Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [1]

14 Oct 2017


“Mau tahu apa yang mereka akan lakukan jika mereka punya uang satu truk?” kata Nina, seorang wartawan sambil menunjukkan lembar kertas berisi tulisan  anak-anak, saat kami bersiap pulang. Rupanya, saat latihan menulis barusan, Nina mengajukan pertanyaan dan meminta anak-anak menjawab dengan menulis di kertas. Pertanyaannya: Apa yang akan kamu lakukan jika memiliki uang satu truk? Mayoritas menjawab untuk membuat kamar tidur sendiri, makan di restoran, dan sisanya ingin menggunakan uang itu untuk jalan-jalan ke Ancol, Taman Mini, atau Monas!

“Enggak ada, lho, dari mereka yang ingin  menggunakannya untuk membeli mobil atau jalan-jalan ke luar negeri,” ucap Nina. Menurut Nina, bagaikan warna gigi dan arang, jika  membandingkan jawaban dari pertanyaan serupa kepada  anak-anak di sekolah swasta yang pernah ia latih. Mereka antara lain menulis, ingin menggunakan uang itu untuk membuat robot, membuat kereta api cepat, jalan-jalan ke Disneyland dan menonton bola di stadion Manchester, Inggris.   

Kami mencoba menganalisis keinginan anak-anak itu. Kesimpulan sementara, anak-anak yang berasal dari keluarga sederhana itu tak memiliki cukup bahan untuk modal bermimpi besar. Kami jadi makin membara untuk terus berada di tengah mereka. Memberi mereka bekal pengetahuan lewat buku,  cerita, dan kegiatan untuk modal mereka bermimpi dan  meraih impiannya.

“Makin besar kamu, makin seperti ibumu. Tidak mau diam,” itu komentar Ayah ketika kuceritakan bahwa meski belum mendapat kerja aku akan sibuk melakukan berbagai kegiatan. Aku kaget juga mendengarnya karena baru kali itu aku mendengar Ayah mengait-ngaitkanku dengan Ibu. Bisa jadi karena memang baru belakangan ini ia memperhatikan sepak terjang anak perempuannya.

Menurut Ayah, semasa kuliah Ibu adalah aktivis kampus. Jangan bayangkan ia memimpin demonstrasi menuntut sesuatu. Zaman itu demonstrasi masih dilarang. Yang dianggap aktivis kampus  adalah mahasiswa yang rajin mengikuti kegiatan kampus seperti diskusi atau mengelola koran kampus. Ibu kerap memegang peran penting dalam kegiatan-kegiatan tersebut.   

“Yah, saya sudah selesai. Apa hal penting yang ingin Ayah sampaikan?” Aku menelepon Ayah setelah memesan ojek.
“Nameh Nawangsari meninggal dunia….”
Sejenak, otakku mengolah data, mencari nama yang  Ayah sebutkan.
“Ibumu meninggal dunia….” Suara Ayah terdengar parau. Berita itu tak membuatku kaget, sedih, meraung, lemas atau apa pun respons yang biasanya dilakukan orang saat mendengar orang terdekatnya meninggal dunia.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Saya pulang sekarang,” kataku beberapa detik kemudian.
“Siapa yang meninggal, Fi?” Mbak Wes dan Nina bertanya berbarengan.
“Saudara.”

Tentu saja aku berbohong. Jika kuberi tahu ibuku yang meninggal, pasti keduanya  akan memeluk dan menasihatiku agar kuat dan sabar. Selanjutnya mereka akan terheran-heran melihat wajahku yang biasa-biasa saja. Lalu, akan muncul pertanyaan, di mana di kuburnya?  Aku malas menjelaskan bagaimana hubunganku dengan Ibu, di mana Ibu sekarang, kepada dua orang yang belum lama kukenal, meski keduanya adalah orang baik. (Bersambung: KOTA KELAHIRAN Bagian 2)
***

Ida Ahdiah
 
 
Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?