Fiction
Bunga-Bunga Petunia di Beranda

5 Oct 2016



SELEPAS DARI DAPUR, Latifa duduk di beranda. Ia bersedekap dalam balutan gaun panjang oranye dan baju hangat rajut bermotif bunga-bunga. Angin bulan September terasa kering dan dingin. Tiap kali tubuhnya menggigil, ia menyesap teh hangat dalam cangkir porselen yang belum lama diseduhnya.

Sembari menikmati tehnya, Latifa mengingat-ingat apa yang terlintas di benaknya ketika di dapur tadi. Pandangannya tertuju pada tiga pot bunga petunia di sudut beranda. Dua dari pot gantung itu sudah diturunkannya. Beberapa hari lalu ia mendapati bunga-bunga itu mulai layu. Tangkai dan daun-daunnya mulai mengering. Ia baru teringat akhirnya, bahwa hari itu ia akan mulai lagi memeriksa tanaman perennial berumur pendek itu. Sementara, dalam satu pot yang lainnya, sehimpun petunia sedang berbunga penuh. Bunga-bunga berwarna ungu kemerahan itu bergantungan di sudut beranda.

Cikal bakal bunga itu dibawa dari rumah orang tua Efendi —suaminya— bertahun-tahun lalu, ketika mereka memutuskan untuk keluar dari rumah keluarga besar itu. Di beranda rumah orang tua Efendi, bunga-bunga petunia beraneka warna bermekaran. Awalnya Latifa tidak percaya bahwa Efendi-lah yang merawat bunga-bunga itu. Namun, setelah mereka menjalani hidup berumah tangga, Latifa melihat sendiri bahwa Efendi memang menyimpan bakat sebagai pekebun bunga yang baik.

 “Kita akan mengambil satu dari bunga-bunga itu,” kata Efendi suatu hari. “Pilihlah warna yang paling kamu sukai.” 

 “Bagaimana dengan warna ungu? Ungu kemerahan, mungkin cocok untuk menemani minum teh di beranda sambil menunggu sebuah kelahiran,” jawab Latifa.

Latifa memilih jenis bunga yang bernuansa ungu. Efendi menyetujuinya. Dari sebuah majalah tanaman yang pernah dibacanya, Efendi tahu varietas petunia yang berwarna ungu cenderung lebih kuat dan tahan lama.
Mereka menempati sebuah rumah kecil di sisi kota. Dua tahun kemudian, saat Latifa mendapatkan perkerjaan pertamanya di sebuah kantor jasa pengiriman barang, Efendi mulai lebih sering berlama-lama di rumah. Terkadang, seharian ia hanya di beranda, sibuk dengan bunga-bunga petunia. Ia akan membersihkan pot, menyiram, memeriksa pupuk, menggunting bagian bunga yang mati, hingga mengusir kutu-kutu dan ulat daun dengan sebuah semprotan kecil berisi insektisida.

 “Angka kunjungan menurun. Kantor akan memanggilku kembali jika kondisi mulai membaik,” ujar Efendi pada suatu hari.

Latifa tidak pernah mengeluh dengan badai yang sedang menimpa perusahaan agen perjalanan tempat Efendi bekerja. Lagi pula, dirinya telah merasa nyaman di tempatnya bekerja. Gajinya lumayan. Cukup untuk makan sehari-hari dan sedikit menabung untuk persiapan persalinan anak pertama mereka nanti. Saat itu usia kandungan Latifa menginjak tiga bulan.

 “Tak apa, Sayang. Kamu mungkin disuruh lebih sering di rumah dulu, mengurus bunga-bunga itu untuk beberapa waktu,” kata Latifa.

