Fiction
Cemara-Cemara [1]

20 Dec 2016

Bagian 1
 
Aku menamai perasaan ini sebagai sepi yang njawani. Sebuah rasa sepi tanpa ketersiksaan, tetapi sepi yang menenteramkan. Dan aku menyukai rasa itu.         
Kuurai gelung rambut di bawah tatapan batu-batu candi, patung-patung dan panel-panel relief itu. Sekuntum kembang cempaka putih untuk riasan, jatuh di kakiku.  Sepasang perkutut terbang berpindah dari sepokok pohon ke pokok yang lain, berkejaran, memapas angin. Hening dan bening. Bahkan teman-teman yang bercakap pun mengukur volume suaranya.
            Entah sebab apa, di sini aku berasa menemukan rumah tinggal bagi rohku. Aku seperti ikan yang menemukan lautan. Bebukitan yang menelikung tempat ini, hamparan kebun teh mengharum dan wangi perdu serta kepungan cemara-cemara itu, begitu menenangkan segala gaduh dalam hatiku. Dan daya magis tempat pemujaan ini rasanya telah menyapihku dari kesedihan.
Apalagi ketika tabuh gending mulai terdengar mengiring tubuhku menari, semua berjalan seperti air mengalir. Semua yang terpahat di batu-batu itu menatapku ketika aku dan Panji menari menapaki telundak tangga sebagai sepasang dewa-dewi yang saling bersetia. Aku lebih memikirkan batu-batu yang menatapku daripada mata-mata kamera yang berserak di segala penjuru.
Kendala-kendala yang semula terlihat begitu rumit tetapi sebenarnya sepele sudah teratasi dengan maksimal. Misalnya kaset yang ngadat hingga gending yang mengiring tersendat. Atau hal-hal kecil yang lupa tidak dibawa seperti tali rafia atau selotip. Tetapi akhirnya semua selesai juga rencana dan pekerjaan hari ini. Tetapi apa pun persoalan-persoalan itu, aku tak bergeser keyakinan bahwa semesta selalu mengapresiasi setimpal dengan upaya dan mimpi  tiap makhluk.
Aku menyisir rambutku dengan jejari tangan, dan merunuti helai-helainya ketika Panji datang mendekat. Tampak segar dan bersemangat.
            “Pasti kamu haus,” katanya sambil menyerahkan sebotol air meneral kepadaku. Angin berembus menerpakan sejuk pada wajah dan tubuhku yang berpeluh.
            “Terima kasih, Panji,” kataku, saat menerima sebotol air yang sudah ia bukakan tutupnya dan sedikit tumpah membasahi punggung tangannya. Ia duduk di atas batu hitam mengilat menjajari aku. Seluruh riasannya sudah bersih total. Oblong putih dan jins biru menggantikan kostum Kamajaya yang beberapa saat lalu disandangnya untuk menari bersamaku, Dewi Kamaratih. Panji memang cakep ketika mengenakan setelan itu, tetapi menurutku ia lebih cakep dengan kaus hitam. Namun, aku tidak pernah mengungkapkan hal itu kepadanya, karena kupikir itu tak penting.
Belum sepenuhnya selesai. Seluruh kru masih sibuk dengan tugas masing-masing dalam sesi pemotretan untuk maskot dan materi presentasi Srawung Candi yang akan digelar pada malam purnama bulan depan. Kesibukan yang kerap diselingi canda terkadang cela yang rasanya cukup kelewatan dan menyesakkan dada, bahkan tak luput juga terjadi ketegangan-ketegangan. Tetapi, itu akan berlalu dengan segera.
            “Entahlah, aku tak tahu apakah kita tadi menari dengan bagus, hanya saja, aku merasa puas.” Suara Panji pelan namun tegas, aku tersenyum sekadarnya. Panji menatapku dengan tatapan yang kuharapkan itu berasal dari mata yang lain, mata Rajang.
