Fiction
Dua Wanita

25 Nov 2016


Wanita bertahi lalat di dagu kiri itu bergegas menaiki tangga klinik. Dengan penuh harap tangannya memegang satu kantong plastik kecil berisi sejumlah obat yang baru saja ditebus dari apotek di sebelah klinik ini. Sesekali dia mengembuskan napas. Menghalau khawatir yang merambat.

Dia tahu, ini memang penyakit lama yang berulang kali kambuh. Dia tahu pasti penyebabnya. Pasti lelaki itu bersentuhan dengan beberapa jenis makanan yang seharusnya dihindari untuk penderita amandel sepertinya. Namun  ternyata, lelaki itu sering kali tidak mengindahkan nasihatnya untuk memulai pola hidup sehat.

Wanita dengan tahi lalat di dagu kiri itu membuka sedikit pintu kamar nomor 02. Ada seraut wajah khawatir yang bisa ditangkapnya di sana. Wajah yang menunggu penuh harap. Wajah serupa segenggam kekhawatiran yang sama saat ini menyelimuti hatinya. Dia merapatkan kembali pintu kamar. Urung masuk. Ada sebuah keraguan yang mencegahnya. Dia meraba hati, mencoba menyesapi sebuah rasa yang tiba-tiba menyelinap.

Tangannya menggenggam kembali satu kantong kecil plastik obat yang barusan ditebus. Dia sebenarnya ingin sekali masuk ke kamar itu. Menatap wajah lelaki itu dan memenuhi semua permintaannya. Saat sakit, lelaki itu pasti menjadi seseorang yang sangat  memerlukan perhatian. Dia punya segenap perhatian itu. Tanpa batas, tanpa lelah. Namun, urung. Dia tidak ingin menatap wajah yang juga sangat mengkhawatirkan kondisi lelaki itu. Wajah wanita itu. Wanita bermata segaris yang telah mampu membuat segalanya teralihkan.

Pelan, dia memberanikan kembali memutar gagang pintu. Antara ragu, dia mencoba masuk. Bagaimanapun dia sangat mengkhawatirkan keadaan lelaki itu lebih dari apa pun. Bau obat-obatan segera menyeruak, menyergap indra penciumannya. Sesaat, dia menatap sebuah adegan. Wanita muda itu baru saja menyuapkan sisa obat terakhir yang masih ada, sebelum dia menebus obat baru. Entah kenapa, perih begitu berani menyusup, menggarami hatinya.
Mereka rupanya tidak menyadari kehadiran wanita bertahi lalat di dagu kiri itu. Entah karena memang tengah berkonsentrasi meminumkan obat atau larut dalam romantisisme yang mereka ciptakan sendiri.

“Sebaiknya malam ini kamu tidak usah menunggu di sini. Pulang saja. Orang rumah pasti mengkhawatirkanmu.”
“Tidak apa-apa,” sahut wanita muda bermata segaris. “Saya sudah memberi tahu orang rumah bahwa malam ini akan menginap di klinik dan ikut berjaga di sini.”
“Sudahlah pulang saja. Aku bisa saja sendirian menjaganya. Lagi pula, ini sudah terlalu malam. Tidak baik dalam pandangan orang kalau nanti kamu ikut menginap di sini. Arya nanti akan mengantarkanmu pulang. Tidak aman kalau jam seperti ini kamu pulang sendirian.” Wanita bertahi lalat di dagu kiri itu memaksa tatapan mata segaris wanita lain di ruang itu agar segera menjauh. Menatap wajahnya lebih lama di sini, seperti memantik setiap api cemburu yang siap menyergap membakar hati wanita bertahi lalat di dagu kiri itu. Dia pun menyebut sebuah nama, menantu laki-lakinya, untuk mengantar wanita muda bermata segaris itu pulang.

Wanita muda itu tidak menjawab lagi. Tidak ada yang memperhatikan perubahan air mukanya karena wanita bertahi lalat di dagu kiri itu benar-benar tidak ingin menatapnya. Wanita bermata segaris itu mengemasi barangnya dan bergegas menuju Arya yang telah menunggu di depan klinik. Wanita bertahi lalat di dagu kiri, mengembuskan napas, lega. Setidaknya malam ini wanita bermata segaris itu tidak merebut perhatian lelakinya. Dia tidak harus berbagi malam ini.

Sosok lelaki itu telah tertidur pulas.
 
