Fiction
Boneka Kayu

25 Jan 2017


 
TIDAK ADA seorang pun yang dilahirkan sempurna di dunia ini. Mengubur mimpi di usia yang terlalu dini karena ketidaksempurnaan rasanya seperti sebuah hukuman. Terkadang membuatku bertanya untuk apa orang tersebut harus dilahirkan, jika tidak diperbolehkan untuk mengejar keinginannya. Jangankan untuk mengejar impiannya, jika untuk berdiri di atas kakinya sendiri pun ia tidak dapat melakukannya.
 
MATAKU TIDAK pernah bisa lepas ketika melihat mereka. Mereka seperti putri? Bukan, tepatnya seperti bidadari! Mereka terlihat sangat cantik dengan pakaian yang berkelap-kelip seperti bintang, gerakan yang gemulai dan indah, wajah serta tubuh yang sempurna. Mereka seperti terlahir bukan dari dunia ini, hanya keindahan yang terlihat. Mereka sempurna bagiku, terlalu sempurna.
“Ibu, aku ingin menari seperti mereka, dapatkah suatu saat nanti aku menari seperti mereka?” tanyaku polos.
“Tentu saja, Sayang. Suatu saat kau bisa menari seperti mereka,” Ibu menjawab dengan senyumnya, memberi harapan seolah aku anak yang terlahir sama dengan mereka, yang mampu  menari seindah mereka suatu saat nanti.
“Ayah, dapatkah aku seperti mereka suatu saat nanti?” tanyaku lagi kepada ayahku. Bukannya tidak percaya diri sehingga aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada ayahku, tetapi aku ingin jawaban yang lebih jujur.
“Seperti penari-penari itu? Mungkin saja,” jawab Ayah dengan ekspresi datar.
“Oh, bagus kalau begitu!” seruku. Sesungguhnya aku paham betul jawaban Ayah. Memang benar tidak ada yang tahu adakah hal yang dapat membantuku dalam beberapa tahun ke depan. Namun, untuk saat ini tak ada yang dapat kulakukan untuk menjadi seperti mereka. Usiaku sebelas tahun, aku sadar keadaanku sepenuhnya dan aku tahu jika pertanyaan yang baru kulontarkan adalah pertanyaan kekanak-kanakan, seperti pernyataan yang dilontarkan oleh anak usia lima tahun.
 
 
            “NONA RAINA, mohon menunggu di belakang panggung, sebentar lagi giliran Anda untuk tampil.”
            “Baik,”  jawabku, seraya menuju belakang panggung. Namaku Raina, lahir dari ibu berdarah Indonesia dan ayah keturunan Belanda. Tenang saja, aku tidak hidup di zaman penjajahan dan bukan seorang Putri Belanda. Aku hanya seorang penari kontemporer nasional di abad dua puluh satu ini.
 
            RAINA, kau kembali menjadi penari yang paling ditunggu dalam pertunjukan ini, aku sangat iri padamu!” seru Sera sambil tersenyum, saat di ruang rias membersihkan riasan  usai pertunjukan.
            “Sera,  tiap penari di tempat ini memiliki daya tarik tersendiri. Bukankah begitu boneka kayu?” tanggap Rena, dengan senyuman dan tatapan tajam ke arahku.
            “Ah, kau benar Rena, Raina sangat putih seperti porselen dan rambutnya yang pirang membuatnya makin cantik. Kau benar-benar terlihat seperti Putri Belanda, apalagi ketika kita sedang membawakan tarian bertema kisah Eropa,” Sera menanggapi panjang lebar.
            “Ya, seperti boneka kayu Putri Belanda yang sedang menari!” tanggap Rena lagi dengan senyum menyebalkan.
            “Sera, kau menari dengan sangat baik, badanmu sangat lentur, kau bisa menjadi peran apa pun dalam konsep tari kontemporer yang dibawakan, keahlianmu membuatmu terlihat istimewa ketika di panggung, sungguh!” ujarku, menanggapi Sera dan tidak menghiraukan perkataan Rena.
            “Dan aku tidak suka ketika Rena memanggilku boneka kayu,” kataku sambil mendekat ke Sera untuk membantunya melepaskan gulungan rambut.
            “Tapi, kau benar-benar cantik seperti boneka, Raina. Sungguh!” Sera berusaha meyakinkan dan aku hanya bisa tersenyum kepadanya.
            “Ah, kau selalu berpikir positif!”
 
