Fiction
Bertemu Sekar

10 Feb 2016



SIANG DI BANDUNG sungguh perpaduan cuaca yang aneh. Panas yang menyengat dan angin yang membuat badan menggigil. Aku mengenakan sweater berleher tinggi berwarna krem dan celana jeans, lengkap dengan boots cokelat gelap. Cukup menghalau angin yang bertiup kencang. Tapi, sekarang aku merasa gerah.
Perempuan itu menghampiriku dengan keanggunan luar biasa. Tak ada suara langkah kaki yang terdengar. Langkahnya tidak tergesa tapi cukup gesit. Ia mengenakan gaun sifon hitam melayang tanpa lengan. Rambutnya diikat ekor kuda dengan semburat putih di sana-sini. Ia tersenyum dan mengangguk padaku.
Aku membalas senyumnya, merasa canggung dengan pertemuan ini.

“Bunga Jeruk?”
Aku mengangguk.
Ia tersenyum lagi. Matanya memancarkan keramahan. “Terakhir kali bertemu, kau masih gadis mungil. Sekarang sudah secantik malaikat.”
“Terima kasih,” jawabku. Aku menelan ludah, tak ingat persis kapan pertemuan terakhir yang disebutnya itu.
“Mari masuk, dia pasti senang bertemu denganmu. Sebentar lagi dia akan pulang.”
Aah, Papa. Aku hampir melupakan alasan utama berada di sini. Tempo hari perempuan anggun bernama Sekar ini mengirim e-mail padaku, mencoba keberuntungannya. Ia melihat namaku berada di deretan nama redaksi di majalah yang ia baca. Dalam e-mail itu ia menanyakan apakah aku adalah Bunga Jeruk, putri dari Prihadi Estu dan Rengganis. Perempuan itu juga mengenalkan dirinya sebagai Sekar, istri dari Prihadi Estu, lelaki yang menggumamkan namaku di sela tidurnya.
Aku terenyak dan mengerjapkan mata. Tak percaya perempuan yang paling dibenci Mama seumur hidupnya itu berani mengirimiku e-mail. Setelah sekian lama disuguhi Mama kisah perebutan cinta, e-mail itu menggelitik rasa penasaranku. Maka, aku membalas e-mail tersebut dan berbasa-basi sedikit mengenai kabar Papa. Meski sepanjang masa kanak-kanak dan remajaku, aku sudah sering mendengar bahwa Papa telah hidup bahagia dengan wanita jalang pilihannya.

Sekar membalas e-mail-ku dengan undangan makan malam. Aku menolak karena tak bisa segera ke Bandung hari itu, tapi aku berjanji akan datang. Aku hanya ingin tahu seberapa jalang perempuan yang telah merebut Papa dari kami.

Aku dibawanya ke ruang makan yang menyatu dengan dapur. Rumah mereka bergaya tradisional minimalis dengan jendela besar dan kusen berwarna gelap. Meja makannya terbuat dari kayu jati berbentuk oval yang dilapisi dengan taplak segi panjang yang menjuntai. Aku bisa melihat gudeg komplet di atasnya.
“Silakan duduk, kita langsung makan saja, ya. Mas Pri sedang makan siang di luar bersama teman-temannya. Sebentar lagi pasti sudah pulang.”
Aku sedikit kecewa mendengar penuturan Sekar. Buat apa aku jauh-jauh datang kemari kalau tak bisa bertemu dengan Papa? Kenapa perempuan ini membuat janji temu kalau Papa tak bisa menemuiku?
Dering suara ponsel mengagetkan kami berdua. Pandangan kami saling beradu dan saat itu aku melihat Sekar kebingungan.

“Duh, di mana aku letakkan ponselku? Sebentar, ya." Lalu ia berlalu dari hadapanku, mencari sumber suara agar bisa menemukan ponselnya.
Tak sengaja, pandanganku tertuju pada lemari pendingin di ujung dapur. Pintu lemari pendingin itu dipenuhi kertas pengingat aneka warna. Aku beranjak dari tempatku berdiri dan menghampiri lemari pendingin itu.

