Fiction
Cerber: Tarian Terakhir [1]

7 May 2017

Bagian 1
 
 
Sanna, Surabaya, September 2015
Lamat-lamat terdengar suara ratapan. Mungkin berasal dari kamar di ujung lorong ini. Bulu kudukku meremang. Seseorang baru saja pergi. Aroma steril yang setahun ini terasa akrab, perlahan berubah menyesakkan. Setelah ini akan sulit bagiku untuk tidak menafsirkan aroma ini dengan kematian.
Kugenggam tangan Indo* yang terasa hangat. Ironis. Selama bertahun-tahun, yang bisa kuingat dari sentuhan tangan kami -yang seringnya singkat- adalah dingin. Kini, ketika pemiliknya tak lagi terjaga, aku malah merasakan hal yang sebaliknya. Ah, benarkah apa yang dikatakan dokter, Indo, bahwa kau sudah tak ada di sini? Bahwa sudah waktunya aku merelakan kau pergi?
“Keputusan sulit ini harus dilakukan demi kebaikan Anda berdua,” begitu katanya kemarin sore. Aku menolak percaya. Aku masih bisa merasakan napasmu, meski sebuah mesin kecil kini harus membantumu. Aku tahu kau masih ada di sini. Katakan, Indo. Entah bagaimana caranya. Katakan padaku kau masih di sini.
 
Marauleng, Ujung Pandang, Agustus 1990
Aku mendengar suara sepeda motor yang sudah kuhafal memasuki halaman rumah. Kupanjangkan leher untuk melihat jam kecil yang ada di atas televisi. Bombang pulang lebih cepat dari biasanya. Ingin aku berdiri dan menyambutnya, tetapi Sanna baru saja tertidur di pangkuanku. Jika aku bergerak sedikit saja, dia pasti akan terbangun. Menidurkannya kembali akan makan waktu lebih lama dari yang pertama.
Suamiku masuk dengan sebuah senyum lebar.
“Tunggu sebentar,” bisiknya pelan.
Dia segera membasuh tangan dan kakinya di kamar mandi. Sebuah kebiasaan yang tidak pernah dilewatkannya. Lalu ditariknya kursi untuk duduk di depanku. Dia mencium putrinya dulu, baru kemudian menciumku. Yang ini adalah kebiasaan baru. Sebelumnya, aku selalu jadi… ah, sudahlah.
Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.
“Aku dapat promosi,” ucapnya, sambil menggenggam tanganku.
Meski berbisik demi tidak mengganggu Sanna, aku tahu dia senang. Kalau bisa, pasti sudah kupeluk dia sekarang. Semoga setelah ini kami punya uang lebih untuk membayar pengasuh anak. Dan semoga Daeng Unru masih mau menerimaku. Toh, sejak aku mengurus anak di rumah, dia beberapa kali bertanya apakah aku ingin bergabung kembali. Oh, aku tak sabar ingin memulai lagi.
“Aku akan mengepalai cabang baru di Jawa. Paling lambat bulan depan kita sudah harus pindah.”
Jawa? Kita? Bulan depan?
Saat itulah aku sadar,  aku sudah berharap terlalu banyak. Seperti yang sudah-sudah. Ini adalah kabar baik untuknya. Sama seperti ketika dokter bilang bahwa aku hamil.
Aku tak lagi bersemangat mendengar sisa ceritanya.
“Tidak bisa ji aku tetap di sini sama Sanna?”
"Mana bisa aku jauh dari kalian?” ucapnya memelas.
Aku tahu apa yang sebenarnya dia maksud. Dia tidak bisa berjauhan dari Sanna. Ketika aku tak mengatakan apa pun, dia melanjutkan,
"Kamu masih bisa menari di Jawa."
Tentu saja, batinku pahit, itu juga yang kau bilang dua tahun lalu. Sebelum aku tenggelam dalam tangis bayi dan tumpukan baju kotor.
"Indo…," Sanna merengek dengan mata terpejam.
"Waktunya Sanna tidur," ucapku sambil menggendongnya masuk kamar.
Aku tak ingin melanjutkan percakapan ini.
 
