Fiction
Cerber: Tarian Terakhir [2]

7 May 2017



 
Bagian 2
Kisah sebelumnya
Marauleng, wanita asal Bugis yang berbakat menari sejak kecil harus melepaskan cita-cita menjadi penari pakarena saat menikah. Bombang, suaminya, menginginkan Marauleng mengurus anaknya, Sanaa. Ketika Bombang dipindah ke Surabaya, impian Marauleng kian jauh. Berbagai ketidakpuasan itu yang membuat perkawinannya retak.
 
Sanna, Surabaya, Mei 1998
Jika tahu hal ini yang akan terjadi, aku pasti memaksa Ambo untuk mengambilkan Bubu untukku. Setidaknya, aku tidak akan kesepian. Kubuka tirai untuk kesekian kalinya. Masih belum ada juga tanda-tanda kedatangan Ambo. Padahal tadi ia bilang hanya akan pergi sebentar.
Ini adalah hari ketiga aku bolos sekolah. Ambo juga sudah tiga hari tidak bekerja. Ia hanya sesekali keluar untuk membeli sesuatu. Aku bertanya padanya kenapa kami mengurung diri di rumah. Ambo bilang saat ini sedang terjadi kerusuhan. Jadi sekolah dan kantor diliburkan sampai keadaan aman kembali.
Kerusuhanapa yang dimaksud Ambo? Situasi di luar terlihat baik-baik saja. Aku ingin jalan-jalan di sekitar apartemen kami, tapi Ambo melarangku keluar. Karena bosan menunggu, aku menyalakan televisi. Layar menunjukkan mobil dan gedung terbakar. Beberapa orang menangis histeris, sementara yang lain tampak marah. Pasukan polisi berjaga dengan tameng dan senjata. Aku tidak benar-benar paham apa yang sedang terjadi. Yang kutahu, perutku mulai terasa mulas.
Suara gagang pintu yang disentak keras membuatku terkejut. Ketika aku membuka pintu, Ambo langsung masuk dengan wajah khawatir.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyanya sambil memegang kedua bahuku.
Aku mengangguk.
“Kenapa mi tidak cepat buka pintu?”
Aku tidak menjawab. Mungkin tadi aku terlalu serius mendengarkan berita sehingga tidak mendengar suara ketukan.
“Ambo, Indo bagaimana?” Pertanyaan itu menyembur begitu saja.
Ambo melirik ke layar televisi yang masih menyala.
“Indo baik-baik saja,” jawabnya sambil mematikan televisi.
“Tapi tadi di teve…”
“Itu bukan di Surabaya,” potong Ambo cepat. “Jangan lihat berita lagi.”
Masih dengan wajah tegang, Ambo mengeluarkan bungkusan dari dalam tas plastik. “Ayo makan dulu. Mumpung hangat.”
Aku menatap nasi dan lauk di depanku. Sudah empat hari berturut-turut kami makan seperti ini. Rasanya tidak buruk. Hanya saja aku kangen masakan Indo yang disajikan di atas piring. Bukan dibungkus kertas cokelat seperti ini.
Aku mengigit ikan goreng yang keras sambil memikirkan indo. Kalau kerusuhan itu tidak terjadi di Surabaya, kenapa kantor dan sekolah kami diliburkan? Benarkah Indo baik-baik saja? Siapa yang akan menjaganya dari orang jahat?
Aku melihat Ambo yang duduk di hadapanku. Meski makan dengan lahap, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Kemudian aku melirik telepon genggam yang ada di atas meja. Kalau Ambo sudah tidur nanti malam, aku akan menelepon Indo. Semoga kali ini ia mau menjawab teleponku.
 
