Fiction
Cerber: Arus Kali Brantas [2]

12 Mar 2017


Bagian 2
Kisah sebelumnya:
Nisa (penulis) dan Sam (wartawan freelance) pergi ke pelosok Kediri untuk meneliti Sendang Pamotan, danau kecil yang terletak di kaki Gunung Wilis. Sendang ini dipercaya sebagai tempat Ken Dedes, wanita yang dari rahimnya terlahir raja-raja Jawa,  menampakkan sinar wanita utama. Mandi di sendang ini kini dipercaya bisa mewarisi aura Ken Dedes, sehingga banyak wanita yang datang ke sini untuk luru ayu, berburu kecantikan.
 
 
Dua
Cinta Kedua
            Sejarah baku yang disusun berdasarkan bukti-bukti tertulis berupa prasasti dan artefak sering berdampingan dengan mitos dan legenda yang diwariskan secara turun-temurun. Hal itulah yang sering memunculkan dua kutub. Para akademisi jelas lebih percaya sejarah berdasarkan prasasti dan artefak, sementara masyarakat awam lebih memercayai mitos dan legenda. Bisa dimaklumi, karena mitos dan legenda biasanya disampaikan sejak anak-anak usia dini, didongengkan menjelang tidur atau saat senggang. Dengan demikian, mitos dan legenda itu lebih menancap di dalam ingatan dibanding dari pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah.
            Candi Prambanan, meski jelas-jelas dibangun oleh Wangsa Sanjaya pada abad ke-9, tidak sedikit yang masih percaya bahwa candi itu dibangun oleh Bandung Bondowoso hanya dalam waktu semalam saja. Ia harus mengerahkan pasukan jin untuk memenuhi permintaan Rara Jonggrang, wanita yang dicintai setengah mati, tapi  menolaknya.
Akhir cerita, semua orang  tahu, Rara Jonggrang mengakali Bandung Bondowoso. Ia mengajak ibu-ibu di pedusunan untuk membunyikan lesung tanda pagi sudah tiba. Berarti Bandung Bondowoso gagal memenuhi janjinya untuk membangun 1.000 candi dalam waktu semalam. Saat lesung berbunyi dan ayam berkokok, ia baru bisa merampungkan 999 candi. Untuk menggenapi 1.000 candi, maka Roro Jonggrang dikutuk agar berubah wujud menjadi candi.
            Dampak dari mitos itu masih dirasakan oleh masyarakat di zaman modern ini, terutama oleh anak-anak muda. Mereka disarankan tidak kencan di Candi Prambanan. Kalau nekat, kisah cinta mereka bisa putus seperti kisah cinta Bandung Bondowoso dan Rara Jonggrang.
            Kerajaan Mataram yang dibangun dengan susah payah oleh Panembahan Senopati juga tidak luput dari mitos penguasa Laut Kidul, yakni Gusti Ratu Kidul atau populer disebut Nyai Roro Kidul. Konon, tanpa bantuan Nyai Roro Kidul dan Kyai Petruk yang menguasai Gunung Merapi, mustahil Mataram bisa berdiri dengan kokoh sampai sekarang.
Bantuan yang ada pamrihnya. Panembahan Senopati dan anak turunannya yang menjadi Raja Mataram harus mau memperistri Nyai Roro Kidul. Sedangkan untuk Kyai Petruk, tiap tahun raja di Mataram harus memberikan sesaji yang disebut labuhan. Maka, sebagian masyarakat Jawa, terutama yang berasal dari DIY, percaya sekali adanya poros Laut Kidul–Keraton Mataram–Gunung Merapi. Bukan hanya masyarakat biasa, tidak sedikit kaum intelektual juga memercayai adanya poros tersebut.
            Hmmm... mitos. Ternyata tidak lekang digerus zaman.
            Dalam sebuah seminar yang mengangkat tema mitos-mitos yang hidup di masyarakat, aku tampil sebagai pembicara yang membela Rara Jonggrang. Karena ada pemakalah yang mengatakan bahwa mitos Bandung Bondowoso-Rara Jonggrang untuk menunjukkan adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Aku justru mengatakan bahwa mitos tersebut menunjukkan kekuatan perempuan melawan dominasi laki-laki. Buktinya, Rara Jonggrang berani menolak cinta Bandung Bondowoso dengan segala risikonya!