Marauleng, Surabaya, Oktober 1990
            Setelah yakin Sanna sudah benar-benar pulas, aku berjingkat keluar kamar. Bau kardus yang telah berhari-hari memenuhi ruang tamu langsung menyambutku. Sulit dipercaya. Kontrakan kecil kami di Ujung Pandang ternyata memuat sedemikian banyak barang.
Kutarik kardus yang paling dekat denganku, lalu kubuka selotipnya perlahan. Sebuah album foto terlihat di tumpukan paling atas. Aku tahu, seharusnya aku mulai menata rumah. Mengurangi tumpukan kardus yang menjulang. Tetapi, tanganku bergerak meraih album tipis berwarna merah bata itu. Aku ingin melihatnya. Sebentar saja.
Aku tak punya banyak foto sewaktu kecil. Menyimpan kenangan dalam jepretan adalah kemewahan bagi Ambo* yang bekerja mencari ikan. Warung makan Indo juga tidak banyak membantu keuangan keluarga. Warung kecil itu hanya memberi kesempatan pada kami, anak-anaknya, untuk mencuri satu atau dua potong lauk.
Kulihat foto di halaman pertama. Warnanya hitam putih. Ambo dan Indo memakai baju terbaik mereka khusus untuk berfoto di studio. Andi, kakak laki-lakiku, mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana panjang. Cenning, kakak perempuanku, mengenakan terusan dengan bolero. Sementara aku ada dalam gendongan Indo. Tak seberapa jelas memakai baju apa.
Aku tersenyum ketika melihat foto berikutnya. Wajahku yang harusnya cerah karena dirias, malah terlihat tegang. Waktu itu, aku dan beberapa teman di SD Bakti menyambut kedatangan tamu dari Ujung Pandang dalam sebuah acara. Aku masih ingat riuh tepuk tangan penonton ketika kami selesai menari. Bangga sekali rasanya jadi pusat perhatian. Aku bukan cuma anak kecil yang seringnya disuruh ini itu, atau murid pendiam yang duduk di barisan belakang. Aku adalah bintang yang dikagumi banyak orang.  Demam panggungku hilang, berganti perasaan senang. Saat itulah aku jatuh cinta pada dunia tari.
Ketika kuputuskan untuk serius menari, Kak Cenning berusaha mencegahku.
“Lebih baik masuk SMK saja. Biar gampang cari kerja. Mana bisa mi menari kasih kamu makan?”
Aku diam saja karena sia-sia mendebat. Tahu apa Kak Cenning soal menari? Dia hanya menghabiskan waktunya untuk sekolah dan belajar. Dia selalu membawa buku ke mana saja. Bahkan ketika sedang menjaga warung Indo.
“Mau sekolah apa, terserah saja. Tidak ada mi bedanya. Nanti juga kamu jadi istri. Belajar saja caranya urus rumah, suami dan anak,” Kak Andi yang sedang mendengarkan radio tiba-tiba ikut berbicara. 
Bukan aku. Tidak akan terjadi padaku.
Kedua kakakku berusia jauh lebih tua dariku. Karena itu, mereka selalu bersikap sok tahu. Rasanya seperti punya dua pasang orang tua di rumah. Mereka berempat berlomba menjejaliku dengan petunjuk dan petuah. Padahal, aku sudah tahu apa yang kuinginkan. Aku tidak mau jadi seperti mereka. Aku punya mimpi, dan aku akan mewujudkannya. Percuma menjelaskan hal itu. Lebih baik mereka lihat sendiri buktinya.
   Aku meringis. Kakiku kesemutan karena duduk lama dengan posisi yang tidak nyaman. Ya, lihat saja nanti. Setelah Sanna cukup besar untuk ditinggal, aku akan melanjutkan mimpiku yang tertunda. Saat itu, barulah mereka tahu bahwa aku bukan anak kecil yang terlalu banyak berkhayal.
 