Ya, Rajang si jurnalis itu. Ketika aku menari di atas punggung datar kura-kura batu tadi, aku melihat ia berdiri di dekat pokok-pokok cemara tua. Siaga dengan kamera yang disandangnya. Sosoknya mencolok, sehingga dengan sekelebat pandang, aku tahu keberadaannya. Tetapi, barangkali karena hatiku memiliki semacam kompas yang sanggup menunjuk arah dengan akurat di mana ia berada. 
“Tempat ini sangat….”
            “Hati-hati memilih kata,” potongku cepat. “Ini tempat sakral. Jangan sampai karena salah kata, kita mendapat kesulitan,” lanjutku kemudian.
            Panji mengangguk tersenyum, dan urung mengatakan entah apa yang ada di dalam pikirannya. Kelak aku akan tahu kalau ia memang suka begitu.
“Ya. Aku tahu, di mana pun ketika kita mengunjungi suatu tempat, kita harus sudah bersih sejak dalam pikiran,” kata Panji, kemudian ia meneguk air dari dalam botol hingga nyaris mengosongkannya. Ia kelihatan haus sekali. Jakunnya bergerak-gerak seperti tikus. Lalu terbayang wajah langsat Wasti dengan dagu kubah gantungnya. Aku yakin kawan-kawan dan kru ini tahu bahwa Wasti sangat ingin bahkan nyaris terobsesi untuk menjadi penari utama dalam agenda ini. Dan agaknya mereka  juga tahu, keinginan itu berlipat ketika dikabarkan yang terpilih sebagai penari Kamajaya adalah Panji. Lelaki yang amat didamba dan dipujanya melebihi pemujaan terhadap roh dan tubuhnya yang, kuakui, juga elok kala menari.
Kurasa bukan hanya Wasti, sangat banyak penari perempuan yang aku kenal, beberapa di antaranya menaruh hati pada Panji. Bahkan ada yang pernah secara terang-terangan mengungkapkannya kepadaku bahwa ia suka pada Panji. Bukan selera yang buruk, karena selain tampan, Panji juga berdedikasi. Tetapi, betapapun baiknya ia kepadaku, aku menganggapnya tak lebih dari teman.
Memang terkadang perhatian Panji kepadaku terkesan amat khusus, tetapi kupikir Wasti atau siapa pun tak perlu cemburu atau menganggapku saingan karena rasanya aku sedang jatuh cinta pada laki-laki lain. Jatuh cinta pada matanya, pada tangan dan kuku-kuku jarinya, pada langkah kakinya yang mantap, pada lekatnya kala menatap.
Aku masih ingat setajam apa saat Wasti menatapku dan sepedas apa dia berkata bahwa aku rakus menempuh segala cara, untuk menggesernya agar bisa menjadi penari utama dalam Srawung Candi ini. Dan ia tetap gagal menyembunyikan bahwa yang terberat karena ia hilang kesempatan menari bersama Panji. Aku kurang yakin apakah Panji memahami itu.
Menggeser? Kata itu terlalu politis, tetapi apa salahku? Aku tak melakukan apa pun seperti yang dia tuduhkan padaku, bahwa aku menjegalnya, bahwa aku merayu Mas Gada agar aku terpilih. Dia pikir semudah itu membeli kecerdasan Mas Gada? Tidak! Bahkan saat aku diminta untuk memenuhi undangan dan tawaran audisi pun, aku hanya melakukan sebaik mungkin demi rasa tanggung jawabku terhadap nenekku yang renta, serta guruku, Bu Raras, yang sudah kuanggap seperti ibu kandung karena aku tak merasakan kasih sayang ibu kandung (dan juga ayah) sejak berusia enam tahun. Tentu saja, selain tanggung jawabku terhadap diri sendiri atas jalan yang kupilih.
“Ayah dan ibumu meninggal saat menuju pulang ke rumah ini. Seorang pemabuk telah menyetir mobil dengan ugal-ugalan sehingga merenggut ayah dan ibumu. Mereka berpelukan saat meninggal dengan tubuh luka parah,” begitu Nenek pernah bercerita kala aku menginjak remaja.  