Marauleng, Surabaya, Mei 1999
Ketika Bombang dan Sanna pergi, aku bertingkah seperti orang kesurupan. Apapun yang menempel di tembok kuturunkan dan kujejalkan di gudang. Hiasan, foto, juga jam dinding. Barang-barang Bombang dan Sanna yang masih tertinggal, kubuang keluar. Ketika semuanya selesai, aku duduk dengan tubuh ngilu dan gemetaran. Saat itulah, di atas sofa, kulihat telepon genggamku berkedip tanpa suara.
Telepon dari Bombang berhenti sebelum sempat kujawab. Kucek teleponku. Ternyata ada 20 panggilan tak terjawab darinya. Aku baru ingat, beberapa hari sebelumnya aku memutuskan semua hubungan dengan dunia luar. Aku mencabut kabel televisi dan telepon, serta mematikan dering telepon genggam.
Telepon di sampingku berkedip lagi. Apa maunya orang itu?
“Halo,” sapaku ketus.
“Indo!” Sanna terdengar setengah berteriak. “Indo baik-baik saja?”
Aku diam tak menjawab, menahan sesuatu yang siap meledak. Diabahkan tidak punya keberanian untuk bertanya sendiri. Tanganku bergerak sebelum aku bisa berpikir. Telepon genggam berwarna hitam itu menghantam dinding dengan suara keras. Aku menangis lagi, entah untuk keberapa kalinya.
Tari pakarena sejatinya menunjukkan kelemahlembutan, kesetiaan dan pengabdian wanita pada pasangannya. Tak hanya gagal menarikannya di panggung, aku pun gagal menarikannya dalam kehidupanku. Ternyata aku tak mampu mencintai pasanganku tanpa syarat. Cepat-cepat kucuci wajahku yang basah oleh air mata. Kesedihan ini harus diakhiri sekarang. Aku tidak akan lagi menangisi yang sudah pergi
            Kemudian hari ini, setahun setelah kepergiannya, Bombang muncul di depan pintuku. Sanna berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah tas kecil. Dia kelihatan kurus dan tak terurus.
“Bisa kita bicara sebentar, Uleng?” tanya Bombang dengan suara lelah.
 