Sanna, Surabaya, Februari 1996
“Marauleng!” panggil sebuah suara.
Aku berhenti memilih baju di gantungan. Seorang wanita berkerudung hijau berdiri di belakang kami. Indo mengernyit sebentar sebelum akhirnya tersenyum lebar dan memeluknya. Kemudian, Indo mengenalkannya padaku. Tante Tenri namanya.
Cantik tawwa ana’ ko*. Sama seperti indona.”
Tante Tenri susah payah menjabat tanganku. Ia kelihatan kewalahan sekali dengan barang belanjaannya. Aku tersenyum, meski tidak tahu kenapa ia bilang begitu. Aku jelas berbeda dengan Indo. Kulit Indo putih bersih, sementara kulitku gelap seperti Ambo. Indo selalu tampak anggun dengan rambut panjang dan make up tipis, sementara aku hanya punya rambut pendek yang susah diatur ini.
Tante Tenri mengusulkan untuk mengobrol di sebuah tempat makan. Ia dan Indo berbagi tempat di sebuah kursi besar berwarna cokelat. Aku sendiri duduk di seberang mereka, sibuk menyantap es teler. Awalnya, semua baik-baik saja. Indo banyak bercerita dan tertawa. Aku suka melihatnya. Lesung pipit Indo jarang terlihat di rumah. Lalu tiba-tiba Tante Tenri bertanya kepada Indo, “Menari apa ji Sanna?”
“Dia tidak menari,” jawab Indo singkat.
Aku berhenti menyendoki sisa-sisa durian di mangkuk.
Tante Tenri menoleh padaku. “Masa kamu tidak tahu? Indo-mu ini penari pakarena terkenal.”
Aku menggeleng. Kenapa Indo atau Ambo tidak pernah cerita tentang hal ini?
“Kamu sudah buat keputusan tepat, Uleng. Anak adalah anugerah,” sambung Tante Tenri. Wajahnya berubah muram.
“Lihat aku. Entah berapa banyak uang yang sudah kuhabiskan, tapi aku belum juga punya anak.”
Gelang-gelang emas di tangan Tante Tenri bergemerincing nyaring ketika ia mengangkat kedua tangannya.
Indo senyum terpaksa. “Rumput tetangga memang selalu lebih hijau.”
Setelah Tante Tenri dan Indo bertukar nomor telepon, kami berpisah.
“Main-main mi ke Palopo,” ucap Tante Tenri sambil mencium pipi Indo.
Indo mendorongku halus. Jadi aku juga menyodorkan pipiku pada Tante Tenri. Setelah Tante Tenri pergi, Indo mengajakku ke arah pintu keluar.
            “Lho, tidak jadi belanja, Indo?”
Indo menggeleng sambil tetap berjalan. Aku melangkah cepat-cepat supaya tidak tertinggal. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba kami batal belanja. Padahal, tadi Indo bersemangat mengajakku beli baju baru. Aku ingin bertanya, tapi kemudian ingat pesan Ambo.
“Kalau Indo macai*, kau tutup mulutmu. Jangan ji cari masalah.”
Mungkin Indo marah karena aku tidak mau mencoba terusan merah muda yang dipilihkannya. Aduh, bagaimana kalau baju yang kuincar habis terjual? Padahal, Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Ah, semoga Ambo mau menemaniku belanja besok. Ambo tidak pernah keberatan dengan warna apa pun yang kupilih.
 
