Fiction
Cerber: More Than Blue [3]

5 May 2017

 
Bagian 3 (Tamat)
Kisah sebelumnya:
Re, seorang pekerja LSM lingkungan, memiliki trauma atas meninggalnya sang kekasih, Mailo, yang tewas saat menyelamatkan rekannya saat diving. Setelah 3 tahun membeku, hati Re mulai tertarik pada pria diver dari NGO asing. Namun, ada masa lalu pria tersebut yang ternyata terkait erat dengan Re.
 
Demikianlah, dengan meletakkan kepala di atas lututnya, Re dibaluri perasaan yang ia sendiri bahkan sulit menerjemahkannya. Ia tak menyadari berapa lama ia larut dalam kebimbangan. Namun, ketika ia mengangkat kepala dan membuka mata, sontak ia tergeragap saat mendapati seraut wajah lelaki yang menatapnya dengan lekat dan sungguh-sungguh, yang tiba-tiba muncul di depannya tanpa suara. Ia bahkan tak berani bermimpi tentang pertemuan yang begitu mengejutkan dan ia tak percaya pada matanya.

Akhirnya, lelaki itu berkata, “Pantas saja aku sukar mencarimu. Ternyata di sini, ya, persembunyianmu,” candanya. “Atau jangan-jangan kau memang suka membiarkan diri tersesat, seperti pertama kali kita bertemu?”

Mau tak mau Re tersenyum mendengar sindiran lelaki itu. Lalu ia memandang dengan mata yang seolah bertanya, bagaimana lelaki itu bisa menemukan dirinya di sini. Tapi, mata yang ditatapnya itu seperti telaga tenang tanpa riak, menawarkan kehangatan.
Lelaki itu berjongkok dan memajukan wajahnya beberapa senti ke depan dan berkata sambil berkelakar, “Aku menyogok Jinan dan memaksanya untuk memberi tahu keberadaanmu.”

Re tak tahu harus menjawab apa. Ia sibuk merutuki diri. Kenapa harus bertemu lagi dengan lelaki itu dalam keadaan yang selalu konyol dan membuatnya terlihat memalukan?
“Sudah seminggu lebih kau sepertinya menghindariku....” Lelaki itu menghela napas. “Apa keberadaanku membuatmu tak nyaman?”
Re menggeleng pelan. Dia menghindari lelaki ini karena takut suatu hari nanti ia akan mencandu dirinya dan melupakan Mailo.
 
***
Pasir belum begitu panas untuk menghanguskan telapak kaki dan lelaki itu berharap air laut dapat mendinginkan kepalanya. Karena, bila ia beristirahat sehari saja, maka ia akan dikoyak-koyak oleh rasa jemu menangggung rindu untuk bertemu dengan gadis keras kepala itu. Tak ada yang bisa diperbuatnya selain menunggu dan menunggu. Tersiksa dengan sesuatu yang menggelitik di dadanya, membuncah tiba-tiba setelah sekian lama tak menjumpai situasi seperti ini.
Aroma laut yang khas memenuhi udara. Berbarengan hidungnya yang mendadak bersin –barulah ia teringat akan tubuh basahnya.
 
***
“Apa? Re menghilang?” Lelaki itu terbeliak.
Jinan mengangguk cepat. Wajahnya tempias pucat. “Aku bersama Novan sudah mencarinya seharian ini ke tempat yang sering ia datangi, tapi hasilnya nihil.”
Jinan menelan ludah. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah. “Aku mengkhawatirkannya. Sudah beberapa hari ia tak mau berbicara denganku.”
“Kalian bertengkar?”
“Kurasa ia marah karena aku menyuruhnya untuk melupakan Mailo.”
Lelaki itu sempat terkejut, tapi dia berupaya tidak mengindahkannya. “Kau yakin dia menghilang? Jangan-jangan dia hanya keluar pulau, mungkin berbelanja kebutuhan logistik.”
“Tidak. Aku yakin sekali karena….” Jinan menggigit bibir. Matanya memancarkan keraguan. Apakah ia harus mengatakan segalanya? Tak ada jalan lain.
“Karena apa?” tanpa sadar lelaki itu menaikkan suara satu oktaf lebih tinggi. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya.
“Karena hari ini adalah tanggal kematian Mailo.”
Tangan lelaki itu luruh seketika. Bahunya merosot turun dan kepalanya tertunduk.
“Biasanya Re akan menghabiskan hari dengan bekerja seharian penuh. Dia memang seperti itu. Keras kepala. Dia bahkan tak pernah membiarkan dirinya menangis,” jelas Jinan.
“Sabtu ini, jadwal kerjanya adalah mendongeng mangrove. Dia bahkan sudah mempersiapkan banyak boneka jari sejak minggu kemarin. Anak-anak sudah menunggu sedari pagi dan dia tak muncul juga...,” tambahnya.
Terdengar deburan ombak di kejauhan, yang datangnya seperti suara celoteh tak keruan para pemabuk.
 
