Fiction
Belia Nyawa Damar (1)

1 Jul 2016



Bagian 1  2  3
 
Lawasnya kada betamu, Nak aei. Kayak pa kabar ikam? Pa bila buliknya kam? Hanyar sampai kah?” senyum merekah lebar tersungging melampaui bibir-bibir keringnya yang tipis. Terbatuk-batuk, tangan rentanya memegang kedua belah pipi anak gadisnya yang baru saja kembali ke kota kelahirannya setelah lebih dari tujuh tahun.

Logat bahasa ibu yang sangat dirindukan Nur Azmi mengalun lembut di telinganya. Rasanya Nur Azmi hendak menyerap sebanyak mungkin imbuhan ‘kah’ dan ‘lah’ yang ada dalam sambutan ibunya. Tak ayal lagi, Nur Azmi memeluk erat wanita yang telah memperjuangkan separuh hidupnya demi setiap suap nasi yang dikunyah anak-anaknya. Satu-satunya orang yang ingin dibahagiakannya dengan seluruh pengorbanan Nur Azmi dalam mengenyam pendidikannya cuma sang ibu. Wanita tua renta yang kini ada dalam pelukannya itu.
 
***
Nur Azmi Belia sudah tahu bahwa ia akan meninggalkan tanah kelahirannya sejak masih mengenakan seragam putih merah. Bukan karena Nur Azmi tak betah tinggal di Kotabaru. Ia suka cara matahari menyapanya setiap hari. Terlebih, sangat kagum pada cara matahari menyunggingkan taring-taringnya. Membuat diri Nur Azmi terkesan eksotis dalam setiap langkah dan lenggoknya. Bukan cuma kepekatan cahaya matahari yang membuat Nur Azmi mencintai Kotabaru, tetapi kedekatannya dengan laut membuat ikan berlimpah. Makanan pokoknya sejak kecil iwak karing. Nur Azmi lebih banyak makan ikan ketimbang nasi. Hingga ia tidak heran kalau dari segi fisik dan kepandaian, dirinya jauh lebih menonjol.

Di balik ketenangan Kotabaru yang menghanyutkan itu, Nur Azmi selalu merasa kekurangan. Nur Azmi sangat suka membaca. Buku bacaan yang ada di perpustakaan lokal membuat Nur Azmi berada di dunia yang berbeda. Nur Azmi berdecak kagum. Tetapi, belum lagi ia merayakan kelulusan sekolah menengah pertama, Nur Azmi sudah kehabisan bacaan di sana. Kehampaan Nur Azmi akibat kekurangan bacaan membuatnya memperluas pergaulannya. Tetapi,  makin membuka diri terhadap teman sebayanya, Nur Azmi malah merasa  makin sempit. Yang dibicarakan teman-temannya melulu tentang pernikahan. Padahal, umur mereka belum juga genap 15 tahun!

Lamaran pertama datang hanya beberapa hari setelah Nur Azmi merayakan ulang tahun yang ke-17. Lamaran disampaikan oleh ayah remaja lelaki itu, yang merupakan salah seorang ustaz ternama di Kotabaru. Orang tuanya mendesak Nur Azmi untuk menerima lamaran itu. Mungkin ia tidak akan bisa mendapatkan lamaran yang lebih bagus daripada anak seorang ustaz ternama di utara Pulau Laut itu. Tetapi, bahkan Nur Azmi sudah menolak sebelum lamaran datang kepadanya. Dengan hati pedih ibunya menerima keputusan Nur Azmi. Ibu yang selalu mendukung  tiap langkah Nur Azmi itu pun menyampaikan penolakan lamaran dengan kepala menunduk. Sejak saat itu, keluarganya menjadi bulan-bulanan warga sekitar.

Tatapan sinis warga sekitar diterima Nur Azmi dengan ikhlas. Gadis yang baru saja menginjak masa dewasa muda itu tak menundukkan kepala ketika ditatap terang-terangan dengan pandangan mencemooh. Membalas rasa ingin tahu yang berlumur di mata para tetangganya dengan senyuman yang manis merupakan prestasi tersendiri bagi Nur Azmi. Semua itu hanya  makin meneguhkan gadis itu untuk meraih apa yang sudah diimpikannya sejak dulu. Walaupun ia tahu keputusannya setahun kemudian memerihkan hati ibunya yang pedih. Seakan menaburi luka hati yang belum kering dengan ribuan ton garam.

