Fiction
Cerber: Tarian Terakhir [3]

7 May 2017

 
Bagian 3 (tamat)
Kisah sebelumnya
Marauleng, wanita asal Bugis yang berbakat menari sejak kecil, harus melepaskan cita-cita menjadi penari pakarena saat menikah. Bombang, suaminya, menginginkan Marauleng mengurus anaknya, Sanna. Berbagai ketidakpuasan itu yang membuat perkawinannya retak. Marauleng bahkan tak bisa merasa sedih ketika Bombang meninggal. Di satu sisi, Sanna selalu ingin tahu penyebab perpecahan perkawinan orang tuanya.
 
 
Marauleng, Surabaya, Agustus 2010
Tak sampai seminggu setelah pemakaman Bombang, kehidupanku kembali normal. Jumlah tamu yang datang menyampaikan belasungkawa makin sedikit, hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Rumahku kembali sepi. Tak mengapa, toh sebagian besar dari mereka sama sekali tak kukenal.
Lagi pula, menemui para pelayat ternyata melelahkan. Aku gagal memasang wajah sedih, dan aku tak tahu mesti bicara apa tentang Bombang. Sejak Bombang pergi, kami hanya bertemu saat dia mengantar dan menjemput Sanna. Sesekali kami berdiskusi mengenai kepentingan Sanna melalui SMS. Bagiku, Bombang tak lebih dari orang asing.
Sebelum kembali ke Semarang, Sanna meninggalkan sesuatu di atas meja. Selembar kertas yang menyebutkan bahwa sebagian warisan ambo-nya kini menjadi milikku. Aku merasakan campuran terkejut dan lega. Aku tidak pernah menyangka dia akan melakukan itu.
Kurasa dia sengaja meletakkan kertas itu di meja, sehingga dia tidak perlu menjelaskan apa-apa. Maka aku mencoba menerjemahkannya sendiri. Kuanggap itu sebagai salam perpisahan. Dia menjamin agar aku tidak kekurangan hingga aku mati nanti. Kini, setelah ambo-nya tidak ada, dia tidak punya alasan untuk berhubungan denganku.
Ternyata aku salah. Dia datang suatu hari. Duduk di hadapanku, dengan terpisah sebuah meja kecil, dia bercerita tentang kehidupan barunya dan menanyai kabarku. Canggung memang, tapi kami berhasil melaluinya dengan baik.
Lalu dia datang lagi untuk kedua kalinya. Waktu itu dia menerima tawaranku untuk menginap di rumah. Saat itulah aku sadar bahwa dia bukan lagi anak kecil yang bergantung padaku. Dia bisa datang dan pergi kapan saja dia mau. Dia tidak akan membuatku mengorbankan apa pun.  Dia tak akan mengambil apa-apa dariku.
Tiba-tiba saja apa yang terjadi di masa lalu tak lagi penting buatku. Kini kami adalah dua wanita dewasa. Hubungan kami adalah hasil dari sebuah keputusan, bukan karena takdir yang digariskan. Mulai sekarang, kami menulis kisah kami sendiri. Sebuah kisah yang baru.
Aku memang tidak bisa mencintainya seperti yang diminta ambo-nya, tapi aku melakukan tugasku membesarkannya. Kuharap setidaknya dia mengingat itu. Hubungan kami akur. Kami bersikap sopan satu sama lain. Seperti sepasang teman yang cukup dekat, bukan seperti ibu dan anak. Kami saling menjabat tangan dan mencium pipi, bukan menyatu dalam pelukan spontan yang hangat. Aku tidak akan mengeluh. Ini adalah pilihan terbaik bagi kami, karena kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya adalah mustahil.
 