 
            “SIAPA NAMAMU?” tanya anak lelaki itu.
            “Raina, Raina Schoonhoven.”
            “Aku Deni Dharmawan.” Dia mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menjabat tangannya. Ketika itu aku sedang di taman melihat orang-orang bermain ketika jam istirahat sekolah sambil memakan bekalku. Saat itu aku merasa senang karena aku menemui seorang yang mengajakku berbicara. Hari itu adalah hari pertamaku sekolah dan tidak seorang pun mengajakku berbicara. Mungkin karena kulitku terlalu pucat, mereka menganggapku asing, atau mungkin mereka mengira aku hantu? Tetapi aku tidak peduli tentang itu, karena sejak saat itu aku punya teman dan  makin bertambah dengan bantuannya. Setidaknya, aku tidak merasa kesepian seperti yang kukira sebelumnya.
 
            RAINA, lihat, pria itu datang lagi!” kata Sera, sambil melihat ke arah seorang pria yang akhir-akhir ini sering datang pertunjukan kami. Seharusnya kami senang karena hal itu berarti dia salah satu penggemar kami. Yang membuat kami cemas, dia bahkan menonton pertunjukan kami di luar kota dan selalu terlihat seperti menunggu seseorang di luar gedung pertunjukan. Apakah dia sengaja menguntit kami?
            “Lihat dia menuju ke sini!” lanjut Sera dan kami berpegangan karena ketakutan.
            “Sera, lebih baik kita segera menuju hotel,” kataku, sambil menariknya ke arah  hotel.
            “Sepertinya dia sudah tidak kelihatan, Raina.”
“Sepertinya begitu,” pikirku.
            “Selamat malam,” sebuah suara mengagetkan kami secara tiba-tiba. Suara itu berasal dari seorang pria yang ingin kami hindari. Aku merasa ketakutan, benar-benar sangat takut. Mengapa ada seorang pria yang mengikuti kami hingga kemari. Berniat jahatkah dia?
            “Maaf, membuat kalian kaget. Aku salah satu wakil dari perusahan yang mensponsori pertunjukan kalian. Aku juga tinggal di hotel yang sama untuk menginap, makanya aku kemari,” sapanya   dengan ramah, seolah tahu ada banyak pertanyaan di otak kami tentang alasan dia berada di sini.
 
HEI! Jika kalian dekat-dekat Raina hanya untuk mengganggunya, kalian akan tahu akibatnya!”
            “Dasar kau tukang mengadu, kalau bukan karena ayahmu kepala sekolah, kau tidak akan bisa menjadi jagoan di sini!”
            Anak itu, seandainya dia di sini sekarang, mungkin aku tidak akan merasa ketakutan. Di mana dia sekarang? Bukankah katanya dia akan kembali dan melihatku menjadi seorang wanita yang cantik dalam bayangannya? Aku tiba-tiba tertawa geli dan merasa bodoh. Bagaimana bisa aku percaya dengan kata-kata seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun. Ketika itu, bukankah kami masih kanak-kanak, hidup dalam dunia fantasi kami. Bagaimana dia akan menepati kata-katanya? Namun yang lebih parah, bagaimana aku bisa masih memercayainya?
            “Maaf, boleh aku duduk di sini?” tanya pria itu dengan sopan, tapi tetap saja aku merasa curiga padanya. Benar, pria itu yang selalu mengikuti kami. “Silakan,” jawabku ragu-ragu.
“Kau Raina Schoonhoven? Perkenalkan, namaku Dharma.” Ia mengulurkan tangannya.
“Ya. Tapi, bagaimana kau tahu namaku?” tanyaku kembali, setelah melepaskan jabatan tangan secepatnya.
“Oh, kurasa banyak orang yang tahu tentangmu. Raina, Sera, Rena, tiga penari dari akademi ini yang paling banyak dibicarakan orang. Kalian benar-benar hebat dan kau penari favorit, bukan?”
            “Tidak begitu, menurutku Sera lebih baik dariku ketika menari. Tiap orang yang menunggu penampilanku hanya ingin melihat wajahku. Bukankah begitu?”
            “Kurasa perkataanmu ada benarnya, Sera memang sangat berbakat dalam menari. Rena juga berbakat. Tetapi kau cantik, seperti boneka dan….”
            “Kau sama seperti mereka, bodoh, tidak mengerti. Seorang penari harus terlihat indah karena tariannya, bukan karena wajah ataupun pakaian yang dikenakannya, atau terlebih warna kulitnya. Penari menjual keahlian, bukan menjual tubuhnya, maka itu penari harus mampu menari dengan baik! Dan itu yang tidak aku miliki dari teman-temanku lainnya, kau tahu?
            “Mengapa?”
            “Karena seorang penari seharusnya memiliki….”
 