Ia merelakan absen datang ke acara perpisahan dengan teman-teman sebayanya. Nur Azmi hanya sempat mengambil selembar ijazah SMA, tanpa mengucapkan pamit pada guru dan teman-temannya. Maklum, setelah melepas masa SMA tidak ada lanjutan sekolah yang memadai di Kotabaru. Masing-masing akan menempuh masa depannya setelah itu. Tak terelakkan lagi, banyak yang terjebak pada pernikahan kelewat dini. Yang harus membantu di warung orang tuanya juga tak sedikit. Kebanyakan mencari pekerjaan di perkebunan sawit dan perusahaan tambang di Kotabaru. Tetapi, yang melenggang ke Jakarta bermodalkan beasiswa cuma seorang Nur Azmi.

Jurusan Sastra Inggris di perguruan tinggi negeri paling bergengsi pun didalami Nur Azmi sebaik yang bisa dilakukannya. Nur Azmi serasa berada di surga ketika duduk di salah satu sudut perpustakaan kampus. Lemari-lemari menjulang tinggi berisi ratusan ribu buku menjanjikan bacaan yang tak pernah habis. Nur Azmi tengah berada di bawah tumpukan mimpinya.

Gadis bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang yang lebih gelap ketimbang kebanyakan warga Depok itu tengah berada di jalur menuju cita-citanya. Begitu mendengar berita yang disampaikan oleh salah satu dosen pembimbingnya di tengah siang hari bolong pada semester akhir, Nur Azmi nyaris mencium tanah. Nur Azmi hampir saja memeluk wanita tua killer yang berlaku sebagai dosen pembimbingnya itu. Binar matanya bahkan lebih cerah ketimbang bintang di langit Kotabaru yang sebesar bola pingpong.

Nur Azmi melenggang mantap menuju Singapura. Ketika menginjakkan kakinya di Changi Airport, Nur Azmi berhenti sejenak. Ia memandang ke atas atap tinggi bandara itu. Melihat lalu-lalang dengan kecepatan tinggi di sekitarnya. Bahkan menyempatkan diri untuk menikmati aroma bandara yang terasa asing. Barangkali penduduk Kotabaru tak ada separuhnya dari isi seluruh orang di Changi Airport.

Kefasihannya berbicara bahasa Inggris membuat Nur Azmi nyaris kehilangan logat bahasa ibunya. Ketika mempraktikkan apa yang dipelajari di bangku kuliah di depan cermin, kadang-kadang Nur Azmi merasa rindu kampung halamannya. Untuk mengurangi kerinduannya itu Nur Azmi mengucapkan kalimat dalam bahasa Inggris dengan logat bahasa Banjar. Ia tertawa geli ketika mendengarkan apa yang diucapkannya. Sekaligus menitikkan air mata.
Nur Azmi tak pernah lupa dari mana ia berasal. Ketika duduk di food court yang penuh hiruk-pikuk, sekonyong-konyong Nur Azmi merasa terasing. Ia menikmati semangkuk tom yam dengan perasaan tercekat. Telinganya tidak terbiasa mendengar suara sendok-garpu berdenting dengan piring kaca. Tak pelak, Nur Azmi merindukan saat-saat ia disuapi ikan laut oleh tangan ibunya. Dari tempatnya berasal, orang makan dengan menggunakan jari-jemari mereka. Dalam kesederhanaan dan kebersamaan.

Perasaan-perasaan ungkapan kerinduannya pada kampung halaman tak membuat Nur Azmi berhenti melangkah. Hanya dua tahun lebih tujuh bulan Nur Azmi menikmati kehidupan di Singapura. Ketika mendengar ada program pertukaran pelajar ke benua lain, Nur Azmi secepat kilat mendaftarkan diri.
Tungkai kakinya yang jenjang pun menginjak tanah Ohio, Amerika Serikat untuk pertama kalinya. Apa yang dijejaknya terasa unik. Bahkan Nur Azmi tak mampu membayangkan seperti apa salju, sekalipun sudah membacanya berulang kali di banyak buku. Tetapi kini ada segenggam salju di telapak tangannya.
Nur Azmi hendak melemparkan tubuhnya ke hamparan salju yang nyaris membekukan tubuhnya. Ada pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi di kanan-kiri jalan. Warna gelap dan ketegapannya tampak begitu kontras pada tekstur salju yang lembut. Merasakan darahnya yang mulai membeku dalam tubuh membuat Nur Azmi teringat pada kelegitan matahari Kotabaru.