Sanna, Surabaya, Juli 2012
Beberapa minggu setelah kelulusanku, aku mendapat tawaran pekerjaan di Jakarta. Kota itu sama sekali bukan kota impianku. Selain terlalu jauh dari Surabaya, Jakarta terlalu bising untukku. Sampai kemudian aku membaca lembar job description pada saat wawancara. Aku tahu, aku harus mendapatkan pekerjaan ini.
Yang menghubungiku adalah sebuah NGO yang bergerak di bidang pelestarian kehidupan bawah laut. Aku direkrut sebagai petugas lapangan. Artinya, aku akan sering pergi ke laut. Ini adalah murni keberuntungan. Tidak semua teman seangkatanku mendapatkannya. Aku bisa terus berdekatan dengan laut, menerapkan ilmu yang kudapat, dan akan digaji tinggi untuk itu.
Mel, seorang rekan kerja yang kemudian tahu bahwa aku adalah keturunan Bugis, berkomentar mengenai kentalnya pengaruh budaya dalam diri seseorang.
“Ya, contohnya kamu. Sampai sekarang kamu tidak bisa berpisah dari laut, ‘kan?”
Aku tersenyum. Mel memang hobi menganalisis segala sesuatu. Meski tak pernah terpikirkan olehku, mungkin saja teorinya benar. Selain makanan dan bahasa yang kukenal di rumah, aku nyaris tidak memiliki hubungan apapun dengan budaya asalku. Waktu kecil, aku pernah beberapa kali berbicara dengan keluarga Indo di telepon. Namun, aku tak pernah punya kesempatan untuk mengenal mereka lebih jauh lagi.
Sebenarnya aku punya cerita sendiri di balik ikatanku dengan air. Ketika hidup menjadi terlalu berat untuk dijalani, air menjadi suaka bagiku. Pada kedalaman tertentu, ia membebaskanku dari kerumitan dunia. Yang ada hanya sunyi. Tekanannya menjelma jadi sebuah pelukan tak bersyarat. Laut akhirnya menjadi pilihanku ketika keramik kolam renang saja mulai terasa membosankan.
Berbeda dengan cerita filosofisku, alasan Kris sangat praktis. Ia tinggal dekat dengan laut. Secara natural, laut menjadi rumah keduanya. Aku pertama kali bertemu dengannya di Gili Asahan akhir tahun lalu. Ia sedang berbaring tanpa alas di tepi pantai, begitu bebas dan tidak berbeban. Pasir yang menempel di rambutnya nyaris tak terlihat, karena warna keduanya serupa.
Kris adalah seorang fotografer bawah laut yang juga tinggal di Jakarta. Ia orang yang sangat menyenangkan. Jadi setelah liburan, kami masih sering menghabiskan waktu bersama di Jakarta. Suatu sore, ketika sedang menikmati matahari menghilang, kami berciuman. Aku beringsut mundur dengan perasaan campur aduk, tak bisa mengingkari bahwa aku menikmati ciuman tadi. Di tengah situasi canggung itu, Kris tersenyum penuh pengertian. “Aku pun butuh bertahun-tahun untuk menemukan keyakinanku,” ujarnya lembut.
Setelahnya, aku berhenti menghubungi Kris. Sebuah badai kasat mata memporakporandakan hidupku. Rutinitasku buyar, pekerjaanku terbengkalai, dan tiba-tiba saja aku kerap merasakan perihnya sakit maag. Aku ingin berbicara dengan seseorang, tapi tak tahu dengan siapa. Aku hanya bisa berharap kejadian ini berlalu dengan sendirinya. Seperti riak yang tercipta di atas air ketika seseorang melempar batu. Melebar, membesar, akhirnya hilang sama sekali. Alih-alih, kebenaran itu datang perlahan. Seperti sesuatu yang melayang kesana kemari di dalam air, kemudian tenggelam dengan lambat. Tersembunyi, tapi tidak tergugat eksistensinya. Ia memang ada. Meskipun aku mengingkarinya.
Aku membuat kesalahan dengan memilih Andaru. Kupikir ia bisa memberikan apa yang tidak kudapat di rumah. Ternyata ia hanya berniat memanfaatkan aku. Kemudian aku berpacaran dengan Tomy, teman kuliahku. Ketika hubungan kami juga berakhir, aku mulai berpikir ada sesuatu yang salah. Mungkin dia yang kurang dewasa. Atau mungkin aku yang belum siap mempercayai cinta.
Aku berharap Kris berakhir seperti mereka berdua. Menjadi sebuah kesalahan yang suatu saat akan kulupakan. Tapi aku tidak berhasil mengenyahkannya dari pikiranku. Kris memang berbeda. Ia menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki yang lain. Ia menawarkan harapan.
Aku tidak tahan lagi. Kuputuskan untuk bertemu dengan Kris. Dengan membawa sekotak cokelat, ia berbicara denganku seolah tidak ada jeda dua bulan yang hening di antara kami. Aku menggigit sebuah cokelat dan memicing ketika mendapati isinya mint. Aku benci mint. Kris tertawa melihatku.
“Life is like a box of chocolate, ja?” ujarnya sambil mengangsurkan segelas air.
“Tapi andaikan aku bisa memilih, aku akan tetap memilih menjadi diriku yang sekarang,” sambungnya.
Aku menatapnya dan menemukan kedamaian di sana. Kuharap suatu saat nanti aku juga bisa berdamai dengan diriku sendiri.
“Tinggalah bersamaku,” pintanya.
Aku mengangguk begitu saja.
Dalam pelukan Kris, aku tidak bisa berhenti menduga-duga. Apa analisis Mel tentang hal ini.
 