Kamis, 5 Februari
Ambil pesanan gudeg di Bu Marwah pukul 09.00
Makan siang dengan Bunga Jeruk pukul 12.00 Bunga Jeruk, anak Prihadi Estu.

Aku mengernyitkan dahi. Kertas-kertas lain menarik perhatianku. Jangan lupa sarapan dan minum vitamin. Jangan lupa pergi ke dokter Tri pukul 05.00. Semua obat-obatan ada di kotak makan merah di dalam lemari dapur. Dan masih banyak lagi catatan penting tertempel di sana.
Rupanya, Sekar adalah tipe perempuan pelupa. Ia bahkan memberi label pada  tiap pintu lemari dapurnya. Gula, kopi, dan teh. Piring dan mangkuk. Gelas dan cangkir. Garam dan bumbu masak. Sendok, garpu dan sendok sayur.

Pandanganku beralih pada beberapa foto yang dipajang dalam pigura kecil. Pigura-pigura itu berjejer di atas meja konsol hijau pekat, bersanding dengan vas bunga berisi sebuket bunga sedap malam. Ada sosok Papa dan Sekar dalam balutan busana pengantin Jawa. Mereka tersenyum, kelihatan bahagia. Foto di sebelah memperlihatkan mereka sedang berada di sebuah taman penuh dengan tulip. Aku meraih pigura berbingkai emas. Di sana, Papa dan Sekar saling memeluk dengan latar belakang Menara Eiffel.
“Ya, Tuhan! Jangan sentuh foto-foto itu!” bentak Sekar.

AKU MENOLEH dan menemukan Sekar berdiri di belakangku. Ia kelihatan kesal dan marah.
“Maaf,” kataku sambil meletakkan pigura itu.
“Kau pasti teman Dian, ‘kan?”
“Apa?” aku melongo.
Sekar mengibaskan tangan. “Sudah kubilang pada Dian untuk tidak membawa orang asing ke rumah.”
“Tapi... namaku Bunga Jeruk,” sergahku.
Sekar menghentikan omelannya dan menatapku tajam. “Siapa?”
“Kau yang mengundangku kemari untuk makan siang. Ingat?”
“Kenapa aku mengundangmu untuk makan siang?”
Oh, apa-apaan ini? Sekarang aku yang kesal. Jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menerima kepikunan seorang perempuan yang sudah merebut Papa. Tunggu. Pikun. Kertas-kertas itu. Aku menatap Sekar yang sekarang duduk dengan linglung.
Aku kembali ke lemari pendingin dan meraih kertas kuning pengingat makan siang kami. Kertas itu kusodorkan pada Sekar.

“Ini....”
Sekar menerima kertas itu, membacanya dan menatapku. “Makan siang dengan Bunga Jeruk? Namamu Bunga Jeruk?”
Aku mengangguk.
“Tapi siapa kau? Kenapa aku repot-repot mengundangmu kemari?”
Aku mengerang. Ada apa dengan perempuan ini?
“Anda yang mengirimiku e-mail. Anda juga yang mengundangku kemari untuk makan siang bersama Papa. Apa dia baik-baik saja?”
“Siapa?”
Aku mendelik. “Papa! Kenapa Papa belum pulang?”
“Ibu...,” sebuah suara menyelinap di antara pembicaraan tak tentu arah di antara aku dan Sekar. Aku menatap pemilik suara. Seorang perempuan muda –mungkin usianya di bawahku sedikit-- masuk ke ruang makan dan langsung menghampiri Sekar.
“Dian?” tanya Sekar.
Yang dipanggil Dian mengangguk dan tersenyum. “Tenang saja, Bu. Dian sudah pulang.” Lalu ia menghampiriku. “Ini pasti Bunga Jeruk, ‘kan?”
Aku memutar mataku, merasa konyol karena dipermainkan. “Ya, saya Bunga Jeruk. Saya kemari atas….”
“Undangan ibuku. Aku tahu,” sergahnya. “Maafkan ibuku. Sebentar.”
Dian menggumamkan sesuatu dan Sekar mengangguk. Mereka lalu pergi dari hadapanku. Aku menghela napas, tidak mengerti dengan keanehan siang ini. Aku menarik kursi dan duduk tepat ketika Dian kembali membawa buku bersampul merah bata.
“Ibu sedang istirahat di kamar. Aku temani makan siang, ya?”
“Tidak, Dian. Terima kasih.” Selera makanku sudah lenyap. “Tolong jelaskan ada apa dengan ibumu dan di mana papaku?”
“Prihadi Estu?” tanya Dian dengan suara bergetar.
“Ya. Di mana beliau?”
Bukannya menjawab pertanyaanku, Dian berdeham dan menceritakan kisah yang lain. “Semuanya berawal dari buku catatan ini.”