Nur Azmi tahu ia akan membuat sebuah buku untuk dipelajari oleh banyak juniornya. Membayangkan sebuah buku tebal dengan namanya terukir di sana sebagai penulis membuat Nur Azmi menggelinjang kesenangan. Ia selalu punya impian yang lebih tinggi dari langit mana pun untuk diperolehnya. Yang paling menguntungkan bagi dirinya, Nur Azmi punya modal untuk menggapai  tiap impiannya. Semua berkat ratusan ikan terafulu yang dimakannya bulat-bulat serta ikan tembang dan gulama yang dijadikannya sebagai camilan sore hari. Tambahan lagi, ia berasal dari pulau sauna terbesar di Indonesia yang membuatnya lebih teguh ketimbang orang lain sebayanya.

Dalam sekali kedipan mata, Nur Azmi sudah mendapatkan gelar master di belakang namanya. Ia jadi gadis pertama asal Kotabaru yang menyandang master of arts di belakang namanya. Tetapi, apa yang didapatnya setelah perjalanan panjang selama hampir enam tahun itu tak memuaskan hatinya. Masih belum cukup. Nur Azmi masih merasa kekurangan.

Ia sudah kembali dari Ohio sejak beberapa bulan lalu. Siang hari di Singapura tak terasa panas sama sekali. Begitu juga dengan siang itu. Lantaran Nur Azmi berada di dalam ruangan besar dengan tempat duduk berundak. Nur Azmi berada tepat di depan ratusan mata pandang mata yang menatapnya dengan takjub. Ia tengah memaparkan ide penelitiannya tentang sociolinguistic.

Nur Azmi menikmati tatapan mata kagum dalam  tiap tarikan napasnya. Sementara anggukan-anggukan setuju itu dinikmati Nur Azmi  tiap kali ia mengembuskan napas. Dalam usianya yang belum genap 25 tahun itu, Nur Azmi sedang merangkai karier penelitiannya. Ia bagaikan beras yang nyaris tanak menjadi nasi paling pulen.

Nur Azmi memaparkan analisis pamungkasnya. Ia akan segera mendapatkan tepuk tangan setelah apa yang diucapkannya ini. Nur Azmi yakin. Yakin sekali, bahkan ketika ia membuat slide presentasi itu satu minggu yang lalu Nur Azmi bisa mendengarkan gemuruh tepuk tangan itu.
Tetapi ruangannya tempatnya berpijak sekonyong-konyong berputar. Kepala yang mengangguk-anggukkan kepala setuju dengan pendapatnya itu mendadak membesar. Sementara tatapan kagum mereka seketika berbayang dan mengecil. Orang-orang di hadapannya meliuk-liuk serupa siluet. Lampu terang-benderang yang memeriahkan ruangan itu lama-kelamaan menjadi redup. Sesaat kemudian dunia Nur Azmi gelap. Keheningan menggemparkan hidupnya.
Suara monitor bergema dalam kepalanya. Bunyi ritmik dengan frekuensi yang sama membuat Nur Azmi merasa pening. Ketika ia membuka matanya, Nur Azmi bertanya-tanya dalam hati. Di mana ia sekarang? Mengapa orang kelihatan mondar-mandir begitu sibuk di sekitarnya? Sebagian terlihat hanya serupa bayangan yang berkelebat. Dominasi warna di ruangan itu putih dengan biru pucat. Sungguh tidak ada semarak sama sekali.
Nur Azmi mengerutkan dahinya sebelum berusaha untuk bangun. Tetapi di saat yang sama ia sadar dirinya tak kuat untuk duduk. Selain terbelit berbagai kabel monitor, dirinya merasa luar biasa lemah. Di negeri orang, tanpa bahasa ibunya, dalam ruangan berbau alkohol yang serba putih, sebatang kara, untuk pertama kalinya Nur Azmi merasa tak berdaya.