Sanna, Surabaya, Maret 2001
Ambo memberi tahu bahwa ia akan pergi ke Jakarta. Kali ini untuk waktu yang lebih lama. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku tidak mau ke tempat Indo,” ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang sedang kubaca. Padahal konsentrasiku sudah buyar sejak Ambo mengumumkan kepergiannya.
“Siapa mi yang nanti menjagamu?” tanya Ambo sambil memasukkan pakaiannya ke dalam tas.
“Aku bukan bayi. Aku bisa jaga diri sendiri.”
“Itu bukan pilihan, Sanna. Kamu harus pergi ke tempat Indo.”
“Cari pembantu saja lagi.”
Ambo menghela nafas panjang. Mungkin membayangkan tiga pembantu rumah tangga yang telah ia berhentikan. Tanpa perlu menoleh aku tahu kalau aku sudah merusak pagi harinya. Itu adalah rutinitas baruku setahun terakhir ini. Seharusnya Ambo tidak keberatan. Ia sendiri sudah memporakporandakan hidupku tiga tahun yang lalu.
“Ambo tidak percaya orang lain selain Indo untuk menjagamu.”
Skak mat!
Sebenarnya aku pun tidak nyaman ditinggal bersama orang asing. Aku hanya ingin menggiring Ambo pada pertanyaan berikutnya.
“Lalu kenapa aku ada di sini? Kenapa kita pergi?”
Kali ini lekat kutatap wajah Ambo. Aku ingin melihat ekspresinya ketika menjawab pertanyaanku. Aku terpaksa menelan kecewa ketika Ambo bungkam seperti biasa. Wajahnya hanya berbayang duka sesaat, kemudian ia kembali tak terbaca.
Kecewa itu dengan cepat berubah jadi amarah. Waktu ia mendekat untuk mencium kepalaku, aku menepisnya dan beranjak pergi. Dia harus tahu bahwa cinta saja tak lagi cukup bagiku. Aku butuh jawaban dari sekian pertanyaan yang menerorku siang malam, seperti suara musik sumbang yang tidak bisa kumatikan.
Mengapa Ambo meninggalkan Indo? Mengapa Indo tidak mencegah Ambo membawaku? Jika Ambo tak lagi mencintai Indo, mengapa ia masih bertanggung jawab atas hidup Indo sampai hari ini? Mengapa ia sering diam-diam melihat foto Indo? Apa salah Ambo hingga Indo begitu membencinya? Apakah aku bukan anak kandung Indo?
Aku tidak ingin menderita sendiri. Seseorang harus ikut menanggungnya bersamaku. Karena aku tak punya saudara kandung dan tidak mengenal satu pun keluarga orang tuaku, aku memilih Ambo. Lagipula, ia yang memutuskan pergi.
Tiga puluh menit kemudian kami sudah sampai di depan rumah Indo. Apartemen yang sudah tiga tahun kami tinggali, sebenarnya tidak terlalu jauh dari rumah Indo. Tetapi sejak kerusuhan pada Mei 1998, semua orang berlomba-lomba memasang portal dan gerbang di ujung setiap gang. Untuk tiba di rumah Indo, kami harus memutar lebih dahulu. Berjalan kaki dari apartemen ke sini sepertinya butuh waktu yang lebih singkat. Sayang, aku tidak pernah diizinkan pergi sendiri.
“Sanna!” panggil Ambo ketika aku melompat turun tanpa mengucapkan salam.
Alih-alih kembali ke dalam mobil, aku membunyikan bel di balik pintu pagar. Syukurlah Ambo memilih pergi. Akhirnya ia paham bahwa aku sedang tak ingin bicara dengannya.Tak lama kemudian, Indo keluar untuk membukakan pagar. Tak ada salam, pelukan atau ciuman. Ia hanya memberitahukan bahwa sarapan sudah siap. Aku mengucapkan terimakasih kemudian masuk ke kamarku. Itulah yang terjadi setiap kali aku dititipkan di rumah Indo.
Satu-satunya hal yang membuat tinggal bersama Indo lebih baik daripada tinggal dengan Ambo adalah privasi. Ambo terus-terusan memastikan bahwa aku baik-baik saja. Sungguh mengganggu, mengingat ia tahu pasti bahwa aku tidak baik-baik saja. Sebaliknya, Indo tidak pernah repot-repot memulai pembicaraan denganku. Semua percakapan kami singkat dan praktis. Sudah makan? Nanti pulang jam berapa? Indo harus keluar sebentar. Hari apa Ambo akan datang menjemput? Siapa yang nanti mengambil rapor?
Aku bukan lagi anak kecil. Aku tahu bahwa aku tidak diinginkan di tempat ini. Aku hanya ingin tahu kenapa. Seperti ujung lidah yang terus menjilat area kosong ketika sebuah gigi baru saja tanggal, aku terus mencari apa yang hilang dari keluarga kami. Tapi sampai hari ini aku tidak menemukan jawabannya. Tidak dari wajah lelah Ambo tiap kali mengantar dan menjemputku. Tidak juga dari wajah Indo yang selalu dingin. Mereka berdua sibuk dengan perasaan mereka masing-masing, hingga tak sempat memikirkan perasaanku. Aku tidak lebih dari barang yang menunggu diserahkan dari satu pihak ke pihak lain.
Harusnya mereka berdua ada bersamaku, seperti orang tua teman-temanku yang lain. Harusnya aku tak perlu punya dua set barang supaya tidak repot ketika pindah tempat. Harusnya aku bisa bebas berteman tanpa takut mereka akan mulai bertanya-tanya tentang orang tuaku. Harusnya aku bisa melihat mata wali kelasku dan tidak menemukan belas kasihan di sana.
Mataku menghangat. Ah, sejak kapan aku jadi cengeng begini? Aku benci merasa tidak berdaya. Aku benci harus menjalani pilihan yang tidak pernah kubuat. Aku ingin membuat pilihan hidupku sendiri. Sayangnya, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menunggu. Aku memasang earphone dan menyalakan volume maksimal. Suara parau Chester Bennington menyanyikan One Step Closer segera memenuhi kepalaku. Aku tidak mau meledak di sini. Hancur berkeping-keping tanpa ada yang peduli. Aku akan pergi. Memulai hidupku sendiri. Kuraih kalender kecil di atas meja. Kulingkari satu lagi tanggal di bulan Maret. Aku semakin dekat dengan hari kebebasanku.
 
