Fiction
Cerber: Kota Kelahiran [1]

14 Oct 2017


Rose kemudian mengajakku berjalan, memasuki kaki bukit Mount Royal yang memiliki tinggi 233 meter dan berada di jantung Kota Montreal. Di jalan, kami berpapasan dengan sebuah traktor kecil yang sedang membersihkan salju yang menutupi jalanan. Sudah beberapa hari Montreal diguyur salju. Sambil berjalan, ‘lidah’ truk itu mengeruk salju yang menumpuk di jalan dan membuangnya ke tepi jalan, membentuk bukit-bukit kecil. 

Selain bebas salju, jalanan juga tidak licin karena es yang menempel di jalan diberi garam khusus agar mencair. Menyelamatkan pejalan kaki amatir seperti aku dari terpeleset. Konon, di musim dingin, ruang gawat di rumah sakit lebih banyak menangani korban yang terpeleset di salju. Jika bukan wasiat Ibu, aku  malas berdingin-dingin di luar seperti ini. Ingin saja aku segera menyelamatkan diri, ke ruangan yang berpenghangat.

Beda dengan penduduk kota. Dari kejauhan, aku melihat beberapa orang menuruni bukit dengan papan ski. Di jalan, kami berpapasan dengan orang yang berjalan satu arah atau berlawanan arah  yang  terdengar berbincang  riang. Menurut Rose, minus 10 di musim dingin dianggap udara yang ‘bagus’ untuk keluar bagi masyarakat yang biasa menghadapi suhu di bawah itu! Hah, pantas saja!

“Anak-anak itu membawa apa?” tanyaku pada Rose saat melihat beberapa anak membawa benda warna-warni dengan panjang sekitar 1 meter, menyerupai ember mandi bayi, tapi dangkal dengan tali di salah satu ujungnya.
“Itu toboggan, alat untuk meluncur di  jalur salju. Anak-anak akan duduk memegang tali dan meluncur.”
“Hi, kamu berani main toboggan sendiri?” tanya Rose, kepada anak yang berjalan searah dengan.
Sambil terus berjalan anak itu menjawab, “Ya. Aku sudah main toboggan sejak aku usia 5….” Ia mengangkat kelima jarinya.

Menurut taksiranku ia masih duduk di kelas 2 SD. Ayah dan ibunya tersenyum dan mendengarkan anaknya bicara. Ia tidak menyela dan menambahkan apa pun. 

“Aku juga suka skating. Kalau sudah besar Mommy akan mendaftarkan aku ke klub hockey….”
Hockey adalah salah satu olahraga yang digandrungi masyarakat setempat, seperti halnya sepak bola di Italia atau basket di Amerika Serikat. Pemainnya mendapat bayaran yang fantastis. Anak  laki-laki itu lancar bercerita dengan susunan kata yang bagus. Ia mengucapkan, “Bye,” dengan sopan ketika hendak berjalan mendahului kami.

“Tempat toboggan masih agak jauh dibanding arena skating yang kita tuju. Letaknya ada di sebelah sana. ” Aku mengikuti jari Rose yang menunjuk ke sebelah kiri. Wow!  Baru kali ini aku melihat arena skating yang besar di alam terbuka, yang di musim panas itu adalah danau tempat bebek-bebek liar bermain. Luasnya lebih dari lapangan bola. 

Mataku jadi sibuk mengikuti wara-wiri ratusan orang, menurut perkiraanku, yang mempertunjukkan kemahiran mereka.  Aku sedikit deg-degan ketika melihat seorang anak perempuan kecil berputar-putar, lalu meloncat mesti tak terlalu tinggi.  Takut ia tersungkur jatuh. Aku lega ketika ia berhasil menjejakkan kakinya kembali. Dan, itu dua remaja berpegangan tangan, mengangkat satu kaki yang berbeda, membungkukkan badannya! Meluncur bagai pesawat hendak take off. Banyak  juga yang berpelukan. Ada puluhan gaya yang membuat mataku sibuk mengamati dan jantungku berdebar menunggu gerakan tak terduga yang terkadang dilakukan oleh mereka.

“Aku pernah menyaksikan kamu main skating di sini.” “Oh, ya….”
Aku tak mengalihkan pandanganku dari seorang anak perempuan yang mengenakan mantel merah, syal putih, dan topi rajut hitam, yang meluncur pelan-pelan menuju ke tengah arena. Ia melambaikan tangan kepada orang tuanya, yang berdiri di tepi arena.

“Kamu meluncur seperti anak bermantel merah itu. Katamu ingin seperti Michelle Kwan.”
“Michelle Kwan?” Sumpah, aku  tak ingat tentang pemain skating keturunan Cina asal Amerika, peraih medali emas olimpiade dan 5 kali juara dunia! Aku bisa skating, meski tidak mahir. Satu kali aku pernah bermain di arena skating buatan yang ada di sebuah mal di Jakarta. Teman-temanku kagum melihat aku menguasai keseimbangan dengan baik dan meluncur mulus, sementara mereka masih harus berpegangan. Dan, barusan Rose mengatakan, aku sudah bermain skating sejak kecil!

Aku pernah mendengar,  kemampuan skating sama dengan kemampuan naik sepeda, jika sudah bisa, meskipun bertahun-tahun tak pernah melakukannya, akan tetap ingat.

“Waktunya kamu menebar abu….”
“Kenapa, sih, dia mau sekali abunya disebar di sini? Tidak menaburkan ke laut seperti umumnya atau ke sungai.” 

Lagi-lagi aku menggerutu. Rose menggeleng. “Mungkin karena ini adalah taman favoritnya yang ia datangi tiap musim. Di  musim semi, ia akan datang ke sini bersamaan dengan burung-burung yang kembali dari negeri hangat, saat daun masih berupa putik dan tulip masih berupa kuncup. Di musim panas, kami kerap membawa bekal dan makan malam di sini,  sambil menikmati festival Tam-Tam dan sesekali turun bergoyang mengikuti irama gendang yang dipukul puluhan orang. Di musim gugur, Nemah selalu bergegas untuk melihat daun-daun yang berubah menjadi kuning, merah, dan kecokelatan. Di musim dingin seperti ini, ia akan meluncur di sana, bersama teman-temannya…”
 


Topic

#fiksifemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?