Bahasa Inggris sudah menjadi bahasa keduanya, setelah bahasa Banjar. Nur Azmi paham betul apa yang dikatakan oleh lelaki tua bermata sipit dengan rambut yang sudah menipis di bagian depan dan kacamata tebal bertengger di hidungnya. Jas putih yang dikenakannya meyakinkan Nur Azmi bahwa yang menjelaskan perkara kesehatannya barusan adalah seorang yang kompeten di bidangnya. Apalagi banyaknya singkatan di belakang nama sang dokter yang menjelaskan kepada Nur Azmi bahwa ia adalah seorang hematolog. Yang tidak dimengerti Nur Azmi, mengapa seorang ahli penyakit kelainan darah yang berbicara padanya?

Thalassemia! Gaya bicara hematolog di hadapannya ini begitu lembut dan terperinci sekaligus mematikan. Kata-kata yang terucap dari mulutnya dapat dicerna Nur Azmi dengan sangat baik. Tetapi seperti tersengat bisa ular yang menyebar lewat aliran darahnya, Nur Azmi merasa mati perlahan di saat yang sama. Ketika dokter yang ada di hadapannya menutup penjelasannya dengan senyum yang menabahkan hati, Nur Azmi merasa tawar hati. Nelangsa terbentang di hadapannya kini.

Flat Nur Azmi jauh dari mewah. Tetapi jelas tidak terdiri dari kayu-kayu ulin yang lembap. Cahaya lampu terang-benderang menyambutnya setelah ia terbebas dari ruangan-ruangan dengan aroma steril yang menyengat. Nur Azmi mengedarkan tatapannya pada flat yang kosong itu. Tak ada sambutan selamat datang. Tak ada juga tangan-tangan yang memeluknya penuh kehangatan. Tiada bau tumbukan bawang merah yang diborehkan ke seluruh tubuh seperti kala kecil ia sakit. Dalam dunia modern yang begitu diimpikannya sejak kecil itu, ia sebatang kara.

Ketika memandang ke cermin besar yang tergantung di lemari kamarnya, Nur Azmi mendapati dirinya jauh lebih kurus ketimbang terakhir kali ia bercermin. Kulitnya  makin menghitam, kering, dan nyaris bersisik. Tulang-belulangnya tampak begitu menonjol. Seakan dirinya tengkorak yang dibalut kulit hitam kusam. Wajahnya tampak lebih tua. Padahal nama lengkapnya Nur Azmi Belia.
 
***
Dua hari setelah mengucapkan sumpah dokter, Dokter Damar segera memesan tiket ke tempat yang sudah diincarnya sejak dahulu. Sudah berbulan-bulan sebelumnya ia mencari tempat untuk melarikan diri dari keluarganya. Ia sudah jenuh tinggal di sebuah rumah berukuran sedang di tengah kota Jakarta. Rumah itu tidak bisa dikatakan rumah walaupun berbentuk bangunannya menyerupai rumah.
Di siang hari rumahnya sepi luar biasa. Kalau mencari ibunya di siang hari, yang terdengar hanya suara dengkurnya saja. Sementara itu dua orang adiknya masih bersekolah. Keduanya laki-laki. Dua adiknya itu juga memilih menghabiskan siang hari di luar rumah. Tetapi segala ketenangan rumah itu berubah begitu hari sudah berubah menjadi gelap.

Tawa ibunya di malam hari terdengar membahana ke seantero rumah. Aktivitas yang sebenarnya pun dimulai. Dilanjutkan dengan tawa beberapa perempuan muda lainnya. Aroma parfum yang mereka semprotkan bahkan bisa tercium menembus pintu kamar Damar. Sejak kecil bulu kuduknya selalu berdiri begitu mendengar suara geraman dan tawa menggelegar laki-laki yang mampir ke rumahnya. Suara itu berubah-ubah hanya dalam hitungan jam.
Damar selalu merasa terasing di rumahnya. Ia bertegur sapa dengan kedua adiknya seperlunya saja. Dalam hati Damar bertanya-tanya, apakah mereka saudara kandung? Atau hanya saudara satu ibu saja? Damar tak pernah tahu jawabannya. Tidak pula berniat mencari tahu jawabannya. Damar tak pernah tahu siapa ayahnya. Lagi-lagi, ia juga tak berniat mencari tahu.