Marauleng, Surabaya, Desember 1997
Tak sedikit orang yang kehilangan kesempatan karena kesalahan mereka sendiri. Tetapi tidak banyak yang harus mengandung kesalahan itu selama sembilan bulan, membawanya pulang, lalu terperangkap bersamanya, meski berbagai cara sudah dicoba untuk melesapkan kesalahan itu.
Aku masih ingat yang dikatakan Bombang waktu itu, di tengah deras air mataku. “Kesempatan menari bisa datang lagi, Uleng. Tapi, anak adalah anugerah yang belum tentu kita dapat lagi.” 
Entah dari mana dia tahu tawaran untuk menari keliling dunia akan datang lagi. Nyatanya sampai hari ini, kesempatan emas itu tak pernah muncul lagi. Bodohnya, baru bertahun-tahun kemudian aku sadar aku tidak akan mendapatkan apa yang pernah dijanjikan untukku. Alasan demi alasan terus dikatakannya. Sanna masih terlalu kecil, kasihan dia. Tunggu sampai Sanna sekolah, jadi kau punya waktu luang. Susah cari pembantu yang bisa dipercaya, lihat saja tetangga kita. Siapa nanti yang membantu Sanna mengerjakan tugas sekolah? Zaman sekarang orang jahat makin banyak akal. Ini. Itu. Ini. Itu.
Aku tahu ini adalah cara suamiku menebus kesalahan orang tuanya. Bombang menghabiskan sebagian masa kecilnya di panti asuhan. Orang tuanya merantau ke luar pulau dan menitipkan Bombang pada neneknya. Mereka tidak pernah kembali. Bahkan ketika sang nenek, satu-satunya keluarga yang dimiliki Bombang, meninggal. Dia tumbuh dengan rasa benci yang kini menjelma menjadi janji, bahwa dia tidak akan pernah menelantarkan anaknya. Bombang menceritakan ini padaku lama sebelum kami menikah. Tetapi, tahu tidak selalu berarti memahami. Apalagi ketika aku ikut membayar harga untuk janji yang pernah dia ucapkan.
Minggu lalu aku memberanikan diri menghubungi Daeng Unru. Hangat dalam suaranya memudar waktu aku menyinggung soal keinginanku untuk kembali menari. Dia berdehem sebelum bertanya kapan terakhir kalinya aku menari. Sepuluh tahun dua bulan yang lalu, jawabku dalam hati, tapi aku tidak bersuara di telepon. Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini.
"Kamu adalah salah satu penari terbaikku, Uleng. Tapi tentu kamu masih ingat lamanya durasi tari pakarena. Penarinya butuh stamina yang kuat,” ucapnya hati-hati. Tetap saja dia membuat sesuatu di dalamku retak.
“Menari tak lagi dipandang sebelah mata, Uleng. Banyak penari muda bermunculan. Mau jokka-jokka* ke luar negeri gratis mereka itu.”
Aku tahu Daeng Unru bercanda untuk mencairkan suasana, tapi aku tak sanggup tertawa. Dia sedang membicarakan mimpiku yang kandas.
Sejak telepon itu, tiap kali melihat Sanna, aku tak bisa tak berpikir kalau aku sudah membuat keputusan yang salah. Apalagi dia telah mencuri cinta dan perhatian Bombang sejak hari kelahirannya.
“Sanna kan masih kecil, dia butuh perhatian kita,” begitu jawab Bombang tiap kali aku protes.
Sanna tidak pernah menjadi dewasa di mata Bombang. Dia akan selalu membutuhkan perhatiannya. Lalu sampai kapan aku harus menunggu? Bombang bersikeras bahwa dia mencintai kami sama besar. Tapi aku tahu, aku selalu tahu  kalau dia lebih sayang anaknya.
Bombang memberikan semuanya untuk Sanna, hingga tidak ada yang tersisa untukku. Dia terus meminta pengertianku dan kesediaanku untuk mengalah, hingga tidak ada lagi yang tersisa dariku. Tiap kali melihat mereka berdua, aku merasa seperti orang asing yang berada di tempat yang salah.
Sanna memiliki mata besarku dan tulang pipiku yang tinggi. Namun, hanya itu saja kesamaan kami. Sisanya, kami hanyalah dua perempuan yang terikat pada seorang laki-laki.
 
****
Kutatap punggung Bombang yang naik turun dengan teratur. Di sebelahnya, ada Sanna yang sudah tertidur lebih dahulu. Hari ini Bombang berangkat kerja seperti biasa. Ketika dia pulang sedikit terlambat, aku diam-diam berharap dia menyimpan kejutan manis untukku. Namun kini, setelah lewat tengah malam, aku harus menerima kenyataan bahwa dia tidak pernah merencanakan apa pun.
Kupeluk sebuah bingkai seukuran dua telapak tangan. Di dalamnya ada fotoku memakai baju pahang* dan lipa’ sa’be* bersama enam temanku yang lain. Sambil memegang kipas besar, kami semua tersenyum lebar. Bahagia membayangkan kota-kota indah yang menanti kami. Itu adalah foto tarian terakhirku. Seminggu sebelum aku tahu bahwa aku hamil.
Air hujan beringas memukuli kaca jendela, membuat cahaya di luar sana memburam. Hanya ada dua orang yang mengenalku dengan baik di kota ini. Tak satu pun ingat hari ulang tahunku. Di kota asing yang angkuh ini, sulit untuk tidak merasa kesepian dan terabaikan.
 