 
WANITA MATANG bertahi lalat di dagu kiri itu beringsut melihat sosok lelakinya bergerak. Dia melirik jam dinding kamar klinik ini. Pukul dua dini hari.
“Belum tidur?” tanyanya dengan perhatian yang khas. Mengingatkan wanita itu pada seseorang, Ardi.  
Wanita itu menggeleng.
“Hanya ingin menunggumu. Takutnya saat tertidur kamu memerlukan sesuatu dan kalau aku sudah pulas tidak mendengar suaramu.”
“Lidya, mana?”
Wanita bermata segaris itu lagi. Mendengar nama itu disebut, sontak hatinya seperti dijalari bara hingga ke urat nadi terkecil. Perih. Lagi-lagi wanita itu, wanita bermata segaris yang menyita hampir semua ruang perhatian lelakinya.
“Pulang,” sahutnya singkat
“Pulang? Kenapa tidak pamit?”
“Sehabis meminum obat, kamu tadi ketiduran. Arya mengantarnya pulang. Lagi pula, tidak pantas dia menginap di sini.”
“Pulang atas inisiatifnya sendiri?”
“Maksudmu?”
“Tidak ada yang menyuruhnya pulang, bukan?”
“Bagaimana kamu bisa berpikiran seperti itu?”
Lelaki itu mendesah.
“Selama ini hanya satu orang yang selalu sinis bersikap dengannya dan tidak menyukai kehadirannya.”
“Dia pulang dan memang tidak sepantasnya berada di sini menunggumu!” Suaranya mulai melengking.
“Lidya gadis baik, terlalu banyak upaya sudah dilakukannya untuk bisa diterima, walaupun usaha itu terkadang membuahkan hasil yang mengecewakan. Dia tidak pernah mengeluh.”
“Berhenti membicarakannya. Bertahun-tahun kita bisa hidup sejalan dengan saling berbagi perhatian. Semua berubah hanya karena kehadiran wanita itu!”
Wanita bertahi lalat di dagu kiri itu keluar. Mencoba menahan aliran hangat yang menggenang di sudut matanya.
 

TAHI LALAT di dagumu, adalah tahi lalat paling pas yang pernah Tuhan ciptakan. Posisinya persis di dagumu yang runcing, sehingga ketika kau tersenyum, maka senyummu kelihatan bertambah manis. Tentu saja karena tahi lalat itu juga menempati posisi yang teramat manis.”
Wanita dengan tahi lalat di dagu itu memejamkan mata. Betapa dia rindu dengan suara itu. Sekelebat kenangan mencuat tanpa permisi.
Bertahun lamanya dia bertarung dengan hidup. Mencoba menaklukkan ketidakramahan banyak mulut dengan pilihan hidupnya.
Tiap malam, Ardi, suaminya, selalu saja memuji hal kecil yang teramat dibanggakannya. Tahi lalat itu yang letaknya di dagu sebelah kiri. Semua orang tahu bahwa tahi lalat itu memang membuat kecantikannya bertambah-tambah. Dan hal itu pulalah yang membuat cinta Ardi suaminya juga selalu bertambah-tambah. Menatap tahi lalat di dagu sebelah kirinya saat dia tersenyum manis.

Namun, tatapan dan suara Ardi kemudian dalam jelmaan tahun berubah menjadi kealpaan. Yang ada hanya sunyi. Sunyi yang diteriakkan oleh hatinya. Raganya mungkin boleh saja tetap tersenyum dan dia memang harus tetap tersenyum karena ada tiga bocah kecil yang membutuhkannya. Ardi, suaminya, suatu sore yang gerimis kembali ke rumah ini tanpa kata-kata. Hanya ada senyum beku yang kemudian melahirkan histeria seisi rumah. Kecelakaan di tempat kerja.

Sepeninggal Ardi, banyak laki-laki yang mencoba mendekatinya, namun selalu dia tepis. Baginya, Ardi adalah sosok paling istimewa. Banyak mulut  usil yang selalu saja nyinyir dengan statusnya yang menjanda. Namun, semua itu tak lantas membuatnya risau, walau ada sekeping hati yang perih dengan keusilan mulut-mulut itu. Dia tidak butuh laki-laki lain sepeninggal Ardi, karena sebenarnya dia telah menemukan lelaki itu. Lelaki jelmaan Ardi yang bertahun-tahun kemudian bertumbuh sangat persis dengan Ardi. Wajahnya, tutur katanya, perhatiannya, dan juga kesenangannya memandang tahi lalat di dagu kirinya.