Uang tak pernah jadi masalah bagi Damar. Ibunya memberikannya cukup uang saku, bahkan berlebih. Damar bisa memiliki apa pun yang temannya miliki. Semua permainan, gadget, buku, makanan, apa saja yang Damar inginkan bisa ia beli. Tetapi, Damar tak pernah memiliki keluarga harmonis seperti yang dimiliki teman-temannya.

Jiwanya haus akan kasih sayang. Damar tahu ia akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk berbuat baik kepada orang lain. Karena dengan begitu ia menyalurkan apa yang sangat diimpikannya selama ini. Kasih sayang keluarga sederhana. Dengan menjadi dokter, Damar dapat leluasa berbagi kasih dengan siapa saja lewat keilmuannya.

Bahkan, tak ada suara bising di Bandara Gusti Syamsir Kotabaru. Perjalanan Dokter Damar bisa dibilang tidak begitu panjang. Ia membawa sebuah koper berukuran bagasi dan menyandang sebuah ransel. Tak lebih. Bawaannya yang ringkas memudahkan dirinya untuk transit di Banjarmasin dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan sebuah pesawat yang tak begitu besar.

Pesawat yang ia tumpangi kecil saja, barangkali hanya muat kurang dari 50 orang. Dokter Damar dapat menghitung jumlah penumpang wanita di pesawat itu. Sisanya lelaki bertampang serius, badan kekar, dan sepatu boot melekat di kaki mereka. Tas ransel berat disandang oleh para pekerja itu. Kebanyakan pergi seorang diri, tak berkawan atau berkelompok. Dokter Damar seakan melihat dirinya dalam orang-orang di sekelilingnya. Seorang perantau.
Dokter Damar sudah membayangkan jalanan tanah, becek, penuh lubang, dan pepohonan menyerupai rimba. Namun, apa yang dilihatnya membuat hatinya yang ciut tak lagi kempes. Seakan dirinya disambut oleh inti hatinya yang paling dalam. Ini sesuai dengan keinginannya. Persis dengan apa yang dibayangkannya selama ini. Hidup penuh ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, di tanah yang serba cukup.

Mataharinya bersinar terlalu panas. Cuma itu yang berlebihan dari Kotabaru. Yang lainnya serba cukup. Tanahnya cukup nyaman dipijak. Tidak terlalu keras hingga nyaris gersang, tidak juga lembek dan lengket. Udaranya pengap, nyaris tanpa angin berembus di sekitarnya. Dokter Damar dapat merasakan pori-pori kulitnya terbuka lebar. Udara yang pengap membuat kelenjar keringatnya bekerja dengan seimbang setelah menghadapi udara lembap di dalam pesawat. Pada pandangan pertama, Dokter Damar tidak jatuh cinta pada Kotabaru. Tetapi ia cukup suka.

Itu terjadi nyaris satu tahun yang lalu. Hari demi hari yang dilalui Dokter Damar di Kotabaru berjalan dengan sangat lambat. Satu minggu terasa seperti satu abad lantaran semuanya berjalan serba perlahan. Tetapi, Dokter Damar memiliki segala sesuatu yang diimpikannya. Hidupnya hening. Rutinitas berjalan sewajarnya di sini. Pagi adalah pagi dan malam adalah malam.

Dokter Damar suka dengan warga Kotabaru. Suasana santai tanpa beban selalu meliputi  tiap orang Kotabaru. Seakan semua permasalahan dapat diselesaikan dengan senyum dan pandangan menyelidik. Kedatangan Dokter Damar di tengah Kotabaru menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan pertama yang selalu diajukan kepadanya adalah dari mana. Awalnya Dokter Damar menjawab dari Jakarta. Tetapi setelah lebih dari separuh penduduk Kotabaru menanyakan hal yang sama padanya, Dokter Damar hanya menjawabnya dengan senyum klise.
Pertanyaan kedua yang meliputinya adalah soal status pernikahan. Menjawab hal itu, Dokter Damar menduga-duga bagaimana caranya agar tetap bijaksana. Dan ia membayangkan seandainya ada perempuan yang sedang menantinya di rumah. Tetapi itu hanya khayalan belaka karena ia tak punya rumah yang sebenarnya.