Tanganku menerima buku itu dan membuka halaman demi halamannya. Ada foto Papa, lengkap dengan nama dan tanggal lahir di bawahnya. Ada fotoku dengan Pandan Ayu, adikku. Foto itu juga diberi nama dan tulisan: ‘Anak suamiku dari istrinya, Rengganis’. Ada foto Dian, lengkap dengan tanggal lahir dan embel-embel ‘Anakku dari Prihadi Estu’. Lalu ada catatan-catatan lain yang kelihatannya sebagai kejadian istimewa atau yang dianggap luar biasa oleh Sekar dan Dian.
“Ibuku penderita Alzheimer. Sering ia tidak dapat mengingat percakapan, namaku atau siapa aku. Buku dan catatan di tiap sudut rumah ini yang membantunya mengingat. Sejak membaca nama Bunga Jeruk di majalahku, Ibu teringat pada foto ini dan memintaku untuk mengirim e-mail. Dia ingin bertemu denganmu, memberi tahu sesuatu.”

“Apa itu?”
Dian menunjuk pada sebuah coretan di bawah foto Papa. Jarinya mengetuk tepat di atas tulisan itu. “Ini. Ini adalah....”
Aku menatap Dian. Ia kelihatan ragu dan tak enak hati. “Ada apa? Tulisan apa ini yang dicoret?”
Dian memejamkan mata dan menghela napas. Ketika membuka mata, ia berkata, “Tanggal dan waktu berpulangnya Papa.”

AKU TERKEJUT. Menatap Dian dengan pandangan menyelidik.
“Kenapa kalian tidak memberi tahu kami? Kenapa ibumu mengatakan bahwa Papa masih membisikkan namaku di  tiap tidurnya? Tadi ibumu bilang Papa sedang makan siang dengan teman-temannya? Dia bilang aku bisa bertemu Papa,” aku menuntut dan terus menuntut.
Dia terisak. “Papa memang sedang keluar makan siang bersama teman-temannya. Tiga tahun yang lalu. Saat dalam perjalanan pulang, mobil Papa diseruduk bus dan nyawa Papa tidak bisa diselamatkan.”
Tubuhku lunglai. Dadaku seperti dihantam meteor dan tak ada yang tersisa kecuali serpihan kenangan bersama Papa. Aku dihujani perasaan bersalah. Potongan kenangan massa kecil bersama Papa jatuh tak terbendung. Aku ingat selalu bergelung di kakinya ketika sedang merajuk. Atau gula-gula dari Toko Sweets yang selalu dibawanya di hari Sabtu sepulang kerja. Atau berlarian mengejar capung di sawah kering dekat rumah. Aku terisak bersama Dian.
“Kami sudah berusaha mencari kalian, tapi  tiap petunjuk menuntun kami ke jalan buntu. Tak lama setelah Papa meninggal, ingatan Ibu mulai terganggu. Rupanya kehilangan Papa jadi pukulan paling menyedihkan. Setahun kemudian dokter mengatakan Ibu mengidap Alzheimer. Hal terakhir yang ia ingat adalah Papa masih pergi makan siang. Terkadang Ibu menunggu kepulangan Papa hingga tengah malam.”
“Alzheimer?”