Marauleng, Surabaya, Desember 2013
 Setelah aku meniup lilin berbentuk angka 47 itu, Sanna memelukku. Sedetik kemudian aku sadar bahwa aku seharusnya juga mengalungkan lenganku ke tubuhnya. Aku masih belum terbiasa dengan tingkahnya akhir-akhir ini. Jika dia adalah pasanganku, aku bisa-bisa berpikir bahwa dia sedang berusaha menutupi perselingkuhannya.
“Hmmm…enak,” ucapnya dengan mulut penuh cheese cake.
Pelayan kafe meletakkan sebuah cangkir putih di hadapan Sanna. Bau asam dari kopi Arabika Toraja itu mampir ke hidungku, diam-diam menyisipkan ingatan akan Bombang. Bagaimana keduanya bisa suka minuman semacam itu, aku tidak pernah paham. Bagiku secangkir teh tidak bisa digantikan oleh apapun.
“Bagaimana kelas Indo?” tanya Sanna tiba-tiba.
“Sangat menghibur,” jawabku. “Senang rasanya melihat wajah-wajah asing menarikan pakarena.”
Pada pertengahan tahun lalu, aku akhirnya memiliki sebuah pekerjaan. Semua berawal dari datangnya keluarga Perancis yang menjadi tetangga baruku. Anak bungsu mereka yang bernama Anne sering mengintipku berkebun dari balik tembok rumahnya. Tak butuh waktu lama hingga Anne berani masuk ke rumah. Kesepian rupanya bisa dipahami siapa saja. Aku berteman dengan Anne, meski kami tak mengerti bahasa satu sama lain.
Suatu hari, Anne yang masih berusia lima tahun memamerkan gerakan balet padaku. Aku pun memamerkan sepotong tarian pakarena padanya. Besoknya, Ibu Anne datang ke rumah. Dengan Bahasa Indonesia patah-patah, Madame Giraud menjelaskan bahwa sekolah anak sulungnya sedang mencari seorang guru tari tradisional. Singkat cerita, kini dua kali dalam seminggu aku mengajar tari di sekolah internasional.
Aku menyendok sesuap cheese cake. Sanna benar. Rasanya enak sekali. Di atas kami, lampu-lampu kafe mulai menyala, menampakkan interior lawas di dalamnya. Saklar yang sama sepertinya juga menyalakan kenangan masa lalu. Dulu keluarga kami sering datang ke sini. Bombang jelas datang untuk kopinya. Sementara Sanna selalu tak sabar ingin bermain di pekarangan kafe yang luas dan rindang. Aku sendiri datang untuk menemui Martha.
Martha adalah perempuan Toraja yang juga pindah ke Jawa. Dia menemani suaminya membuka kafe ini. Bahasa ibu kami tak sepenuhnya sama, tapi tempat asal kami hanya berjarak kurang dari dua jam. Di teras rumah Martha, yang berada persis di belakang kafe, kami bercerita tentang rindu akan tanah kelahiran.
Pertemanan kami akhirnya kalah ketika berlomba dengan waktu. Martha meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, Bombang meninggalkanku. Kami pun tak lagi datang ke Kopi Martha. 
Aku menoleh ke arah Sanna. Rupanya dia sedang mengawasiku. Entah sejak kapan. Mulutnya bergerak hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia mengurungkan niatnya.  Aku memperhatikannya dengan lebih saksama. Sejak kapan dia mulai berdandan?
“Mau pulang sekarang, Indo?” tawarnya.
            Aku mengangguk. Dia menenggak habis kopinya sebelum berjalan menuju meja kasir. Aku memang bukan ibu terbaik di dunia, tapi aku tahu Sanna hendak mengatakan sesuatu yang penting. Perayaan ulang tahun bukanlah alasan yang kuat untuk membawaku ke tempat penuh kenangan ini. Telepon saja biasanya cukup.
Aku ingin bertanya ada apa. Mengapa dia terlihat menjaga jarak dan berhati-hati?Apa yang harus dia sembunyikandariku? Mungkin dia belum siap. Mungkin dia butuh lebih banyak waktu untuk memercayaiku.Jadi kuputuskan untuk menunggu.
 