Marauleng, Surabaya, April 1998
Ada berita tentang Palopo di televisi beberapa hari yang lalu. Rupanya kota itu tak banyak berubah sejak terakhir kutinggalkan. Sayang, televisi tidak bisa mengantarkan aroma laut Palopo melalui tayangan itu. Meski memutuskan untuk menetap di Ujung Pandang setelah lulus SMA, aku masih rutin mengunjungi Palopo. Namun, sejak pindah ke Jawa, belum pernah sekali pun aku pulang.
Aku tak sanggup pulang sebagai seorang istri rumahan, menggenapi ramalan keluargaku. Wanita lain mungkin akan bangga jika karier suaminya menanjak pesat. Apalagi jika sang suami berkata bahwa kesuksesan ini dicapai berkat dukungan istrinya. Tetapi aku tidak. Semua pujian Bombang malah terdengar menyakitkan bagiku. Seolah dia terus mengingatkanku pada apa yang sudah kukorbankan. Sebuah kesuksesan yang harusnya menjadi milikku.
Bulan lalu aku mendapat kabar bahwa Kak Andi pindah ke Bima untuk membuka toko baru di sana. Aku sadar ini adalah kesempatanku. Rumah besar yang baru dibeli Bombang tetap saja terlalu sesak bagi kami bertiga. Aku tidak tahan lagi. Lebih baik aku pergi daripada menjadi pihak yang terus diabaikan.
 
*****
Pengumuman boarding terakhir terdengar, tapi aku masih belum juga beranjak. Ketakutan mulai muncul sejak aku duduk di dalam ruang tunggu. Seperti semut yang awalnya hanya menggerayangi kaki, ketakutan itu kini mulai menggigit. Pekerjaan apa yang bisa kulakukan di kota kecil itu? Sampai kapan aku akan menumpang hidup di rumah orang tuaku? Bahkan aku lupa mempertanyakan hal yang lebih penting. Maukah Indo dan Ambo menerimaku yang datang tiba-tiba? Bagaimana kalau mereka memaksaku kembali pada Bombang karena menganggap perceraian adalah aib? Keberanianku menyusut perlahan hingga akhirnya menjadi terlalu kecil untuk membawaku ke Palopo.
 “Ibu sedang menunggu penerbangan nomor berapa?” seorang petugas pria menanyaiku dengan ramah.
Aku melihat ke sekeliling ruang tunggu yang nyaris kosong.
“Saya tidak jadi pergi,” jawabku sambil berdiri.
Dengan pikiran melayang, aku masuk ke dalam sebuah taksi. Kemacetan langsung menyambut begitu kami keluar dari bandara. Ke mana lagi aku bisa pergi? Aku sudah kehilangan kontak dengan teman-teman di Ujung Pandang. Yang masih ada, tidak akan memberikan tumpangan tanpa banyak bertanya dan menghakimi. Aku harus menerima kenyataan. Aku tak punya pilihan lain selain tetap tinggal di sini. Di kota yang menjadikanku asing hanya karena logat bicaraku.
“Rumahnya blok berapa, Bu?” suara pria paruh baya itu membawaku kembali ke dalam taksi yang beraroma tak sedap ini.
Aku tergeragap mendengar pertanyaannya. Blok berapa? Ya Tuhan, aku tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu.
“Masuk lewat situ, Pak,” ujarku, sambil menunjuk sebuah gapura beberapa meter di depan kami.
Tanganku tak bisa berhenti bergetar hingga kunci rumah jatuh berkali-kali. Aku masih belum selesai membongkar barang-barangku ketika Bombang pulang bersama Sanna. Anak itu berceloteh riang tentang sirkus yang baru saja mereka tonton. Aku tidak tahu siapa yang membuatku muak. Mereka atau diriku sendiri.
 
