merah, bawang putih, ketumbar, jahe, lada sedikit, cabe merah, kemiri, gula merah, dan tomat. Aku diperintahkannya memarut kelapa dan satu setengah ruas lengkuas.
"Kenapa harus buat gepuk, sih, Bu, tiap Mang Dani datang?"
"Karena Mamang suka gepuk." Tiba-tiba saja Paman ada di belakangku.
"Kalau suka, kenapa Mamang hobi banget atuh nyisain dagingnya setelah makan? Harusnya dihabiskan sampai tandas," selorohku.
Tiba-tiba saja mata Paman tampak berkabut. "Teh, biar Dani aja yang masak."
Paman tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah mengambil alih tugas Ibu. Membuat gepuk membutuhkan waktu yang agak lama. Menunggu bumbu meresap, Paman asyik berbincang dengan Ibu. Mereka mirip orang pacaran. Bersenda gurau, saling memuji. Entahlah, terkadang pikiran gilaku mengira   mereka saling jatuh cinta.
Lagi pula, mungkin saja hal itu terjadi. Hanya bersama Paman, kutemukan senyum lepas milik Ibu, gurauan hangat. Dan, aku bisa merasakan kehangatan hati mereka. Sebenarnya pikiran gila itu berdasar.
Paman bukanlah adik kandung Ibu. Firasatku mengatakan ada cinta yang tumbuh di hati mereka. Cinta laki-laki dan perempuan. Yang tidak kumengerti, kenapa mereka tidak menikah saja?
Paman memanaskan minyak. Setelah terlihat menggelembung-gelembung kecil tanda sudah panas, dia memasukkan daging yang telah direndam santan dan bumbu, ditambahkan serai dan salam.
Diaduk-aduknya pelan agar santan tidak pecah. Api juga diatur tidak terlalu besar. Santan harus sampai kering dan tersisa minyak. Saat itulah daging gepuk empuk sudah siap santap. Warnanya akan berubah cokelat tua kehitaman.
Ada perbedaan mencolok dari gepuk buatan Ibu dan Paman. Jika Ibu yang membuat, rasa manis paling dominan. Sedangkan Paman, pasti terasa gurih. Bahkan terkadang, warna bumbunya agak terang dibandingkan hasil masakan Ibu. Aku tidak terlalu menyukai gepuk. Berbeda dengan Ayah. Dia senang sekali memakannya.
Aku baru memutar pegangan pintu, saat sebuah teriakan menyayat terdengar jelas. Teriakan Ibu. Entah apa masalahnya. Suara emosi Ayah menusuk-nusuk gendang telinga.
Aku berusaha membalik badan. Menyeret kaki dengan berat ke arah ruang makan. Tampak pemandangan mengenaskan. Pecahan piring dan gelas di mana-mana. Ibu terisak di bahu Paman. Ayah berkacak pinggang menunjuk-nunjuk mereka berdua.
"Kalian pasangan berengsek!" ucap Ayah menggelegar.
Ibu makin terisak. Kakinya yang telanjang terkena pecahan piring. Darah berceceran. Sementara Ayah, menatap tajam ke arah bola mata Paman yang seolah melindungi Ibu. Kilatan emosi tampak jelas.
Aku berlari ke arah Ibu. Membopongnya. Mendudukkan dia di kamar. Tanpa kata, mengambil pecahan piring di kakinya. Mengambil sebaskom air hangat dan lap. Membersihkan lukanya. Mengucurkan alkohol, lalu membaluri cairan antiseptik di sekitar luka, menutupnya dengan plester.
"Bu, sepertinya sekarang aku punya alasan untuk membunuhnya," kataku, geram.
Ibu menggeleng kuat. Memelukku erat.
"Maafkan Ibu," ucapnya.
Ada yang sakit di dalam ulu hatiku. Ah, Ibu. Kenapa kau begitu tegar menerima perlakuan kasarnya? Apa karena dia suamimu? Raja di rumah ini?
 