Sanna, Jakarta, Desember 2013
            Aku tidak perlu mengatakan apa-apa. Ketika Kris melihat wajahku, ia langsung tahu apa yang terjadi.
            “Aku tidak sanggup,” ucapku.
“Dan aku masih berusaha mengerti,” jawab Kris singkat.
Aku sudah didera perasaan bersalah sejak pulang dari Surabaya. Kalimatnya barusan hanya membuatku merasa lebih buruk lagi. Aku perlu berbicara dengan seseorang. Seseorang selain Kris. Seseorang yang akan mendengarkan dan memahami.
Maka, sebelum kembali ke Jakarta, aku menyempatkan pergi ke makam Ambo. Kuceritakan semua padanya. Tanpa ada yang kusembunyikan sedikit pun. Setelahnya, aku tertawa terbahak-bahak. Perlahan,derai tawaku berubah jadi tangis. Seperti biasa, Ambo tidak mengatakan apa-apa.
Juru kunci yang sedari tadi menungguku di bawah sebuah pohon besar beringsut mundur. Mungkin ia berpikir aku gila. Meninggalkanku rasanya lebih masuk akal daripada bersikeras menunggu sejumlah rupiah.
Sekarang aku tahu apa yang dirasakan Ambo. Ia bahagia dengan mencintai dua perempuan sekaligus. Aku dan Indo. Namun semesta selalu haus drama. Ia tak pernah puas melihat segala sesuatu berjalan dengan sempurna. Mencintai dua orang adalah anomali. Maka, Ambo pun terpaksa harus memilih satu.
Aku mencintai Indo dan Kris. Aku ingin bersama keduanya sampai aku mati nanti. Bisakah semesta mengizinkannya? Kali ini saja?
 