Hari-hari yang dilaluinya makin sepi. Hidupnya hanya berputar di rumah sakit, pasien, dan praktik klinik saja. Acara kebersamaan rumah sakit dengan perawat dan petugas lainnya beberapa kali diadakan dalam sebulan. Tetapi tak jarang juga waktu Dokter Damar berlalu dalam kesendiriannya. Dokter Damar menghabiskan banyak waktu di kamar rumah dinas. Dengan keterbatasan listrik yang hanya 450 watt untuk satu rumah ditinggali oleh lima orang, membuat Dokter Damar tak bisa banyak memfasilitasi dirinya sendiri. Hidup terkadang berjalan begitu sepi bagi Dokter Damar, hingga ia hanya bisa mendengarkan suara napasnya sendiri dalam keheningan.

“Ada pasien, Dok,” salah seorang perawat mengetuk pintu kamar dokter di sudut UGD. Dokter Damar menarik cepat jas dokter yang digantungkannya di pintu loker. Ia mengenakannya sambil berjalan keluar. Hanya ada satu yang terisi sesosok tubuh kurus nan ringkih.
“Tolong pasangkan oksigen, dua liter saja,” ujar Dokter Damar ketika melihat gerakan dada yang cepat dan dalam pada diri si pasien.
Ia mendekati pasiennya dengan sigap. Hanya sekali lihat saja Dokter Damar tahu, warna kulit pasien ini lebih gelap daripada seharusnya. Dalam usaha napas yang begitu sulit, Dokter Damar tahu bahwa pasiennya tak akan bisa menjawab. Ia memandang pada seorang wanita tua yang mendampingi pasiennya terus-menerus. Menyerukan nama Yang Maha Kuasa, nyaris panik sambil memegangi tangan perempuan muda itu. Sementara dua orang lainnya tampak asing pada pasien yang terbaring lemah tak berdaya itu. Dokter Damar tahu, satu-satunya yang tahu perkara pasien itu cuma dirinya seorang.
“Kenapa ini, Bu?” tanya Dokter Damar. Tak jelas menujukan pertanyaannya pada siapa.

“Manggah jarnya, Dok. Kada tapi tahu juga ulun. Hanyar ja manggah,” sahut si ibu tua dengan suara bergetar. Matanya tak lepas dari sosok yang diusap-usapnya dengan lembut. Tetapi dalam  tiap belaian tangan tua itu Dokter Damar dapat melihat kepanikan yang  makin menjadi-jadi dalam diri si ibu.
Sekali lihat pasiennya, Dokter Damar tahu perempuan ini masih muda. Hanya saja kulit hitam dan kering serta keriput di beberapa bagian wajah membuatnya jadi lebih tua sepuluh tahun. Pemeriksaan dilakukan dalam tahapan demi tahapan. Ketika melihat konjungtiva perempuan itu yang begitu pucat, Dokter Damar segera mencegah perawat yang membuka infusan set biasa.

“Transfusi set aja, Dan,” ujarnya pada salah satu perawat yang sedang mengambil alat-alat memasang infus di dekat lemari UGD. Dokter Damar melanjutkan pemeriksaannya. Lewat stetoskop ia bisa mendengarkan suara napas si pasien dengan lebih jernih. Namun, ada banyak suara yang tak seharusnya ada di sana. Kecurigaan Dokter Damar bertambah begitu ia mendengar suara aneh detak jantung pasiennya. Rasanya janggal mendengar suara jantung orang tua pada pasien seusia ini.

Begitu memeriksa bagian perut, ulu hati Dokter Damar terasa tertohok. Perutnya buncit. Namun jelas, bukan karena kehamilan. Bukan cuma perutnya saja yang bengkak, tetapi juga kedua kakinya. Melihat tungkai kaki sebesar itu pada tubuh yang begitu kurus, hati Dokter Damar serasa teriris.
“Pernah seperti ini sebelumnya?” tanya Dokter Damar lembut. Gadis itu menganggukkan kepalanya. Matanya membuka sepenuhnya, menatap Dokter Damar dengan tatapan penuh selidik.
“Punya riwayat asma sebelumnya?” tanya Dokter Damar lagi, “atau penyakit jantung bawaan sejak kecil?”  Gadis itu menggeleng dengan lugas. Dokter Damar mengubah arah pertanyaannya, ingin segera mendapatkan jawaban. Bersitatap dengan gadis itu, Dokter Damar tahu pasiennya tahu apa yang harus dikatakannya.