            Menanggapi mitos Nyai Roro Kidul, aku berani mengatakan bahwa sekuat laki-laki, jika tanpa dukungan perempuan, ia belum sempurna. Panembahan Senopati, Raja Mataram yang terkenal sakti, juga mau mengikat janji dengan Nyai Roro Kidul. Itu pertanda Panembahan Senopati mengakui kekuatan yang dimiliki kaum perempuan!
Sambil menyusuri jalan-jalan Desa Jenggala seorang diri, kedua mitos tadi berkecamuk di benak. Dalam hati aku harus mengagumi keberadaan desa ini. Meski berada jauh di pelosok, Kediri ternyata lebih tertib penataannya dibanding kampung kampung di kota besar. Semua pagar halaman rumah dibangun dengan model yang seragam, berupa miniatur benteng keraton zaman dulu. Terbuat dari batu bata merah dan tidak dilapis semen. Jalan dan lorong ditata rapi sehingga tidak berkelok-kelok membingungkan.
Menjelang tengah malam warganya mungkin semua sudah tenggelam dalam buaian mimpi. Siapa yang kuat menahan udara malam, yang dinginnya sampai ke tulang sumsum ini! Hanya orang yang sulit tidur dan suka kelayapan saja jalan-jalan sendiri di tengah desa yang sudah sepi tanpa aktivitas.
            Tidak terdengar suara televisi atau radio. Apakah sudah jadi kesepakatan antarwarga kalau malam hari mematikan radio dan televisi? Mungkin saja. Besok aku akan bertanya kepada Pak Lolo.
            Meski sudah mengenakan sweater dan jaket, namun ada yang terlupa, yakni mengenakan sarung tangan! Karena dari telapak tangan dingin masuk, lalu pelan-pelan menjalar ke seluruh tubuh. Untuk menghindari dingin cepat masuk ke tubuh, jalan satu-satunya memasukkan kedua telapak tangan ke saku jaket!
            Bulan menjelang purnama tersembunyi di balik kabut tipis pegunungan. Suasana seperti ini tidak mungkin bisa kunikmati di kota. Menikmati cahaya remang-remang rembulan, menikmati dingin yang menggigit, mendengar suara aneka binatang malam, dan berada di tempat yang  jaringan telepon selulernya tidak bagus! Ini mirip surga mini. Siapa pun yang berada di tempat seperti ini bisa hidup tenang, tidak terganggu SMS, WA, BBM, miscall dan tawaran berbagai iklan yang menyebalkan.
            Tadi Pak Lolo sempat menceritakan kisah terjadinya Kali Brantas. Sebuah mitos yang dulu pernah diceritakan oleh guru sejarah di sekolahku. Ternyata masih hidup sampai sekarang. Menurut mitos yang dipercaya oleh masyarakat Desa Jenggala, mungkin juga sebagian masyarakat Kediri, Kali Brantas itu yang membuat Mpu Baradha. Orang sakti asal Bali itu diminta jasanya oleh Prabu Airlangga ketika akan membagi kerajaan untuk kedua putranya, yakni Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan. Supaya adil, maka Prabu Airlangga menyerahkan pembagian itu kepada Mpu Baradha.
Maka Mpu Baradha mengambil kendi berisi air, lalu terbang di atas Kerajaan Kahuripan. Air dituang ke bumi, terjadilah sungai. Mula-mula kecil, namun lama-kelamaan jadi besar. Sungai itulah yang di kelak kemudian hari jadi Kali Brantas. Selanjutnya menjadi batas dua kerajaan untuk dua putra Prabu Airlangga. Mapanji Garasakan mendapat bagian wilayah timur Kali Brantas dan mendirikan Kerajaan Jenggala, sedang Sri Samarawijaya mendapat bagian wilayah barat kali lalu mendirikan Kerajaan Panjalu. Kelak Panjalu lebih dikenal dengan nama Kediri.