Sanna, Jakarta, Agustus 2014
Kami sedang berbicara tentang bagaimana cuaca yang tak menentu memengaruhi pekerjaan kami. Semuanya baik-baik saja. sampai kemudian Kris bertanya,
“Jadi kapan kamu akan melakukannya?”
Malam ini harusnya menyenangkan. Aku tidak tahu kenapa ia harus merusaknya dengan question of the year itu.
“Secepatnya,” jawabku. Apple tart di piringku tak lagi terlihat mengundang.
Same old song,” komentarnya pendek sebelum menyesap red wine-nya.
Terkadang Kris bisa benar-benar menjengkelkan seperti ini. Aku meletakkan garpu dan bersidekap.
“Memangnya kenapa sih kamu begitu terburu-buru?” tanyaku sengit. “Kamu mau cepat-cepat punya anak?”
Aku langsung menyesal begitu pertanyaan terakhir terlontar. Aku sungguh-sungguh mencintai Kris. Harusnya ia tahu itu. Aku tetap mencintainya meski kami tak memiliki kesamaan apapun selain kekaguman pada laut. Kris adalah orang yang mengekspresikan perasaannya kapan saja dan di mana saja. Di tahun pertama kami, nyaris tiada hari lewat tanpa perselisihan. Bersamanya, aku seperti melihat tayangan tanpa sensor, non stop. Dan itu membuatku sangat tidak nyaman. Sebaliknya, ia juga terganggu dengan kebiasaanku memendam perasaan. Menerjemahkan diamku sering membuatnya stres.
Menginjak tahun kedua kupikir hubungan kami akan memasuki masa tenang. Ternyata ia mulai menyinggung soal pernikahan, hal terakhir yang kuanggap sebagai sebuah pernyataan cinta. Ia tahu pasti bahwa kami tidak bisa menikah di Indonesia. Maka ia mengusulkan agar kami menikah di negara asalnya. Belanda.
Berulang kali aku menjelaskan bahwa itu bukan satu-satunya alasanku menunda pernikahan. Setelah apa yang terjadi pada orang tuaku, aku harus bekerja keras menulis ulang definisi pernikahan secara positif. Namun, ada satu hal yang menjadi alasan utamaku, dan Kris tahu itu. Aku belum pernah memberi tahu Indo tentang Kris. Itulah yang selalu menyulut pertengkaran di antara kami. Seperti malam ini.
Kris menatapku tajam. Aku tahu aku telah menyinggung perasaannya. Aku baru saja akan meminta maaf ketika terdengar suara ketukan.
Aku membuka pintu dan menemukan Indo berdiri di sana.
“Indo?”
Ada sesuatu yang salah pada nada bicaraku. Itu bukan campuran terkejut dan senang. Itu adalah campuran sesuatu yang lain. Tapi, sepotong kata tadi telanjur terucap dan tak bisa kutarik kembali. Aku memang memberi alamat tinggalku yang baru pada Indo. Tapi aku tidak pernah menyangka, Indo akan datang kemari. Sendiri, dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Kris berjalan mendekati kami. Ia sudah berkali-kali melihat foto Indo. Jadi ia tahu persis siapa wanita yang ada di depanku. Dengan senyum lebar, Kris mengulurkan tangannya,
“Halo, saya Kristien. Saya tinggal bersama Sanna.”
Jantungku melupakan ritme detak biasanya ketika Indo mengamati Kristien beberapa saat. Meski berambut pendek, bertubuh tegap serta memakai kemeja dan jins, Kristien tetap terlihat cantik. Keheningan yang menyiksa itu berakhir ketika Indo menyambut tangan Kristien dan berkata, “Marauleng.”
“Ada apa, Indo?” tanyaku sambil mengajak Indo masuk.
“Tidak boleh mi Indo datang tanpa alasan?” Indo bertanya balik.
Aku tidak menjawab. Aku mengikuti mata Indo yang melirik ke arah meja makan kecil kami. Lilin dan bunga ada di atasnya. Keringat dingin menjalari punggungku.
“Kebetulan sekali,” Kristien memecah keheningan. “Ini hari ulang tahun saya. Mari ikut makan.”
Bukannya menjawab tawaran Kristien, Indo malah menatapku. Saat itulah aku tahu bahwa Indo tahu siapa Kristien.
Ia beranjak berdiri.
“Sudah jelas tidak ada tempat buat Indo menginap di sini,” ucapnya datar.
Wajahku memerah. Apartemen berukuran studio yang kutempati bersama Kristien seketika menjadi bukti yang makin memberatkan.
“Indo,” aku berusaha menahannya. Namun, aku tak tahu harus berkata apa.
            Indo berbalik. Wajahnya dingin. Sedingin masa lalu. Seolah tidak ada tahun-tahun menyenangkan yang kami lewati bersama.
“Kamu harus pilih, Sanna. Indo, atau dia.”
Dalam waktu singkat, perasaan bersalahku berubah menjadi amarah. Besar dan gelap seperti awan yang berat oleh muatan listrik dan siap memuntahkan petir. Kalimat Indo barusan menyeretku pada suatu hari di mana ia memaksa Ambo membuat pilihan yang sama. Keegoisan dan arogansi Indo begitu memuakkan. Kenapa ia selalu membuat orang lain memilih? Kenapa ia harus menyakiti atas nama cinta? Sekali lagi ia menempatkan dirinya lebih tinggi dari orang lain. Bibirku bergetar menahan kecewa yang berdesakan di ujung lidah.
            Aku mematung dan memandangi punggung Indo menjauh. Ketika tangan Kristien membalut tanganku yang erat mencengkeram gagang pintu, aku terkesiap. Tanganku terasa dingin sekali.
 
