Fiction
Cerpen: Tabe’

9 Jul 2017


 
“Bungkukkan tubuhmu, Nak. Jalan merunduk. Julurkan satu tanganmu lurus ke bawah dengan jari-jari terbuka rapat. Ucapkan tabe’, minta permisi  tiap kali lewat di depan orang. Anggap siapa pun itu puang. Terutama orang yang duduk bersila itu. Merendahkan badan tak membuatmu lebih rendah. Justru sebaliknya, akan kau tunjukkan kau lebih bangsawan daripada bangsawan itu sendiri. Lebih Andi!”

Andi Tenri Punna Gau menatap anaknya bangga, untuk pertama kali datang berkunjung bersama,  pulang kampung halaman di tanah Bugis yang bermarwah itu. Kejadian masa silam sudah berumur, mengental lumut dalam kenangan. Meredam dendam yang pendam setelah sekian lama menggerogoti ingatan.

“Kalian sudah lancang silariang dan berani kembali tanpa pikir panjang!” amuk ayahnya.

Dahulu dikepung kerabat, saudara, tumpah ruah orang di pekarangan yang sama, suaminya mati ditikam badik ayahnya sendiri. Tatkala dia dan suaminya kembali mengakui kesalahan, telah silariang. Hendak menebusnya dengan meminta maaf; dikejar sesal tiada terkira. Namun berharap terlalu pagi, maut langsung sudi menemui.

Badik telanjur terhunus pantang pulang bersarung tanpa berdarah. Sekali tikam, tepat di leher, ditancap lalu diputar kemudian dientak keluar. Dibuat kaget, nyawa lenyap sekejap tanpa erang; hilang pekik. Bersimbah dan memercik, tanah meresap darah. Jasad tumbang.

Kalau bukan karena Amma’ yang meraung mau gila di tangga, barangkali dia pun tewas. Andi Tenri Punna Gau hanya berujar meminta belas kasihan, “Jika Etta’ punya pesse’ bukan hanya siri’, maka izinkan saya pergi terusir. Saya mengandung Etta’. Anak ini tak punya kewajiban menanggung dosa orang tuanya, tak layak dibunuh.”

Sekarang ia pemuda. Puteraku. Batin wanita yang pernah bangsawan itu seraya memandang rumah panggung megah yang berpekarangan permai. Di luar, seolah tampak sunyi bagai tanpa penghuni dan masih seperti dulu: anggun dan angkuh. Andi Tenri Punna Gau tahu ada sepi yang ramai karena dia tak disambut. Di atas–dalam sana dia yakin orang-orang berkerumun, bergerimit suara-suara. Barangkali beberapa mengintip di celah dinding papan yang belum lapuk, melihatnya tiba. Pintu kayak sengaja dikuak, terbuka gelap bak ruang yang menunggu.

Hari memang di ujung sore, remang magrib hendak bertandang. Senja menua sumir. Begitu lamur.
Meski ada listrik, kelihatan api di lampu minyak saja yang dinyalakan, bayang-bayang sayup. Tak ingin benderang sebelum terang maksud kepulangan. Betul-betul tak ada siapa yang keluar dari rumah itu sekadar mengajak masuk orang yang telah lama dihapus dari garis keluarga. Padahal, dia sudah mengabarkan kepulangan jauh-jauh hari sebagai angin lalu. Laiknya tamu tak diundang mengetuk keharibaan rindu. Masih adakah itu?

Etta’mu masuk penjara karena kau,” bertubi-tubi sebab ditimpakan padanya.
“Tak kan begini jadinya bila kau tetap di belakang rumah.”
“Bukankah buat kita, ruang dan waktu berkebalikan, Amma’?”

Bagi orang Bugis, di belakang bisa berarti masa depan, di belakang hari, hari kemudian setelah ini. Di depan dapat bermakna dulu, waktu yang pernah datang. Itu sebabnya kejayaan masa lampau masih diagung dan digaungkan hingga kini. Sejarah masih kentara. Sekarang kita apa? Pikir Andi Tenri Punna Gau menerobos. *
“Kau anak perempuanku yang terlalu pintar!”

“Setidaknya ada yang saya perjuangkan, Amma’, walau membuatku tak bernasib baik.”
“Cinta membuatmu tidak mau mendengar, Tenri.”
“Kelirukah itu, Amma’? Bila kemauan hati kupilih.”
“Memperturutkan hati banyak hal yang kau tentang.”
 


Topic

#fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?