            Belajar menjadi pendengar yang baik, aku hanya mengangguk-angguk saja. Tidak mungkin aku membantah dengan membeberkan fakta yang sebenarnya. Hulu Kali Brantas dari mata air yang ada di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Batu, Jawa Timur. Mata air yang tak pernah kering itu bersumber dari Gunung Arjuno.
Hanya tiga kota dan kabupaten yang dilewati Kali Brantas, yakni Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Anehnya, di Mojokerto kali itu pecah menjadi dua aliran, yakni Kali Porong yang masuk ke Sidoarjo dan Kali Mas yang masuk ke Surabaya. Mungkin Pak Lolo tahu juga hal itu, namun dia tetap lebih memercayai mitos yang sudah telanjur tertanam di memorinya.
            Persis dengan diriku yang lahir dan besar di tengah masyarakat yang masih kuat memercayai mitos dan legenda!
            Puas menjelajahi sudut-sudut Desa Jenggala, aku pulang. Akhirnya tidak tahan menghadapi dingin yang luar biasa untuk ukuranku. Mungkin sama dinginnya dengan Cemoro Sewu di lereng Gunung Lawu.
            Niatku untuk segera masuk kamar dan tidur nyenyak, gagal. Tiba-tiba terdengar suara mobil masuk halaman. Siapa? Entahlah. Malas rasanya mau bangkit. Lagi pula, itu pasti bukan orang yang mencari aku dan Nisa. Tamu Pak Lolo. Benar juga. Sesaat kemudian terdengar suara orang menyeret sandal.
            “Selamat malam, Pak Lolo,” sapa sebuah suara, tamu yang baru datang.
            “Ouh, Mas Robi, ayo masuk, masuk!” sambut tuan rumah penuh keramahan. Persis ketika tadi dia menyambut kedatanganku. “Saya tunggu-tunggu sejak tadi, he...he…he….”
            “Maaf Pak Lolo, ada urusan mendadak di Malang. Lalu waktu sampai di Batu tiba-tiba ban gembos. Terpaksa mencari tenaga untuk mengganti ban,” sahut laki-laki yang dipanggil tuan rumah dengan Mas Robi itu.
            Aku penasaran, lalu mengintip dari celah dinding kayu.
            “Saya datang bersama Jeng Tety dan Jeng Vona,” ujar Robi, sambil memperkenalkan dua perempuan cantik yang membungkus tubuhnya dengan jaket tebal.
            “Artis!” teriakku dalam hati. Dulu keduanya pernah malang-melintang sebagai artis bintang film. Namun, seiring surutnya industri perfilman negeri ini, keduanya banting setir jadi pesinetron. Aku tidak pangling. Menurut infotainment terakhir, Tety, janda 3 anak itu, akan dilamar pengusaha transportasi. Tetapi, ia tidak segera menerima lamaran itu karena pihak lelaki mengajukan syarat, ia harus meninggalkan panggung hiburan yang sudah digeluti sejak remaja. Sedang Vona baru saja dicerai suaminya karena ketahuan selingkuh dengan sesama artis. Mau apa keduanya kemari?
            “Seperti yang saya katakan minggu lalu Pak Lolo, Jeng Tety dan Jeng Vona ini ingin melakukan ritual di Sendang Pamotan. Kalau bisa besok pagi, karena sorenya harus sudah sampai di Jakarta lagi. Dan yang penting, jangan sampai ada yang tahu. Tolong dirahasiakan, Pak Lolo,” kata Robi, bernada memohon.
            “Ya, ya, tentu saja Mas Robi!” janji Pak Lolo. “Ritual di sendang Pamotan itu tidak sembarang orang boleh melihat,” ujar tuan rumah.
            “Kalau boleh bertanya Pak Lolo, di bawah pohon asam ada mobil yang diparkir. Apakah itu juga mobil tamu?” Tety menyela.
            “Oh, iya, iya. Itu mobil keponakan saya Jeng, dari Yogyakarta. Sudah lama tidak bertemu,” jawab Pak Lolo, berbohong. Mungkin maksudnya melindungi aku dan Nisa.
            “Bukan wartawan to, Pak?” tukas Vona.