            Dan, ketika aku menerima telepon bahwa aku yang terpilih untuk menjadi penari utama serta maskot dalam Srawung Candi ini pun, aku sedang memijit-mijit kaki Nenek. Sudah dua hari Nenek mengeluhkan sakit pada sekujur tubuhnya. Tentu saja telepon itu sebuah kejutan manis ketika hatiku diremas cemas melihat kondisi ibu dari ibuku itu cukup buruk. Aku tak pernah menyangka dan nyaris melupakan soal audisi itu karena terlalu sibuk memikirkan kesehatan Nenek. Sebab, jika Nenek meninggal, aku bakal resmi sebatang kara.
            Hanya selang beberapa jam setelah kuterima telepon dari Mas Gada, aku menerima telepon dari Wasti ketika aku sedang mengurut kaki Nenek dengan beras dan kencur yang dihaluskan lalu dicampur minyak kayu putih. Aku lekas mencuci tangan, dan menjawab panggilannya.
            “Halo, Wasti.”
            “Puas?” jawabnya di seberang sana, tandas dan getas.
            “Maksudmu?”
            “Puas kalau kamu yang akhirnya terpilih untuk mendampingi Panji dalam Srawung Candi?”
          Aku gelagapan. Sesaat mati imajinasi, lalu kelu. Mendampingi?
            “Dengan cara apa kamu bisa merebut posisiku, menggeserku yang sedari awal sebenarnya aku yang dipersiapkan Mas Gada untuk Kamaratih?”
            “Lho, kan….”
            “Katakan apa yang kaulakukan dengan gayamu yang pura-pura lugu itu?”
           Aku nyaris muntah.  Nenek mendehem, lalu mengingsutkan kaki. Aku tahu, Nenek tak mungkin mendengar suara dari ruang misterius pesawat telepon, tetapi dehemnya menjelma lonceng peringatan untukku agar bersabar dan kepala dingin. 
            “Ya, aku tahu. Kamu menjadi wacana. Si Kamaratih. Kamu. Aku mengerti.”
            “Mengerti apa?” dia menggertakku sekali lagi. Jantungku nyaris rontok. Lepas dari rangkai sinergi nadi dan vena. Aku kaget bukan main.
            “Maksudku aku tahu kalau kamu yang selama ini diberitakan untuk menarikan Kamaratih. Kamu yang pantas dan sepertinya memang masuk akal jika kamu yang menjadi penari utama bersama Panji. Dan menjadi maskot. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Kurasa itu yang penting.” Aku tahu, aku gagal menahan jengkel.
            “Maskot?”
            “Ya. Mas Gada bilang, audisi itu bertujuan mencari penari Kamajaya dan Kamaratih untuk agenda Srawung Candi sekalian menjadi maskot acara tersebut, untuk keperluan presentasi, promosi di dalam dan luar negeri. Aku juga baru tahu tadi pas Mas Gada telepon. Bagaimana?”
Di seberang sana Wasti diam. Hening. Aku tak mengerti penyebab heningnya. Hatiku berangsur tenang dan mencoba berpikir jernih. Seperti kepandaian, kesabaran pun ada batasnya, tetapi kebodohan memang tak terbatas. Dan bagiku, adalah kebodohan jika selalu mengalah pada kawanku satu itu.
            “Baik. Semoga kamu bisa menari dengan bagus. Tidak mengecewakan.”
            “Terima kasih dukunganmu,” jawabku tak kalah dingin. Aku masih dihinggapi serenteng tanda tanya ketika sambungan telepon sudah diputus Wasti. Aku masih merasa dilecehkan oleh teleponnya baru saja. Bahkan hingga beberapa hari setelahnya.