Marauleng, Jakarta, Agustus 2014
            Harusnya kedatanganku menjadi kejutan yang menyenangkan. Sanna sudah beberapa kali memintaku mengunjunginya di Jakarta. Namun jadwal kami tak pernah cocok. Minggu lalu, penanggung jawab ekstrakurikuler memanggilku ke ruangannya. Kepala sekolah mereka yang baru memutuskan untuk meniadakan ekstrakurikuler tari tradisional. Dia tidak pernah menjelaskan alasannya.
Kemarin sore, aku menarikan tarian terakhirku bersama murid-muridku. Meski baru berjalan dua tahun, aku merasa kehilangan. Kehilangan sesuatu yang membuat hidupku lebih berarti. Juga kehilangan wajah-wajah yang selalu menungguku dengan antusias. Namun aku berusaha menghibur diri. Sekarang aku bisa mengunjungi Sanna kapan saja. Kuputuskan untuk mengunjunginya hari ini. Kedatanganku sukses menjadi kejutan. Meski ini bukanlah kejutan yang kurencanakan.

Aku melarang diriku berpikir. Jangan sekarang. Jangan di sini! Namun, di  tiap tangga turun yang kulewati, aku terus berusaha menelaah apa yang terjadi. Bagaimana bisa? Kenapa aku tidak pernah menduga hal ini sebelumnya? Berapa lama dia menyembunyikan ini dariku? Aku harap  Sanna mempertimbangkan permintaanku. Dia harus mengakhiri semuanya. Jika tidak, bagaimana dia akan menjalani sisa hidupnya? Bagaimana dia bisa menghadapi tatapan orang-orang di sekitarnya?
Sesuatu muncul begitu saja di kepalaku, membuat langkahku terhenti sesaat. Apakah aku turut bersalah? Apakah aku yang menjadikan putriku seperti ini?

Tiba-tiba duniaku berputar, jungkir balik. Aku merasakan panas menyengat bagian belakang kepalaku. Pandanganku hanya berisi bintik-bintik putih keabu-abuan. Denging nyaring memenuhi kedua telingaku. Aku berusaha untuk bangun, tapi menggerakkan jari pun aku tak bisa. Aku mencoba meneriakkan kata tolong. Namun, suaraku entah hilang ke mana.
Sepotong ingatan samar-samar muncul sebelum semuanya menjadi gelap. Tadi, ada sepasang tangan yang mendorongku kuat-kuat.  (Tamat)
 
Baca juga:

Widjati Hartiningtyas

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?