            “Ooo, bukan. Mereka pedagang batik!” lagi-lagi Pak Lolo menyembunyikan identitas diriku dan Nisa.
            “Jadi besok pagi aman?” tanya Robi.
            “Aman, aman.”
            “Jam berapa baiknya upacara dilakukan?”
            “Jam 9 pagi,” jawab Pak Lolo.
            Robi mengangkat tangan dan mempersilakan Tety dan Vona memutuskan.
            “Bisa!” jawab kedua artis itu mantap. “Berarti malam ini kita menginap di Kediri,” lanjut Tety.
            “Iya, masa kembali ke Surabaya. Terlalu jauh.”
            “Kalau mau menginap di sini, masih ada satu kamar kosong,” Pak Lolo menawarkan. Mungkin sekadar basa-basi.
            “Kita menginap di Kediri saja, Pak Lolo!” sahut Tety, sambil memberi isyarat kepada Vona. Yang diberi isyarat mengangguk-angguk.
            Tiba-tiba dari dalam muncul Mbak Sekar membawa talam mengantar minuman. Wanita itu hanya mengenakan daster warna biru. Rambutnya dibiarkan tergerai memanjang hampir sepinggang.
            “Aduh, kok, jadi merepotkan,” kata Vona.
            “Hanya wedang jahe, monggo silakan diminum,” kata Pak Lolo.
            Hah! Penampilan Mbak Sekar yang menggetarkan! Dia tampak jauh lebih cantik justru ketika hanya tampil seadanya.
            Hmm. Dadaku tiba-tiba berdebar-debar. Kerja jantung mulai tidak normal. Aku bukan Ken Arok... ingat, aku bukan Ken Arok! Aku mulai berteriak dalam hati untuk mengusir kenakalan lelaki yang muncul mendadak. Kubayangkan wajah Nisa yang mungkin sudah pulas. Ia juga memiliki wajah yang ayu dan bentuk tubuh ideal menurut seleraku. Meski sudah punya dua anak, penampilannya jauh dari umur yang sebenarnya. Kalau tidak menarik, bagaimana mungkin aku jatuh cinta kepadanya?
            Tapi... ah, Mbak Sekar!
            Ken Dedes dari Jenggala?
            Huh!
                                                                         * * * *
           
Nisa menggoyang-goyang tubuhku. “Bangun! Hampir jam delapan!” bisiknya di telinga. Aku gelagapan membuka mata. “Mimpi ketemu Ken Dedes, ya?” selorohnya.
Aku mengucek-ngucek mata. Sinar matahari memang sudah masuk dari celah-celah dinding kayu kamar tidur. Pak Lolo sengaja mempertahankan bentuk rumahnya yang semua dindingnya terbuat dari papan kayu. Kecuali kamar mandi yang dibangun dengan tembok, lantai dan dindingnya dipasang keramik hingga tampak bersih.
“Kita ke Goa Selamangleng,” kata Nisa. “Saya ingin melihat tempat bertapa Dewi Kilisuci. Wanita yang hebat dia. Tidak tergiur takhta dan kekuasaan, juga benda-benda duniawi. Malah meninggalkan semua itu dan menjadi pertapa.”
Emm... berarti kita ke Kediri,” kataku.
“Goa Selamangleng memang hanya ada di Kediri. Kalau goa itu ada di Bekasi atau Tangerang, saya juga harus ke sana. Cepat mandi!” kata Nisa sambil menyentil dagu dan meninggalkan kamar tidurku.
Aku tidak tahu jam berapa tadi malam tamu Pak Lolo pulang. Tapi pagi ini mereka datang lagi dan akan melakukan ritual di Sendang Pamotan. Permintaannya naif: jangan sampai ada orang lain tahu, apalagi seorang wartawan! Mereka tidak tahu bahwa ada wartawan freelance yang mendengar permintaan itu dan mencatat di dalam benaknya. Suatu saat nanti pasti akan muncul di dalam feature yang akan segera kutulis sepulang dari Jenggala. Hanya tulisan jenis feature yang masih bisa dikerjakan wartawan freelance seperti diriku. Untuk berita dan wawancara itu hak awak redaksi. Beruntung bahwa tidak semua wartawan bisa menulis feature dengan baik. Karena jenis tulisan itu butuh imajinasi, kejelian, wawasan yang luas, dan kepandaian meramu penulisnya. Data dan fakta memang harus ada, namun gaya penulisannya bisa mirip menulis karya fiksi!