            Tetapi, usai telepon itu, sudah pasti aku disibukkan dengan jam latihan. Nyaris aku tak bisa melakukan hal apa pun di luar rutinitas. Jika waktu longgar pun, aku harus membaca teks-teks klasik pewayangan. Kadang, karena kesulitanku, Bu Raras yang datang berkunjung ke rumah untuk sekadar ngobrol atau bahkan mengirim oleh-oleh entah dari mana aku tak pernah hafal. Dan ini dikatakan sendiri oleh Bu Raras sebagai doa. Ya, doa syukur dan terima kasih karena anak sulungnya yang sedang sekolah di negeri orang telah memperoleh kemudahan dan ia mendapat tetangga sebuah keluarga yang sangat baik, sehingga Bu Raras merasa perlu bersyukur dengan cara memperhatikanku. Aku terharu karenanya. Betapa baiknya ia.
            Tetapi keberuntunganku terasa sangat getir ketika di tempat latihan aku bertemu mata Wasti, si empunya tahi lalat di pipi. Bu Raras bukan tak tahu itu, tetapi sikapnya di hadapanku, menganggap seolah persoalan itu tak ada.
            “Baiknya kamu efektif bekerja. Jangan biarkan persoalan tak penting merusak masa depanmu, Naluri. Jika kamu menanggapi terlalu serius persoalan semacam itu, energimu akan terbuang percuma,” ucapnya suatu hari, setelah menungguiku latihan di pendapa dan aku mengeluhkan perihal Wasti.
Kini semua kesulitan itu sudah terlampaui. Hingga selesai sudah sesi pemotretan hari ini. Sebuah kesibukan yang menyenangkan. Dan aku jatuh cinta pada candi ini. Itu kusadari sejak kali pertama gending menabuh tubuhku.
            “Aku tak bohong, aku tadi berasa menari bersama bidadari,” suara Panji ringan, senyumnya juga tak lekas hilang. Sempat aku menduga, mungkin senyum itu yang membuat Wasti jatuh cinta. Bentuk bibirnya menjadi seperti perahu nelayan mengapung di lautan sunyi.
            “Terima kasih, aku juga tidak bohong bahwa kamu juga menari sangat bagus,” ucapku jujur. Ia tertawa, lalu sesaat kemudian terdengar suara gagak berkaok. Hampir bersamaan kami mendongak. Gagak itu terbang melintas di atas kami mengarah Tenggara menuju tebing-tebing gunung gamping tempatnya membangun sarang dan berkeluarga. Gagak itu tak tahu betapa aku iri dengan segala pengembaraan seperti yang ia lakukan.
            “Luri, inilah sebab aku lekas menemuimu usai berganti baju.” Aku menolehnya, Panji balas menatapku.
“Apa maksudmu?”
“Aku hanya ingin mengatakan bahwa tempat ini sungguh membuatku hanyut. Apakah kamu merasakan hal yang sama?”
Aku terpaku. Mata Panji menyiratkan arti yang sulit kudefinisikan. Aku curiga ini akan mendatangkan kesulitan bagiku.
            Panji, lelaki di sampingku itu baru pulang dari Prancis tiga bulan lalu. Ia terpilih menjadi peserta workshop seni tari tradisi mewakili Indonesia wilayah Jawa selain dari Bali, Sorong dan Tapanuli. Mereka dipertemukan dengan penari-penari dan seniman tradisi dari negara lain. Aku tidak kaget kalau dia yang dipilih Mas Gada. Memang dia pantas. Ia berdedikasi dan rasanya ia memang dilahirkan untuk menari.
Aku tak terlalu dekat dengannya, sebelum aku dan dia dipertemukan dalam agenda ini. Bukan karena dia berdarah ningrat dan banyak pengagum, karena aku tak peduli soal itu. Tetapi, karena aku tak punya waktu serta kesempatan untuk menjadi dekat dengannya. Dan tak ada momen yang membuat kami bisa dekat. Aku dan dia hanya saling kenal sebagai sesama penari. Itu saja. Lalu aku dan dia menjadi cukup dekat setelah terlibat diskusi untuk agenda ini, kemudian dalam pertemuan-pertemuan serta latihan rutin. Aku dekat secara profesional, bukan secara personal.
