Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [3]

16 Oct 2017



“Rose, kamu baik sekali,” pujiku, mengingat begitu banyak hal yang dilakukan olehnya  untuk Ibu, untuk kami. Juga begitu banyak tentang Ibu yang ia ketahui. “Persahabatan kalian luar biasa,” tambahku. “Nemah sudah kuanggap adikku,” jawab Rose, sambil meneguk kopinya dan aku mengunyah macaroon.

Rose bertemu Ibu pertama kali di toilet kampus. Saat itu, ia menyaksikan Ibu sedang muntah-muntah di kamar mandi. Rose yang saat itu bekerja di sebuah kafe di kampus, kaget melihat Ibu pucat, lemas, dengan butir-butir keringat memenuhi dahinya.

“Aku agak terhibur ketika ia mengatakan sedang hamil. Artinya, ia muntah-muntah karena hamil, bukan sakit. Aku mulai khawatir ketika melihatnya  terus muntah hingga tak ada yang tersisa di perutnya, yang membuatnya tak memiliki tenaga untuk  bergerak. Takut terjadi apa-apa, aku  memanggil ambulans dan membawanya ke rumah sakit. Ternyata ia mengalami kehamilan yang sulit,” kenang Rose.

Karena sama-sama kerap berada di kampus, Rose dan Ibu mulai sering bertemu. Perasaan senasib, datang dari negeri yang jauh, membuat keduanya memiliki semangat juang yang sama. “Kebetulan juga sama-sama suka nasi,” Rose tertawa, dan mengatakan ia paling suka nasi goreng dan sudah bisa membuatnya. Ibu juga, menurut Rose, menyukai rice and peas, olahan nasi khas Jamaika, meski ia malas membuatnya.

Ibu memberikan bahunya untuk Rose yang menangis ketika suaminya pertama terserang stroke. Suaminya menjadi pemarah, karena Rose tak memahami keinginan suaminya yang sulit bicara. Sementara Rose juga harus bekerja karena kedua anaknya masih sekolah. Ketika Ibu kehilangan aku, Rose  menyiapkan waktu, telinga, dan hatinya untuk mendengarkan  Ibu menangis dan berkeluh kesah.

“Kami berhasil melalui perjalanan yang naik turun. Setidaknya, aku bisa melihat Nemah tertawa dan memiliki pekerjaan yang bagus, meski itu tak sesuai dengan rencana hidupnya dulu. Aku juga bisa mengantar anak-anak sekolah dan menerima ikhlas keadaan suamiku. Kini, aku senang bisa bertemu denganmu….”  Rose menarik kepalaku untuk disandarkan  di bahunya.

“Rose, aku mendengar Ibu tak menginginkan  kehadiranku. Ibu marah ketika mengetahui dirinya hamil. Kehadiranku mengganjal cita-citanya. Aku merasa bersalah sekali.” “Aku tidak tahu tentang hal itu. Yang aku tahu, ibumu berjuang mempertahankan kehamilannya. Ia gembira ketika kamu lahir selamat. Ia bersemangat membelikan mantel merah. Ia selalu merindukanmu.” Mendengar itu, aku meneguk kopi yang tersisa. Rasanya menjadi lebih enak dari tegukan sebelumnya.
 


Topic

fiksifemina

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?