***
 
Lelaki itu menuruni bukit dengan cepat, tepatnya meluncur dengan deras, tak peduli dengan benturan-benturan yang beradu dengan kedua tungkai kakinya. Wajahnya mengeras. Garis-garis kecemasan terukir di sana. Kedua bola matanya melahap liar, menjelajahi alam sekitar.
Sesekali ia berteriak, menyerukan nama Re. Namun, tak kunjung ada balasan. Seharian sudah ia mengelilingi semua tempat yang ia duga akan didatangi gadis keras kepala itu. Tapi, sampai menjelang matahari tergelincir dan membalut tubuhnya dalam cahaya kemerahan, ia belum juga berhasil menemukannya.
Ia tak akan begitu cemas seandainya Re bukanlah gadis nekat yang pernah ditemukannya dalam badai. Ingatannya tak pernah terhapus, masih begitu jelas bagaimana mereka bertemu pertama kalinya dalam cengkeraman badai. Re yang nekat, keras kepala sekaligus rapuh. Ia tak ingin sesuatu terjadi pada gadis itu. Yang sejak pertama kali berada dalam dekapannya, jauh dalam hatinya ia merasakan, gadis itu sangat membutuhkannya.
 
***
Tik-tok, tik-tok. Waktu seakan berjalan begitu lambat seperti bayi yang baru belajar merangkak. Entah sudah tak terhitung berapa banyak Jinan mondar-mandir dalam ruangan kecil yang terasa makin pengap. Novan menepuk-nepuk  bahunya, seolah menenangkan, bahwa rencana mereka akan berjalan lancar.
 
***
Langit pelan-pelan memancarkan cahaya kelabu yang makin lama makin menguat. Wajah lelaki itu tegap menghadap ke angkasa, memusatkan perhatiannya pada awan yang sebentar-sebentar diterangi kilat. Ia harus segera menemukan Re.

Tetes air satu per satu jatuh menyapu wajahnya. Hujan mendadak seperti tertumpah dari langit, menghantam talang atap dan percikan airnya menerpa daun-daun jendela. Ia bergegas mengenakan tudung kepala raincoat-nya dan melangkahkan kaki lebar-lebar, menembus jutaan jarum air.
Kini ia mulai paham akan hatinya yang mendadak melankolis. Rasa gelisah takut kehilangan membuatnya egois. Ia pikir ini hanyalah sesuatu yang dapat dipendam. Namun ia salah besar. Nyatanya ia tak sanggup menahannya. Ia tak akan ragu lagi.

Jalan yang diikuti lelaki itu telah berubah dari retak-retak menjadi becek dan sedikit lengket. Air hujan bahkan menembus sepatunya. Mempersulit langkahnya dan karena ia tidak berpayung, dapat dirasakannya air hujan terkucur dari celah-celah rambut menuruni leher. Tapi ia terus melangkah.
Agak ke bawah dari menara mercusuar, sebuah gudang kecil yang sudah tua dikelilingi pepohonan, ke sanalah lelaki itu mempercepat langkahnya. Dalam hati ia merutuki kebodohannya. Mengapa hal ini tak terpikirkan olehnya kemarin?

Lelaki itu melongokkan kepalanya ke dalam ruangan yang remang-remang. Matanya memicing, berusaha beradaptasi dengan minimnya cahaya yang ada. Setelah benar-benar berhasil mengenali keadaan sekitar, tenggorokannya tercekat. Urung bibirnya menyuarakan sebuah nama.
Senter kecil itu lolos dari tangannya, meluncur deras, menghantam lantai. Bulatan cahaya berjumpalitan, menggelinding dari corong senternya, menyapu penjuru ruangan. Tepat pada saat itu, sebuah gerakan menggeliat di balik lampu darurat yang berpendar seadanya. Seseorang mengangkat kepalanya dan memandang ke arah sosok lelaki itu. Seseorang itu adalah Re.