Tiba-tiba aku merasakan ada tangan mampir di bidang punggungku.
“Oh, Mbak Putik,” sapaku lalu berdiri menyambutnya.
            “Terimakasih untuk persembahan kalian yang bagus. Kalian tadi menari dengan sangat mengagumkan. Melebihi yang kami bayangkan,” suara Mbak Putik tegas lembut mengarah pada kami berdua. Kehadirannya memotong monolog dalam diriku.
            “Sama-sama terima kasih, Mbak.” Aku dan Panji berganti menerima jabat tangan.
            “Sukses! Untuk kita semua,” katanya sambil menangkup tanganku dan tangan Panji. Seolah kami sedang mengikrarkan seiya-sekata.
Mbak Putik bersama Mas Gada menjadi penanggung jawab acara ini. Mereka partner klop yang bekerja dengan naluri dan intuisi karena sudah saling memahami cara kerja masing-masing. Termasuk agenda ini, tidak alot mencari penari utama sekaligus maskot, pengambilan foto, dan kuharap lancar juga pas pelaksanaan nanti. Selain penari, Mbak Putik juga dosen yang cukup disegani.
            “Makan siang sudah siap. Mari kita kumpul,” katanya kemudian. Ia memunggungi telundak candi, menghadap lurus batu Lingga dan Yoni. Tepat saat itu, di dekat batu besar permukaan datar, aku menangkap sosok yang sedari tadi kerap kupapas kilatan matanya. Mata yang mengganggu tiap tidurku karena pesonanya. Menit berikutnya, ia sudah mengangkat kamera membidik kami bertiga yang tengah berjalan menuju tikar pandan tergelar di sisi kiri pelataran candi. Rajang. Pelan hatiku mengeja nama itu. Ada getar, aku sadari dan rasai detail getarnya.
            Ia jurnalis dari majalah seni dan budaya Swara Bumi yang menemuiku pada pementasan Ramayana di Benteng Vastenburg tahun lalu. Meminta waktu untuk wawancara dan mengambil beberapa foto secara personal. Penampilannya tak beda jauh dengan kebanyakan para jurnalis yang kukenal. Soliter, cool tetapi ia sungguh memikat, apalagi caranya menatap. Malam itu ia meminta nomor HP-ku, untuk berjaga seandainya ia membutuhkan informasi tambahan.
            Memang itu yang terjadi, ia menanyakan beberapa hal soal sendratari itu, selebihnya ia bertanya cukup personal, tetapi itu off the record. Hanya untuk dirinya sendiri. Sampai akhirnya ia meminta e-mail-ku, untuk mengirim foto-foto lain yang tidak termuat dalam majalahnya. Dan sejak itu, pesan-pesan yang ia kirim sanggup menumbuhkan kangenku. Tetapi seperti yang kuduga, ia tetap soliter, cool dan menjaga jarak untuk mempertahankan relasi profesional. Hanya seperti itu. Letup-letup kecil di hatiku harus puas tersimpan rapat dan diam-diam kuharapkan mendapatkan jalan keluar agar letup itu bersambut hingga menjadi ledakan menakjubkan dalam hidupku. Tetapi aku sempat menganggap angan itu terlalu muluk, bahkan mendekati mustahil.
            Lalu aku kaget bukan main saat mendapati ia sudah berada di kompleks Candi Sukuh ini saat aku dan tim Srawung Candi tiba pagi tadi. Dari Mbak Putik, baru aku tahu ternyata majalahnya adalah salah satu media mitra dalam agenda ini.
            “Sejak jam berapa ada di sini, Raj?” Suara Mas Gada renyah menyapa, menghampiri Rajang dan menjabat tangannya. Aku juga ingin tahu, sejak pukul berapa ia di sini. Selama ini ia tak mengatakan apa pun, tidak juga memberi tahu bahwa majalahnya yang menjadi media partner Srawung Candi.
            “Sejak kemarin sore, menginap di rumah penduduk sebelah sana,” katanya, menunjuk ke arah utara. Lalu tersenyum padaku, mendekat dan menjabat tanganku. Dingin.