Thalassemia,” ujarnya, sebelum kembali berjuang menghirup sebanyak mungkin udara di sekitarnya.
Dokter Damar menganggukkan kepalanya. Gadis ini akan segera memerlukan transfusi darah. Ia perlu tahu persis golongan darah apa yang dibutuhkan. Dokter Damar kembali menulis statusnya. Kali ini ia juga menulis selembar resep untuk kemudian ditebus. Setelah semua urusan itu dikerjakannya, Dokter Damar terang-terangan menatap brangkar pasiennya lagi. Ia berusaha mengingat-ingat, pernahkah bertemu dengan pasien ini sebelumnya.
Tidak. Dokter Damar belum pernah bertemu dengan Nur Azmi sebelumnya. Ia tahu betul pasien thalassemia akan rutin datang ke rumah sakit. Penyakit gangguan pembentukan sel darah merah itu membuat penderitanya mudah anemia. Bukan sembarang anemia, tapi anemia yang berkepanjangan. Transfusi darah rutin diperlukannya. Namun, mengapa Nur Azmi baru muncul sekarang?
 
***
Memilih hari dalam satu minggu untuk melakukan promosi kesehatan di Sekolah Dasar Negeri Kotabaru bukan hal yang sulit. Dokter Damar cukup melirik jadwal jaganya. Lebih cepat ia melakukannya, lebih cepat ia bisa meringankan beban di bahunya. Hingga berdirilah Dokter Damar di muka gerbang sekolah dengan tiang bendera yang menjulang tinggi.
Seorang guru menemani Dokter Damar menyusuri selasar dengan kelas-kelas yang berjajar di sebelah kanannya. Wanita yang tampaknya sudah senior itu terpaksa harus berjalan dengan lebih cepat untuk menyamai langkah Dokter Damar. Ada banyak kepala-kepala mungil dengan jepit rambut warna-warni yang melongok keluar dari jendela kelas ketika Dokter Damar berjalan.

Dokter Damar tak mampu menahan diri untuk tak menoleh dan memandangi wajah-wajah mungil yang seluruhnya tertuju padanya. Ketika ia melihat sekilas pada pasang demi pasang bola mata itu, Dokter Damar tersentak. Ia melihat berbagai macam rupa kehidupan pada  tiap pasang mata. Namun, pada  tiap mata itu Dokter Damar juga melihat harapan. Harapan akan kehidupan.

Suasana kelas itu tampak tenang. Hanya terdengar alunan suara jernih dengan nada yang tegas. Berwibawa dan penuh karisma, Dokter Damar menatap takjub pada seorang wanita yang tengah berbicara bahasa Inggris dengan sangat fasih. Untuk sesaat Dokter Damar tersihir dengan sosok wanita yang tampak rapuh namun berdiri tegak di atas kedua kakinya. Hanya mampu menatap pada sosok wanita dengan timbre suara yang memabukkan itu.
“Maaf, Bu Azmi. Pak Dokternya sudah datang, Bu,” wanita paruh baya yang mengantarkan Dokter Damar membuyarkan suasana sakral di kelas itu. Anak-anak terlihat mulai gelisah. Beberapa mulai merengut. Sedangkan yang lain berbisik-bisik ketakutan. Terang saja. Dokter yang identik dengan jarum suntik dan obat pahit itu jelas ditakuti oleh anak-anak.

“Pak Dokter kada beisi jarum suntik kalo,” masih dengan timbre yang sama, hanya saja dengan logat yang berbeda.
“Silakan, Dok….” Senyumnya memudar ketika ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya itu. Untuk sesaat lamanya ia bertukar pandang dengan Dokter Damar. Membiarkan dirinya teringat pada terakhir kali ia bertemu dengan sang dokter. Tetapi, melihat pandangan Dokter Damar yang terkesan datar itu, Nur Azmi tahu dokter di hadapannya itu tak mengenali dirinya.

Cerita Selanjutnya >>>>
 
 ***
Rosa Amanda Salim
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?