Lelaki itu menyadari keremangan cahaya masih memberatkan otaknya dan tampaknya akan bertambah berat, seiring langkahnya yang turut melambat. Re kemudian berdiri dan merasa gamang dengan gerakan lelaki itu yang tak seperti biasanya.
Beberapa langkah lagi dan lelaki itu telah berada persis dalam jangkauannya. Barulah Re menyadari keanehan itu. Mata lelaki itu memancar tajam, berkilat melalui sela-sela rambutnya yang basah dan jatuh ke permukaan wajahnya. Mata itu begitu mencekam dengan tulang pipi yang mengeras dan bibir membiru, menambah dingin ekspresi wajahnya. Re hampir tak mengenalinya dan tak yakin apakah benar itu adalah lelaki yang pernah memperlakukannya sehangat Mailo. Malam ini, wajahnya begitu berbeda dan menakutkan.

Suara gemeretak kayu dan suara tiupan angin berdatangan dan pada saat itulah bau apak bergantungan, memenuhi udara yang kering.
Lelaki itu sebenarnya tidak memiliki keinginan untuk memandang wajah gadis yang telah menempatkan dia dalam kegusaran dan kesedihan beberapa hari belakangan, tapi tak urung kakinya mendekat.

Ia dapat menatap wajah Re yang berkilauan dalam keremangan, dahinya yang berkeringat dan pipinya yang kemerahan. Semua siksaan yang mendera di seluruh kepalanya menghilang, berganti dengan kelegaan, setelah benar-benar memastikan sosok itu memang benar adalah Re.
“Kau... basah kuyup….” Kata-kata itu menerobos keluar dari bibir Re. 

Refleks Re meletakkan tangan di atas permukaan raincoat yang membalut lengan lelaki itu. Dingin dan basah. Beberapa titik air masih melekat ketat di sana.
“Apa kau terluka?” lelaki itu bertanya dengan suara tercekat. “Kau baik-baik saja, bukan?” cecarnya.
Lelaki itu tak peduli dengan tubuhnya sendiri yang basah, ia malah bergerak mengelilingi Re, memastikan gadis itu dalam kondisi baik-baik saja.
Akhirnya lelaki itu menarik napas lega. “Kau tahu, aku sangat mencemaskanmu. Kupikir kau melarikan diri dan…,” lelaki itu menggelengkan kepala diiringi lenguhan,  “… bunuh diri,” lanjutnya hampir tak terdengar.
“Aku bunuh diri, begitu?” tukas Re. Gantian Re yang membeliak keheranan. “Aku belum sekonyol yang kau pikir,” protesnya beruntun.
Lelaki itu menepuk keningnya dan tergelak. “Aku terlihat idiot, ya?”
“Ya. Kau aneh sekali. Cuaca begitu buruk, tapi kenapa kau keluyuran dengan tubuh basah begini?”
“Wah, apa aku tak salah dengar? Bukannya kau yang aneh?” lelaki itu balik memprotes. “Kau menghilang tanpa kabar. Jinan dan Novan kelimpungan mencarimu.”
“Tunggu… apa kau bilang? Aku...menghilang?” Kali ini Re yang gantian tergelak. “Aku sudah izin kerja dengan Novan dan Jinan tahu aku di sini.”
Lelaki itu ternganga. Makin tak mengerti sebenarnya apa yang sedang terjadi.
“Maksudmu?”
“Sepertinya kau habis dikerjain Jinan.” 
“Aku?” lelaki itu menuding hidungnya sendiri. Matanya menyorotkan tanda tanya.
“Ini taktik Jinan untuk menjodohkan kita. Aku bisa menebaknya. Sudahlah, tak usah kau pikirkan.Jinan memang begitu. Suka usil dan….”
“Aku tak keberatan. Jinan memang benar.” Lelaki itu menahan lengan Re. “Aku harus bicara sekarang….”
Re mengernyitkan kening tak mengerti melihat keseriusan lelaki itu.