            “Apa kabarmu, Lu?”
          Aku membenahi simpul selendang demi menutupi gugupku.
“Kabar baik, Mas.” Aku tahu, pasti merona pipiku. Mungkin seperti buah kersen.
            “Kamu cantik sekali, seperti Tribuwana Tungga Dewi.” Ia berkata nyaris berbisik sambil tersenyum indah sekali, hanya sebentar, lalu berlalu meninggalkan aku untuk menyalami beberapa anggota tim ini. Aku kurang yakin, apakah aku akan sanggup menari dengan baik jika suasana hatiku gemuruh seperti ini. 
            Tetapi ternyata aku sanggup. Bahkan tadi nyaris aku lupa kalau dia ada di lokasi ini persis ketika tabuh gending mulai mengiringi tubuhku menari bersama Panji, meski sesekali mataku menangkap keberadaannya.
            Dan sekali lagi, ia membidik ketika aku, Panji dan Mbak Putik melangkah bergabung dengan tim untuk makan siang. Rasanya laparku sudah berlipat tiga dalam lima menit ini.
            Ekor mataku mengikut ia berjalan menjauh, menuju warung di dekat ladang jagung. Ransel hitamnya bergelayut di pundak kanan. Posturnya yang tegap melangkah gagah.
            “Raj…,” Mas Gada memanggil. Ia berhenti dan menoleh. “Mau ke mana? Ayo gabung di sini saja. Kita makan bersama.” 
            “Pingin ngopi dulu. Ngantuk mata saya. Ini suasana dan angin semilirnya bikin ngantuk.”
            “Jangan lama-lama. Lekas bergabung, ya! Kami tunggu!”
            “Siap!”
            Antara lima belas menit kemudian, ia bergabung dengan tim ini. Ia duduk persis berseberangan denganku, bersebelahan dengan Mas Gada. Gerbang candi melatari sosoknya yang tenang, berambut lurus hitam tetapi sudah tumbuh satu-dua helai uban. Hidungnya bertulang panjang dan bagus. Keningnya sedikit lebar. Dan mata itu sewarna kopi, tetapi membawa cahaya samar.  
             Nasi merah, telor dadar dan mendoan hangat sanggup melupakanku pada mata kopi itu. Panji menuang segelas teh dan menyerahkan padaku.
            “Itu teh hasil olahan beberapa penduduk sini. Diproses secara tradisional. Pahit, tetapi kalau dihayati nikmat sekali rasanya,” Mas Gada promosi.
            “Hahaha… seperti hidup ini ya, Mas. Betapapun pahit, kalau dihayati, tetap bisa menikmati,” kelakar Panji menyela. Kulihat Rajang justru mengeraskan rahangnya.
“Beginilah jika berhadapan dengan koreografer. Bukan hanya teks dan tari, semua perlu penghayatan termasuk larutan teh. Tetapi setuju dengan Gada, teh ini nikmat dan menyegarkan tubuh,” suara Mbak Putik ampuh membuat kami lekas menyeruput larutan itu.
            Acara makan siang yang riang. Alam yang tenang itu rasanya turut menjernihkan pikiran, obrolan dan rencana, yang diselingi perdebatan dan canda. Hingga sore menjelang dan kami bersiap pulang. Sekali lagi, sebelum aku masuk ke mobil tim, aku sempat menatap atap candi yang datar, telundaknya yang mengantar pada keterbukaan, kebebasan. Dan reranting cemara-cemara itu, melambai memanggilku untuk datang kembali. Aku tersenyum.
Tetapi sesaat aku langsung menyadari, sosok yang berdiri di dekat motor itu membalas senyumku sambil melambaikan tangan. Rajang. Oh! Bagaimana bisa senyumku salah alamat? Tetapi kurasa salah alamat yang tidak terlalu buruk dan cemara-cemara itu pasti memaklumiku. Salah alamat yang  menyenangkan, yang mengantarku pulang dan membuatku tidur dengan bahagia.