“Mas Sam mau pakai air hangat?” sapa sebuah suara di muka pintu kamar. Mbak Sekar! Masih mengenakan daster yang semalam dipakai. Tipis, motif bunga warna biru.
“Ya, ya, maaf merepotkan,” kataku agak gugup. “Ke mana Pak Lolo?”
“Tadi pamit mau ke pasar di Wates sana. Beli keperluan untuk ritual para tamu yang datang semalam,” jawab Mbak Sekar.
“Kalau boleh tahu apa saja yang diperlukan untuk ritual di Sendang Pamotan?”
Wanita itu tidak segera menjawab. Ia menoleh ke kanan dan kiri, seolah ingin meyakinkan bahwa di situ tidak ada orang lain. Setelah yakin hanya ada aku dan dia, barulah ia mau menjawab. “Bunga lima macam. Sering disebut kembangliman, yakni mawar merah, melati, kantil putih, kantil kuning dan kenanga. Ditambah selirang pisang raja, minyak wangi. Sudah hanya itu. Nanti Bapak yang memimpin dengan doa khusus.”
“Untuk berendam di sendang harus pakai kain apa? Atau malah telanjang bulat?”
“Ah, ya tidak!” kilah Mbak Sekar sambil tersipu. “Kami mengenakan kemben kain batik. Motifnya bisa sidomukti, truntum, sidoluhur atau parang kusuma.”
“Masing-masing punya makna, ya?”
Wanita itu mengangguk. “Kalau mengenakan kain batik sidomukti kita berharap selain  memperoleh anugerah kecantikan seperti Ken Dedes, juga kecantikan itu mendatangkan kebahagiaan. Sebab, sering terjadi kecantikan seorang wanita malah membawa malapetaka. Kawin cerai misalnya, karena tidak kuat menahan godaan dari para pengagumnya.”
Aku mengangguk-angguk. Betah rasanya ngomong-ngomong dengan wanita ini. Entah daya apa yang ia miliki. Ah, bahagianya engkau Pak Lolo Sumardi punya istri seperti Mbak Sekar Kemuning! Nama yang klasik, sekarang jarang diberikan oleh orang tua modern untuk anaknya.
“Kalau mengenakan kain batik motif sidoluhur, kita berharap memperoleh kecantikan dan kemuliaan hidup. Biasanya dipilih para wanita yang ingin punya suami pejabat atau pengusaha sukses. Untuk kain batik motif truntum, kita berharap di samping cantik juga setia dengan suami. Tidak mudah tergoda laki-laki lain. Sedang kalau mengenakan kain batik motif parang kusuma, kita berharap memperoleh jalan lempeng untuk perjuangan hidup. Biasanya dipilih oleh wanita karier, agar mereka cepat naik pangkat. Kalau kebetulan wanita itu seorang pengusaha, maka harapannya selain memperoleh kecantikan juga sukses usahanya,” tutur Mbak Sekar.
 “Air! Air!” teriak Nisa dari dapur.
“Oh, air sudah mendidih. Mas Sam mau mandi sekarang?” tanya Mbak Sekar dengan mata terbelalak.
“Ya, ya, nanti kusiapkan sendiri. Mbak Sekar tidak usah repot!” kataku. Tapi itu tidak ada gunanya. Wanita itu segera berbalik berjalan bergegas menuju dapur. Aku melihatnya tubuhnya yang melangkah cepat.
Segera kurapikan kamar tidur lalu bergegas menuju kamar mandi. Ternyata semua sudah disiapkan dengan rapi. Handuk, sikat gigi, sabun, pasta gigi, dan seember besar air hangat.
Hmm. Kunikmati gayung demi gayung air hangat sambil membayangkan  Ken Dedes saat mandi di Sendang Pamotan!