“Mungkin bagimu aku terlalu terburu-buru. Tapi, sejak badai di hari itu, aku ingin memilikimu setengah hari.” Lelaki itu menggeleng kacau. “Tidak. Aku bohong. Aku serakah. Aku menginginkan lebih dari sepanjang hari. Sepanjang tahun. Aku juga tak akan mengganggu waktumu menikmati kesendirian seperti sekarang ini. Aku tak keberatan kau masih mengingat dia. Aku hanya ingin bilang, izinkan aku berada di sisimu. Kau mengerti maksudku?”
Dunia remang Re buyar seketika. Kakinya seakan tidak menjejak bumi dan tubuhnya sedikit limbung. Bagaimana ia bisa baik-baik saja? Lelaki ini baru saja menghadirkan badai di hatinya.

“Kenapa kau bicara meracau seperti ini?” Sungguh mati. Re takut tak bisa mengendalikan diri di hadapan lelaki ini.
Lelaki itu berusaha untuk tidak melakukan tindakan apa pun, walau adegan tersebut telah menggerus darah lautnya. Namun, ia tak sanggup menahannya lagi. Tiba-tiba saja dada lelaki itu bergerak maju dengan cepat, pipi mereka menjadi begitu dekat, hampir-hampir saja saling bersentuhan. Mereka tentu bisa saling mencium aroma tubuh masing-masing yang bercampur wangi asin laut.

Keduanya merasakan panas tubuh yang saling berhadapan. Dan momen itu terjadi begitu saja. Bibir yang dingin dan merekah itu bergerak menyentuh bibir Re sekejap. Terasa asin sedikit. Lelaki itu beringsut menarik bibirnya usai meninggalkan jejaknya yang lembap di bibir Re dan tanpa ragu mempertontonkan matanya yang penuh dengan gambaran perasaannya.

Setengah mati Re menahan gelitikan yang menggurat bibirnya sekaligus menciptakan ketegangan di seluruh ujung jari-jarinya hingga kebas. Darahnya terasa tersirap dan tubuhnya bergelinjang halus. Ini adalah sesuatu yang asing bagi Re dan menyebabkan lidahnya mendadak kaku.
“Aku tahu kau lelah? Kemarilah….” Lelaki itu menyodorkan bahunya.
Anehnya, Re bukannya marah karena tindakan yang cukup mengejutkan itu. Malah mendadak dirinya mengalami cegukan kecil yang menandakan kegugupannya.

Kedua pasang mata mereka kembali bertabrakan, yang satu seolah berusaha menyelami lainnya. Lalu tangan lelaki yang sedang mengambang di udara itu  akhirnya menjamah kepala Re dan perlahan membawanya ke bahunya yang bidang.
Re memejamkan mata. Selang jeda beberapa saat. “Sudah kuduga,” Re berujar lirih nyaris tak terdengar.
Lelaki itu membalas dengan gumaman.
“Bahumu memang nyaman.”
Lelaki itu tersenyum.
“Terlalu nyaman.” Re mendongak hingga dahinya bertabrakan dengan rahang kokoh yang penuh dengan bulu-bulu yang baru tumbuh.
“Kenapa? Apa itu salah?”
“Aku takut….”
Lelaki itu menaikkan kedua alisnya tanda tak mengerti.
“Bagaimana bila nanti aku kecanduan bersandar di bahumu seperti ini?” Mimik wajah Re menunjukkan keseriusan. Matanya mengerjap berulang kali dengan putus asa. Tapi, bagi lelaki itu, ekspresi Re sungguh menggemaskan.
“Kau lucu.” Senyum lelaki itu menekan kedua ujung pipinya dan membuat matanya sedikit menyipit.
“Baru kali ini aku bertemu gadis sepertimu yang bicara apa adanya….” Senyum itu kini berubah menjadi tawa lepas.
“Bagaimana denganku? Kau cuma kecanduan bahuku. Lantas, bagaimana bila aku kecanduan dirimu? Apa kau akan bertanggung jawab juga?”
Untuk pertama kalinya, Re bahagia setelah bertahun-tahun mengurung diri dalam pusaran kekecewaan.

***
Mungkin laut akan bisa menghapus keresahan hatinya. Menjawab percakapan yang membisu itu, walau hanya untuk sementara. Lelaki itu mendengar ombak mengempas bibir pantai dan itu seakan-akan aliran darahnya sendiri yang sejalan dengan gerakan pasang surutnya laut. Ombak seolah mengejeknya, bergantian, bergulung menghantam pantai, menghantarkan gemuruh untuk lalu surut lagi.
Lelaki itu begitu memusatkan perhatiannya pada pikirannya yang kacau hingga  tak menyadari datangnya  empasan ombak menerpa dirinya dan membasahi betisnya. Meninggalkan jejak berupa butiran pasir halus di kakinya.