            BERTAHUN-TAHUN LALU...
            “Kau menonton pertunjukan tari kontemporer lagi kemarin? Kau pasti merasa senang?”
            “Entahlah, aku merasa senang, tetapi sedih juga karena aku tidak bisa seperti mereka.”
            “Oh, jadi kau ingin menjadi penari seperti mereka dan muncul di panggung seperti mereka? Menurutku, kau bisa seperti mereka.”
            “Bagaimana mungkin....”
            “Karena kau cantik, seperti boneka! Bukankah mereka yang berada di panggung itu juga sangat cantik seperti boneka? Sepertimu....”
            “Kau tidak mengerti, seseorang menjadi penari bukan karena mereka cantik, tetapi karena mereka bisa menari dengan baik. Dan kau tahu? Bagaimana aku dapat menari, kakiku hanya sebelah!”
           Aku menangis ketika itu, sekali lagi aku merasa bahwa Tuhan tidak adil. Mengapa ada seorang anak yang harus terlahir tanpa sebelah kaki. Mengapa seorang anak tersebut harus mimpi menjadi seorang penari, sedangkan berdiri di atas kakinya sendiri saja dia tak mampu?
            “Hei, hei, jangan menangis. Mungkin, suatu saat nanti kau akan menemukan acara untuk menggapai cita-citamu itu dan selain membuatmu menangis karena perkataanku tadi, aku ingin meminta maaf kepadamu karena aku akan pergi jauh. Aku akan pindah sekolah jadi aku tidak bisa menemanimu lagi dalam waktu yang lama.”
            “Berapa lama?” tanyaku, tak percaya jika aku dan Deni akan berpisah setelah enam tahun kami berteman baik.
            “Aku juga tidak tahu, tetapi aku akan kembali untuk melihatmu tumbuh menjadi wanita cantik seperti penari-penari itu dan mungkin suatu saat nanti aku juga melihatmu menjadi salah satu dari mereka!” serunya, seraya tersenyum menyemangati. Ketika itu aku merasa sedih, entah karena kehilangannya atau karena mungkin aku tidak akan benar-benar menjadi apa yang dilihatnya ketika dia kembali.
 
 
            KAKI? Tetapi kau memilikinya sekarang. Walaupun kaki itu hanyalah kaki buatan, hingga mereka yang tidak menyukaimu memanggilmu dengan sebutan boneka kayu. Kau sakit hati karena kau berparas cantik hingga menyerupai boneka, tetapi kau harus menari di atas kaki palsu. Kau terlalu perasa, Raina. Walaupun itu bukan kaki asli, kini kau benar-benar menari. Kau bukan boneka kayu cantik yang menari di atas panggung. Gerakanmu mungkin tak terlihat sesempurna yang kau inginkan, seperti   mereka yang memiliki kaki sesungguhnya. Tetapi,   bukan berarti kau tidak bisa menari dan hanya menjadi penari yang menjual paras cantik. Tidak ada yang sadar, Raina, karena kaki itu memang diciptakan untukmu, untuk membantumu mewujudkan impianmu menjadi penari.”
            Ketika itu, aku menyadari seseorang yang kuharapkan kembali ada di hadapanku. Seorang yang tahu tentang mimpiku, tentang semua kekuranganku. Aku terlahir tanpa sebelah kaki sejak lahir dan aku bermimpi menjadi seorang penari yang hampir mustahil kugapai. Aku memperoleh kaki palsu dan berusaha keras dengan kaki palsu itu untuk mengapai impianku menjadi seorang penari, aku sukses. Namun, stigma bahwa aku adalah boneka kayu tidak pernah lepas dari kehidupanku entah karena beberapa dari mereka mengolokku demikian atau diriku sendiri yang memanggil diriku boneka kayu.
            “Raina, mungkin banyak pria yang melihatmu salah menilaimu. Tetapi, aku tidak mungkin salah menilaimu, karena aku tahu kau dan berapa banyak usahamu untuk mencapai tempat ini!”
            “Maaf, awalnya aku tidak mengenali kau....” Dia memelukku dan aku menangis dalam pelukannya. Aku menangis bahagia karena kembali bertemu dengannya, dan pertama kalinya merasa bersyukur yang sangat dalam atas apa yang sudah kugapai. (f)
***

Anna Sylvia

Cek koleksi fiksi femina lainnya di:
http://www.femina.co.id/fiction/
 
 
 


Topic

#FiksiFemina

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?