 
MATA IBU tampak liar. Dia menggusurku ke luar rumah. Padahal, aku baru pulang dari sekolah. "Cepatlah, ayahmu sudah gila. Kita harus mengungsi ke tempat Kakek dan Nenek.
Terdengar teriakan-teriakan khas Ayah dan suara gaduh. Paman tampak menghalangi pintu kamar. Terlintas rasa khawatir di pikiranku. Bagaimana kalau Paman terluka? Ibu seolah tidak memedulikan apa pun selain keselamatan kami. Segera dimasukkan empat koper yang isinya entah apa, ke dalam sebuah taksi yang sudah siap di pelataran rumah.
"Jalan, Pak," ucap Ibu, dingin. Ya, baru kusadari. Selain tatapannya yang liar, nada suara Ibu pun berubah dingin tanpa ekspresi.
 
 
SEPULUH TAHUN BERLALU. Sekarang aku sibuk mengurusi perusahaan yang kurintis dengan Ibu. Kami membuka rumah makan khas Sunda. Sungguh di luar perkiraan, usaha kami maju. Ibu pun tampak tegar. Hidup kami lebih tenang dan damai.
Hingga datanglah saat itu. Saat di mana pil pahit harus kutelan bulat-bulat.
"Aku bersalah. Aku bersalah. Aku bersalah...," tangisnya.
Aku tertegun di ambang pintu kamar Ibu. Tangisan pertama selama sepuluh tahun ini.
"Ada apa, Bu? Kenapa menangis? Apa Ayah datang?"
Tiba-tiba saja Ibu bersimpuh di depanku. "Maafkan Ibu, Neng. Maaf sudah jahat sama kamu. Jahat sama kalian."
Apa maksudnya dengan kata kalian? Aku tidak mengerti. Maka, saat itu mengalirlah sebuah rahasia masa lalu yang selama ini tidak kuketahui. Raga ini limbung seketika.
"Ibu tidak bohong, 'kan?" Ibu menggeleng kuat. Aku anak yang tidak diinginkan. Ibu mencintai adiknya. Mereka tidak bisa menikah karena takut menyakiti hati Nenek. Atas suruhan Paman, akhirnya Ibu menikahi ayahku. Saat tahu dirinya hamil dari benih Ayah, Ibu mencoba membunuh diri dan janinnya. Hal itu diketahui Ayah. Dia marah besar. Tak ingin darah dagingnya mati. Di bawah pengawasan ketat Ayah, aku lahir.
"Ayah sangat menyayangimu."
Aku tercekat. Ayah yang selama ini kubenci, Ayah yang selama ini ingin kubunuh, menyayangiku? Bagaimanalah, sangat sulit dipercaya. Oh Ibu, kenapa kau tega? Kenapa?
"Neng tahu kenapa Mang Dani selalu menyisakan potongan daging gepuk setelah makan? Karena dia ingin mengatakan sepotong hatinya masih tertinggal untuk tuan rumah. Cintanya masih penuh, sepenuh potongan itu."
Aku terdiam dalam isak. Tenggorokanku seolah tercekat.
 
PRIA PARUH BAYA sedang asyik menyiram tanaman.
"A-ayah ...,"  terbata aku memanggilnya. Pria itu langsung memelukku.
"Maafkan Ayah, Neng," ucapnya, hangat.
Aku mengangguk. Sudut mataku tiba-tiba basah menatap wajahnya yang kini penuh dengan kerutan.
"Kamu sudah makan? Kita makan sama-sama, yuk!"
Aku menurut. Melangkahkan kaki ke dapur. Saat membuka lemari makan, raga tertegun. Di sana terhidang semangkuk besar gepuk. Aku mencicipinya. Gurih. Ujung mataku menangkap sesuatu di dekat wastafel. Di sana teronggok piring dengan sepotong daging gepuk dan remah-remah nasi. Tiba-tiba saja tenggorokanku tercekat. Hati teriris kedua kalinya. "Paman...," lirihku. Pedih. Menyakitkan. (f)
 
***

El Cavega Terasu
 
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/

 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?