Sanna, Surabaya, Mei 1998
Aku mendengar kedua orang tuaku bertengkar. Ini bukan pertengkaran mereka yang pertama. Sebelumnya, beberapa kali aku mendengar suara perdebatan di ruangan lain. Suara mereka tidak terlalu jelas. Jadi aku tidak pernah tahu apa yang mereka ributkan. Namun hari ini, Indo dan Ambo tidak berusaha menyembunyikan keributan mereka. Bahkan mereka berada tepat di luar kamarku.
“Pilih sekarang! Aku atau dia,” suara Indo terdengar serak.
“Bicara apa ji ko? Seperti ko suruh aku pilih potong tangan kanan atau tangan kiri.”
“Dasar pengecut!!”
Ketika suara mereka  makin tinggi, aku keluar dari kamar. Keduanya langsung terdiam. Indo menatapku sejenak sebelum naik ke lantai atas dan membanting pintu kamarnya keras-keras.
“Ada apa, Ambo?”  tanyaku hati-hati.
“Tidak ada apa-apa.” Ambo mendatangiku, kemudian memelukku.
“Kenapa Indo marah sekali?” Aku masih penasaran.
“Biasa itu mi orang tua ribut sesekali,” jawab Ambo, sambil mengelus rambutku.
Lalu, seperti tidak terjadi apa-apa, Ambo berjalan ke meja makan, duduk dan mengambil sesendok parede* ke piringnya.
Sudah ji ko mandre? Ambo malupu*.”
Deppa*,” jawabku pelan.
Aku duduk menemani Ambo makan, meski sebenarnya tidak lapar. Siapa yang ingin makan dalam keadaan seperti ini? Aku memang kesulitan memahami Indo, tapi aku mengenal Ambo dengan baik. Ia sedang menghindari pertanyaanku. Kalau sudah begini, tak ada gunanya mengajak Ambo bicara. Kami pun makan dalam diam. Hanya suara sendok beradu dengan piring memenuhi rumah kami yang sunyi.
Dua hari kemudian, sepulang kerja, Ambo memintaku berkemas cepat-cepat.
“Bawa yang penting saja,” kata Ambo, sambil menyodorkan sebuah koper kecil.
“Kita mau pergi ke mana, Ambo?”
“Tempat baru,” jawabnya singkat.
Meski bingung, aku tetap menurut. Keherananku makin bertambah ketika melihat Indo tidak sedang bersiap pergi.
 
****
“Sanna ikut aku,” ucap Ambo di depan pintu.
Aku menatap Indo dan Ambo bergantian. Kenapa hanya kami berdua yang pergi? Aku sedang mengingat barang apa lagi yang masih tertinggal di kamarku, ketika Indo membanting foto keluarga kami ke lantai. Serpihan kaca berhamburan ke mana- mana. Spontan aku memeluk Ambo.
Indo berdiri tak jauh dari kami. Sebagian rambutnya menempel pada wajah yang basah oleh air mata. Ia terlihat marah sekali padaku. Aku ingin bertanya apa salahku, tapi Ambo separuh menyeretku keluar.
“Jangan sekarang, Sanna,” ucapnya, seolah tahu apa yang ada di kepalaku.
Dari dalam mobil, kudengar teriakan parau Indo. Malam ini, untuk pertama kalinya aku mengenal rasa sakit yang sesungguhnya. Malam ini pula, untuk pertama kalinya aku tidur tanpa Bubu. Boneka untaku yang kumal dan berbau apek itu tertinggal di atas tempat tidur. (Bersambung)
 
Catatan:

Indo: Ibu dalam bahasa Bugis
Ambo: Bapak dalam bahasa Bugis
Cantik tawwa ana’ ko: Cantiknya anakmu.
Macai: Marah
Jokka-jokka: Jalan-jalan
Baju pahang: Baju tradisional khas Sulawesi
Lipa’ sa’ be: Sarung tenun Bugis
Parede: Masakan sup ikan asam pedas khas Palopo
Sudah ji ko mandre? Ambo malupu: Kamu sudah makan? Bapak lapar
Deppa: Belum
 
Baca juga:
Cerber: Tarian Terakhir [2]
Cerber: Tarian Terakhir [3]

 

Widjati Hartiningtyas

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#fiksifemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?