Sanna, Surabaya, Januari 2004
Jadi inilah rasanya, lahir ke dunia dan tiba-tiba kamu sudah berhutang sedemikian banyak pada seseorang. Jika saja dulu Tuhan menanyaiku, pasti aku akan minta untuk tidak dilahirkan.
Bertahun-tahun aku mencari tahu mengapa orang tuaku berpisah. Bolak-balik dari tempat tinggal Indo dan Ambo ternyata tidak membuat pertanyaan itu mudah terjawab. Aku sengaja membuat masalah di sekolah, berharap Ambo akan mengatakan sesuatu ketika kami duduk di depan wali kelasku. Tapi ia hanya berkata, “Ini adalah kesalahan saya. Sanna sedang menghadapi masa-masa sulit. Saya mohon kesabaran, Ibu.”
Aku pacaran dengan salah satu biang kerok di sekolah, Andaru. Aku sering mematikan ponselku, lalu pulang larut malam dengan aroma rokok bercampur alkohol. Namun tak sekali pun pertahanan Ambo jebol. Ia hanya menatapku dan menanyakan pertanyaan sialan itu lagi. ‘Apa kamu baik-baik saja, Sanna?’
Indo tak pernah mengomentari tingkahku. Tapi tiap kali aku datang ke rumahnya, ia menatapku beberapa detik lebih lama. Aku tahu ia menahan diri. Inilah celahku. Indo adalah harapanku terakhirku. Jadi suatu hari, aku bertanya mengapa mereka berpisah.
“Tanya mi sama Ambomu,” jawab Indo dingin.
“Ambo tidak mau menjawab. Apa ada orang ketiga?” tanyaku.
Indo diam. Artinya memang ada orang ketiga. Aneh sekali. Selama ini aku tak pernah melihat tanda-tanda adanya orang lain dalam kehidupan mereka. Sebegitu pandaikah mereka menyembunyikannya dariku?
“Siapa?” 
Biasanya aku malas melanjutkan percakapan yang dijawab dengan keengganan yang kentara. Tapi kali ini aku menolak menyerah. Indo mengangkat matanya dari kapurung* yang nyaris matang.
“Kamu belum tahu pi?”
Aku mematung. Pertanyaan Indo menyerangku seperti aliran listrik yang sangat besar. Potongan kejadian berkelebatan di mataku dan merangkaikan diri menjadi sebuah gambar yang utuh. Dalam sekejap aku tahu jawabannya. Bagaimana mungkin selama ini aku begitu buta?
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Mataku mulai buram, jadi aku cepat-cepat masuk ke kamar. Aku sudah berjanji untuk tidak menunjukkan kelemahan di hadapan orang tuaku. Jika harus menangis, aku akan melakukannya di tempat lain. Di hadapan seseorang yang peduli padaku.
Aku menekan sederet nomor telepon.
“Ya, Sayang,” jawab suara di seberang sana.
“Jemput aku sekarang,” ucapku menahan tangis.
Dalam sepuluh menit, Andaru sudah siap di depan rumah.
Begitu aku naik ke atas motor, Andaru melesat dengan kecepatan tinggi. Aku tidak peduli ke mana ia akan membawaku. Aku tidak bertanya apakah ia sedang dalam keadaan sadar atau tidak. Aku bahkan tidak keberatan jika kami mengalami kecelakaan dan mati saat ini juga. Tempat mana pun akan lebih baik dibanding dengan rumah kedua orang tuaku.
 