Di kantornya, Efendi adalah seorang pemandu wisata profesional. Jika sedang banyak tamu, Efendi sering berhari-hari tidak pulang. Apalagi jika tamu-tamunya minta diantar ke tempat-tempat pedalaman yang jauh.
Benar apa yang dikatakan Efendi, menjelang kelahiran Margo, kantor memanggilnya kembali. Latifa menyambut gembira kabar itu. Barangkali itu adalah rezeki anak pertama, pikirnya. Margo lahir pada Sabtu malam di sebuah rumah sakit swasta melalui proses persalinan normal.

Bulan-bulan awal setelah melahirkan, bunga-bunga petunia itu kurang mendapatkan perhatian. Latifa disibukkan oleh perasaan bahagia merawat buah hati pertamanya. Begitu juga dengan Efendi, meskipun tiap hari ia pulang ke rumah. Mereka adalah pasangan yang sedang berbahagia dengan buah hati mereka yang selalu menerbitkan rasa rindu. Satu per satu bunga-bunga itu pun layu. Namun, sebelum keadaan yang lebih buruk menimpa bunga-bunga itu, Efendi selalu menjadi penyelamat. Ia kembali berhasil menyemaikan bibit-bibit petunia baru yang diambilnya dari biji-biji bunga sebelumnya. Ia lantas menanamnya di dalam pot-pot berwarna hitam, sebelum kemudian digantungnya kembali ketika petunia siap berbunga.

Latifa tersenyum mengingat masa-masa itu. Ia menyesap kembali tehnya. Tubuhnya terasa lebih hangat, meski angin bertiup lebih kencang menggoyang-goyangkan bunga-bunga petunia yang tengah menunggu sentuhan tangannya. Dari tiga pot yang tersisa, keseluruhannya didominasi oleh warna-warna ungu. Ia teringat kembali saat memilih jenis bunga itu untuk pertama kalinya. Sebenarnya ia tidak tahu keunggulan jenis varietas itu dibanding yang lainnya. Ia memilih warna ungu semata-mata karena ia memang menyukai warna itu. Nyatanya, ia telah memilih jenis yang tepat.

 “Yang ungu lebih banyak memiliki peluang. Lebih terjaga bunga-bunganya,” kata Efendi, membenarkan pilihannya ketika itu.

Saat masa cuti kehamilannya, nyaris tiap hari Latifa meluangkan waktu berlama-lama di beranda. Biasanya, ia akan memandangi bunga-bunga itu. Sesekali ia juga memeriksa bunga-bunga itu. Menurut Efendi, salah satu cara mempertahankan agar petunia terus berbunga sepanjang musim adalah dengan memetik bagian bunga yang sudah mati. Bahkan, bertahun-tahun kemudian Latifa-lah yang kerap hadir di beranda itu. Latifa melakukan apa saja yang seharusnya boleh dilakukan terhadap bunga-bunga cantik itu. Ada perasaan lapang dan segar yang tiba-tiba mengalir ke dalam dirinya ketika ia berada di dekat bunga-bunga itu. Bunga-bunga petunia di beranda  telah menemani perjalanan hidupnya bersama Efendi dalam waktu tak terbilang, yang hanya bisa dihitung oleh kenangan.

Kenangan, kau tahu, bisa saja datang tak kenal waktu. Boleh jadi, kenangan akan datang suatu hari dan tiba-tiba. Apalagi jika di sekitarmu benda-benda masa lalu masih mengharapkan sentuhan tanganmu.
 
***
 
LATIFA KEMBALI BERSEDEKAP. Lagi-lagi ia menyesap tehnya. Masih hangat, meski tak sehangat tadi. Sebenarnya ia akan beranjak ke dapur setelah teringat apa yang akan dilakukannya. Ia akan mengambil gunting dan semprotan insektisida. Namun, ia tertarik pada seekor kupu-kupu ungu yang tiba-tiba hinggap di atas kelopak bunga petunia itu. Ia teringat apa yang pernah dikatakan Efendi bahwa jika suatu saat ada kupu-kupu yang memasuki sebuah rumah, itu sebuah pertanda akan datang tamu istimewa.