Dian angkat bahu, “Kau tahu, penyakit yang diidentikkan dengan kepikunan dan menurunnya daya ingat otak. Biasanya menyerang perempuan di atas usia 65 tahun. Mungkin Ibu adalah pengecualian. Ibu sendiri sudah masuk tahap menengah.”
Dian berhenti, mengatur napas dan kembali berkata, “Tanggal dan waktu wafatnya Papa itu tadinya untuk mengingatkan Ibu  tiap hari. Tiap kali melihatnya, Ibu histeris dan jadi tak terkendali. Itu sebabnya aku mencoretnya.”

Sekarang aku tak tahu mana yang lebih dramatis. Menyetir sendirian dari Jakarta ke Bandung hanya untuk menemukan kenyataan bahwa aku telah kehilangan Papa atau seorang perempuan penderita Alzheimer yang selalu menanti kekasihnya kembali.
Dia menyeka air mata dengan tisu. “Bunga Jeruk, ada saatnya kesadaran ibuku kembali dan kami bisa bercakap-cakap layaknya orang sehat. Saat itulah ia ingin menemukan kalian dan meminta maaf. Mungkin ini adalah balasan dari Tuhan. Aku yakin kalian telah lama menunggu Papa kembali pada kalian. Dan sekarang itu terjadi pada Ibu....”
Aku membersihkan wajah dari air mata dengan tisu pemberian Dian. “Kau tahu di mana makam Papa?”
Dian mengangguk. “Tentu, kau mau ke sana?”
“Bisa antar aku?”

“Boleh, tapi harus menunggu ibuku bangun tidur.”
“Apa dia bisa disembuhkan? Maksudku...,” entah apa yang harus aku katakan pada Dian. Pasti sulit rasanya menjadi Sekar yang harus diingatkan  tiap hari bahwa kekasihnya telah meninggal.
Dian menggeleng, “Mustahil. Ibu harus menjalani terapi dan mengonsumsi beberapa obat-obatan. Hei, kau pasti lapar. Ibuku sudah memesan makanan untukmu. Makan siang dulu ya, sambil menunggu Ibu bangun.”
Aku mengangguk dan menerima ajakan Dian. Perutku memang sudah lapar. Sambil menikmati gudeg, aku dan Dian saling bertukar kisah. Bahwa Mama masih membenci Sekar dan Pandan Ayu masih menyalahkan Papa karena lebih memilih Sekar. Dian tersenyum masam mendengar kisahku.
“Dian, dengan siapa kau bicara? Temanmu?”
Suara Sekar kembali hadir. Aku menoleh dan melihatnya berjalan menghampiri kami. Wajahnya kembali segar dan tenang. Dian segera menarik kursi untuknya. Melihat Sekar dan kisah hidupnya sepeninggal Papa, hatiku jadi luluh.
Kuulurkan tangan, “Ini saya, Bunga Jeruk.”
Sekar menatap Dian cukup lama dengan dahi berkerut. “Bunga Jeruk? Rasanya aku pernah membaca atau mendengar namanya.”
Aku menggenggam tangan Sekar dan mengelusnya lembut dengan tangan yang lain. “Ini Bunga Jeruk, teman lama.”

Seketika itu wajah Sekar dihiasi senyum lebar dan kerutan di dahinya menghilang. Ia terkekeh. “Senang dikunjungi teman lama. Tunggu sampai Mas Pri datang, ia pasti senang bertemu denganmu. Mas Pri masih pergi makan siang dengan teman-temannya.”

Aku terdiam. Merasa pedih luar biasa. Saat itu aku berjanji untuk terus menjadi teman bagi Sekar. Dan mengubur masa lalu. Mama dan Pandan Ayu harus tahu, pesaing mereka telah kalah telak. (f)

***
Dyah Prameswarie




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?