 
* * * * *
            “Menurutku ada dua wanita yang berhak memperoleh predikat nareswari, wanita utama. Karena dari rahimnya lahir wangsa yang hebat. Pertama Ratu Shima yang pernah berkuasa di Kerajaan Kalingga. Ia melahirkan Wangsa Sanjaya yang membangun Candi Prambanan dan Candi Baka. Keturunannya banyak yang jadi raja. Kedua ya Ken Dedes. Dialah yang melahirkan dinasti yang berkuasa di Majapahit,” kata Nisa sambil pegang kemudi.
            Kuakui dia lebih lincah duduk di belakang kemudi. Pintar mencari celah agar terhindar dari kemacetan, meski kadang-kadang nekat dan membuat jantung nyaris copot.
            “Bagaimana dengan Dinasti Mataram? Bukankah mereka juga punya seorang ibu?”
            “Oh, ya, ya. Siapa pendiri Mataram?”
            “Trio yang terkenal, yakni Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Penjawi. Mereka itu sering disebut Three Musketeers from Mataram, ha… ha… ha….”
            “Lalu yang layak disebut wanita nareswari?
            “Istri Ki Ageng Pemanahan. Namanya Nyai Sabinah. Wanita hebat. Bayangkan, dari rahimnya lahir 26 anak. Satu jadi raja pertama di Mataram, yakni Panembahan Senopati. Sedang saudaranya yang lain sebagian diangkat jadi adipati di berbagai daerah.”
            “Zaman dulu belum ada alat kontrasepsi ya, punya anak sampai 26, ha...ha…ha…,” seloroh Nisa. “Apa tidak capek ngurusnya?”
            “Itu cara mencari bibit yang baik. Dari 26 anak ternyata yang terbaik adalah Panembahan Senopati. Coba bayangkan kalau cuma punya dua anak dan ternyata kelakuannya jelek. Bagaimana mau mewariskan nilai-nilai luhur kehidupan kepada mereka?”
            “Anakku juga cuma dua.”
            “Oh, ya, sorry. Tapi keduanya kelihatan calon bibit unggul. Seperti mamanya.”
            “Juga seperti calon papanya.”
            Aku tersenyum. Pundak Nisa kuelus-elus.
            “Terima kasih, Papa.”
            Di perempatan kebetulan lampu merah. Mobil berhenti di belakang truk penuh muatan kayu. Kami berciuman sebentar. Ah, rasanya seperti remaja lagi. Dua remaja yang sedang jatuh cinta. Mungkin kami sama-sama dahaga kasih sayang pasangan hidup.
            “Tidak pernah terbayangkan kalau saya akan jatuh cinta lagi,” kata Nisa, setelah mobil melaju lagi. “Begitu papanya anak-anak meninggal dunia, saya putuskan akan menghabiskan usia bersama anak-anak. Saya bekerja, menikmati uang pensiun yang tidak seberapa, dan jika nanti anak-anak sudah berkeluarga tinggal momong cucu. Eee... ternyata....”
            “Ternyata kecantol duda, ya?” candaku.
            “Habis dudanya telaten sekali dalam menghidupkan kembali bara cinta yang sudah padam.”
            “Melihat bara yang padam, aku justru seperti ditantang untuk menghidupkan lagi. Setelah nanti hidup, aku ingin menikmati bara cinta yang membara lagi. Kubayangkan bara ketemu bara, pasti akan saling membakar.”
            “Asal tidak saling menghanguskan.”
            “Hangus dibakar api cinta, bukankah itu bagus.”
            “Hmm, ya, puitis sekali. Baru sekarang saya mendengarnya. Hangus dibakar api cinta. Apa kita lalu jadi abu?”
            “Abu kehidupan. Menjadi pupuk!”
            “Ah, indah sekali.” Nisa memutar stir ke kiri. Ia menghentikan mobil di bawah pohon mahoni yang rindang.
            “Ada apa?” tanyaku.
            “Aku ingin menciummu lagi, kekasihku, calon Papa kedua anakku.”
            Aku tersenyum dan memejamkan mata. (Bersambung)
 
 Baca juga:
Arus Kali Brantas [1]
Arus Kali Brantas [3]

 
***

Budi Sardjono


Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?