 
                                                                        ****
            Usai pengambilan gambar untuk maskot yang menjadi materi promosi dan publikasi itu, hari-hariku makin sibuk. Tetapi sungguh tak merasa sibuk karena ada Rajang yang selalu mengirim pesan. Kali ini aku yakin, sang jurnalis yang mengaver  seluruh agenda Srawung Candi ini memberi sinyal kuat dan jernih ditangkap hatiku. Aku jatuh cinta padanya. Ya, aku tak keliru membaca hatiku.
            Makin hari,  makin dekat saja aku dengan Rajang. Rupanya itu cukup menghibur Wasti karena menurut kawan-kawan, itu peluang meraih hati Panji. Wasti sebagai penari pendukung, kadang berlatih bersama, kadang mengambil jam berbeda ketika latihan, kerap menunggui saat aku dan Panji berlatih. Memang bukan hanya dia yang tetap tinggal, tetapi hatiku bisa menala, untuk apa dia tetap menegakkan punggung di sudut sana.
            Bukannya Panji tak tahu, tetapi ia merasa cukup bertindak sopan dan wajar saja untuk menanggapi sikap Wasti. Tetapi Minggu kemarin saat latihan, cukup surprise ketika kudapati Rajang ada di pendapa atas undangan Mas Gada. Ia duduk tak jauh dari Wasti yang sibuk mengabadikan latihan ini dengan ponselnya. Sesekali tertangkap mataku mereka saling bicara, kadang tertawa.
            Saat adegan Kamajaya memadu kasih dengan Kamaratih, Panji berbisik cukup jelas meski gending cukup keras.
            “Mengapa gerak tarimu terasa canggung, Lu? Kehadiran Rajang mengusikmu?” Dengan isyarat mata aku memintanya diam. Tapi sejujurnya, Panji tak keliru menegurku. Memang aku sedikit canggung. Bahkan sedikit terganggu ketika Rajang mengambil kursi lalu mendekat pada Wasti dan mereka tampak makin seru berbincang.
            “Biarkan mereka, Lu.” Suara Panji lagi. Tetapi aku tak bisa.
           Bersusah payah aku konsentrasi pada tubuh penariku, sampai akhirnya kudengar Panji berujar, “Menarilah dengan terpejam, Lu.” Aku menurut. “Nah, begitu,” ucap Panji memandu tubuhku.
            “Tersenyum Lu, sedikit saja. Atur napas. Nah, begitu. Kenali gerak tubuhmu, Lu. Bayangkan awan-awan, hutan, hujan, lautan. (dan kubayangkan cemara-cemara) Bagus, Lu. Begitulah seharusnya kamu menari, Naluri. Menari bersama semesta, bukan bersamaku. Camkan itu, Lu. Aku sayang padamu.”
Seketika aku membuka mata. Kudapati Panji menatapku begitu dalam hingga jauh menuju pusat jantungku. Tapi aku segera menepisnya dan bahkan hilang tanpa bekas ketika aku sedikit menoleh ke arah Rajang. Ia sudah tak ada lagi di tempat duduknya. Bahkan bukan hanya Rajang, tetapi Wasti juga. Mataku mencari di sudut-sudut pendapa, mereka tak ada. Dan sepertinya gundahku tertangkap Panji. Ketika ia menyodorkan air minum, aku menolaknya.
            Usai latihan itu, aku pulang dengan hati sedikit terguncang. Bisa saja Rajang dan Wasti tidak pergi bersama atau pergi dalam waktu bersamaan, tetapi ternyata aku cukup terganggu. Lelah semua-mua membuatku kurang semangat menemani Nenek yang menunggu dengan riang  tiap pulangku. Bahkan ia masih sanggup menyediakan teh dan sudah memasak air jika aku ingin mandi dengan air hangat. (Bersambung)
 
Baca juga:
Cemara-Cemara Bagian 2
Cemara-Cemara Bagian 3 (TAMAT)
***
Indah Darmastuti


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?