Semua kembali sempurna, walau tanpa Ardi. Tapi, tidak semenjak wanita itu mulai mencoba memasuki kehidupan mereka. Wanita bermata segaris itu hadir sekitar tiga tahun yang lalu. Mencoba untuk beradaptasi dengan kehidupannya sekeluarga. Awalnya, dia memang tidak terlalu memedulikan selayaknya banyak wanita sebelumnya yang pernah dibawa ke rumah ini untuk dikenalkan kepada mereka. Tak pernah ada yang serius sehingga mereka pun tidak perlu menanggapinya dengan serius.

Namun, ternyata perhitungannya selama ini salah. Perhitungan wanita bertahi lalat di dagu kiri itu, tepatnya. Dia benar-benar tidak hanya mengenalkan wanita itu, tetapi mereka berniat untuk menuju ke tahap yang lebih serius. Dan keseriusan itu yang kemudian memantik api cemburu dalam hati wanita bertahi lalat di dagu kiri itu.

Entah mengapa, dia merasa kehilangan banyak perhatian karena wanita bermata segaris itu telah merebut  sosok lelaki itu darinya. Lelaki yang selama ini menjadi cinta yang meluap-luap memenuhi hatinya. Lelaki yang tidak pernah alpa menanyakan apakah   sudah sarapn atau belum. Dia yang selalu saja menjadi segenap rindu pada semesta doa panjang separuh malamnya. Lelaki yang selalu saja tak pernah letih memberinya kasih sayang dan segenap binar pada matanya. Mata yang sepanjang hidupnya selalu mampu menerbitkan kasih tak berkesudahan. Dia yang...., wanita bertahi lalat di dagu itu kembali memejamkan mata, ada segenap perih menggenapi pelupuk matanya.

 Dia tahu, wanita itu sebenarnya tidak pernah berniat merebut siapa pun. Kehadiran wanita itu adalah suatu yang alamiah harus terjadi dalam proses hidupnya. Semua memang harusnya terasa wajar. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa segalanya berubah sejak kehadiran wanita itu. Tak ada lagi cinta yang penuh. Tak ada perhatian utuh yang ditujukan untuknya. Segalanya sudah tak lagi sama dan itu semua karena kehadiran wanita itu.
 
SELASAR KLINIK terlihat sepi. Hanya satu orang perawat yang terlihat bergegas menuju salah satu ruangan. Klinik ini memang tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari dua puluh ruang dengan fasilitas lumayan mewah.

Wanita bertahi lalat di dagu kiri itu pelan menyusuri selasar. Sesekali tangannya mengusap ekor matanya. Perawat yang barusan dilihatnya melempar senyum. Namun, pelupuk matanya agak terkaburkan oleh air mata.

Sesaat dia berhenti. Di ujung selasar matanya menangkap satu sosok. Seorang wanita muda, tengah menyusut air mata. Wanita itu terpana. Dia kemudian berbalik, berusaha pergi.
“Ibu!”
Sebuah panggilan menghentikan langkahnya. Dia tahu bahwa itu adalah suara wanita bermata segaris itu, di ujung selasar.
“Ibu!” ulangnya kemudian “Bukankah rasanya indah kalau Ibu akan mempunyai satu anak wanita lagi? Tidak akan ada yang berubah, kita akan bersama-sama dan meraih kebahagiaan yang sama.”

Wanita bertahi lalat di dagu itu tertegun. Ada yang mencoba kembali berebutan luruh di sudut matanya. Dia terpejam. Satu per satu adegan berlintasan di pikirannya. Wajah Ardi, suaminya. Wajah Indra, anak laki-laki satu-satunya di antara dua saudara wanitanya yang lain. Tahun demi tahun kebahagiaan melihat Indra bertumbuh sangat mirip dengan Ardi, ayahnya. Indra memang sangat mirip dengan ayahnya. Tetapi, Indra bukan Ardi. Dia berhak atas kebahagiaannya sendiri.

Wanita dengan tahi lalat di dagu kiri itu kemudian berbalik, menatap wanita muda di depannya, di ujung selasar.
“Kamu tidak jadi pulang? Maksudku di mana, Arya?”
“Saya menyuruhnya pulang. Saya mengkhawatirkan kondisi Indra.”
“Apakah kamu mencintai Indra?”
Wanita bermata segaris itu, di ujung selasar, mengangguk pasti.
Wanita bertahi lalat di dagu kiri itu merentangkan tangannya.
Angin bertiup samar, membawa aroma malam yang terus menua. (f)
 
 ***

Ratih Ayuningrum


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?