Marauleng, Surabaya,September 2006
Setiap hari, sejak melahirkan Sanna, aku bertanya-tanya. Kapan dia akan cukup besar untuk kutinggal? Lusa? Bulan depan? Tahun depan? Akhirnya pertanyaan itu menghilang seperti aroma secangkir kopi yang sudah dingin. Karier menariku sudah tamat. Ada atau tidak ada anak, tidak akan ada bedanya.
Delapan belas tahun sudah aku membesarkannya, bahkan ketika dia berubah menjadi seorang remaja pemberontak. Lalu suatu hari tiba-tiba saja dia berhenti berulah. Seperti laut yang tenang, dia sama sekali tidak menampakkan sisa-sisa badai sebelumnya.
Ketika surat panggilan dari sekolah berhenti datang, pacarnya yang berandalan pun tak lagi kelihatan. Kejutan dari Sanna tidak berhenti di situ. Setelah menyelesaikan SMU dengan baik, dia memutuskan untuk meninggalkan Surabaya. Dia memberikan alasan yang sama padaku dan Ambonya, bahwa dia sudah lama mengincar universitas tersebut. Universitas dengan jurusan kelautan terbaik di Indonesia.
Inilah yang membedakan Sanna dan Ambonya. Bombang merasa tidak perlu menjelaskan sikap dan keputusannya. Sebaliknya, dia juga tidak pernah meminta penjelasan dari orang lain. Seolah-olah dia punya kunci jawaban dari semua hal di muka bumi ini. Sementara Sanna selalu mencari penjelasan dan berusaha menjelaskan dirinya. Mungkin itu membuatnya merasa lebih baik. Atau dia berpikir itu akan membuat orang lain merasa lebih baik.
Aku paham jika Bombang patah hati. Dia tidak mengira bahwa Sanna akan meninggalkannya. Tentu saja Bombang berusaha menahannya. Namun Sanna menegaskan bahwa dia tidak akan memilih jurusan lain, ataupun universitas lain. Yang mengejutkan adalah,aku juga terluka dengan keputusan Sanna. Mungkin tanpa kusadari, dia sudah menjadi bagian dari hidupku. Meskipun tidak ada ikatan khusus di antara kami.
Aku menghela nafas panjang. Sekarang, apa yang harus kulakukan?
 
Marauleng, Surabaya, Juni 2008
Sebuah bunyi cempreng memutus lamunanku. Itu adalah bunyi bel rumahku. Aku keluar dan menemukan wajah yang yang familiar di luar pagar.
“Selamat malam, Bu Uleng,” sapa pria muda itu.
“Saya Salim. Asisten Pak Bombang,” lanjutnya ketika aku belum juga membukakan pintu pagar.
“Oh,” sahutku malu. “Pantas rasanya seperti kenal.”
Kami sudah setengah jalan menuju ruang tamu ketika tiba-tiba aku teringat sesuatu.
“Pak Bombang sudah tidak tinggal di sini.”
Salim tersenyum. “Saya tahu, Bu. Bisa kita bicara sebentar?”
Nada suaranya terdengar mendesak. Jadi aku mempersilahkannya masuk. Dia mencegahku ketika aku beranjak untuk menyiapkan minuman. Ada apa ini?
Hanya butuh waktu kurang dari dua menit bagi Salim untuk menyelesaikan ceritanya. Namun aku butuh waktu lebih lama untuk merespons. Sepertinya aku keluar dari tubuhku dan melihat kejadian ini dari luar jendela. Ini bukan rumahku. Ini bukan hidupku.
“Bu.” Salim memanggilku pelan.“Saya turut berduka. Saya pastikan akan ada orang yang membantu Ibu mengurus semuanya. Apakah Ibu perlu ditemani? Apakah Sanna perlu dijemput?”
Setelahnya, Salim menanyakan beberapa pertanyaan teknis seperti di mana jenazah akan dimakamkan dan perlukah diadakan pengajian. Ketika melihatku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, dia pamit pulang. Dia berjanji akan kembali lagi besok pagi.
Aku menanti sesuatu datang. Entah rasa sedih, kehilangan, terkejut, ketakutan atau apapun. Tapi aku hanya merasa kosong. Jauh sebelum Bombang pergi meninggalkanku, dia sudah berhenti hadir untukku. Kematiannya tidak mengubah apapun.
Esoknya rumah mulai dipenuhi tamu. Salim menepati janjinya. Dia membawa beberapa orang yang sangat cekatan. Seolah mereka sudah menangani hal semacam ini berkali-kali. Mereka memindahkan perabot dari ruang tamu, meletakkan minuman dan makanan di ujung ruangan, memberi tahu tetangga mengenai kabar duka ini, dan menghubungi ulama di masjid dekat rumah.
Salim rupanya telah mengatur acara pemakaman dengan Sanna melalui telepon. Dia minta maaf karena tidak melibatkanku. Aku mengangguk, tidak keberatan. Aku toh tidak akan bisa memutuskan apa-apa. Tak lama, sebuah ambulans datang membawa jenazah Bombang di dalam sebuah peti.
Kuedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Rasanya aneh melihat rumah yang biasanya kosong kini dipadati wajah-wajah asing. Namun mungkin bagi mereka akulah pemandangan yang paling aneh di sini. Janda yang sama sekali tidak meneteskan air mata. Janda yang bahkan tidak mengenakan baju hitam karena dia tidak menemukan warna itu di dalam lemarinya, dan dia tidak memiliki sanak keluarga atau teman dekat yang bisa meminjami.
Sekitar satu jam kemudian, Sanna datang. Dia mengenakan baju hitam. Kedua matanya bengkak. Dia memelukku dengan canggung selama beberapa saat, kemudian menangis di dekat peti Ambonya sampai tiba waktunya pergi ke pemakaman. Syukurlah. Suasana duka ini kini pantas disaksikan para pelayat. 
 
