Fiction
Cerpen : Yustina

9 Dec 2018


Sang Ibu tidak habis mengerti kenapa Yustina, anak perempuan satu-       
satunya, yang dilimpahi  harta, memaksa untuk bekerja.

 
“Mengapa Anda ingin bekerja?”
           
Yustina mengira telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terdahulu dengan baik. Kedua pejabat Kedutaan RI di hadapannya tampak jelas berpengalaman. Usia mereka  pasti jauh di atas umur Yustina sendiri. Yang seorang wanita, lainnya pria, keduanya tenang dan tidak memburu atau mendesak. Tetapi kalimat paling akhir itu agak mengejutkan Yustina.
           
“Saya ingin mandiri dalam hal keuangan,” sahutnya. Lalu terpikir mungkin orang tidak akan mempercayainya bila ketahuan siapa ayah-ibunya. Cepat dia menambahkan,” lagi pula anak saya sudah besar. Waktu pendaftaran sekolah nanti dia cukup umur untuk masuk TK.”
           
“TK hanya setengah hari,” kata pejabat wanita itu. Mungkin dia juga seorang ibu,” Bagaimana Anda akan mengatur waktu?”
           
“Di surat lamaran saya sebutkan bahwa untuk sementara, saya memohon pekerjaan paruh waktu. Misalnya dari pagi sampai pukul satu siang. Kebetulan tetangga saya juga mempunyai anak yang akan masuk TK. Dia sanggup menjaga anak saya sampai saya pulang.”
           
“Oh, bagus kalau begitu.”
           
Kemudian Yustina dipersilakan menunggu di luar. Tidak mencapai sepuluh menit, dia dipanggil kembali. Dia sudah menduga akan dites menggunakan komputer.Untunglah kadangkala dia berkesempatan ‘bermain-main’ dengan komputer suaminya untuk mengirim E-mail atau membantu menuliskan terjemahan surat dalam bahasa Inggris buat kantor suaminya. Dia sarjana di bidang bahasa asing itu.
           
Beberapa saat berlalu, lembaran contoh kemampuannya diperiksa. Selesai. Dia dipersilakan pulang, kedutaan akan memberi kabar mengenai keputusan mereka.
           
Ayah Yustina sudah pensiun sejak lama, dengan tabungan di bank-bank Tokyo, Jerman, Swis, dan beberapa lainnya di Asia Tenggara. Sehubungan dengan penyakitnya kolesterol dan darah tinggi, dokter menyarankan agar lelaki itu tidak bepergian terlalu jauh sehingga kelelahan.
           
“Kalau tidak periksa kesehatan di Jakarta, ya, ke Singapura atau Australia. Itu paling aman. Dekat. Banyaklah jalan kaki. Ciputat bagus. Periksalah kebun-kebun buah Anda sesering mungkin sekalian olahraga,” begitu nasihat dokter keluarga.
           
Bapak itu adalah orang yang di dunia Barat bisa disebut gold finger. Apa pun yang dia sentuh bisa menghasilkan uang. Seluruh umur kariernya sebagai pejabat di luar negeri, tidak satu kali pun dia menyeleweng dari garis kejujuran. Ketika  kembali paling akhir ke tanah air sebagai pejabar RI, seseorang menawarkan tanah. Karena kasihan, dia membelinya. Disusul saudara pembantunya yang terdesak memerlukan uang, menjual tanah. Bapak Yustina juga membelinya. Begitu seterusnya, sampai-sampai saudara atau ayahpembantu tetangga sekali pun mendatangi rumah Yustina karena mendengar bahwa si Bapak bisa ‘menolong’ membeli tanah, kebun, sawah mereka yang tinggal di tempat-tempat pinggiran Jakarta, Bogor serta berbagai kota kecil dengan pendahuluan nama Ci.
           
Tidak pernah diperhitungkan kepentingan lokasi, Ayah Yustina membeli dan terus saja membeli jika ditawari dan dia menyukainya. Tanpa menunggu lima tahun, menyusul sepuluh tahun, harga tanah yang telah pindah ke tangannya itu belripat ganda hingga ratusan, bahkan ribuan persen. Kota mendesak daerah pinggiran, terus masuk ke pedalaman sehingga tidak ada lagi yang menjadi tepiannya.
           
Si bapak menyisakan cukup banyak untuk dirinya dan empat anaknya.

Hanya Yustina yang perempuan. Hanya Yustina yang bertahun-tahun bertenger di suatu  universitas tanpa ketahuan kapan akan selesai. Sampai pada suatu saat ibunya memutuskan akan menuliskan skripsi anak itu. Tetapi dia sudah terlalu lama meninggalkan kuliahnya sendiri. Dia tidak pernah menginjak tahun ketiga karena memang kuliah dia anggap sebagai batu loncatan untuk mencari suami.

Barulah si ibu itu menyadari bahwa berbicara dan membaca bahasa Inggris dengan lancar bukan berarti gampang menulis skripsi. Padahal buku bacaan menumpuk di kamar-kamar empat atau lima rumahnya di Menteng, Kebayoran, atau Parung.
           
“Yustina tentu lulus. Tulis skripsi orek-orekan saja! Itu hanya sebagai syarat. Asal ada kertas kerjanya, bagaimanapun bentuknya, pasti lulus!” begitulah kata kawan-kawan dosen yang dekat dengan keluarga miliarder itu.
           
Keputusan lain pun menyusul, harus ditemukan orang lain yang mau menuliskan skripsi. Tidak mudah, tetapi ada. Di Indonesia masih banyak orang pandai namun kekurangan biaya hidup. Dan akhirnya Yustina mendapatkan gelar DRA-nya. Bukan hanya hadiah berupa barang yang dia terima.

Dia juga dibawa berjalan-jalan ke setengah lingkaran bumi oleh ibunya. Nomor satu adalah Jepang, karena Yustina lahir di sana. Perjalanan diteruskan ke Eropa. Di setiap tempat yang dituju, kedutaan menyediakan tenaga khusus sebagai pengantar dan mengurusi segalanya.
 


Topic

#fiksi, #cerpen, #NHDini

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?