Latifa tidak ingat, kapan terakhir kali ia melihat kupu-kupu terbang memasuki rumah mereka. Sekali waktu memang ada kupu-kupu yang hinggap di antara bunga-bunga petunia itu. Namun tak lebih, kupu-kupu itu hanya singgah barang sebentar di beranda, untuk kemudian terbang kembali, entah ke mana.

Tapi ia ingat, pada suatu hari pernah ada seorang tamu yang datang ke rumah mereka. Ia sedang duduk di beranda ketika seorang perempuan memasuki halaman rumah. Perempuan itu bertanya perihal alamat sebuah rumah. Latifa mengiyakannya sebelum kemudian menyilakannya masuk ke dalam rumah. Efendi yang hari itu pulang lebih cepat dari biasanya, menyapa tamunya dengan ramah. Perempuan itu bernama Queenita, lebih muda dibanding dirinya. Efendi memperkenalkan kepadanya sebagai rekan kerja. Kedatangan Queenita adalah untuk memberikan ucapan selamat, harapan-harapan, dan doa atas kesembuhan Latifa. Hari itu baru genap seminggu ia pulang dari rumah sakit. Setelah menjalani perawatan yang cukup panjang, Latifa berhasil melalui operasi kanker payudara yang sudah lama dideritanya.  Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa Latifa sudah bisa mulai menjalani hidupnya seperti biasa.

Latifa sangat berterima kasih atas kunjungan simpatik dari Queenita. Ia berharap Queenita bisa menjadi kenalan yang baik atau sahabatnya di hari-hari berikutnya. Tak masalah, bukan? Lagi pula, Queenita adalah rekan kerja suaminya dan mereka memang tampak cukup akrab. Keakraban Queenita dengan keluarganya terbukti dengan adanya kunjungan-kunjungan berikutnya setelah hari itu. Beberapa kali malah Efendi sendiri yang mengantarnya pulang.

Suatu kali, Latifa pun membalas kunjungan Queenita. Ia datang bersama Efendi dengan membawa sehimpun bunga petunia yang sedang mekar. Di rumahnya yang asri dan nyaman Queenita menyambutnya dengan gembira. Queenita sangat senang dengan hadiah bunga itu. Ia bercerita bahwa sebenarnya sudah lama ia ingin memiliki bunga seperti itu, namun tukang kebunnya selalu gagal merawatnya. Latifa baru tahu bahwa ternyata Queenita adalah seorang direktur muda yang menyukai petunia sejak lama.

Kupu-kupu itu terbang kembali ke udara bebas. Latifa yang memperhatikannya sejak tadi, terenyak, teringat kembali apa yang akan dilakukannya. Ia segera beranjak dari kursi dan menuju ke dapur. Latifa kembali dengan sebuah gunting, sepasang sarung tangan plastik, dan semprotan kecil insektisida. Bintik-bintik hitam tampak mengerumuni beberapa bagian daun-daun petunia itu. Kutu dan ulat daun sepertinya sudah menggerogotinya beberapa waktu. Tidak lama lagi sebagian bunga-bunga itu mungkin akan mati. Itu artinya, Latifa harus mempersiapkan kembali bibit yang baru. Dulu-dulu, sebelum ia sendiri yang sering melakukannya, Efendi-lah yang terlebih dahulu mengajarinya.

Tahun berlalu, ketika Efendi  makin necis dan bertambah kesibukannya, dirinyalah yang harus melakukan semuanya. Margo —anak satu-satunya— hanya pulang setahun sekali ketika musim liburan. Margo bekerja di kota tempatnya kuliah dulu. Belakangan, Latifa benar-benar merindukan saat-saat ia bisa bertemu kembali dengan Margo di rumah.  Tidak lama berselang, Margo telah meneleponnya dan bercerita bahwa ia akan memperkenalkan seseorang kepadanya. Di satu sisi, Latifa sangat bahagia mendengar kabar itu. Margo sudah cukup dewasa dan sudah saatnya berumah tangga. Di sisi lain, ia tiba-tiba mencemaskan dirinya yang  makin ringkih dan akan lebih sering sendiri.