Angin pagi yang dingin bertiup menyapu tubuhnya yang mulai terasa lengket. Permukaan laut yang tampak jauh dari pantai masih diselimuti pagi buta. Dalam keremangan cahaya pagi, percikan air laut menampar wajahnya. Garam laut merembes di sela-sela bibir dan pipinya. Dan ia terkenang akan rasa bibir dari gadis yang telah memporak-porandakan hatinya dan kerap membuatnya kehilangan akal sehat.

Penyesalan telah memisahkan lelaki itu dari semua perasaan yang bisa membuat seseorang berpikir jernih.  Sebab, sesungguhnya ia datang ke pulau ini karena dia membawa perasaan menyesakkan yang saling berjejalan, saling tumpuk, menunggu  diledakkan.

Tiga tahun sudah ia digempur rasa bersalah sejak kejadian nahas itu. Ia memang pengecut. Bajingan rendahan  yang tak memiliki keberanian untuk mengakui semuanya. Tahun-tahun di mana sebelumnya ia terlampau letih digelayuti beban penyesalan yang mengimpit, membuatnya tak ubahnya sesosok mayat berjalan. Ia hidup bukan sebagai dirinya, tapi menjadi sesosok Mailo. Berharap semua penyesalan itu dapat dibayarnya dengan sebuah tanggung jawab seumur hidup. Menggantikan tanggung jawab Mailo, menikahi calon istri Mailo yang ia dengar kabar beritanya begitu terpuruk sejak kematiannya.
Akulah penyebab kematianmu, Mailo. Aku sama saja telah membunuhmu. Seharusnya kau  tak perlu menyelamatkanku. Lebih baik bila kau meninggalkanku saat itu, jadi aku tak perlu hidup seperti ini.
 
***
Desa itu masih terkubur dalam pagi yang dingin ketika atap-atap rumah mulai bermandikan cahaya mentari pagi yang kuning keemasan.
“Aku tak tahu bagaimana menyampaikan kabar buruk ini,” Novan memandang wajah sahabatnya itu. “Aku baru mengetahuinya tadi malam, sewaktu Hasby menelepon. Sepanjang malam aku tak bisa tidur memikirannya, apakah sebaiknya aku memberitahumu soal ini atau tidak.” Raut wajah Novan terlihat begitu putus asa.

Jinan menegakkan tubuh condong ke arah Novan. Kelihatannya ini bukan main-main.
“Aku rasanya seperti tak ingin percaya, sewaktu Hasby berkata bahwa lelaki itu adalah orang yang diselamatkan Mailo.”
Jinan membatu. Dadanya terasa sesak. Seolah ia baru saja mendapat serangan asma yang akut. Ini takdir yang mengerikan. Padahal Re baru saja sekejap merasa bahagia. Padahal gadis itu….

Sontak Jinan teringat ucapan Re di lahan pembibitan tempo hari sewaktu mereka beradu argumentasi.
“Apa kau masih trauma dengan kecelakaan yang menimpa Mailo sewaktu penyelaman itu?” tanya Jinan hati-hati takut menyulut emosi Re.
“Itu bukan kecelakaan!” tegas Re.
“Itu takdir Mailo,” ujar Jinan, mencoba menenangkan.
“Itu sama saja dengan membunuhnya!” Ekspresi Re tampak beku.
“Dengar, Mailo  tidak pergi sia-sia,” hibur Jinan.
“Kau tak tahu rasanya kehilangan...,” desis Re.
“Mailo sudah melakukan yang terbaik. Dia menyelamatkan nyawa orang lain.”  Jinan mencoba menasihati.
“Kau seharusnya merelakannya,” tambah Jinan.
”Bagaimana aku bisa rela? Kenapa tidak orang itu saja yang mati? Kenapa harus Mailo-ku?” desis Re geram.
“Jadi kau membencinya?” tanya Jinan kaget.
“Ya. Aku membenci orang itu setengah mati. Yang sudah merampas Mailo dariku.” (Tamat)

Baca juga:
Cerber: More Than Blue [1]
Cerber: More Than Blue [2]
 Peringga Ancala
 
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?