Sanna, Surabaya, Juni 2008
Belum genap empat puluh delapan jam yang lalu aku menangis di tempat ini. Sekarang aku sudah kembali lagi, meski kali ini untuk alasan yang berbeda. Andai membongkar tanah yang masih basah ini bisa memberiku sebuah jawaban, pasti akan kulakukan. Tapi apa mungkin? Semasa hidup saja, Ambo selalu bungkam terhadap semua pertanyaanku. Apalagi sekarang. Apa yang ia pikirkan? Belum cukup sulitkah keadaanku?
Siang tadi, seorang pria datang ke rumah Indo. Ketika aku melihat ekspresi Indo, aku langsung tahu bahwa ia juga tidak mengenalnya. Pria itu mengenakan kemeja berwarna abu-abu dan sebuah dasi berwarna hitam. Jelas ia bukan seorang salesman, karena ia tahu namaku dan nama Indo.
Pria itu kemudian memperkenalkan diri. Namanya Juni. Setelah mengucapkan bela sungkawa, ia meminta maaf karena harus mengganggu masa berkabung kami. Ia juga menambahkan ini adalah bagian dari pekerjaannya. Pak Juni mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tasnya. Ia meminta kesediaan kami untuk membukanya saat itu juga, sehingga jika ada pertanyaan, ia bisa langsung menjelaskan.
Aku duduk di sebelah Indo ketika ia membuka amplop itu. Isinya hanya selembar kertas. Aku langsung mengenali tulisan huruf bersambung milik Ambo. Di bawah tulisan tangan Ambo yang singkat, ada sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa Ambo menulisnya dalam keadaan sadar dan tidak berada di bawah tekanan pihak manapun.
Aku berharap bahwa aku tidak membaca surat itu bersama Indo. Sehingga aku tak harus melihat ekspresi wajahnya. Aku yakin Indo tidak sempat melihat bahwa aku juga terpukul dan terkejut. Sekali lagi, ia menempatkan dirinya sebagai korban dan aku sebagai tokoh antagonisnya.
Sekarang aku tahu bahwa pergi ke makam Ambo adalah tindakan sia-sia. Tidak ada yang bisa kujadikan sasaran kemarahanku. Dan aku tetap tidak mendapat jawaban mengapa Ambo memutuskan untuk mewariskan semua miliknya padaku, termasuk rumah yang ditempati Indo. Tidakkah ia tahu, tanpa itu semua, Indo sudah begitu membenciku. Mengapa Ambo tidak mengerti juga, bahwa yang kubutuhkan hanyalah sepasang orang tua yang menerimaku dan mencintaiku tanpa syarat.
Aku mendengar sebuah teriakan parau. Suaranya begitu familiar. Mengingatkanku pada teriakan Indo waktu Ambo meninggalkan rumah. Ketika aku tidak bisa bernafas, aku tersadar. Akulah yang berteriak. (Bersambung)
 
*Kapurung: Masakan khas Palopo yang terbuat dari tepung sagu, ikan dan sayuran.
 
 Baca juga:
Cerber: Tarian Terakhir [1]
Cerber: Tarian Terakhir [3]

***

Widjati Hartiningtyas
 

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?