Betapapun sudah terbiasa, ada kalanya pada saat-saat tertentu rumah itu terasa begitu sepi. Latifa merasa segala sesuatunya telah berubah begitu saja. Bahkan, pada suatu pagi ia kaget sendiri mendapati hanya dirinya sendiri yang tinggal di rumah itu. Ia linglung memandang bantal dan guling yang dingin di sampingnya. Ia mulai jarang mendapati Efendi, laki-laki yang bertahun-tahun dicintainya itu, tertidur lelap di sisinya. Terkadang Latifa berpikir, seandainya kanker ganas itu tidak pernah menggerogoti tubuhnya, mungkin kenyataan akan menjadi berbeda. Tapi, segala sesuatunya telah terjadi. Latifa hanya bisa menekan perasaannya sendiri ketika peristiwa itu telah dimulai suatu hari.
 
***
LATIFA MERAPATKAN sarung tangannya. Setelah memotong beberapa bunga yang telah mati, ia menyemprotkan insektisida itu ke semua bagian tanaman. Bintik-bintik hitam, lubang-lubang kecil sisa-sisa kutu dan ulat di daun-daun dan sebagian kuntum bunga ia bersihkan. Ia tidak pernah tahu sejak kapan hama perusak itu datang di beranda rumahnya. Tahu-tahu, pada suatu hari, ia menemukan kembali dirinya sendirian di tempat itu dengan sepasang sarung tangan, gunting, dan semprotan insektisida sedang berusaha mengusir hama itu dari bunga-bunga petunia kesayangannya.

Ia juga tidak tahu sejak kapan Queenita bisa mengubah Efendi dalam banyak hal, hingga suaminya itu memutuskan untuk menikahi perempuan yang diperkenalkan kepadanya sebagai rekan kerja itu. Latifa tidak pernah tahu, yang pasti ia harus memercayai kenyataan bahwa Efendi telah memohon izin kepadanya dengan berurai air mata. Efendi mengatakan dirinya tak bisa melakukan hal lain kecuali menikahi Queenita.

 “Aku salah. Salah sesalah-salahnya, sehingga kamu pantas menghukumku. Tapi, aku tak ingin memutus hubungan kita. Aku akan tetap pulang ke rumah ini, menunaikan segala kewajibanku kepadamu dan Margo, anak kita,” ujar Efendi suatu hari.

Latifa tak bisa mengatakan apa-apa ketika itu, selain sebuah pertanyaan yang dilontarkannya dengan geram.
 “Jadi, apa sudah ada calon bayi yang harus menemukan bapaknya?”

Efendi tak bisa mengatakan apa-apa lagi saat itu, selain hanya mengangguk lemah dan sesenggukan untuk beberapa lama di pangkuan Latifa. Meski begitu, Efendi pernah memenuhi janjinya, ia tetap kembali ke rumah itu untuk beberapa waktu, dua atau tiga kali dalam seminggu. Ia juga menuntaskan biaya pendidikan Margo, sampai anak satu-satunya dari rahim Latifa itu menamatkan kuliahnya. Namun, setelah semua yang terjadi, Efendi  makin jarang berkunjung ke rumah itu. Hanya sesekali saja ponsel tua Latifa bergetar oleh namanya. Terkadang Latifa mengangkatnya, terkadang juga tidak. Di usianya yang makin tua, yang ia inginkan adalah suara ramah anaknya ketika bertanya perihal dirinya.

Latifa memeriksa kembali bunga-bunga petunia itu. Ia menyemprotkan cairan insektisida secara saksama. Ia tak ingin hama perusak itu datang kembali ke beranda rumahnya. Ia ingin mengusirnya jauh-jauh dari bunga-bunga petunia kesayangannya. (f)

***

Tjak S. Parlan

 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?